Seruntulan

By backpankers

370 3 1

Gerry dan Jenny adalah dua traveler yang memiliki beragam perbedaan. Gerry yang berasal dari Indonesia sement... More

Berjumpa Di Surabaya
Menuju Desa Cemoro Lawang
Memeluk Gunung Bromo
Dua Mata Air Dalam Satu Sungai
Kesegaran Alami Air Terjun Triban
Lembayung Senja Di Bukit Bentar
Menuju Kota Malang
Melewati Malam Di Pantai Ngliyep
Menuju Sumbermanjing
Menyusuri Tiga Pantai
Senja Di Pantai Goa Cina
Melenggak Di Kampung Warna-Warni
Senja Yang Terlewati Di Gunung Banyak
Sunrise Di Gunung Banyak
Kesegaran Air Sumber Pitu Pujon
7 Jam Menuju Yogyakarta
Eksplorasi Wilayah Bantul

Jejak Terakhir Di Gili Ketapang

29 0 0
By backpankers

Pada pagi hari berikutnya, Gerry terbangun dari tidurnya dan melihat Jenny yang lagi berdiri di sudut ruangan, dekat meja sambil memegang cermin kecil sedang memoles-moles wajahnya dengan krim pelembab.

Gerry beranjak dari kasur, mengambil perlengkapan mandi. Setelah itu, ia berjalan masuk ke kamar mandi untuk berbilas diri. Dan beberapa menit kemudian, ia keluar dan mulai packing. Sementara itu, ia hanya membawa beberapa barang penting yang dimasukkan ke dalam dry bag.

Usai merias wajah, Jenny membungkus pakaian ganti serta perlengkapan mandinya ke dalam plastik lalu dimasukkan ke dalam dry bag agar menjadi satu. Setelah itu, mereka keluar kamar sambil membawa ransel berjalan turun ke bawah melalui anak tangga menuju ruangan resepsionis.

Saat mereka sudah berada di depan pintu ruangan resepsionis, Gerry menyapa, "Selamat pagi, pak."

"Pagi, mas," sahut Pak Iwan yang sedang duduk. "Silahkan masuk," tambahnya.

Mereka pun langsung masuk ke dalam ruangan, lalu Gerry berkata, "Kami mau check out, pak, tapi sebelumnya kami mau ke Gili Ketapang dulu." Pak Iwan hanya duduk mendengarkan. "Boleh titip ransel disini?," tanya Gerry, sementara Jenny hanya berdiri diam.

"Kenapa tidak taruh di kamar saja, mas?," Pak Iwan balik bertanya.

"Tidak enak, pak, nanti ada tamu lain yang mau check in, jadi lebih baik titip di sini saja," jawab Gerry.

"Oh, boleh, mas, taruh saja di sini," ujar Pak Iwan sambil menunjuk ruang kosong yang ada di belakang mejanya. Mereka langsung menaruh ranselnya di tempat tersebut.

"Terima kasih, ya, pak," ujar Gerry.

"Iya, mas," sahut Pak Iwan.

Setelah itu, mereka keluar dari ruangan resepsionis dan berjalan beberapa langkah lalu menaiki sepeda motor. Gerry menaruh dry bag di ruang depan kemudian menyalakan mesin sesaat.

Ia pun memberikan ponselnya kepada Jenny sebagai navigator dengan mengikuti rute tang tertera di Gmap menuju Pelabuhan Tembaga yang berjarak tiga kilometer.

"Kamu sudah siap?," tanya Gerry sambil sedikit menoleh ke belakang.

"Iya," jawab Jenny yang duduk di belakangnya.

Lantas Gerry melajukan sepeda motornya perlahan-lahan keluar dari parkiran melewati jalan perumahan hingga ke ruas jalan besar yang sangat lengang dan tidak terlalu ramai.

Dan sesampainya di depan pintu masuk pelabuhan yang tertutup oleh portal besi, salah satu petugas yang berjaga langsung berdiri dan menghentikannya lalu bertanya, "Mau kemana, mas?," dengan nada tegas.

"Mau ke Gili Ketapang, pak," jawab Gerry sambil duduk di atas sepeda motor dengan mesin yang masih menyala.

"Sudah dapat operator turnya?," tanya petugas tersebut.

"Sudah, pak, ini sudah ditunggu," jawab Gerry.

"Kalau begitu, bayar retribusi pelabuhan dulu, mas," ujar petugas tersebut sambil memberikan selembar tiket retribusi.

"Berapa, pak?," tanya Gerry.

"Dua ribu, mas," jawabnya.

Lalu Gerry membayarnya. Setelah itu, portal besi di buka dan petugas tersebut kembali berkata, "Ikuti jalan ini saja sampai di parkiran."

"Terima kasih, pak," ujar Gerry sambil melajukan kembali sepeda motor masuk ke dalam pelabuhan.

Sesampainya di parkiran sepeda motor yang terbuat dari bambu, beratapkan ijuk dengan lantai yang berpasir. Gerry memarkirkan sepeda motornya di antara himpitan sepeda motor lainnya.

Setelah itu, mereka turun dan berjalan beberapa langkah lalu Gerry meminta ponselnya yang di pegang Jenny. Kemudian ia menghubungi Agung untuk memberitahu jika sudah sampai di Pelabuhan Tembaga.

Namun Agung tidak ada di Pelabuhan Tembaga lalu menyuruhnya untuk menghubungi rekannya yang bernama Arif yang sudah menunggu sedari tadi. Agung pun memberikan nomor kontaknya.

