Happiness [SELESAI] ✔

De AM_Sel

2.3M 265K 44.9K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... Mai multe

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 36 •

44K 4.6K 680
De AM_Sel

El menatap pantulan dirinya dari cermin yang berada di pintu lemari. Tangan kirinya menaikkan kaos yang ia gunakan ke atas untuk melihat perutnya.

Vano masuk ke dalam kamar dengan tangan yang memegang jajanan sostel.

"El, sostel nih," ujar Vano.

El menatapnya, "Gue gendut."

"Terus?"

Kaos itu El turunkan lagi. Tangan kirinya mengambil satu tusuk sosis yang digulung telur itu dari kantong yang Vano pegang. Lalu, menggigitnya, "Ngga bisa dibiarin."

Dahi Vano mengerut, "Lo ngga gendut kok," gumamnya sambil memindai tubuh El.

"Tapi, perut gue mulai buncit."

Kedua mata Vano mengerling jengah, "Baru juga buncit dikit. Nih, pegang dulu. Gue mau ambil kentang goreng."

Wajah El menekuk. Kantong itu ia ambil dan ia letakkan di atas meja yang berada di sana, lalu menghabiskan satu tusuk yang tadi ia ambil. Sementara Vano, kembali keluar dari kamar.

Tubuhnya ia dudukkan di pinggiran ranjang. Dia harus diet kah? Tapi, kayaknya Vano ngga bakal ngebolehin. Kalaupun dia diet diam-diam, pasti tetap akan ketahuan karena porsi makannya sedikit. Olahraga?

"Iya juga ya. Lari sekitaran sini. Lagian gue juga ngga pernah keluar kecuali ke rumah si Suchart. Sekalian ngeliat-liat sama ninggiin badan juga. Badan tinggi, perut kempes," gumamnya.

Tusuk yang sudah bersih dari sosis dan telur, ia letakkan di samping kantong, lalu mengambil satu tusuk lagi dari dalam kantong tersebut.

Tak lama kemudian, Vano kembali masuk. Di tangannya, sepiring kentang goreng, terlihat enak sekali.

Piring itu, ia letakkan di atas meja. Kantong sostel, ia ambil.

"Van.." El memanggil pelan.

"Paan?"

"Kalo besok gue nginep di rumah Orly, boleh?"

Vano melirik El sekilas, lalu mengangguk, "Boleh."

El segera mengulum senyumnya yang hampir terkembang, "Anterin gue yak."

"Oke. Itu kentangnya lo aja yang habisin."

"Kok gue?"

"Gue kenyang."

El diam sejenak. Oke, mungkin tidak apa-apa. Lagipula, dietnya juga belum dimulai.

Vano mengulurkan setusuk sostel lagi, "Nih, makan yang banyak."

Nah, ini dia salah satu penyebab perut buncitnya! Vano selalu memberinya makan tiap kali ada kesempatan! Dan kerjaan El di rumah hanya seputar tidur, mandi, nonton tv, main sama Poppy, makan, minum, makan, makan, makan, makan, dan makan!

Tidak bisa dibiarkan! Hmp!

Dahinya disentil. Vano tertawa pelan, melihat El merengut sambil mengusap dahinya.

"Lo lagi mikir apaan sih?" tanya Vano sambil mengacak pelan rambut kecokelatan itu dengan gemas, "Dahi lo tuh, berkerut mulu dari tadi."

El mencebik, "Rese lo, ah."

"Ututututu~" kedua pipinya ditangkup Vano, dan diunyel-unyel.

"Vano, ah!" gerutu El sambil menjauhkan wajahnya dari tangan-tangan menyebalkan itu.

Alvano tertawa, "Dah, cepet makan!"

Sambil menggerutu, El memasukkan jajanan-jajanan itu ke dalam mulutnya.

*****

Sepulang sekolah, Vano langsung mengantar El yang sudah siap ke rumah Orly. Motor yang mereka gunakan, berhenti tepat di depan bangunan bergaya modern milik 'Ayah' El tersebut. Pemuda cokelat itu pun segera turun. Vano membantu melepas helm yang ia gunakan.

"Ntar kalo mau pulang, bilang aja. Biar gue jemput, oke?" ujar Vano.

El mengangguk, "Hati-hati di jalan."

Vano tersenyum dan menyempatkan diri untuk mengusap rambut cokelat itu sejenak, baru pergi dari sana.

Pintu rumah itu terkunci. Jelas saja, yang punya rumah pasti masih di kantor. Untung saja El punya kunci duplikatnya. Ia pun membuka kunci pintu dan masuk. Lalu, kembali menguncinya dari dalam. Biar Orly tidak tau bahwa dia datang. Kejutan gitu. Jadwal menginapnya dimajukan.

