Race Of The Heart [COMP.]

By heliostellar

83.1K 10.7K 3.2K

Entah takdir apa yang digariskan langit untuk Mark, tidak mungkin takdir yang lurus-lurus saja. Karena terlib... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Epilog 1 : Aftermath
The Cousins

Chapter 13

2.7K 412 91
By heliostellar

Kendaraan beroda empat itu meluncur di kawasan perumahan Gangnam  yang selalu dibetengi tembok dan pagar-pagar tinggi. Hari masih terlalu pagi untuk orang-orang berkeliaran. Menyisakan jalanan lenggang untuk mobil itu meluncur.

Beberapa blok dan persimpangan kemudian roda-roda itu berbelok menembus pagar platinum yang menjulang tinggi. Memasuki sebuah area luas dimana mansion keluarga Lee berdiri kokoh.

Pemuda yang mengendarai mobil sport itu mendengus mengamati pemandangan yang di laluinya. Maniknya memandang hina semak-semak hydrangea yang berjajar rapi menghiasi sisi-sisi jalan yang dipoles batu. Raut wajahnya dingin ketika melewati air mancur bundar yang berada di tengah taman. Patung malaikat bersayap dengan pedang yang berjajar melingkar seolah melotot mengutuk eksistensinya dan ia tidak peduli.

Bugatti hitam itu akhirnya terparkir apik di halaman berlapis batu yang berhadapan langsung dengan pintu menjulang dari kayu oak berdaun ganda. Daun pintu dengan relief floral itu menukik ke bawah tepat saat seseorang keluar dari sisi kemudi. Mark memandang datar pada Kepala Pelayan Cho yang muncul di balik pintu.

“Direktur menunggu anda di ruangannya, Tuan Muda.”





Ada sesuatu tentang ayahnya yang membuat Mark selalu merasakan emosi yang bercampur aduk di dadanya. Apakah itu amarah, kebencian, penolakan, atau penghinaan, Mark tidak tahu pasti. Yang jelas ide berada di ruang yang sama, berbagi udara yang sama dengan laki-laki itu membuat Mark muak.

Setiap ia melihat ayahnya ia diingatkan bagaimana sebuah fantasi dan impian seorang anak kecil tentang ayahnya hancur begitu saja. Bagaimana getirnya saat Mark menyadari pikiran naif seperti memiliki keluarga sederhana yang bahagia hanya angan-angan yang menggantung terlalu tinggi di atas sana.

“Kau akhirnya datang juga. Kupikir sopan santunmu sudah jatuh terlalu jauh untuk memenuhi panggilan seorang ayah pada anaknya,” laki-laki paruh baya itu berujar.

Di singgasananya, yang Mark lihat adalah sosok bangsawan sekaligus konglomerat berhati dingin yang punya uang terlalu banyak. Mempunyai kekuasaan terlalu absolut dan melimpah hingga untuk memanggil seseorang saja ia hanya perlu menjentikkan jarinya.

Dan juga seseorang uang terlalu egois untuk dipanggil ayah.

“Yang kupenuhi panggilannya sekarang, adalah seorang Direktur perusahaan adidaya yang tidak tahu cara yang tepat untuk berbicara pada anaknya.”

Dari tempat Mark berdiri, ia dapat melihat ayahnya tengah menatap melalui mata setajam emangnya dengan binar mencela. Hembusan nafas lelah keluar dari mulutnya.

“Kau bahkan tidak memperhatikan cara bicaramu pada orang yang lebih tua.”

“Aku tidak punya banyak waktu untuk berpura-pura baik di hadapanmu. Toh, sampai kapanpun aku akan tetap menjadi anak kurang ajar yang terbuang dari keluarga ini,” kekeh Mark getir seraya menyapu pandangan pada interior ruangan itu.

Berbagai nada warna cokelat tidak memberi kesan hangat sama sekali pada ruangan ini. Bahkan rak-rak kayu yang mempertahankan warna aslinya terlihat begitu mati dan dingin. Jajaran pigura yang berderet pada papan yang terpatri di tembok membuat Mark mendecih dalam hatinya.

Berbagai potret keluarga yang terpajang terlalu palsu. Terlalu dipaksakan. Munafik.

Bagi orang lain, potret itu sangat lengkap, sangat sempurna. Kumpulan fantasi tiap-tiap orang tertoreh pada lambat-lambat ivory berwarna itu.

Bagi Mark. Potret itu cacat. Sangat.

“Aku tidak yakin kau bisa mempertahankan sikapmu itu setelah mengetahui alasanku memanggilmu kemari,” laki-laki yang duduk di balik meja itu berdiri. Menarik sebuah amplop cokelat dari salah satu laci  kabinet di belakangnya.