Gerry langsung menghubungi Arif. Dan di antara keramaian orang-orang yang sedang berdiri dan duduk, Arif langsung berdiri sambil mengangkat tangannya di salah satu warung yang ada di ujung.

Setelah melihatnya, mereka berjalan menghampiri Arif kemudian saling bersalaman. Setelah itu, mereka duduk bersama di sebuah warung di antara keramaian sambil menunggu kedatangan rombongan lain.

"Kira-kira berangkat jam berapa mas?", tanya Gerry.

"Sekitar jam sembilan, mas, sambil menunggu rombongan yang lain datang," jawab Arif.

"Rombongan itu sudah dimana?," tanya Gerry.

"Sedang dalam perjalanan," jawab Arif.

Kemudian Gerry melihat jam dari ponselnya yang menunjukkan baru jam delapan, ia pun berkata, "Kalau begitu, kami mau makan dulu."

"Silahkan, mas, makan dulu saja," sahut Arif.

Lantas Gerry menoleh ke arah Jenny yang duduk diam di sebelahnya sambil berkata, "Jenny, kita cari makan dulu."

"Makan dimana?," tanya Jenny.

"Ya, di sekitar warung-warung yang ada di sini," jawab Gerry. Lalu mereka berdiri dan berjalan.

Namun beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba datang salah satu anak muda yang menghampirinya sambil berkata, "Mas, sebentar, mas!."

Mereka pun berhenti, lalu Gerry bertanya, "Ada apa, mas?."

"Pakai ini, mas!." jawabnya sambil memberikan bungkusan plastik putih yang berisikan sehelai kain.

"Maksudnya apa, nih?" tanya Gerry yang merasa bingung saat berhadapan dengan anak muda tersebut. Lalu Arif yang sedang duduk dan melihat hal itu langsung datang menghampirinya.

"Maaf, mas, temannya dipakaikan kain ini untuk menghormati yang lain, tapi nanti saja pas mau berangkat," ujar Arif menjelaskan.

"Tapi ini beli atau sewa?", tanya Gerry memastikan. Sementara Jenny hanya berdiri diam di sampingnya.

"Gratis, mas," jawab Arif.

"Ooh, oke, maaf sebelumnya, ya, mas,". ujar Gerry sambil menerima bungkusan plastik putih tersebut.

"Tidak apa-apa, mas, silahkan makan dulu saja," timpal Arif.

Mereka kembali berjalan di antara deretan warung-warung yang hanya menjual mie instan. Lalu Jenny melihat puluhan mata lelaki yang menatap tajam memandanginya karena memakai hotpant dan tanktop.

"Kenapa mereka menatapku dengan pandangan seperti itu?," tanya Jenny yang merasa risih.

"Entahlah, mungkin karena pakaianmu yang terlalu mencolok," jawab Gerry.

"Emang, ada yang salah dengan pakaianku?," tanya Jenny lagi.

"Enggak ada yang salah, sih, makanya orang tadi memberikan kain ini untuk kamu pakai biar tidak mengundang pandangan yang aneh-aneh," jawab Gerry.

"Terus, aku harus pakai kain itu sekarang?," tanya Jenny lagi.

"Ya, terserah kamu, mau di pakai sekarang atau nanti saat naik perahu," ujar Gerry.

Lalu ia berhenti di salah satu warung sambil melihat menu yang terpampang di balik teralis kaca yang berbentuk kotak berisikan telur dadar, tahu dan tempe yang menumpuk di atas piring. Dan Gerry bertanya, "Jenny, kamu mau makan di sini?."

"Hmm," Jenny mendesis. "Tapi aku tidak mau mie."

"Kalau nasi campur telur, tahu atau tempe, kamu mau, gak?," tanya Gerry.

"Iya, mau," jawab Jenny.

"Ya, sudah, kita makan di sini saja," ujar Gerry. "Kita duduk di situ," tambahnya sambil menunjuk bangku yang terdapat dua orang sedang duduk.

Lalu Jenny duduk, sementara Gerry memesankan dua piring nasi campur telur dadar, segelas kopi hitam tanpa gula dan segelas teh manis hangat. Setelah itu, ia duduk di sebelah Jenny.

Dan beberapa kemudian, pesanan datang tersajikan di atas meja lalu mereka sarapan bersama. Dan seperti biasa, Jenny hanya sedikit memakan nasi dan hanya menghabiskan telur dadarnya lalu menyeruput kopi hitam yang tanpa gula.

Pelabuhan Tembaga yang tidak terlalu besar dengan air lautnya yang hitam pekat serta banyaknya perahu-perahu nelayan yang berukuran besar, bersandar di tepi pelabuhan, mengingatkan Gerry pada Pelabuhan Muara Angke yang terletak di Utara Jakarta.

Sementara itu, perahu untuk mengangkut para penumpang dari Pelabuhan Tembaga menuju Gili Ketapang tidak terlalu besar, hanya berkapasitas untuk tiga puluh orang.

Kedatangan mereka ke Gili Ketapang saat itu sangat beruntung, karena pelabuhan Tembaga baru di buka kembali setelah satu minggu lamanya di tutup akibat terjadi tragedi yang mengenaskan.

Salah satu pengunjung meninggal di Gili Ketapang akibat terbawa arus laut saat sedang bermain di tepi pantai. Namun sebelum kejadian, pihak operator tur sudah mengingatkan para pengunjung untuk tidak bermain-main di tepi pantai.

Karena pada saat itu gelombang ombak sedang besar yang datang menerjang lalu memecah di tepi pantai. Namun himbauan tersebut seakan tidak dipedulikan yang akhirnya menewaskan salah satu pengunjung, terseret oleh arus.

