Man In Mask: Amour ets Secret

By jjelly_

39.8K 3.4K 440

[Slow update] Baekhyun adalah seorang remaja normal yang mencari identitas diri di Seoul dan Chanyeol adalah... More

Prolog
1. First Met
2. A Suggestion
3. Followed
4. Library and Kissed on Forehead
5. EX'ACT (Do)
6. You
7. Tutoring Learning
8. We are Team
9. EX'ACT ( Friend in Mask)
10. Thought
11. In an Old Building
12. Lonely Prince
13. Emotion
14. A Phone
15. EX'ACT & My Words
16. Hands on Me
17. The Strongest Enemies, Almost Win
18. Sincerity; Candor
19. Bout' the Kiessies
20. Suddenly Like U
21. Closer Together
22. Upset the Link
24. Choices
25. Our Storyline has Changed
26. Love's Charade and the Deception
27. Limitedness
28. One Call Away

23. The Reason Why You are Important

401 48 9
By jjelly_

Tapp tap tap

Derap langkah keras terdengar akibat hentakan kaki yang berlari dengan antusiasme meluap-luap. Jalanan yang gelap terasa sesuai dengan situasi malam yang kelam. Ruko-ruko tua pinggir kota nan senyap seketika dipenuhi hentakan kaki serta teriakan dan nafas yang beradu. Dua kelompok berbeda tujuan itu bergerak saling mengejar dan menghindar.

Ray, sang pemimpin beserta dua anggota inti lainnya-Kai dan Chuang-telah menemukan mangsa mereka. Secara tidak sengaja, ketika sedang melakukan pembicaraaan rahasia, mereka mendapati segerombolan lelaki sedang melakukan transaksi senjata. Mereka melihat sebuah mini gun yang dikeluarkan dari bungkusnya, sebagai bukti bahwa barang yang diberikan benar nyatanya.

Mereka bertiga sama-sama tahu jika warga Negara dilarang menyimpan senjata semacam itu sebagai milik pribadi. Seorang warga Negara dapat dikenakan hukuman karena melanggar peraturan tersebut. Mereka mungkin tidak mengetahui penyebab mereka membeli barang tersebut dari pasar gelap, tetapi mereka mencurigai hal buruk akan segera terjadi.

Semula mereka hanya mendapati seorang remaja yang menerima senjata kecil tersebut dari seorang lelaki yang disangka kurir tersebut. Mereka membuntutinya, si remaja yang menerima barang kiriman sang kurir. Setelah diikuti, ternyata dia menghampiri kawanannya yang tengah memukuli seorang pria berumur empat puluh tahun pertengahan.

Kai, lelaki yang temperamental ini sudah memanas dan tidak sabar untuk menghentikan aksi kejam mereka. Dia tidak berhenti jika kedua temannya tidak menahan lengannya. Jika saja pergerakannya lebih cepat, maka tidak ada yang dapat menghalangi keinginannya untuk menghabisi segerombolan anak itu.

Pria berumur empat puluhan itu nampak kehabisan tenaga dan lemah. Wajahnya hancur karena tinjuan dari mereka. Darah membasahi hampir seluruh kepalanya. Tidak ada satu pun yang berpihak pada pria itu, namun mereka semua terlihat puas menyaksikannya yang terkulai lemas.

Lelaki yang sedari tadi mereka ikuti menghampiri kawanannya, lalu melempar sebuah bungkus kain hitam yang berisi mini gun. Seorang lelaki yang berdiri tepat di depan pria tua itu menangkap benda melayang tersebut. Dia tersenyum miring, membuka bungkusan tersebut.

"Jangan mati dulu, Pria Tua," titahnya seraya mengangkat senjata ke atas. Dia bergaya layaknya seorak penembak jitu,"jika kau mati sebelum peluru ini menembus jantungmu, maka tidak ada gunanya kami menerima senjata ini," lelaki itu nampak mengancam. Dia tidak merasa kasihan, atau pun iba terhadap pria itu. Tanpa keraguan dia mengarahkan senjata membunuh itu kepada pria tak berdaya itu.

