Bitter-Sweet Wedding ✅

بواسطة chocodelette

6.6M 200K 4.2K

"Kalian menikah saja?" kata mamanya Tristan tiba-tiba setelah sudah selesai makan. "HAH?!" Luna mendongak. "... المزيد

P R O L O G
Unexpected Dinner
Confused
Wedding Preparation
Day Minus 1
The Day (part 1)
The Day (part 2)
The Feeling
Sick....
Concert
Pregnant??!!
Inheritance
Tears
Merlyn?!?!
WHAT HAPPENED?!?!
It's all about: LUNA
Found
Revealed
Unrequited
Tristan's Birthday
Special Gift
Welcome Home, Baby....
Spoiled
sweeter than chocolate milk
Epilogue

Eviction

126K 5.2K 104
بواسطة chocodelette

Bulan pertama....

"Mah, ini Tristan dateng sama Merlyn" kata Tristan disamping Merlyn.

Sampai detik ini Karin masih terbaring lemah, belum ada tanda-tanda dia akan sadar. Bahkan, keadaannya semakin lemah.

Detak jantungnya suka kadang tidak berdetak secara normal. Kadang melemah, kadang berdetak begitu cepat. Tidak stabil.

***

Bulan kedua....

"Mah, cepet sembuh ya. Murid-murid di Cendrawasih tadi doa bersama buat kesembuhan mama" kata Tristan dengan air matanya.

Kali ini ia tidak bersama dengan Merlyn, karena Merlyn ada meeting dengan client pada jam makan siang.

Detik ini pun, Karin masih terbaring dengan mata tertutup. Detak jantungnya belakangan ini stabil, dan nafasnya pun teratur.

Namun masih belum ada tanda-tanda ia akan sadarkan diri juga.

***

Bulan Ketiga....

"Mah, cepet bangun dong" isak Vera. "Mama harus cerita ke kita semua kenapa mama kaya gini" isaknya lagi.

Sudah 3 bulan Karin terbaring di ranjang yang sama, detak jantungnya sekarang malah seperti bulan pertama. Tidak stabil.

Kemarin jarinya bergerak, tapi hanya sebentar setelah itu diam kembali. Dan dokter bilang, Karin baru melewati masa kritisnya, namun sepertinya Karin masih betah 'disana'.

Ia belum mempunyai tanda-tanda untuk tersadar dari tidur panjangnya.

***

Bulan keempat....

"Mah, cepet sembuh ya, Merlyn sedih ngeliat mama begini" kata gadis disebelahku. Merlyn. Ia memang memanggil mamaku dengan sebutan 'mama' juga, karena dia yatim-piatu sejak masih umur 5 tahun. Ia tumbuh dan besar di panti asuhan. Tapi, saat ia besar, ia bertemu dengan keluarganya yang selama ini tinggal di Amerika.

Sudah sejak 10 menit yang lalu ia sampai di kamar mamaku ini. Semenjak 4 bulan yang lalu, berita mama terbaring di rumah sakit masuk di TV bisnis, karena aku yang notabenenya adalah seorang CEO Ardinata Group ditonton oleh Merlyn, hampir setiap minggu Merlyn datang untuk menjenguk mama.

Ia tidak pernah datang sendiri, ia selalu menelponku terlebih dahulu. Jadi aku selalu janjian bertemu di depan rumah sakit, ini.

Sudah sejak 4 bulan yang lalu juga aku tidak bertemu dengan Luna, ia menghilang begitu saja. Nomor telponnya pun sudah tidak aktif lagi.

"Tan, kamu yang sabar ya, aku tau kamu pasti sedih karena mama kamu kaya gini karena Luna" katanya sambil menatapku sedih.

Aku menatap lurus ke Elektrokardiogram yang tersambung ke tubuh mama. Selalu. Setiap Merlyn datang, detak jantung mama selalu saja melemah. Tapi entah kenapa, kalau siapapun menyebutkan nama 'Luna' detak jantung mama berdetak secara normal lagi. Seakan-akan mama mendapat ketenangan saat nama keramat itu disebut.

Beberapa minggu yang lalu, aku juga bercerita tentang Luna kepada mama, aku ingin memancing apa reaksi yang akan tubuh mama berikan.

Dan kalian tau apa yang terjadi?

Air mata disudut mata mama yang tertutup mengalir. Mama menangis.

Waktu itu kupanggil dokter yang menangani mama, dan saat itu dokter bilang kalau aku sudah berhasil menyentuh sisi emosional mama. Dan itu artinya positif.

Entah kenapa, aku memiliki keyakinan bukan Luna yang menyebabkan mama seperti ini. Tapi, dimana Luna?

Aku tak mungkin memperjuangkan pendapatku, sedangkan ketiga kakakku sudah yakin 100% kalau Luna yang melakukan hal keji ini sampai membuat mama terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

"Lyn, kamu bisa pulang dulu gak? Aku butuh istirahat"

Selalu begini. Setiap Merlyn menjenguk mama, ia selalu mengucapkan hal yang sama, bagaikan rutinitasnya. 'Tan, kamu yang sabar ya, aku tau kamu pasti sedih karena mama kamu kaya gini karena Luna'

Dan jawabanku selalu sama, mengusirnya secara halus dengan alasan, aku butuh istirahat.