"Gerry, kapan kita akan berangkat?", tanya Jenny, usai makan sambil menyeruput kopi.

"Tadi, sih, bilangnya jam sembilan," jawab Gerry.

"Tapi sekarang sudah lewat dari jam sembilan," ujar Jenny sambil melirik jam tangannya.

"Bagaimana kalau kita kembali ke tempat tadi?," tanya Gerry. Jenny mengangguk.

Kemudian mereka berdiri dari tempat duduk dan membayar makanan masing-masing. Setelah itu, mereka berjalan di antara sorotan tajam mata lelaki yang memandangi Jenny saat menuju salah satu warung, tempat Arif menunggu.

Dan di tempat itu, mereka kembali duduk di sebelah Arif lalu membayar paket tur sebesar delapan puluh lima ribu per orang sambil menunggu kedatangan rombongan lain yang sedang dalam perjalanan.

Detik demi detik, menit demi menit begitu cepat berlalu. Mereka duduk menunggu cukup lama di warung bersama Arif di antara ramainya orang-orang yang sedang menunggu kedatangan perahu untuk kembali ke Gili Ketapang dan mayoritas penduduk di pulau tersebut adalah orang Madura.

Dalam gelisah yang tak berujung, Gerry kembali bertanya, "Rombongan yang di tunggu sudah ada dimana, mas?."

"Baru sampai di depan pintu pelabuhan, mas, sedang menuju ke sini, sebaiknya tunggu di perahu saja, mas," ujar Arif.

Lalu Gerry menoleh ke Jenny yang duduk di sebelahnya dan bertanya, "Kamu mau tunggu di perahu, gak?, sebentar lagi rombongannya datang." Jenny hanya mengangguk.

Gerry kembali menoleh ke Arif sambil berkata, "Ya, sudah, mas, kami tunggu di perahu saja."

Dan Arif langsung berteriak memanggil Andi, salah satu temannya, Adni pun datang dan berdiri di hadapannya, lalu Arif berkata, "Andi, tolong antarkan mereka ke perahu."

"Ayo, mas, ikuti aku, naik ke perahu," ujar Andi.

Mereka langsung berdiri dan berjalan mengikuti Andi ke perahu yang sudah bersandar sedari tadi. Mereka menaiki perahu, lalu duduk. Tak lama kemudian datang tiga orang lainnya yang berasal dari Surabaya menaiki perahu dan duduk di dekat mereka.

Lalu Jenny mengambil sehelai kain yang terbungkus plastik putih dan memakainya. Sementara itu, perahu lainnya yang ada di sebelah perahu mereka sudah terisi penduduk Gili Ketapang sebanyak tiga puluh orang.

Perahu tersebut berjalan mundur ke belakang lalu berputar dengan suara deru mesin yang sangat bising, meraung-raung. Dan para penumpang yang ada di dalam perahu tersebut melontarkan senyum gembira dan bersorak sambil melambaikan tangan kepada sanak saudaranya yang tidak terangkut, berdiri di tepi pelabuhan membalas lambaian.

Tiga puluh menit kemudian, Arif, Andi beserta sepuluh orang rombongan keluarga yang terdiri dari empat remaja, dua anak kecil dan empat orang dewasa menaiki perahu, lalu Arif membagikan pelampung kepada setiap orang dan hanya beberapa orang saja yang memakainya.

Setelah itu, suara deru mesin yang sangat bising, meraung-raung memekakkan telinga, perahu berjalan mundur lalu berputar di antara perahu-perahu besar yang bersandar, kemudian berlayar menuju Gili Ketapang.

Senyum kegembiraan tersirat di raut wajah Jenny yang sebelumnya melesu karena lama menunggu. Angin laut berhembus kencang menampar wajah-wajah yang tegang ketika perahu berjalan mengayun di hamparan laut luas, menghentak setiap riak debur ombak yang datang menggulung dan memercikkan air, membasahi wajah.

Sorakan demi sorakan pun menggema, memecah keheningan setiap kali perahu melewati riak debur ombak yang datang menerjang di bawah teriknya matahari yang menyengat.

Dari kejauhan tampak titik kecil sebuah pulau yang lambat laun semakin terlihat besar seiring dengan berjalannya perahu yang mengayun. Lalu Jenny bertanya, "Gerry, itu pulaunya?."

"Mungkin,". Lalu mereka kembali terdiam.

Empat puluh lima menit berlalu, perahu berjalan melambat ketika ingin bersandar di tepi pantai. Gerry menoleh ke arah timur dan melihat lima perahu lainnya yang tertambat beberapa meter dari tepi pantai dengan banyaknya orang-orang yang sedang snorkeling.

Setelah perahu mereka tertambat dan bersandar di tepi pantai. Satu persatu menuruni perahu melalui anak tangga kayu kemudian berjalan menjauhi debur ombak yang datang menghempas, menghampiri Agung yang sedang berdiri menunggu beberapa meter dari tepi pantai.

Kemudian Agung mengumpulkan mereka di bawah sengatan matahari. Setelah itu, mereka berjalan di hamparan pasir putih yang membentang luas bersolek dengan birunya langit dan berpadu dengan warna air laut yang biru, hingga di sebuah tempat yang terdiri dari beberapa saung.

"Silahkan istirahat dulu," ujar Agung yang melepas para pengunjung untuk memilih tempat di antara barisan saung-saung yang kosong, berukuran besar.