Ia meletakkan tas yang ia bawa di samping sofa ruang tengah. Lalu, membaringkan tubuhnya di sofa itu sambil mendesah pelan. Sudah lama sekali rasanya dia tidak ke sini. Harum ruangan yang membuatnya rindu. Kedua matanya pun mulai menutup, lalu tertidur.

Pintu depan terbuka dan tertutup dengan kasar. El berjengit kaget. Ia menatap jam dinding yang ternyata sudah menunjuk pukul tujuh malam. Cepat sekali.

"Ly, dengerin gue dulu."

Suara Zin terdengar.

"Dengar, ini bukan urusan gue. Terserah lo mau ngapain. Gue ngga mau ikut campur."

Lalu, diikuti suara Orly. El mengerutkan dahinya dan mengintip ke ruang tamu. Pria berambut panjang yang sudah 'menampung'nya sejak bertahun-tahun lalu, sedang menatap Zin dengan sengit. Yang ditatap, mengacak rambut dengan frustrasi.

"Tapi, ini bukan mau gue!" seru Zin putus asa.

Orly menatapnya dingin, "Bukan urusan gue."

"Orly, please?" Zin menatap nanar.

"Orly?" El memutuskan untuk memanggil. Pria berambut panjang itu sontak menoleh. Raut lelah serta tak bersahabatnya tadi langsung berubah. Seulas senyum lebar menghiasi wajah itu.

"Anak gue!" serunya.

El mengerjap. Pria itu menghampirinya dan langsung melingkarkan kedua tangannya ke tubuh El. Memeluk pemuda cokelat itu dengan erat.

"Udah lama banget ngga ketemu!" serunya lagi, "Kenapa ngga bilang, nginepnya dimajuin? Kan saya bisa pulang lebih awal. Udah makan belum?"

"U-udah."

Jemari Orly menyisir rambut cokelatnya ke belakang. Senyum di bibir pria itu melembut.

"Kamu makin sehat, ya," ujarnya.

El merengut. Maksudnya makin sehat? Dia makin gemuk gitu?

"Kangen sama saya ya, makanya cepet ke sini?"

Kangen sama Orly? Engga juga sih sebenernya. Dia ke sini karena ada maunya.

"Orly, duduk dulu," ujar El. Mengapit lengan pria itu dan membawanya duduk di sofa. Zin sendiri mendaratkan tubuhnya di sofa yang lain.

Kedua mata El, menatap pria itu dengan memelas. Membuat dahi Orly mengerut karena bingung sejak kapan 'anak'nya ini bisa membuat ekspresi menggemaskan seperti itu.

"Orly," ujung kemeja yang Orly pakai, El tarik-tarik pelan, "Boleh minta sesuatu ngga?" dan nada memintanya terdengar manis sekali.

Orly mengerjap, "Minta?"

El mengangguk, "Boleh ya?"

"Boleh dong! Ya ampun, akhirnya! Akhirnya, anak gue ada maunya!" seru Orly semangat, "Apa? Apa? Kamu mau apa?"

"Itu.." telunjuk El berganti membuat gerakan melingkar di sofa yang mereka duduki, "Boleh minta beliin sepatu ngga?"

"Sepatu apa? Sepatu jalan?"

"Bukan," kedua mata El melirik ke arah lain, "Sepatu olahraga."

Manik biru itu melirik pria berambut panjang di depannya dengan malu-malu. Ini pertama kalinya dia meminta sesuatu dari Orly, jadi rasanya aneh.

Tapi, di mata Orly, lirikan mata itu terlihat menggemaskan sekali.

"Oke. Oke. Kita beli sekarang!"

"Eh? Sekarang?"

"Zin! Siapin mobil sekarang!" seru Orly.

Zin yang tengah berbaring di sofa satunya, mengerang malas, "Besok aja. Ini udah malem."

Orly memelototinya, "Cepetan. Anak gue mau beli sepatu ini! Penting!"

Zin berdecak dan beranjak dari baringnya. Dengan ogah-ogahan, ia mengambil kunci mobil dan melangkah menuju garasi.

"Erm.. kenapa ngga besok aja? Tokonya juga ngga bakal lari, kan?" ujar El.

"Makin cepet, makin bagus, kan?" balas Orly.

"Terus juga, erm... bukannya Zin itu atasan Orly?"

"Iya. Terus?"

"Kok Zin yang disuruh-suruh?"

Orly tersenyum lebar. Kali ini, auranya sedikit tidak mengenakkan, "Memangnya kenapa?"

El menelan ludah. Lalu, menggeleng, "Ngga kenapa-napa."

Lalu, bunyi klakson terdengar dari depan.