"Yaudah aku pulang dulu ya" katanya padaku. "Ma, cepet sembuh ya" kata Merlyn sambil tersenyum kepada mama.

Senyumnya begitu aneh. Seperti ada rasa kecewa, tapi aku tak mengerti kenapa.

Setelah Merlyn pergi, aku duduk disamping Mama. Kupegang tangan mama, kupandangi wajah pucat mama, yang sudah berkerut dibeberapa bagian.

"Mah, Tristan yakin bukan Luna yang ngelakuin ini semua ke mama. Mama harus cepet sadar, supaya cepet kebongkar" air mataku menetes satu per satu. "Mama cepet sembuh ya" kucium pipi mama, dan kurasakan basah didaerah pipi mamaku.

Ia menangis lagi.

***

Tristan pergi ke kantornya pagi hari. Belakangan ini ia ada masalah dengan salah satu daerah pemukiman yang sudah menjadi sasaran untuk dijadikan apartement olehnya.

Disana terletak beberapa kampung yang berhimpitan, dan rumah-rumah kecil. Tristan pernah datang ke daerah itu dan dia cukup sedih melihat keadaanya disana.

Kotor, bau, rumahnya juga terlihat begitu rapuh.

Sayang sekali rasanya kalau ibu kota yang sudah serba modern ini masih memiliki bangunan tua seperti itu. Mending kalau bangunan tua itu bersejarah, ini enggak?

Ia melewati meja kerja Raya, dan sekretarisnya itu belum datang. Wajar, ini memang masih jam 07:21 WIB, sedangkan jam kantor baru di mulai pada jam 08.00 WIB.

Ia langsung masuk ke ruangannya, dan duduk di kursi kebesarannya. Ia menatap lurus ke depan, dan disanalah ada sebingkai besar foto orang yang ia rindukan. Sangat-sangat rindukan. Entah mengapa...

Vera sudah berulang kali mengatakan kalau wanita itulah yang berusaha membunuh mamanya, tapi ia yakin kalau itu tidak benar. Ia yakin 100%

Disana terpampang foto dia dan Luna saat tertawa bersama di hari ulang tahunnya. 2 bulan setelah mereka. Ia begitu manis.

Tanpa Tristan inginkan, setetes air mata turun.

(Siang harinya)

"Pak Tristan, Pak Yudha ingin bertemu" kata Raya disambungan telpon.

"Suruh dia masuk sekarang" katanya.

Tok tok tok. Yudha mengetuk pintu ruangan bosnya itu. Walaupun sudah mendapat ijin dari bosnya, tapi tetap saja harus mengetuk ruangan terlebih dahulu.

"Masuk"

Yudha membuka pintu itu, dan tersenyum ke arah bosnya. Tristan. Ia berjalan ke depan meja Tristan, tanpa berniat untuk duduk, tanpa disuruh oleh Tristan. Ia tau sopan santun.

"Duduk" perintah Tristan, dan Yudha langsung duduk.

"Bagaimana? Apa ada perkembangan?" tanya Tristan langsung.

"Ya begitu, Pak. Bapak bisa lihat sendiri" jawab Yudha sambil menyerahkan sebuah amplop coklat.

Tristan membaca itu dengan perlahan, membaca setiap detail dari laporan yang ada ditangannya kini. Kata per kata ia cerna dengan baik.

Dahinya mengernyit bingung.

"Jadi masih ada satu kampung yang belum setuju, meskipun setiap kepala keluarga di beri uang ganti 10 juta?" Tristan sedikit emosi.

"Iya, Pak, mereka yang dari awal menentang penggusuran ini" jawab Yudha kalem.

"Keras kepala!" Ucap Tristan geram. "Kita kesana sekarang!"

Dan Yudha hanya mengangguk patuh.

***

Tristan sampai di kampung itu, dengan keadaan yang sudah sangat ramai. Segerembolan orang sudah berdiri disana, bahkan ada yang naik ke atas mobil angkot dengan membawa kertas ataupun kain yang bertuliskan penolakan.

Rata-rata isinya sama, Kami tolak penggusuran! Ini tanah kami, ini rumah kami.

Ya, ya, ya, tapi mereka lupa kalau tanah ini sudah ia beli sekitar sebulan yang lalu. Bahkan dengan berbaik hati, Tristan juga akan memberi uang ganti rugi bagi setiap rumah tangga.

Tapi mereka masih saja menolak.

Ini suatu pekerjaan yang sudah biasa untuk Tristan, tapi biasanya tak sesulit ini. Biasanya ia hanya mengganti rugi setiap kepala rumah tangga dan masalah akan beres. Toh, surat tanah sudah menjadi miliknya.