"Jenny, kita duduk di sana," ujar Gerry sambil menunjuk salah satu saung yang ada di ujung, di dekat saung penitipan barang. Lalu mereka berjalan kemudian duduk di dalam saung tersebut.

Angin laut terus berhembus kencang setiap saat. Beberapa nelayan terlihat sedang merajut jala. Tiga ekor kambing berlalu-lalang dan selalu mengembik pada tiap saung yang di tempati para pengunjung.

Selagi menunggu, Gerry hanya duduk di dalam saung menghindari panas yang mencengkeram, sementara Jenny berjalan kesana-sini, melihat-lihat lalu kembali lagi duduk di dalam saung memainkan ponselnya.

Tiga puluh menit kemudian, Agung berdiri di tengah-tengah meja berteriak memanggil para pengunjung yang sedang beristirahat di dalam saung untuk memilih peralatan snorkeling yang telah disediakan di sebuah kotak besar.

"Jenny, kita ke sana memilih peralatan snorkeling untukmu," ujar Gerry sambil menepuk tangannya yang sedang memainkan ponsel.

"Dimana?," tanya Jenny yang sedikit kaget.

"Itu di sana,". Mereka berdiri, lalu berjalan menuju kotak besar yang dipenuhi para pengunjung untuk memilih peralatan.

"Kamu pilih sendiri, ya," ujar Gerry, saat berdiri di depan kotak besar.

Jenny mengambil salah satu masker dari dalam kotak besar lalu memakainya untuk disesuaikan dengan tekstur wajahnya. Sementara itu, Agung berdiri di tengah-tengah kotak besar sambil mengamati para pengunjung yang lagi memilih peralatan snorkeling.

"Mas, tidak memilih?," tanya Agung.

"Tidak, mas, aku sudah bawa alat sendiri," jawab Gerry yang berdiri di sebelah Jenny dan Agung kembali mengamati yang lain.

Jenny terlihat kesusahan saat menyesuaikan masker di wajahnya karena tali karet yang terlalu kencang. Gerry yang memperhatikan, meminta Jenny untuk melepaskan masker, lalu Gerry melonggarkan tali karet. Setelah itu, memberikannya untuk dipakai kembali.

"Sudah pas, belum?," tanya Gerry yang masih berdiri memperhatikan.

"Sudah," jawab Jenny, lalu melepaskan masker dari wajahnya.

"Kalau begitu kita kembali ke saung, peralatannya kamu pegang," ujar Gerry. Lalu mereka berjalan kembali ke saung dan duduk di dalamnya.

Gerry membakar sebatang rokok dan duduk agak menjauh karena Jenny tidak menyukai asap rokok. Kepulan asap demi asap dihembuskan dari dalam rongga mulutnya.

"Kamu tidak mengganti pakaian?," tanya Gerry sambil menoleh ke Jenny yang sedang memainkan ponselnya lagi.

"Sekarang?." Jenny balik bertanya sambil melirik ke arah Gerry.

"Iya, sekarang, nanti tinggal snorkeling," jawab Gerry.

Lalu Jenny berdiri melepaskan kain yang menutupi sebagian tubuhnya, kemudian melepaskan tanktop serta celana hotpantnya yang sudah berbalut pakaian renangnya. Setelah itu, menutupi kembali sebagian tubuhnya dengan sehelai kain dan duduk kembali.

Sementara itu, Gerry masih duduk menghisap rokok sampai habis. Setelah itu, ia berdiri melepaskan pakaiannya dan hanya mengenakan rushguard dan celana pendek kemudian memasukkan barang-barangnya ke dalam dry bag, lalu duduk kembali.

Sejurus kemudian, Agung berdiri di tengah-tengah saung, kembali berteriak memanggil para pengunjung untuk dikumpulkan sebelum memulai snorkeling. Gerry lantas berdiri kemudian berjalan ke tempat penitipan barang untuk menitipkan dry bag.

Begitu juga dengan beberapa pengunjung lainnya, mereka menitipkan tasnya. Setelah berkumpul, rombongan jalan bersama menuju tepi pantai yang ditemani oleh tiga pemandu.

Saat di tepi pantai, sebelum memulai snorkeling, Firman, salah satu pemandu memberikan arahan tentang cara snorkeling ke beberapa pengunjung yang berdiri membentuk setengah lingkaran.

Gerry dan Jenny melihatnya sebentar. Setelah itu, menaiki perahu melalui anak tangga kayu lalu duduk menunggu di atas perahu sambil melihat kembali beberapa pengunjung yang sedang di beri arahan cara snorkeling.

Dua puluh menit kemudian, mereka menaiki perahu lalu duduk bersama. Suara bising deru mesin kembali meraung-raung, tali tambat jangkar yang menancap di tepi pantai mulai di lepas, lalu di tarik oleh Firman ke atas perahu.

Perlahan-lahan perahu berjalan mundur beberapa meter lalu berputar dan berjalan ke arah timur. Kemudian perahu berhenti di antara dua perahu lainnya yang sudah tertambat, berisikan rombongan lain.

Lalu Firman melempar tali tambat jangkar ke dalam laut agar perahu tidak terbawa ombak. Setelah itu, menceburkan dirinya dan berteriak dengan kepala di atas permukaan mengajak sejumlah pengunjung untuk masuk ke dalam laut.

Gerry, Jenny dan beberapa orang memakai peralatan snorkeling. Lalu Gerry duduk di tepi perahu untuk bersiap-siap sambil melihat tiga anak remaja yang melompat, menceburkan dirinya ke dalam laut.

"Jenny, ayo, kita masuk ke dalam," ujar Gerry.