Demikian Ray, Kai dan Chuang segera mencampuri urusan mereka. Ketiganya memukul belakang kepala tiga orang terdekat, membuat mereka-yang terkena serangan-tumbang tak sadarkan diri.

"Sialan," gumam lelaki dengan mini gun, lalu melarikan diri beserta kawanannya yang tersisa.

Ketiga lelaki bertopeng itu ingin segera mengejar mereka, tetapi pria tua ini harus segera ditolong. Ray memilih tinggal, menolong pria tua ini, sementara Kai dan Chuang berlari mengejar kelompok itu.

Ray membopongnya perlahan ke arah yang berlawanan dari mereka. Setelahnya menemui jalan raya, lelaki bertopeng itu mendudukkan pria terluka itu di pinggir jalan, menyandarkannya pada sebuah tiang. Kepalanya menengok dari arah kanan sampai kiri, namun tidak ada satu pun kendaraan yang melintas. Dia tidak punya hati meninggalkan pria tua yang terluka ini di jalanan.

Ray berjongkok, memegang pundak pria tua itu pelan, "kau masih kuat, Paman?" pria itu mengangguk, namun tubuhnya sungguh lemah. Terdapat banyak luka luar maupun dalam yang mengakibatkan memar.

"Jika kau masih kuat, maukah kau menunggu selagi aku mengambil motorku?" pria tua itu terbatuk hebat, membuatnya tidak dapat berkata sepatah kata.

Untuk terakhir kalinya, lelaki bertopeng itu melihat sekeliling tempat mereka berdiam, "aku akan pergi. Tunggu aku, Paman," Ray hendak berdiri, namun pria itu menahan tangannya. Pegangannya terlampau kuat dari perkiraan lelaki bertopeng itu. Pria yang terluka parah, yang terlihat sangat lemah ini, mungkinkah dapat menggunakan tenaga sebesar ini?

Tidak mungkin.

Lelaki bertopeng itu melepas tangan pria tua tersebut dengan tangannya yang lain, "ada apa, Paman?" dia menggenggamnya hangat, memberinya ketulusan seolah penjaganya.

Pria tua itu berkata berat," kha-jima," dia menatapnya dengan penuh ketakutan. Kegetiran yang besar terlihat jelas pada raut mukanya.

"Kita tidak tahu kapan bantuan datang. Jika aku tidak pergi, kondisimu tidak akan lebih baik," Ray meyakinkannya. Dia tidak ingin pria ini menyerah dengan hidup hanya karena luka-luka yang diperolehnya malam ini, "kau memiliki anak, bukan? Kau harus bertahan untuknya, jadi, biarkan aku pergi, Paman. Tunggulah sebentar, aku tidak akan lama."

"Andwe, khajima. Mereka ... pasti akan membunuhku," pria itu tetap bersikukuh melarangnya pergi. Genggamannya semakin erat. Tatapannya yang besar dan air mata yang memelas pedih, menimbulkan perasaan curiga dari lelaki bertopeng itu. Pria tua itu tidak memedulikan berapa banyak tenaganya yang tersisa, dengan keegoisannya dia tidak melemahkan pegangannya pada Ray. Dia nampak frustasi dan hanya mengandalkan kehadiran Ray disisinya.

"Apa ..." Ray terbata, "apa yang sebenarnya terjadi? Apa kau melihat, atau, mengetahui sesuatu yang tidak seharusnya?" Tanya Ray menuntut, tapi pria itu sekadar menggeleng dan terus menitikkan air mata. Ray bertanya kembali, "kenapa mereka ingin membunuhmu? Katakan padaku, Paman!"

"Jangan pergi, kumohon ..." ucapnya mengemis.

Sebagai lelaki yang dimintai permintaan dengan bayaran air mata, dia tidak bisa menjawab. Dia hanya dapat memandangi kondisi pria ini. Kondisi sulit yang dialaminya, harus segera berakhir. Dia membaca apa yang dikehendaki pria ini, maka itu dia mengharapkan sesuatu yang dapat membuatnya yakin kalau seseorang yang diselamatkan olehnya dan kawanannya adalah orang yang tepat.