Tristan turun dari mobil kantornya, dengan jas hitam yang sudah ia lepas. Kemeja biru laut digulung setengah lengan dan dasi yang juga sudah ia longgarkan. Menambah kesan bad boy pada dirinya, walaupun ia bukan bad boy.

Beberapa remaja yang baru pulang sekolah dan kuliah melihatnya dengan tatapan memuja. Membuatnya mengingat saat pertama kali ia menjemput Luna di kampusnya.

Bukannya ia tidak sadar akan tatapan memuja itu, ia sudah biasa mendapatkannya. Sampai-sampai ia bosan.

"Kami tolak penggusuran!" teriak beberapa ibu yang sedang memegang wajan dan sendok penggorengan, atau spatula.

"Tenang semua tenang" kata seorang bapak yang kutaksir umurnya sudah lebih dari setengah abad. "Kita sudah seharusnya pindah dari daerah ini, ini bukan tanah kita lagi"

"Gak bisa gitu dong Pak RT, dari saya lahir sampe saya punya anak saya tinggal disini" jawabnya.

Aku mengambil alih semuanya dengan sebuah deheman keras. Dan sedetik, mereka langsung terdiam. "Maaf ya ibu-bu, tanah ini udah saya beli"

"KAMI GAK TERIMA!"

Aku mengambil nafas mencoba bersabar. Barusan, ada yang menyita perhatianku. Ada ibu-ibu muda dengan perut yang sedikit buncit. Menatapku dengan pandangan sendunya.

Entah kenapa, aku jadi mengingat Luna. Apa kabar dia?

Terakhir, dia ada tanda-tanda hamil kan? Kalau benar ia waktu itu hamil, mungkin perutnya sudah sebesar ibu muda diantara kerumunan di depanku ini.

"Oke, oke," kataku meredakan keriuhan dihadapanku. "Saya akan memberi waktu dua sampai tiga bulan, kalau sampai kampung ini belum kosong...." Aku menarik nafas sejenak. ".... Saya akan langsung mengirm bulldozer ke kampung ini" kataku dan langsung kudengar riuh resah dari mereka.

Aku tak peduli.

Kurasa, ibu hamil itu kandungannya sudah cukup besar melihat perut buncitnya. Kuberikan waktu selama itu karena aku kasian pada ibu hamil tersebut kalau harus pindah atau kugusur secara paksa di keadaannya yang seperti itu.

Aku diikuti Yudha melangkahkan kaki menuju mobil kantor yang terparkir tak jauh dari tempat kuberdiri tadi. Sebelumnya, aku melihat ibu muda itu tersenyum dan mengatakan 'terimakasih' tanpa suara. Hanya bibirnya saja yang bergerak.

Aku jadi rindu Luna. Dimana dia?

Setelah aku sampai mobil, mobil ini terasa begitu sepi. Biasanya kalau Luna disampingku, ia akan mengoceh sampai kurasa kalau diketik bisa dijadikan sebuah novel setiap harinya, walaupun aku yakin tak akan ada yang membeli. Tapi aku sungguh. Dia terlalu cerewet.

Tapi dari dulu, itulah yang kusuka. Dan itulah yang sekarang aku rindukan. Ocehan tak pentingnya. Manjanya. Ngambeknya. Senyumnya. Tawanya. Pelukannya saat tidur. Masakannya. Dan bahkan, dengkuran halusnya pun kurindukan. Oh tak lupa, wangi strawberry ciri khasnya.

"Pak"

"Kenapa, Yud?" tanyaku langsung.

"Saya mohon maaf Pak, pencarian Bu Luna sampai sekarang belum ada perkembangan" jawabnya dengan sedikit lesuh. Aku pun kecewa mendengarnya.

Aku sudah menyuruh Yudha, dan semua anak buahnya yang bagaikan mata-mata yang biasanya dengan mudah mencari tau keberadaan seseorang.

Bahkan, dulu ada yang korupsi uang pembangunan saja, bisa dengan mudahnya mereka seret ke ruanganku.

Dan lagi, aku sudah mengerahkan polisi untuk mencarinya, tapi sampai detik ini mereka belum mendapat hasil yang benar. Dulu sudah ada tempat yang diberitau polisi, tapi sayang, saat aku kesana tempat itu adalah rumah tua. Kosong.

"Gitu ya?" gumamku. "Yaudah kalo ada info lagi kasih tau saya"

Aku kecewa. Sangat kecewa, tapi mau bagaimana?

=====

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

1.5M 50.8K 21
Farah adalah gadis yang sangat beruntung-wajah yang jelita, kekayaan yang dimiliki keluarganya, dan laki-laki yang menginginkannya ke mana pun dia pe...
1.2M 103K 53
📍SEQUEL OF SO I MARRIED A FAMOUS ACTOR?📍 Punya suami pengertian, mertua yang baik, keluarga suportif serta sahabat yang selalu ada jelas adalah imp...
2.6M 318K 79
Menjadi Karyawan Pindahan, di kota yang masih asing dan lingkungan yang belum pernah aku datangi membuat aku tidak nyaman. Apalagi aku dianggap seba...
1.1M 109K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...