"Kamu duluan saja," ujar Jenny, yang kerepotan memakai masker.

"Byuuurrrr...", Gerry menceburkan dirinya ke dalam laut, lalu dengan kepalanya yang menengadah di atas permukaan, Gerry berteriak, "Jenny, buurruuaann!."

Kemudian, Jenny menceburkan dirinya ke dalam laut dibarengi dengan dua orang lainnya. Jenny berenang menghampiri Gerry di antara riak ombak yang datang tapi tidak terlalu besar.

"Ayo, kita ke sana," ujar Gerry sambil memegang tangan Jenny saat snorkeling bersama mengamati bawah laut.

Air laut yang begitu keruh membuat pandangan tidak begitu bagus. Gerry dan Jenny snorkeling kesana-sini dan melihat begitu banyak terumbu karang yang sudah hancur.

Lalu datang Firman yang menghampiri Gerry dan mengajaknya ke salah satu spot yang berisikan aneka terumbu karang. Gerry menggenggam tangan Jenny, berenang mengikuti Firman yang ada di depannya.

Kemudian Firman berhenti begitu juga dengan mereka, ketiganya mengangkat kepalanya di atas permukaan sambil mengayuh-ngayuh kaki agar mengapung, lalu Firman berkata, "Disini saja, mas, terumbu karangnya bagus-bagus."

Gerry melepaskan genggamannya lalu mengambil nafas sedalam-dalamnya. Setelah itu, ia menyelam di kedalaman tiga meter dan melihat aneka terumbu karang yang tampak sudah di tata, dihiasi sebilah papan yang diletakkan di antara celah-celah terumbu karang, bertuliskan Nemo Park Gili Ketapang.

Tidak berlama-lama, Gerry kembali naik ke atas permukaan dan mencari Jenny dalam keramaian orang-orang yang memakai pelampung, berkumpul snorkeling di titik tersebut.

Gerry terus mencarinya, melihat-lihat sekitar lalu mendapati Jenny yang sedang berenang tidak begitu jauh dari tempatnya berdiam diri, mengapung. Ia pun berenang menghampiri Jenny.

Sementara itu, Krisna, salah satu pemandu yang lain, melepas pelampung seorang wanita lalu mendorong untuk ditenggelamkan pada hitungan ketiga yang sudah di tunggu oleh Firman yang sudah menyelam, bersiap-siap mengambil foto wanita tersebut dengan latar belakang aneka terumbu karang.

Secara bergantian, orang-orang yang snorkeling di tenggelamkan oleh Krisna lalu di dokumentasikan oleh Firman yang beberapa kali harus naik ke atas permukaan untuk mengambil nafas lalu menyelam kembali.

Keramaian pada satu titik tersebut membuat Gerry merasa tidak nyaman, lalu mengajak Jenny menjauhi kerumunan, berenang berdampingan dengan wajah yang memandang ke dalam laut mencari spot lain.

Di spot yang berbeda, aneka terumbu karang terlihat sama seperti pada spot sebelumnya, tampak sudah di tata, dihiasi sebilah papan yang diletakkan di antara celah-celah terumbu karang, bertuliskan Nemo Park Gili Ketapang.

Gerry dan Jenny berhenti sejenak dengan kepala yang menengadah di atas permukaan sambil mengatur nafas dengan kaki yang mengayuh-ngayuh agar mengapung. Kemudian Gerry mengambil nafas sedalam-dalamnya lalu menyelam di kedalaman lima meter yang di susul oleh Jenny.

Saat Gerry mendekati terumbu karang, ia melihat begitu banyak hewan bulu babi, berduri panjang, berwarna hitam, mengumpat di celah-celah terumbu karang. Lantas ia menoleh ke belakang dan melihat Jenny yang mendekatinya.

Lalu Gerry memberi kode mengayun-ayunkan jari telunjuknya kepada Jenny agar ke kanan untuk menghindari area tersebut, tapi Jenny tidak mengerti apa maksudnya. Kemudian Gerry langsung berbalik sambil mengayuh menghampirinya.

Saat mendekat, Gerry langsung menarik tangan Jenny naik ke permukaan, dengan nafas yang tersengal-sengal, Gerry berkata, "Jangan ke sana banyak bulu babi,". Jenny hanya diam. "Kita ke tempat yang lain saja."

Gerry kembali menggenggam erat tangan Jenny dan membawanya ke tempat yang lain untuk menjauhi area tersebut. Dan tidak ada lagi yang bisa di lihat, mereka hanya berenang kesana-sini.

Air laut yang dingin, menggigilkan tubuh Gerry, lalu mengajak Jenny untuk menaiki perahu, namun Jenny masih ingin berenang. Lantas Gerry berenang menuju perahu. Setelah itu, ia menaiki anak tangga kayu.

Saat di atas perahu, yang berisikan beberapa orang. Dengan tubuh yang basah, Gerry duduk sambil melepas masker yang melekat di wajahnya lalu mengambil air mineral yang telah disediakan dari dalam kardus kemudian meneguknya.

Rasa dahaga yang menyekat akibat dehidrasi pun hilang. Gerry duduk sambil memeluk tubuhnya yang menggigil dengan kedua tangannya yang melipat saat angin berhembus menjilat-jilat tubuhnya yang basah hingga mengering.

Sesekali Gerry melihat Jenny yang masih berenang kesana-sini. Lambat laun satu persatu mulai menaiki perahu, ia pun berteriak keras, "Jenny, cepat naik!."

