Nothing Last Forever (Hate-Lo...

By ulphafa

581K 51.7K 1.4K

Bryna tidak ingin kembali ke rumah yang sudah ia tinggalkan selama 4 tahun belakangan. Dia tidak ingin kembal... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua puluh Empat
Dua puluh lima
Dua puluh Enam
Dua puluh Tujuh
Dua puluh Delapan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga puluh Tiga (End)
Extra Part

Dua puluh Sembilan

14.8K 1.4K 90
By ulphafa

Sun is up, I'm a mess.
Mentari naik, aku kacau.
Gotta get out now, gotta run from this..
Harus keluar sekarang, harus lari dari semua ini..

(Sia - Chandelier)

•°•

Suara bel yang berdentang berkali-kali membangunkan Tama. Ia melirik jam digital di meja samping tempat tidurnya, baru jam 06.04 pagi dan sudah ada orang gila yang menekan bel dengan tingkat kebisingan maksimal.

Pikiran pertama yang terlintas di otaknya adalah Nicko. Siapa tahu laki-laki itu datang lagi untuk menemui Bryna.

Dan memikirkan Nicko, mau tak mau Tama jadi ingat kalimat terakhir yang diucapkan laki-laki itu padanya semalam.

"Jangan coba untuk menyakitinya kalau tidak mau terkena kutukan." Kata Nicko sungguh-sungguh.

"Kutukan?" Tama mengernyit.

"Ya, kutukan. Aku pernah menyakitinya, dan lihatlah aku sekarang. Aku masih mencintainya sampai selama ini. Dan kurasa, aku tidak akan bisa melupakan dia seumur hidup."

"Si Brengsek Nicko dan kata-kata manisnya yang sialan." Tama mengumpat pelan sebelum keluar dari kamar dan menatap pintu kamar sebelahnya yang masih tertutup.

Kalau bukan gara-gara kedatangan Nicko semalam, saat ini pasti Bryna masih berada di sampingnya. Mungkin saja mereka tidur sambil berpelukan. Mungkin saling melempar ucapan manis dan sentuhan-sentuhan hangat. Mungkin saja mereka bahkan melanjutkan permainan mereka ke ronde-ronde berikutnya.
Siapa tahu, kan?

Suara bel terdengar lagi, lebih tidak sabar dari sebelumnya.

"Shit!"

Kalau saja membunuh tidak dosa, mungkin saja Tama akan membunuh orang yang seenaknya memencet bel di depan sana.

Tapi alih-alih menunggu di depan gerbang, tamu tak diundangnya ternyata sudah berdiri dibalik pintu yang baru saja dibuka Tama.

Dia bahkan belum sempat menanyakan bagaimana orang itu bisa melewati pagar. Melompat? Memanjat? Perpaduan keduanya?

Tahu-tahu sebuah pukulan melayang begitu saja ke rahangnya.

"Bitch!"
Tama yang seharusnya mengumpat, tapi suara Sean lah yang terdengar pertama kali.

Tama melangkah goyah kebelakang, tapi untungnya dia berhasil menangkis pukulan kedua yang dilayangkan Sean. Kali ini dia lebih siap. Dan saat berikutnya, Tama lupa siapa yang memukul lebih dulu atau siapa yang lebih babak belur diantara keduanya.
Dia tidak peduli.
Dia hanya ingin membuat orang tak tahu diri di hadapannya sesakit mungkin.
Dia bahkan tidak ingin di ingatkan kalau membunuh itu dosa.

•°•

Bryna terbangun oleh suara teriakan, makian dan gedebuk yang mengganggu.
Nyawanya bahkan masih belum terkumpul sepenuhnya, tapi saat dia berdiri dan melihat lantai bawah, dia sepenuhnya sadad bahwa Tama dan Sean sedang berkelahi.

Sayangnya, Bryna terlalu terkesima untuk segera bereaksi. Dihadapannya, Tama dan Sean saling pukul, dan dia tidak tahu harus memihak siapa.

"Stop! Stop!" Dia akhirnya berteriak, tapi tidak ada yang mendengarkan. Keduanya masih sibuk bergulat dan saling menyakiti dengan sama kuatnya.

Menuruni tangga secepat yang mampu dilakukan kaki telanjangnya, Bryna menghampiri keduanya.

"Sean, please. Tama, stop." Masih tidak ada yang menggubrisnya.

Tanpa berpikir panjang, dia menempatkan diri diantara mereka dan mencoba melerai keduanya.

"Stop!" Bryna berteriak, frustasi.
Dia sendiri baru sadar bahwa dia mendorong dan memeluk Sean kuat-kuat. "Stop, Sean. Please.."

Mungkin keduanya kelelahan dan kehabisan tenaga. Atau mungkin mereka mendengar isakan dari bibir Bryna. Yang jelas, mereka akhirnya berhenti dan menjauh.