"Katakan, katakanlah kepadaku, maka aku akan memiliki alasan yang cukup untuk menyelamatkanmu," pria itu terperangah, "karena hingga detik ini, yang aku yakini 'kau merupakan target mereka'. Tapi, karena mereka menyerangmu dan membawa senjata di wilayah kami, kami terpaksa menjauhkanmu. Kau harus tahu bahwa kami membela orang yang tidak bersalah. Kami berpihak pada keadilan. "

Pria tua itu kembali menangis. Bahunya terguncang, "aku ..." perkataannya putus oleh rengekan kecilnya, "aku ... "

"Kau kenapa?"

Pria tua itu mengangkat wajahnya, "aku tahu mereka ..."

"Ray!"

Seseorang di seberang jalan meneriakkan namanya, membuat perkataan yang diucapkan pria itu tak terdengar. Ray menengok seseorang itu, namun segera mengabaikannya.

"Kau tahu sesuatu tentang apa, Paman? Bisa kau ulangi?"

"Mereka-

Door!

Bertepatan di waktu yang sama, wajahnya tersiram oleh darah. Matanya melebar seakan hampir keluar karena cairan merah dan kental itu terpercik banyak. Hampir seluruh wajahnya dipenuhi oleh darah karena sebuah kepala didepannya telah tertembak dari arah belakang. Ray sangat terkejut hingga berefek pada waktu yang dimilikinya. Setiap detik yang berjalan usai bunyi tembakan, menjadi dua kali lebih lambat dari biasanya.

Pria tua yang belum menyelesaikan perkataannya, menundukkan wajahnya perlahan dalam pandangannya. Lama-lama, tubuhnya semakin tak terkendali dan tergeletak sepenuhnya di atas tanah. Kepalanya mengucurkan darah tanpa henti dan gerakan. Sekujur tubuhnya menjadi kaku. Matanya yang terbuka lebar memohon pertolongan, kini tertutup rapat. Ray tak percaya.

Door!

Ray yang saat itu masih mengalami syok, menutup telinganya spontan saat satu tembakan kembali menerbangkan pelurunya. Peluru yang tidak tertancap, ataupun menembus bagian kulit siapapun. Peluru itu tidak ditujukan pada arah yang sama, melainkan untuk seseorang yang lain, yang menyaksikan penembakan sebelumnya, seseorang yang berdiri tepat di seberang jalan.

Ray menolehkan kepalanya pada seseorang yang diabaikannya. Ditemukannya seseorang itu telah terduduk lemas dalam kekosongan, satu tangan seseorang itu terkepal di depan dada lantaran dentuman keras yang berada di dekatnya. Waktu yang dimiliki Ray belum kembali, namun hatinya terdorong untuk bangkit dan menyelamatkannya. Dia berlari tanpa memperhatikan jalanan. Kakinya melangkah secepat yang dia bisa untuk menggapai seseorang itu dan melindunginya dengan semampu yang bisa dilakukannya.

Dialah target selanjutnya.

Ray kembali berjongkok untuk yang kedua kalinya. Seseorang ini telah terduduk untuk menghindari peluru, masih diam;membeku melihat pria di seberang sana bersimbah darah. Ray mengguncang tubuhnya sebelum tembakan berikutnya datang dan berhasil dihindari olehnya, "sadarlah, kita harus segera meninggalkan tempat ini," Ray menarik pergelangan tangannya, lalu berlari bersama, menghindar dari serangan penembak yang terus menghujam mereka dengan tembakan tanpa henti.

Ray mendekap tubuh seseorang itu didepan tubuhnya sembari berlari dan menuntun arah pergi mereka. Dia khawatir jika salah satu dari mereka terbunuh, maka akan lebih mudah untuk membunuh satu orang yang tersisa. Oleh karena itu, Ray menggunakan tangannya yang lain untuk melindungi kepala yang berada didepannya. Tidak terpikirkan olehnya untuk melindungi diri sendiri, begitulah tugas dari lelaki bertopeng.

Rintik hujan mulai bertumpahan, semakin deras menjadi hujan yang lebat. Bagi Ray, ini adalah sebuah keberuntungan. Karena dalam hujan, penembak itu tidak mudah melakukan tugasnya. Dalam hujan mereka dapat berlindung dari bahaya mematikan meski harus ditimpa air yang membasahi sekujur tubuh.