Jenny mendengar teriakannya lalu berenang menuju perahu dan menaiki anak tangga kayu, kemudian duduk di sebelah Gerry sambil membuka maskernya dengan tubuh yang masih basah.

"Kamu mau minum?", tanya Gerry.

"Tidak, tidak!", jawab Jenny.

Setelah itu, Firman menarik tali tambat jangkar. Dan suara bising deru mesin perahu kembali meraung-raung. Perahu kembali berjalan ke arah barat menuju spot berikutnya.

Namun pada spot kedua, riak debur ombak begitu kencang menghantam perahu yang membuat sedikit oleng. Seketika rasa takut menyelimuti setiap wajah yang duduk penuh cemas. Lalu Firman berdiri dan menurunkan tali tambat jangkar.

"Ada yang mau snorkeling lagi, gak?," tanya Firman. Semuanya hanya duduk diam dan tidak ada yang menjawab. "Kalau ada yang mau snorkeling lagi, harap berhati-hati karena ombaknya sangat kencang," tambahnya.

"Jenny, jangan turun dulu, kita lihat situasi," bisik Gerry.

Riak debur ombak datang menghempas tiap saat, mengayunkan perahu yang tertambat, menciptakan rasa takut yang penuh cemas pada setiap wajah yang duduk membisu.

Kemudian Firman menceburkan dirinya ke dalam laut di antara riak debur ombak yang tiap saat datang menerjang sekaligus untuk meruntuhkan rasa cemas yang menggelayut. Dan beberapa saat kemudian, tiga orang lainnya menceburkan diri.

"Kamu mau snorkeling lagi, gak?," tanya Gerry, saat situasi sudah aman meskipun riak debur ombak kerap datang.

"Hmm," Jenny mendesis. "Oke."

Dan mereka kembali memakai peralatan snorkeling, lalu duduk di tepi perahu untuk bersiap-siap. Sementara itu, empat orang lainnya memilih untuk duduk di atas perahu.

"Byuuurrr.....," Gerry menceburkan dirinya terlebih dahulu bersamaan dengan datangnya riak debur ombak yang menghempaskan dirinya, menjauhi perahu. Ia pun berusaha mengimbangi tubuh dengan mengayuhkan kedua kakinya agar bisa mengapung.

Setelah itu, Jenny menceburkan dirinya dan berenang menghampirinya. Setelah mendekat, Gerry kembali menggenggam erat tangan Jenny, lalu snorkeling bersama dengan wajah yang menatap ke bawah laut hanya melihat banyaknya terumbu karang yang sudah hancur.

Namun pada titik tertentu terdapat aneka terumbu karang yang tampak sudah di tata, dihiasi sebilah papan yang diletakkan di antara celah-celah terumbu karang, bertuliskan Nemo Park Gili Ketapang. Pada spot ini pun begitu banyak hewan bulu babi, berduri panjang, berwarna hitam.

Lantas Gerry membawa Jenny ke tempat lainnya untuk menghindari sekumpulan hewan bulu babi. Namun sekian lama snorkeling bersama, lambat laun arus laut semakin kencang seiring dengan datangnya riak debur ombak yang menerjang bertubi-tubi.

Dengan wajah yang menengadah di atas permukaan dan penuh cemas, Gerry berkata, "Jenny, kita harus segera kembali ke perahu, arusnya sangat kencang."

Ia langsung menggenggam tangan Jenny dan membawanya menuju perahu, namun riak debur ombak yang menggulung kembali datang menerjang, mereka pun terpisah karena terhempas.

Gerry langsung berhenti dengan kaki yang mengayuh agar mengapung dengan kepala yang berada di atas permukaan air sambil mencari Jenny dan ia melihatnya sudah berada jauh beberapa meter mendekati perahu yang mengayun-ayun akibat hantaman riak debur ombak.

Kemudian ia berusaha berenang kembali dengan sekuat tenaga melawan arus yang semakin kuat namun ia kelelahan dan kembali berhenti lalu trehantam gulungan riak debur ombak terus datang.

Beberapa saat kemudian, Gerry kembali berenang dalam lelah yang tak terbilang hingga mencapai perahu, ia pun menaiki anak tangga kayu sambil melepas masker yang melekat di wajahnya dengan nafas yang tersengal-sengal lalu duduk di dekat Jenny.

Gerry mengambil air mineral lalu meneguknya untuk menghilangkan rasa dahaga yang menyekat akibat dehidrasi. Sementara itu, Krisna yang berdiri mengawasi di atas perahu langsung menceburkan dirinya ke dalam laut ketika melihat salah satu anak remaja yang terbawa arus sangat jauh dari perahu yang tertambat.

Berbekal pelampung, Krisna berenang mengarungi riak debur ombak untuk menghampiri anak remaja tersebut. Dan sejumlah pasang mata hanya bisa menyaksikan hal itu dari atas perahu.

Krisna terus berenang sampai meraih tangan anak remaja tersebut lalu menariknya dan di bawa menuju perahu. Setiap detik sangat berarti, riak debur ombak yang kerap datang menerjang, membuat mereka kesulitan saat berenang menuju perahu yang mengayun-ayun.

Mereka terus berusaha berenang namun kerapkali terhempas. Sampai akhirnya, Firman yang berada di atas perahu, melemparkan tali tambang berkali-kali sampai di raih oleh mereka yang sedang berenang.

Dan sejurus kemudian, Krisna meraih tali tambang yang di lempar Firman, lalu di tarik hingga mencapai ke perahu. Setelah itu, mereka menaiki anak tangga kayu lalu duduk dengan penuh lelah.