Mark memandang sangsi gerak-gerik Lee Jaejoong. Alisnya menukik sebelah sebelum dengan ragu-ragu duduk di sofa berlengan mengikuti instruksi ayahnya. Duduk berseberangan dengan pria itu setelah sekian tahun membuatnya bernostalgia pada waktu-waktu ketika ia harus mendapat kuliah wajib dari ayahnya.

“Jelaskan ini.”

Matanya melirik penuh tanya pada amplop folio yang disodorkan  padanya oleh tangan berhias Girard-Perregaux 1996 Skeleton. Ia menatap bergantian pada Ayahnya dan amplop itu sebelum memutuskan untuk membuka segel.

Beberapa lembar ivory 3R dengan gambar resolusi tinggi jatuh meluncur di atas meja. Tidak bisa dibilang sedikit—mungkin sekitar dua lusin gambar. Mark mematung sejenak melihat sekilas foto itu lalu mendongak menatap tajam Direktur Lee.

Sesuai dugaannya, pria itu tengah memandangnya penuh penghakiman dibalik kacamata persegi yang bertengger pada wajah tegasnya.

“Apa yang perlu kujelaskan?” ujar Mark lebih tenang dari pada dugaannya ketika ia dihadapkan dengan berbagai foto Renjun. Jelas sekali diambil tanpa sepengetahuan mahasiswa tingkat tiga itu.

“Dia pacarmu?” selidik ayahnya dengan rasa penasaran yang Mark tahu dibuat-buat. Tanpa mendengar jawaban Mark pun Direktur Lee Industries itu pasti tahu apa yang sedang terjadi.

“Kau mengirim seseorang untuk mengikutinya hanya untuk mengancamku?”

“Kau tidak menjawab pertanyaanku.”

“Dari mana kau mendapat gambar ini?”

Respon keduanya sama-sama keras kepala dan semaunya sendiri. Kalau seperti ini, Mark jadi merasa benar-benar seperti seorang anak dari Lee Jaejoong.

“Seorang wartawan menghubungi departemen pers dan publikasi Lee Industries  satu minggu sebelumnya. Dua hari kemudian ia datang membawa buah tangan yang sekarang ada di genggamanmu,” ujarnya kelewat kalem. (Mark berekspektasi dirinya sudah dimaki-maki pada detik ini)

Matanya kembali menelusuri amplop coklat di tangannya. Ia membolak-balik kertas bertekstur dan tipis tersebut sebelum membaca sebuah tulisan dengan tinta indigo di pojok kanan.

“Dionysus Media...” ejanya lirih. Matanya mengeras melihat kata pertama sebuah perusahaan pemberitaan dan majalah terkenal itu.

“Jadi benar dia pacarmu?”

“Bisa jadi.”

Kalau saja Huang Renjun masih terjebak dengan masa lalunya.

“Jangan bercanda, Lee Minhyung,” tegur Jaejoong tajam. Matanya mengernyit tidak suka melihat Mark yang sama sekali tidak tergertak bahkan setelah ia memanggil nama koreanya. Prmuda Lee itu malah sibuk meneliti foto-foto hasil jepretan paparazi.

“Aku sedang tidak dalam mood untuk bergurau juga,” balas Mark pelan. Ia kini menatap lamat-lamat pada satu foto yang mengambil Mark dan Renjun sebagai fokus utama dengan pemandangan sungai Han dan kerlap-kerlip lampu perkotaan Seoul sebagai latarnya.

“Apakah ini bentuk pemberontakan yang lain?” celetuk Jaejoong setelah menyisir ekspresi Mark yang jarang-jarang terlihat tenang saat berada di sekitarnya.

“Pemberontakan?” Mark mendongakan kepalanya.

Lee Jaejoong menyandarkan tubuhnya ke belakang. Dengan satu tangan terkepal menumpu dagunya  dan kaki yang disilangkan, ia tersenyum tipis pada putra sulungnya yang keras kepala.

“Aku tahu siapa Huang Renjun. Dan kalau ini adalah salah satu bentuk pembangkangan dan pembalasan untuk Jeno ataupun padaku, kau hanya akan berakhir melukainya,” tuturnya pelan, hampir terdengar simpatik. Hampir.

“Jangan kau pikir aku tidak mengenalmu. Faktanya—dan realita yang tidak bisa diubah—kau adalah putraku. Hentikan permainanmu sebelum semuanya memburuk. Kau  lebih dari siapapun, tahu benar kecenderunganmu yang selalu melukai orang-orang di dekatmu.”