Dan meskipun masing-masing masih melemparkan tatapan siap membunuh, mereka tidak melakukan tindakan bodoh itu lagi.

"Sean.." Bryna memulai. Melihat pelipis Sean yang robek dan rahangnya yang memar.

"What the hell, Bry? Apa kamu sudah gila? Kamu tidur dengan laki-laki brengsek ini?" Sean mencercanya dengan dada naik turun menahan amarah.

"Aku tidak tidur dengannya!" Bryna meneriakinya.

"Dan menurutmu aku akan percaya?" Sean balas berteriak.

"Kami tidur di kamar terpisah, Sean. Itu kenyataannya. Kamu bisa naik dan melihat sendiri kalau mau!" Itu jujur, Bryna tidak berbohong tentang itu.

"Apa yang ada dalam otakmu saat memutuskan kesini, huh? Bukannya semalam kamu bilang mau ke hotel atau penginapan? Aku memberimu izin karena aku percaya, Bry. Tapi apa ini?"

"Sean.."

Bryna sudah membuka mulut untuk menjawab, tapi Tama menyelanya.

"Dia tidak membutuhkan izin sialanmu untuk melakukan apa saja yang dia inginkan."

"Tama.." Bryna mengingatkannya untuk tidak ikut campur.

"Oh ya, dia butuh izinku! Dan aku tidak akan mengizinkan Bryna dekat-dekat denganmu!"

"Kamu tidak punya hak untuk mengatur kehidupan Bryna, bajingan!"

"Dengar, brengsek!" Sean mengarahkan jarinya pada Tama. "Kamu membawa pengaruh buruk untuk Bryna, dan aku ingin kamu menjauhinya! Clear?!"

"Aku tidak mau." Sahut Tama keras kepala.

Tama mendekat lagi, tampak murka dan siap meledak. Dan Bryna buru-buru mendorong Sean semakin menjauh.

"Sean, tolong. Jangan begini." Bryna menyela. Ia mencengkeram kemeja yang menempel di pinggang Sean dengan begitu erat. "Please, Sean, ini keputusanku." Tambahnya memelas.

Sean menunduk, menatapnya dengan tatapan terluka dan tidak percaya.

"Kamu? Memilihnya? Bryna?" Sean mendesis menakutkan.

"No, Sean. Bukan begitu maksudku." Jawab Bryna letih.

"Kita pulang dan balik ke Adelaide secepatnya kalau begitu!"

Bryna menghela nafas, menatap raut tak bisa dibantah Sean, lalu mengangguk kaku.

"Just give me a minute, Sean." Katanya pelan.

Sean menatap Bryna dari atas sampai bawah, mungkin baru menyadari bahwa baju yang melekat di tubuh Bryna bukan miliknya. Dan ini menambah kerutan tidak suka di kening Sean.

"Aku tunggu di mobil." Sahutnya dingin, lalu keluar begitu saja tanpa pamit atau mengucapkan kalimat apapun lagi.

"Aku tidak menyukainya." Ucap Tama dingin, dan Bryna baru menyadari bahwa ujung bibir Tama berdarah, dengan pipinya yang juga lebam.

"Ya, dia juga tidak menyukaimu. Cukup adil, kurasa." Sahut Bryna, melangkahkan kakinya kearah tangga.

"Dan kamu bertahan hidup bersamanya selama 4 tahun penuh?"

"Tidak perlu histeris begitu." Jawab Bryna, menoleh melewati bahunya untuk melirik Tama yang sekarang berada beberapa anak tangga dibawahnya.

"Aku akui Sean kadang menyebalkan. Tapi dia kakakku. Bagaimanapun, aku tahu dia menyayangiku, mungkin Sean hanya.."

"Dia apa?" Tama memotongnya.

"Dia menyayangiku?"

"Sebelumnya."

"Dia kakakku?"

"Dia apa?" Ulangnya.

Tama menatap Bryna tajam, seakan siap untuk menerkamnya.

"He is my brother." Kata Bryna jelas.

Tama menatapnya tak percaya dan mendengus. "Yeah. Aku percaya." Katanya, menyindir.

"Dia memang benar-benar kakakku. Kami dikandung dalam rahim yang sama, paling tidak."

Keduanya diam. Tama menatapnya dengan sungguh-sungguh, mencari kebenaran di mata Bryna.

"Jadi, ibumu.."

"Tante ayu, yeah. Itulah sebabnya ibu dan tante Ayu tidak pernah bisa akur."

Tama masih menatap Bryna, lalu mendadak mengumpat keras.

"Brengsek! Dan kamu tidak memberitahuku sebelumnya?"

"Kamu tidak bertanya, Tam. Dan apa gunanya kamu mengetahui itu? Tidak ada bedanya kukira."