Setelah itu, Firman langsung menarik tali tambat jangkar, kemudian suara bising deru mesin kembali meraung-raung. Perahu pun berputar lalu berjalan beberapa meter ke arah timur menuju tepi pantai.

Setelah bersandar, satu persatu menuruni anak tangga kayu lalu berjalan di hamparan pasir putih yang membentang luas menuju saung untuk beristirahat atau membilaskan diri.

Sementara itu, terlihat meja yang memanjang di depan saung penitipan barang yang berisikan menu makan yang sudah tersajikan lalu Gerry mengambil dry bag yang dititipkan kemudian duduk bersama Jenny di dalam saung.

"Gerry, aku mau mengambil pakaianku, aku mau mandi," pinta Jenny.

"Sebentar," ujar Gerry sambil mengeluarkan barang miliknya yang terbungkus plastik dari dalam dry bag, lalu memberikannya.

"Dimana kamar mandinya?", tanya Jenny.

"Itu, ada di sana," jawab Gerry sambil menunjuk kamar mandi umum yang berada 200 meter dari saung.

Lalu Jenny berjalan menuju kamar mandi umum bersama beberapa pengunjung lain. Hanya terdapat empat kamar mandi, sehingga para pengunjung yang ingin berbilas diri, harus antri menunggu giliran.

Gerry yang sedang duduk menunggu di dalam saung membakar sebatang rokok sambil mengeringkan tubuhnya yang basah. Dan tidak lama kemudian Agung berdiri di tengah-tengah meja berteriak memanggil para pengunjung untuk mengambil makan siang.

Pengunjung yang sedang duduk di dalam saung mulai berjalan menuju meja untuk mengambil makan siang. Sementara itu, Gerry hanya duduk di dalam saung sambil menghisap sebatang rokoknya, menunggu Jenny.

Lima belas menit kemudian, usai mandi, Jenny kembali ke dalam saung lalu menaruh pakaian kotornya yang terbungkus plastik di atas bangku. Jenny berdiri sambil menyisir rambut panjangnya yang terurai basah.

"Kamu mau makan sekarang?", tanya Gerry sambil mengepulkan asap rokok.

"Sudah boleh makan?", Jenny balik bertanya sambil menyisir rambut panjangnya.

"Iya, kalau mau makan, kita ke sana,"

"Tunggu sebentar," ujar Jenny sambil menaruh sisirnya. "Ayo, kita ke sana," tambahnya.

Gerry mematikan bara api rokoknya yang tinggal sedikit lalu berdiri dan berjalan bersama menuju meja yang berisikan menu makan untuk mengambil makan siang. Mereka berdiri berbaris dalam antrian bersama pengunjung yang lain.

"Ayo, mas, silahkan di ambil sendiri," ujar Agung yang berdiri di tengah meja.

Setiap pengunjung memegang piringnya masing-masing lalu mengambil nasi dari dalam wadah dengan lauk ikan bakar pada tempat yang terpisah dengan beraneka macam sambal yang tersaji.

Setelah mengambil makan siang, mereka kembali duduk di saung untuk makan bersama. Kemudian datang tiga ekor kambing yang mengembik di tiap saung saat para pengunjung sedang menikmati makan siangnya.

Usai makan, Gerry berjalan menuju meja lalu meletakkan piringnya di antara tumpukan piring-piring kotor bekas makan para pengunjung. Setelah itu, ia kembali ke saung lagi dan mengambil perlengkapan mandinya.

Kemudian berjalan menuju kamar mandi umum untuk berbilas diri dalam antrian yang sedikit. Setelah salah satu pengunjung keluar dari dalam kamar mandi yang ada di ujung, ia masuk ke dalamnya untuk membilaskan diri.

Meskipun air payau, tapi cukup untuk membersihkan tubuhnya yang lengket oleh air laut. Usai mandi dan membayar, ia kembali berjalan menuju saung dan memasukkan pakaian kotornya yang terbungkus plastik ke dalam dry bag lalu Gerry duduk di sebelah Jenny.

Sekitar jam tiga sore, setelah semuanya sudah berada di saungnya masing-masing, Agung beserta tiga pemandu mengumpulkan para pengunjung. Setelah itu, berjalan menuju perahu yang sedang bersandar di tepi pantai untuk kembali ke Pelabuhan Tembaga.

Hamparan pasir putih yang luas bersanding dengan birunya air laut menjadi jejak terakhir mereka berpijak sebelum melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya.

Satu persatu menaiki perahu lalu duduk. Agung ikut mengantar para pengunjung. Firman yang berdiri di tepi pantai segera melapaskan tali tambat jangkar. Suara bising deru mesin kembali meraung-raung.

Dan perlahan-lahan perahu berjalan mundur beberapa meter lalu berputar. Kemudian berlayar mengarungi hamparan laut luas menuju Pelabuhan Tembaga. Di tengah laut, perahu berjalan mengayun mengikuti irama riak debur ombak yang datang menghempas kemudian memecah di badan perahu, memercikkan air ke tiap wajah.

Semua orang bersorak, antara senang dan cemas tiap kali perahu mengayun yang terkadang diselingi tawa canda. Lalu Gerry menoleh ke Jenny yang duduk di sebelahnya dan melihat Jenny yang memejamkan matanya dengan kepala yang tertahan tangan kanannya.

"Kamu ngantuk?", tanya Gerry, Jenny mengangguk.

Dan empat puluh lima menit kemudian, setelah mengarungi lautan luas, perahu yang mengangkut lima belas orang memasuki area Pelabuhan Tembaga. Lalu berjalan perlahan-lahan di antara celah-celah perahu besar milik nelayan yang bersandar.