Kesunyian memenuhi ruangan berbentuk setengah lingkaran itu. Buku-buku yang tertata menjulang ke langit-langit seperti menahan nafas menyaksikan dua insan yang sedang berdiskusi.

“Kalian, memang tidak mengenalku sama sekali,” Mark berujar lambat-lambat. Matanya penuh ketidakpercayaan.

“Kau dan kakek mungkin boleh mengatur hidupku sebagai robot untuk menjalankan Lee Industries. Tapi punya hak apa kalian menilai sentimen yang kumiliki terhadap Renjun?” lanjutnya diiringi senyum miring yang makin lama makin lebar.

Bagaimana dengan perasaanku?

“Ayah sendiri adalah orang yang membuatku kehilangan sosok Ibu. Punya hak apa berbicara tentang aku yang akan menghancurkan hidup seseorang?”

Kalimat terakhir Mark bagai menarik pelatuk tak kasat mata. Bak granat yang ditarik pemicunya. Postur santai yang ditampilkan Lee Jaejoong sirna seketika. Digantikan tubuh yang menegang dengan satu tangan mencengkeram lengan sofa. Matanya sekeras berlian dan menyorot dingin.

“Jangan ungkit-ungkit tentang wanita itu lagi, kau tidak tahu apa-apa.”

Nada bicaranya sedingin es dan segersang padang pasir. Serak dan tertahan oleh emosi yang meluap-luap.

“Aku—”

“Jeno baru saja bertunangan, keadaan perusahaan sedang stabil begitu juga penyatuan antara Lee Industries dan Apollo Hotel. Kuharap kau tidak mengacaukannya hanya karena permainan kecilmu. Ingat untuk apa kau kembali ke Korea, Mark Lee.”

Mendengar kalimat bernada absolut tanpa pembantaian itu membuat Mark mendengus. Kemudian tertawa hambar dengan raut mencemooh. Perlahan ia berdiri sambil merapikan mantelnya. Ia tidak bodoh, kalimat tadi juga berarti 'keluar dari ruangan ini sekarang'.

“Kalian memang benar-benar tidak mengenalku,” Mark mengulang kata-katanya lagi penuh penekanan.

Putra sulung keluarga Lee itu melangkah menuju pintu, tanpa membalik badannya ia berkata sarat akan sarkasme. “Sayang sekali hanya foto itu yang ia kirim. Kalau kalian meminta lebih, akan ada tontonan yang lebih menarik.”





Berjalan di lorong rumah ini tidak pernah terasa sangat menyesakkan sebelumnya.  Pembicaraan dengan ayahnya tadi meninggalkan rasa pahit di ujung tenggorokannya dan membuat kepalanya keruh.

Ia berjalan dengan langkah cepat dan berapi-api di sepanjang lorong menyeberangi ruang makan menuju pintu belakang. Berjalan-jalan di taman dan mencari ketenangan di sana mungkin dapat meredakan amarah yang sejak tadi menggerogoti hatinya.

Langkahnya terputus di jalan setapak beberapa meter dari mansion. Berjalan berlawanan arah dengannya adalah sosok yang tidak asing bagi Mark. Ia menundukkan kepala singkat menyapa laki-laki berjas putih yang menenteng tas hitam di tangannya. Mark mungkin mempunyai sikap yang dingin dan kurang ajar tapi ia selalu segan tiap melihat senyum hampir tidak duniawi yang selalu orang ini setel.

“Dokter Qian,” dadanya singkat.

“Tidak perlu seformal itu padaku, Tuan Muda Lee.”

Mark mendengus pelan. “Aku juga dapat mengatakan hal yang sama padamu, Dokter.”

Kun terkekeh pelan mendengar jawaban Mark. Tawanya mengingatkan pemuda itu akan musim semi. Sangat ringan, menyegarkan. Hampir seperti malaikat—sangat tidak duniawi. Qian Kun mungkin orang paling murni dan anggun yang pernah Mark temui. Setiap ia berjalan langkahnya sangat ringan, seperti melayang. Senyum tidak pernah absen dari wajahnya dan kalau Mark harus melukiskan seorang Qian Kun di atas kanvas, ia akan menyematkan Halo di atas kepalanya.

“Memeriksa kakek?”

“Seperti biasa. Beliau sedang bersantai di paviliun sekarang.”

Mark berpikir sejenak sebelum kembali berbicara. “Bagaimana—bagaimana keadaannya?”