"Apa gunanya? Sialan! Aku menghabiskan waktuku untuk cemburu padanya dan berpikir yang tidak-tidak tentang kalian."

Bryna tidak menyahut.

"Brengsek! Apa selama ini kamu mencoba mengelabuhiku dengan menyembunyikan status kalian?"

"Mengelabuhi? Jangan berlebihan." Bryna berbalik sepenuhnya sekarang. Menatap mata Tama yang berkilat berbahaya.

"Siapa yang menyuruhmu berpikir begitu? Apa aku pernah mengatakan kalau Sean kekasihku?"

"Tapi kamu tidak menjelaskan, sialan. Dan aku menganggap kalian mungkin berjodoh karena memiliki kemiripan satu sama lain." Tukasnya jengkel. "Benar-benar brengsek."

"Menjelaskan? Untuk apa? Keluarga kami tahu bagaimana keadaannya, dan itu sudah lebih dari cukup untukku."

"Kamu memanfaatkan ketidaktauan orang-orang sebagai perlindungan."

Bryna mengernyit, tapi Tama tidak memberinya jeda.

"Orang-orang berpikir kalian pacaran, Bry. Secara tidak langsung, kamu membuat laki-laki yang menyukaimu untuk menjauh. Mereka mundur sendiri satu persatu karena pikiran salah mereka yang memang sengaja tidak kamu luruskan."

Suara klakson mobil terdengar.

"Brengsek!" Tama mengumpat lagi.

"Aku tidak punya waktu untuk berdebat tentang ini Tam, aku harus pergi."

"Tunggu." Suara Tama menahannya. "Apa kamu benar-benar serius saat mengatakan akan kembali ke Adelaide?"

"Ya."

"Kenapa?"

"Jelas, kan? Aku tidak punya tempat disini."

"Jangan konyol. Kamu punya rumah."

"Bagaimana bisa aku menyebutnya rumah kalau orang-orang yang tinggal di dalamnya lebih suka aku tidak disana?"

"Orangtua Sean.."

"Right." Bryna menyela. "Orang tua Sean. Bukan orangtuaku. Meskipun tante Ayu ibuku, tapi aku tidak bisa tinggal dengan keluarga yang bahkan tidak memiliki kedekatan denganku."

"Kenapa harus Sean?"

"Dia satu-satunya orang yang bisa dan mau melindungiku."

"Omong kosong."

Bryna menggeleng.

"Tidak ada yang bisa merubah pikiranmu?"

Bryna mengangkat bahu. "Alasan yang satu lebih lemah dari yang lain. Aku tidak menemukan alasan yang kuat untuk tetap bertahan disini."

"Aku menyukaimu, Bry. Kurasa kamu tahu itu." Kata Tama tiba-tiba. "Apa itu tidak cukup untuk membuatmu bertahan?"

Mata keduanya bertemu, dan Bryna tidak bisa menyangkal bahwa ia merasakan jantungnya berdebar-debar sekarang.

"Ya, kamu tidak mungkin bisa tidur denganku kalau kamu tidak menyukaiku." Jawabnya kemudian. Pelan, dan tidak mengalihkan tatapannya.

Tama mengabaikannya. Dia menaiki tangga untuk berdiri sejajar dengan Bryna.

"Bertahanlah, Bry." Bisik Tama di wajahnya, lalu ia menangkupkan kedua tangannya di sisi wajah Bryna. Menahannya dan mencium Bryna dengan lembut dan hangat.

"Bertahanlah." Ulangnya, mencium Bryna lebih dalam dan memasukkan lidahnya, mencecap rasa Bryna untuk kesekian kalinya.

Mereka berciuman cukup lama, sebelum Tama menarik dirinya dan memohon dengan lembut, "Bertahanlah untukku."

•°•

Note :

Bertahanlah untuk beberapa bab lagi, gengs..
Hehee..

Thanks untuk semua vote, komen dan kesediaan meluangkan waktu untuk membaca..

😊😊😊

Regrads, ulphafa.

Continue Reading

You'll Also Like

699K 65.6K 43
Menjadi wanita lajang dengan masa depan yang gak pasti membuat orang tua Arum gigit jari. Dari dulu ia tidak pernah mengenalkan seorang lelaki pada m...
2.3M 35.1K 48
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
125K 12.6K 32
Apa ada yang lebih sesak dari kehilangan? Renjana Jusuf seorang novelis kisah cinta yang beberapa dari karyanya menjadi Best Seller. Karena memiliki...
94.3K 6.8K 33
[END] / Lengkap / Complete "I'll do my best. You can trust me Sajangnim." -Aera Jung #1 in Debut 21 Sept 2020 #1 in Halyu 5 Okt 2020 / 30 March 2021 ...