Suara tembakan tak lagi terdengar mengejar, membuat Ray menghentikkan langkah kakinya di bawah naungan pohon, "kita berteduh sebentar." Ray melepas tubuh seseorang itu dan mengambil ponsel pintarnya tergesa.

Dia nampak frustasi sebab jawaban yang dinanti sangat lama. Namun, dia segera berkata setelah memastikan telepon itu terangkat, "Chuang-ah, berhenti mengejar mereka," ujarnya memerintah.

"Kami kehilangan mereka. Tapi ... mengapa suaramu terdengar aneh dan nafasmu tersengal-sengal, wae?"

Ray menghela nafas lega. Setelah mencemaskan kedua temannya, dia dapat menuntaskannya, "aku akan menjelaskannya nanti, tapi jangan biarkan Kai menjadikan mereka target."

Ray segera menutup panggilan setelah menerima tanggapan yang memuaskan. Dia kembali pada seseorang yang bersamanya, "ayo," titahnya menarik pergelangan tangan seseorang itu, sementara seseorang itu terus diam, tidak banyak bicara seperti biasanya.

Lelaki bertopeng itu kembali berlari bersama seseorang yang juga menjadi saksi terbunuhnya seorang pria tua. Memang sudah cukup jauh dia berlari, sehingga dia harus kembali berlari untuk jarak yang sama agar menemui motornya. Setelah tiga menit berlari, dia pun menemui motornya.

Ray segera menaiki kendaraannya, namun seseorang yang bersamanya masih berdiam di samping kendaraan. Matanya menyipit akibat titik hujan yang bertumpahan, "ayo, naik. Maaf karena aku tidak memiliki apapun untuk membuatmu hangat."

Seseorang itu mengangguk, menaiki tubuh kendaraan yang basah kemudian. Ray menyalakan motornya sebelum akhirnya benar-benar menjalankan motornya, namun setelah menyalakan mesin kendaraanya, seseorang yang diboncengnya itu melingkarkan kedua tangannya pada tubuhnya erat. Beberapa saat Ray tertegun, saat ini dia sedang didekap oleh seseorang yang pernah dibantunya, seseorang yang pernah memukulnya dan seseorang yang telah menumbuhkan perasaan bersalah pada dirinya.

Saat sekujur tubuh bagian depan lelaki yang diboncengnya itu menempel pada belakang tubuhnya, Ray segera melajukan motor trill miliknya sebab merasa bahwa lelaki itu telah mempercayakannya.

-

"Kau masih tinggal di sana?" Ray bertanya selagi mereka masih dalam perjalanan, tetapi seseorang itu nampaknya tidak mendengar. Ray ingin mengantarnya pulang, tapi rasanya tidak baik membawanya pulang dalam kondisi seperti ini.

Dia pasti sangat syok.

Ray pun tidak berkata apa-apa lagi setelahnya. Dia terus melewati jalanan yang sunyi karena hujan terus berjatuhan dengan derasnya. Ray tersenyum kecil tanpa sadar saat menyadari situasi yang dialaminya saat ini dengan lelaki yang diboncengnya. Ray masih dapat bersyukur telah meloloskan diri dari penembak itu sebab akan membingungkan bagi penembak itu jika hendak mencarinya. Namun, bagaimana dengan seorang saksi yang lain?

Lelaki yang diboncengnya mungkin telah diketahui oleh mereka. Wajahnya mungkin diketahui, dan tidak lama lagi dia akan mengalami hal serupa, seperti yang telah disaksikannya. Dia telah menjadi buronan mulai malam ini. Ray tidak yakin, kapan mereka akan menemukan lelaki ini lagi, tapi yang diketahuinya, itu tidak membutuhkan waktu lama.

Aku harus melindunginya, EX'ACT harus melindunginya.

Hujan telah berganti menjadi gerimis, tapi tidak ada yang tahu kapan gerimis akan kembali menjadi hujan karena berdasarkan ramalam cuaca, Bumi akan dihujani sepanjang malam.