"Dah, yuk jajan sepatu!" Lengan kirinya ditarik. El terbengong. Dia baru tau ada yang namanya 'jajan sepatu'. Setaunya, jajan itu ya.. jajan gorengan, atau jajan sostel, atau jajan apa gitu.

Jangan-jangan ada jajan yang lain? Jajan mobil? Jajan rumah?

Mereka pergi ke salah satu pusat perbelanjaan yang berada di sekitar sana. El mengabaikan tatapan orang-orang saat menyadari bahwa ia bertangan satu.

"Pilih aja yang kamu suka," ujar Orly. Di belakangnya, Zin dengan setia mengekori sambil bersedekap dada.

"Mau beli yang lain-lain juga gapapa," ujarnya lagi. Orly menoleh ke arah Zin dan menyodorkan tangannya. Sebelah alis Zin terangkat.

"Kartu kredit lo mana? Siniin."

Zin memutar bola matanya jengah, dan merogoh saku celana untuk mengambil dompet. Lalu, menyerahkan kartu yang Orly mau.

El hanya bisa diam melihat pemalakan secara halus itu. Sudah terbiasa dari dulu.

Lalu, bahunya dirangkul oleh Orly. Dengan diekori oleh Zin, mereka mengelilingi pusat perbelanjaan itu.

Dan pada akhirnya, barang yang terbeli tidak hanya sepatu saja. Beberapa helai baju, celana, serta sebuah kotak berisikan ponsel pintar diberikan untuk El.

"Sebenernya, saya ngga terlalu butuh--"

"Kamu butuh," potong Orly, "Biar saya bisa langsung ngehubungin kamu. Ngga perlu lewat Alvano lagi."

El mengusap lehernya dengan canggung. Lalu, melirik Zin yang memegang semua belanjaan mereka.

"Ngga usah lirik-lirik dia. Kamu lirik saya aja," ujar Orly.

Setelah dirasa tidak ada lagi yang ingin di beli, mereka pun memutuskan untuk pulang.

"Kamu nginep di sini berapa hari?" tanya Orly.

"Erm.. besok pulang?"

"Kok cepet? Pulangnya bulan depan aja, gimana?"

El mengerjap. Bulan depan? Kenapa lama sekali?

"Besok biar saya antar," ujar Zin.

Orly mendelik, "Heh, siapa elo?"

"Dih, dia maunya pulang besok."

Delikan Orly semakin tajam. El menarik-narik pelan ujung kemeja 'Ayah'nya. Mengalihkan perhatian Orly agar tidak menatap Zin terlalu tajam.

"Pulang besok gapapa, ya?"

Raut Orly melembut. Ia mengusap kepala El, "Iya."

Zin mendengus pelan. Giliran El yang ngomong langsung di'iya'in.

Dan malam itu, Orly menarik El masuk ke dalam kamarnya agar mereka bisa tidur bersama.

Lalu, keesokan harinya, Orly baru memperbolehkan El pulang saat langit telah menggelap. Jarum jam telah menunjuk pukul sembilan malam. Saat dirasanya, ia sudah cukup puas memonopoli El untuk dirinya sendiri hari itu, barulah El diantar pulang.

Pintu rumah keluarga Vano sudah tertutup, dan berujung dengan spam ke ponsel Alvano. Hingga akhirnya, pemuda tinggi itu keluar dengan rambut berantakan.

"Orly, makasih," ujar El pelan dengan malu-malu. Membuat pria berambut panjang di sisinya mencubit pipi putih itu dengan gemas.

Lalu, Orly dan Zin--sebagai supir--pun pamit pulang dan tancap gas dari sana.

"Buruan masuk. Gue ngantuk," ujar El sambil berlalu masuk.

Vano mengerjap. Menatap barang-barang yang seingatnya tidak El bawa kemarin, tergeletak di depan pintu.

"El, ini punya--"

"Barang-barang gue jangan sampe ketinggalan."

Vano berdecak, "Sialan. Berasa beneran jadi babu gue."

****

Pemuda bertubuh tinggi itu membuka kedua matanya. Ia mengerjap beberapa kali, lalu mengerang pelan. Tubuhnya, ia ubah posisi menjadi terlentang. Lalu, melirik jam dinding. Pukul lima lewat tiga puluh.

Ah, rasanya dia tidak ingin bangun dan pergi ke sekolah. Dia mau santai-santai saja di rumah. Memanja El. Menemaninya. Memberinya makan.

Vano tersenyum pelan. Memutar ingatannya tentang El yang 'dulu', lalu menyadari tingkah El yang 'sekarang'. Seperti dua orang yang berbeda. Tapi, itu membuktikan, bahwa Vano berhasil. Dia bisa membuat El seperti remaja lainnya. Bisa tersenyum. Bisa tertawa. Ah, manis sekali.