Dan sejurus kemudian, perahu bersandar di tepi pelabuhan, di antara himpitan perahu besar. Gerry membangunkan Jenny lalu satu persatu menuruni anak tangga kayu secara bergantian penuh hati-hati.

Setelah memijakkan kakinya di daratan, Jenny melepas kain yang dipakainya, lalu diberikan kepada Gerry yang kemudian ia kembalikan kepada Agung yang lagi berdiri menyalami tiap pengunjung.

Setelah itu, mereka berjalan menuju parkiran motor yang tidak begitu jauh, Gerry mengeluarkan sepeda motor di antara himpitan sepeda motor lainnya dan menyalakan mesin beberapa saat lalu Jenny naik duduk di belakang.

Gerry langsung memberikan ponselnya kepada Jenny sebagai navigator dengan mengikuti rute yang tertera di Gmap menuju Homestay Suyoso. Kemudian perlahan-lahan ia melajukan sepeda motor keluar dari area pelabuhan yang tidak terlalu ramai.

Sesampainya di penginapan, terlihat dua tamu asing asal India, sedang duduk di teras depan kamarnya. Gerry memarkirkan sepeda motornya lalu turun dan berjalan ke ruang resepsionis.

"Permisi, pak," ujar Gerry saat berdiri di depan pintu resepsionis.

"Silahkan masuk, mas," ujar Pak Iwan yang sedang duduk. Lalu Gerry dan Jenny masuk ke dalam sambil mengambil ransel.

"Sudah selesai jalan-jalannya?", tanya Pak Iwan.

"Sudah, pak," jawab Gerry sambil mengambil ransel bersama Jenny.

"Habis dari sini lanjut kemana lagi, mas?" tanya Pak Iwan lagi.

"Mau ke Malang, pak," jawab Gerry.

"Naik bus atau kereta?", tanya Pak Iwan.

"Naik bus, pak," jawab Gerry.

"Gerry, aku mau buang air kecil," sela Jenny yang berdiri.

"Maaf, pak, boleh numpang ke kamar mandi?" tanya Gerry.

"Boleh, mas, kamar mandinya di ujung sana," jawab pak Iwan yang langsung berdiri di pintu sambil menunjuk keberadaan kamar mandi yang ada di ujung, lalu Jenny berjalan menuju kamar mandi.

Sementara itu, Gerry duduk di kursi sambil memakai sepatu lalu menunggu Jenny yang ditemani Pak Iwan. Beberapa menit kemudian, Jenny kembali ke ruangan resepsionis dan mengangkat ranselnya.

Sebelum berangkat, Gerry segera menghubungi Roni dan janjian dengannya di warung seberang terminal tempat mereka bertemu untuk mengembalikan sepeda motornya.

"Aku pamit dulu, ya, pak," ujar Gerry. "Terima kasih atas semuanya," tambahnya sambil bersalaman dengan Pak Iwan.

"Sama-sama, mas, hati-hati di jalan," sahut Pak Iwan.

Lalu mereka keluar dari ruangan resepsionis menuju sepeda motor. Gerry menaruh ranselnya di ruang depan. Setelah itu, ia menaiki dan menyalakan mesin sesaat, kemudian Jenny naik dan Gerry kembali memberikan ponselnya kepada Jenny yang menjadi navigator.

Perlahan-lahan Gerry melajukan sepeda motornya melewati jalan perumahan hingga di ruas jalan besar bersanding dengan kendaraan yang berlalu-lalang menuju Terminal Probolinggo yang berjarak delapan kilometer.

Sesampainya di warung seberang terminal, Roni terlihat sedang duduk menunggu, saling senyum sapa saat bertatap muka. Gerry dan Jenny menuruni sepeda motor lalu menghampirinya.

Gerry memindahkan ranselnya ke bangku lalu duduk di sebelah Roni sambil mengobrol. Sementara itu, Jenny yang duduk di depannya sedang memainkan ponselnya dengan ransel yang masih melekat di punggung.

Waktu yang terus bergulir, dan sudah memasuki sore hari, Gerry meminta kartu identitas yang menjadi jaminan sambil mengembalikan kunci sepeda motor sambil berkata, "Aku ijin pamit dulu, ya, mas."

"Oh iya, mas, silahkan," sahut Roni.

Kemudian mereka saling bersalaman lalu Gerry mengangkatransel dan berjalan bersama Jenny menyeberangi ruas jalan besar yang tidakterlalu ramai kendaraan. Kemudian mereka berjalan masuk ke dalam terminal untukmenaiki bus menuju Kota Malang.     

Continue Reading

You'll Also Like

6.2K 583 6
Novel ini menceritakan tentang seorang gadis bernama Arnela Frishya Leandra yang tiba-tiba masuk ke dalam novel sahabatnya yang berjudul 'Arnov's Obs...
220K 28.1K 200
[Novel Terjemahan] Dia, Xue Fanxin, seorang jenius medis terkenal di abad ke-21, telah pindah ke tubuh putri bodoh dari Grand Duke. Saat keburukannya...
34.7K 2.8K 199
Novel Terjemahan Indo Judul : Douluo Dalu 5 Kelahiran Kembali Tang San Volume 9 - 12 Status : Ongoing Author : Tang Jia San Shao Genre : Fantasy, Xu...
5.5K 798 17
Eksperimen 341 ciptaan Solar menyebabkan dirinya dan kedua kakaknya harus terjebak dalam dimensi lain. Satu-satunya cara untuk kembali adalah dengan...