Mark ingin menampar dirinya sendiri melihat senyum lebar Kun. Untuk apa juga dia bertanya? Terdengar aneh sekali mengingat sepanjang hidupnya ia selalu bermusuhan dengan pria tua itu.

“Kau bisa tanyakan sendiri, mungkin lebih baik begitu,” jawab Kun sambil menoleh ke arah  belakang.

Suasana canggung mendadak mengelilingi dua laki-laki yang berdiri di tengah jalan setapak. Walau masih tersenyum, Mark tahu Kun sedang ragu-ragu dan segan untuk mengatakan sesuatu. Tidak jauh beda dengan Mark yang juga mempertimbangkan untuk menanyakan—atau lebih tepatnya membuat pengakuan.

“Renjun—”

“Renjun—”

Mereka mengatakannya bersamaan. Terlihat konyol saat mereka bungkam serba salah tidak tahu harus memulai dari mana. Nyatanya hal yang akan mereka ungkapkan melibatkan orang yang sama.

“Renjun ada di apartemenku di Daechi-dong semalam. Aku mempertimbangkan untuk membawanya ke Seocho tapi mengingat keadaannya sepertinya bukan hanya Renjun yang akan diganyang oleh Sicheng.”

Mendengar pengakuan Mark yang cenderung blak-blak an membuat Kun agak tertegun. Namun ia merasa geli kemudian. Tingkah Mark kadang-kadang membuat orang di sekitarnya kehabisan kata-kata.

“Apa dia menyusahkanmu?”

“Hah—maksudku, tidak,” balas Mark cepat. “Dia mabuk berat tapi sudah baik-baik saja saat tadi pagi kutinggal bersama Lucas.”

“Begitu ya... Well, terima kasih sudah menampungnya. Kalau begitu aku permisi.”

Kun sudah sepuluh langkah di belakangnya ketika Mark menyadari sesuatu yang mengganjal pikirannya sejak tadi.

“Kau tidak menyumpahiku atau mengutukku atau bagaimana? Secara teknis aku menculiknya di bawah pengaruh alkohol!” Mark setengah berteriak pada punggung Kun yang membelakanginya.

Di luar dugaannya, Kun hanya berbalik sejenak dan tersenyum. “Kurasa kau sudah terlalu banyak mendengarnya sampai hafal, Mark Lee. Sampai jumpa!”

Mark Lee, huh?





Lucas menatap pemandangan di hadapannya dengan bosan. Sudah setengah jam sejak dua gumpalan daging ini bergulat di lantai kayu yang dilapisi karpet tipis. Makian dan geraman satu dua kali terdengar bergantian dari mulut mereka.

Diliriknya satu manusia lagi yang juga berada di ruangan itu. Duduk menghadap meja kerjanya, Sicheng tengah sibuk menatap layar laptop setelah puas memberi wejangan pada Renjun.

( “Dasar berandal, beraninya kau tidur si luar tanpa seizinku!?”

“Gege, aku bahkan tidak tahu kalau aku tidur di apartemen orang lain. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caraku ke sana—ADUH!!”

Renjun berusaha mati-matian antara menjelaskan keadaannya—sekaligus mencari pembelaan—dan menghindar dari serangan bantal serta rincian leher dari Sicheng.

“Si bodoh Mark itu yang membawaku ke sana, idiot. Kau pikir bagaimana lagi? Itu apartemennya.”

“Mana kutahu, aku kan tidak sadar.”

Renjun menyesali kata-katanya saat rincian di lehernya makin erat. Ia bisa mati kalau begini caranya. Tapi Sicheng mana peduli.

“Uhukk—lepas, kkhh.”

“Itu dia, adikku yang manis tapi bodoh, kenapa juga kau ceroboh minum banyak alkohol kalau tahu toleransinya rendah!? Kau memang sengaja cari masalah ya!?”

Renjun mengeluarkan suara seperti kucing tercekik sembari meminta Sicheng untuk melepaskannya. Yang berakhir dengan Sicheng mengabaikan permintaannya dan terus meneriakan wejangan tepat di samping telinga Renjun yang mulai berdengung.

Setelah hampir membuat Renjun sekarat, barulah Sicheng melepaskan beragamnya pada Renjun. Lucas menatap nanar pada wajah Renjun yang sesikit memerah dan nafasnya tersengal.

“Oh, dan kau punya tamu, by the way.”

Renjun hanya mendelik sengit pada Sicheng—masih dengan tangan mengelus lehernya.

“Halo, Injunie...”

Tubuh Renjun membeku sesaat mendengar bariton rendah yang sangat ia kenal. Yang berhari-hari ini tidak ia dengar secara langsung karena si pemilik suara memilih untuk menghindarinya. Entah karena alasan apa.