Pemuda tinggi itu pun kembali memiringkan tubuhnya untuk menatap paras wajah El yang polos saat tidur. Namun, senyumannya langsung memudar. El tidak ada di sampingnya. Jarang sekali, si kecil itu bangun lebih dulu.

Ia pun segera beranjak dari posisi berbaring, dan melangkah menuju kamar mandi. Pintu itu ia buka. Kosong. Kakinya kembali melangkah menuju keluar kamar.

"El?"

Ruang makan kosong. Di dapur hanya ada Ibunya. Vano kembali melangkah menuju ruang keluarga. Tidak ada siapa-siapa juga. Ia pun memutuskan untuk berjalan naik menuju kamar Jeje. Pintu kamar itu ia buka.

"El?"

Jeje yang tengah mengerjakan pekerjaan rumahnya secepat mungkin--karena lupa--mengerutkan dahinya, "Kok nyari Kak Daniel di sini? Pernah naik ke atas aja dia enggak."

Benar juga sih, batin Vano. Dan ia pun memutuskan untuk turun lagi.

"Mas! Pintunya ditutup lagi! Woi!"

Vano berkacak pinggang di ruang tamu. Dia ingat kok, kemarin El sudah pulang. Itu bukan mimpinya. Ruang mana lagi yang belum ia cek? Kamar orang tuanya? Masa El lagi ngerusuh di kamar orang tuanya? Tidak mungkin sekali.

"Mas, udah jam berapa itu lho. Mandi sana, siap-siap ke sekolah," ujar Ibunya.

"Bu, liat El ngga?"

Si Ibu mengerutkan dahinya, "Lha, si El kan lagi lari pagi. Kamu ngga tau?"

"Lari pagi?!" Raut Vano berubah tak suka. Ia pun berjalan keluar dari rumah dengan tangan yang masih di pinggang. Menunggu El pulang dari 'lari'nya.

"Mas, mandi dulu!" seru Ibu dari dalam.

"Nanti dulu, bu."

Dan sekitar sepuluh menit kemudian, bisa ia lihat El mulai mendekat ke rumah mereka. Lari pemuda kecil itu melambat saat melihat Vano berdiri di teras rumah dengan wajah merengut.

Vano masih berkacak pinggang. El menelan ludah. Punggung tangannya mengusap keringat yang menuruni pelipis.

"Ngapain olahraga?" tanya Vano sebal.

"Ninggiin badan," jawab El pelan.

"Ngga usah tinggi-tinggi. Gini aja cukup! Pasti lo olahraga karena buncit, iya kan?"

El merengut. Dibilang secara blak-blakan seperti itu, membuatnya tersinggung karena memang benar.

"Gue capek-capek ngegendutin lo, sekarang malah mau kurus! Gak boleh!" seru Vano.

"Kan sekalian biar sehat, Van! Gue ngga ada gerak kalo cuma di rumah. Ntar gue obesitas gimana?! Atau kena serangan jantung! Kan ga lucu, mati gara-gara ngga banyak gerak!"

"Tetap ngga boleh!"

"Pokoknya gue mau olahraga!"

Mereka berdua saling menatap tajam. Sama-sama keras kepala. Vano menghela napas.

"Oke. Lo boleh olahraga. Tapi, habis olahraga, lo harus makan sama gue," ujar Vano.

El kembali merengut tak terima, "Sama aja kalo gitu! Lo pasti ngasi gue makan porsi besar!"

"Lo mau olahraga apa enggak?!"

"Iya! Iya! Gue mau!"

"Ya udah! Jangan banyak protes!"

Tbc.

Matahari rasa bulan. Pernah ngerasain ngga? :'v
Kalo belum, ke sini gih. Ke kota saya. Hampir tiap taun ada fenomena ini. Tapi, siap-siap masker ya. Udaranya ngerusak kesehatan sih wkwk

Continuă lectura

O să-ți placă și

Ada Chika Di SMA De Michie🌷

Ficțiune adolescenți

6.8K 1.1K 7
Ilveara, remaja SMA yang terbiasa menjadi pusat perhatian dan suka membully murid di sekolahnya harus pindah ke sekolah lain akibat perbuatan ayahnya...
565K 33.9K 55
Cerita kecil, keluarga Choi. Seungcheol + Jeonghan = Jihoonie. Ngga pinter bikin summary, cuman diinget ya. 1. Ceritanya loncat-loncat 2. Most of it...
19.7K 1.1K 6
[Follow Dulu bagi yang berkenan, aku ngarepin vote komennya jugak ehehe..tapi gak maksa kok, yang penting kalean enjoy bacanya] Pagi hari yang cukup...
2.5M 38.1K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...