Ray membawanya ke markas ketiga sebab tak ada lagi tempat yang dapat dia tuju. Ray mematikan mesin kendaraannya saat mereka tiba di area markas ketiga. Dia tidak langsung turun karena menunggu lelaki ini tersadar. Ray menoleh ke belakang. Didapatinya lelaki itu masih menunduk, bersandar pada punggungnya dengan tangan yang masih melilit tubuhnya.

Tanpa sadar tangan kanannya terangkat, menghampiri pucuk kepala lelaki itu, namun dia berhenti karena merasa perlakuan itu tidak diperlukan.

"Kita di mana?" lelaki itu mengangkat wajahnya perlahan. Wajahnya sangat innocent, berbeda dari yang ditemui Ray sebelumnya. Dia pun nampak bingung karena tangan Ray berada di dekat wajahnya.

Ray menarik tangannya dan lelaki itu menegapkan tubuhnya, namun tangannya masih berpegang pada pakaiannya.

"Ini salah satu markas EX'ACT. Jangan pernah datang kemari seorang diri dan memberitahukannya pada siapapun. Jika tidak, aku akan membawamu pada penembak itu," Ray mengancam. Dia tidak ingin mendapatkan masalah lagi. Sudah cukup besar masalah yang terjadi malam ini dan tidak seharusnya dia membawa lelaki ini ke markas, tapi apa boleh buat, semua terjadi begitu saja.

"Kau bersungguh-sungguh?" lelaki itu bertanya halus dengan pupil yang membesar.

"Tentu saja. Kau pikir aku tidak bisa melakukannya? Aku ini manusia mengerikan. Jika kau tidak menurut-"

Lelaki itu langsung memeluknya cepat. Dia menangis dengan bahu yang bergetar dan rengekan yang membuat Ray tidak tega. Lelaki bertopeng itu mendesah karena merasa bersalah untuk kesekian kalinya.

"Jangan ... aku mohon, Ray ... hiks," Ray memangku keningnya pasrah. Lelaki itu membasahi tubuhnya yang basah dengan air mata. Dia mengusak wajahnya pada punggungnya, membuatnya merasa tidak nyaman.

Ray tidak tahan mendengarnya, jadi dia langsung menarik tangan lelaki itu dan membawanya masuk ke dalam markas. Ray tidak begitu senang saat mengetahui markas ketiga kosong. Tidak ada kedua sahabatnya, hanya ada dia dan lelaki aneh ini. Ray melepaskan tangannya, lalu berjalan menuju sebuah lemari yang berada di ruang lainnya.

Akan tetapi, kakinya terhenti karena lelaki itu mengekorinya dari belakang, bahkan memegang ujung pakaiannya agar tidak terlalu jauh. Dia pun tidak berhenti merengek.

Ray membalikkan tubuhnya, "aku tidak akan membawamu padanya. Aku hanya berkata 'jika' kau melakukannya."

Lelaki itu terdiam sesaat, melegakan perasaan Ray yang tak menentu karena telah membuatnya lebih ketakutan, sementara dia sudah sangat ketakutan akibat tembakan yang terjadi. Namun, perasaan leganya tak bertahan lama karena lelaki itu kembali menangis. Tangisannya bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya. Ray semakin kalut. Dia tidak tahu harus bagaimana menenangkan lelaki ini.

"Apalagi?" Tanya Ray menyerah dengan nada frustasi. Dia bertekad memberikan segala yang dimintanya supaya lelaki ini tidak menangis didepannya, "kau kenapa, huh?" rasanya seperti ingin mati.

Lelaki itu bersuara keras, "aku takut dia akan menemukanku, aku takut. Aku akan dibunuh, Ray. Aku akan mati, hiks" dia sesenggukan dengan air mata yang mengalir sederas hujan diluar sana.

Ray terhenyak. Lelaki ini ternyata tidak sebodoh yang dia kira. Lelaki itu tahu kemungkinan terburuk yang akan menimpanya. Ray sendiri prihatin dengan kondisinya, tapi saat ini tidak ada yang bisa dilakukannya, selain memberi penginapan satu malam. Ray meraih pundaknya, "tenanglah, aku akan menjagamu," dia berusaha menenangkan.