Jaemin?”

Laki-laki jangkung itu tersenyum canggung sambil menggaruk tengkuknya yabg tidak gatal.

“Jaemin..” Renjun membeo dengan tampang bego—Lucas nyaris mengejeknya kalau tidak tahu situasi.

“Well, aku hanya ingin melihat keadaanmu. Lama tidak bertemu ya?”

Lama tidak bertemu.

Lama tidak—

Bugh!

Bola mata Lucas nyaris keluar dari soket melihat bayangan Renjun yang melesat cepat menubruk tubuh Jaemin hingga terkapar di lantai.

“Brengsek! Kau pikir salah siapa berhari-hari ini kita tidak bertemu!?”

“Renjun—tunggu dulu.”

Bukannya mendengarkan, Renjun kini sibuk menghujani tubuh Jaemin dengan pukulan-pukulan kecil dari kepalan tangannya.

“Kau pikir aku tidak khawatir? Punya salah apa aku!? Kau—aaaarrgh!”

“Astaga! Tenang dulu—” )

Dan hal itu berlangsung sampai saat ini. Lucas sama sekali tidak berniat melerai dua laki-laki beranjak dewasa yang terlihat konyol bergulat amatir di atas lantai. Ia mencibir.

“Mau sampai kapan kalian main Sumo jadi-jadian seperti itu?”

Cibiran Lucas yang terdengar malas menghentikan sengketa dua makhluk itu. Dengan pakaian dan rambut acak-acakan, mereka perlahan berdiri dan berdehem pelan.

“Sampai sekarang,” jawab Renjun ketus mengundang tawa dibuat-buat dari Lucas.

“Hahaha, lucu sekali. Sudah selesai? Aku bisa pergi tanpa kalian mencoba membunuh satu sama lain kan?”

“Kenapa? Kau mau menemui anak pembawa acara itu? Atau pelayan bar yang kemarin malam kau kunjungi?” kali ini Jaemin yang menanggapi tak kalah ketus.

Lucas ternganga melihat keduanya yang kini menyudutkannya. Bukankah mereka sedang bersitegang tidak ada semenit yang lalu?

“Wah, wah, kalian memang perlu menyelesaikan apapun masalah yabg terjadi—apapun. Dan berhentilah menyudutkanku dan bertingkah seperti wanita sedang PMS begitu!”

PMS!? HUH? CARI MATI YA!?” raung Renjun tidak terima pada Lucas yang sudah lari menuju mobilnya.

Dari sampingnya, Renjun mendengar Jaemin berdehem meminta perhatiannya. Ia melirik sinis dan menyilangkan tangan di hadapannya seraya menghadap Jaemin.

“Apa?” ujarnya tenang namun sengak.

“Aku perlu meluruskan sesuatu.”

Renjun memutar bola matanya malas. Ia ingin mengumpat Jaemin dan membuatnya menderita sedikit lagi kalau saja Sicheng tidak menegur mereka berdua.

“Selesaikan baik-baik. Kalau kalian perlu tempat untuk berkelahi, pilih kebun belakang. Aku tidak mau ada perabot pecah di dalam rumah,” celetuknya tanpa mengalihkan pandangan dari layar persegi yang menyala redup.

Apanya yang selesaikan baik-baik kalau begitu? Renjun mencibir dalam hati.

Hembusan nafas pelan keluar dari mulut Renjun, seiring dengan perangainya yang melunak. Staturnya sudah tidak selalu tadi, tangannya menggantung di sisi-sisinya dan matanya memandang Jaemin sendu.

“Kita bicara di teras belakang.”


.
.
.

A/N: apa kabar kalian semua wkwk adakah yang menunggu cerita ini 😂😂

Anyway ini adalah chap 13, semoga tidak membosankan :"

Kalau ada kritik dan saran boleh banget hehehehe

Anyway enjoy the Chapter, selamat membaca!

See you next chap^^ 안녕! 🌻🌻

Continue Reading

You'll Also Like

328K 9.8K 105
Daphne Bridgerton might have been the 1813 debutant diamond, but she wasn't the only miss to stand out that season. Behind her was a close second, he...
185K 5K 42
" She is my wife, stay away from her!" " Keep trying she will remain mine. " " Show me your scars, I want to see how many times you needed...
147K 4.9K 100
'How I obsessively adore you' ˏˋ°‒*β€βž· startedβž›30/03/2024 finishedβž› ˏˋ°‒*β€βž· cover by me x
620K 18.7K 75
Hiraeth - A homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost pla...