Lelaki itu menatapnya dalam, "kau berjanji?"

"Iya. Aku berjanji. Atas nama EX'ACT, aku akan melindungimu semampuku. Untuk saat ini, kumohon tenanglah, Baekhyun. Malam ini kau aman bersamaku," Ray tersenyum hangat dan dibalas oleh pelukan terimakasih yang mampu memperlambat satu detakan jantungnya.

Aku terkejut.

Ray memeluknya jua. Dia tahu lelaki ini membutuhkannya. Dia memeluknya seerat yang lelaki itu lakukan padanya karena dengan begitu, lelaki itu menjadi lebih baik.

-

Lelaki bertopeng itu memasuki sebuah ruangan yang dapat disebut sebuah kamar. Bisa disebut kamar karena terdapat ranjang layaknya tempat perisitrahatan dan kamar mandi pribadi. Bukan itu alasan Ray memasuki kamarnya, melainkan untuk pakaian kering yang berada di lemari tersebut. Ray mengambil kaus hitam dan celana hitam didalamnya karena hanya itu yang tersedia. Tidak lupa, dia juga mengambil satu kaus dan celana yang serupa sebagai baju gantinya.

Ray melepaskan atasannya yang basah. Tubuhnya menjadi lembab dan basah akibat hujan, hingga ia merasa kedinginan saat bertelanjang dada. Dia pun teringat pada lelaki yang kini terduduk di ruang depan. Lelaki yang masih mengenakan pakaian basah.

"Dia pasti kedinginan," gumamnya sebelum mengambil pakaian kering itu. Dengan topeng yang masih melekat pada wajahnya, dia menghampiri lelaki itu tanpa menutup tubuh atasnya.

Pikirannya tidak salah. Lelaki itu kini tengah memeluk tubuhnya sendiri dengan sekujur tubuh yang basah.

Ray mendekat, "kau bisa mengganti pakaianmu dengan ini di kamar kecil," Ray menyerahkan pakaian itu lalu kembali ke kamar.

Dia kembali dengan membawa handuk dan berkata, "jangan pernah mengembalikan pemberian dari tempat ini, kecuali handuk ini."

Ray kembali memasuki ruangan setelah menerima anggukan darinya. Dia mengelap ponselnya yang basah, lalu menyalakannya untuk memberitahu orang rumah bahwa dia tidak bisa pulang malam ini.

Dia memasuki kamar mandi dan membasuh seluruh tubuhnya, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Air hujan dapat membawa penyakit, membasuh tubuh adalah hal yang tepat sebelum mengganti pakaian. Dia keluar dengan handuk yang melilit bagian bawah tubuhnya. Dia berjalan menuju pakaian kering, tetapi dia beranjak pergi karena mendengar suara yang buruk.

Ray berlari ke luar, tapi lupa mengenakan topengnya, jadi, dia kembali untuk mengenakan topengnya. Lalu, menemui lelaki itu yang terjatuh di lantai. Ray membantunya bangun, merebahkannya di atas sofa. Lelaki mungil itu menggigil. Bibirnya pucat dan matanya tertutup rapat.

Ray menyentuh kening lelaki itu dengan punggung tangannya, dan terkejut karena merasakan panas disana. Ray memperhatikan tubuh lelaki itu. Lelaki itu nampaknya sedang berganti baju, namun tidak sanggup melanjutkan, sehingga tubuh bagian atas yang belum sepenuhnya kering oleh handuk masih lembab.

Lelaki bertopeng dengan handuk itu pun membantunya mengeringkan tubuh. Dia memakaikannya baju kaus yang sebelumnya dia berikan setelah tubuh bagian atasnya kering. Ray juga membantu melepaskan celananya, tapi tidak dengan celana dalamnya. Dia takut lelaki ini menuduhnya mesum. Jadi, dia hanya melepaskan celananya dan mengeringkan kakinya dengan handuk.

Ray sempat bingung. Saat menurunkan celana lelaki itu, tangannya sempat menyentuh karet celana dalamnya, dan celana dalamnya basah. Jika dia tidak menggantinya, bukankah percuma jika dia memakaikannya celana kering. Ray terdiam dan akhirnya menemukan sebuah ide.

Dia kembali memasuki kamar dan mengambil selimut di sana. Dia bentangkan selimut diatas perut sampai ke bawah lelaki itu, lalu memasukkan tangannya ke sana. Dengan begini, dia dapat menggantikan celana dalam Baekhyun tanpa melihat miliknya.

-

Ray telah berpakaian lengkap, begitu pula Baekhyun. Lelaki mungil itu masih terlelap dengan kain kecil dikeningnya guna menurunkan demamnya. Untuknya, Ray rela terjaga sepanjang malam. Dia belum tertidur sedari tadi selesai berganti baju. Dia mendudukkan dirinya di lantai, disamping kepala Baekhyun agar mudah mengompres dan menjaganya.

Ray menjadi cemas saat tubuh lelaki mungil itu berkeringat. Bukan keringat yang membuatnya secemas ini, tapi Baekhyun yang tidak tenang dalam tidurnya. Dia mengigau tak jelas. Keringatnya hanya menambah kepanikan dan membuat Ray terpaksa membangunkannya. Ray menggoyang pelan tubuhnya, tetapi mata itu belum terbuka. Ray bangkit dari lantai. Dia mencondongkan tubuhnya pada Baekhyun dan melakukan hal yang sama untuk menyadarkannya.

Dia tidak berhenti memanggil lelaki itu, sampai lelaki itu terbangun dan memeluk tubuhnya, lagi. Ray balas memeluk, menahan tubuh lelaki itu yang terkejut, dan langsung memeluknya. Dia pasti bermimpi buruk, begitulah isi kepala Ray. Dia mengusap punggung lelaki itu karena empati besar yang dirasakannya.

Saat lelaki itu perlahan melonggarkan tangannya, Ray duduk di tepi sofa dan mengambil kompres dari keningnya.

"Barusan aku bermimpi buruk. Penembak itu ... aku ...." Lelaki itu kembali ketakutan. Dia menutup mulut seakan mulut itu dapat menutup umurnya. Air matanya kembali berderai dan bahunya berguncang hebat.

"Kau baik-baik saja," Ray memeluknya lagi. Dia mengusap punggung itu halus. Hatinya tidak sanggup mengabaikan keadaan pelik didepan matanya.

"Tapi, dalam mimpi itu aku ... terbunuh," dia terlihat sangat buruk. Dia tidak menginginkannya, namun keyakinannya terhadap sesuatu yang belum terjadi sangat besar.

Ray menggeleng dan masih mengusap punggungnya, "itu hanya mimpi," Ray mendorong tubuhnya agar berhadapan dengannya, "aku akan menjagamu, kau ingat?"

Baekhyun kembali ke dalam pelukannya. Perlahan tangisannya mereda, berlawanan dengan tangis Bumi yang lebat di luar sana. Ray terus mengusap punggungnya hingga tangisannya benar-benar berhenti. Ray tersenyum padanya lagi saat mereka kembali berhadapan. Ray dapat merasakan apa yang saat ini dirasakan oleh Baekhyun. Tangisannya mungkin telah usai, tapi ketakutan untuk mati masih merajainya.

"Pakaianku ..." Ray gelisah saat lelaki itu menanyakan pakaiannya. Jangan sampai lelaki ini marah, lalu pergi dan mengalami hal buruk karena pakaiannya yang telah berganti tanpa sepengetahuannya.

"Aku tidak melihatnya, sungguh. Aku memakaikan selimut di atasmu, lalu ..." Ray menjadi gugup dan bingung dalam memilih kata. Pipinya memerah dan gelagatnya mencurigakan.

"Gwaenchana ... " sahut Baekhyun, membuat Ray terperangah.

Lelaki itu tersenyum lebar, mengundang Ray tersenyum lega. Dia merasa hampir mati jika Baekhyun tidak mengatakan apa-apa. Dia pikir, lelaki itu akan marah, lalu pergi dan ditemukan oleh orang-orang yang ingin membunuhnya, dan dinyatakan hilang kemudian. Namun, semua itu tidak benar. Ray sendiri tahu, jika lelaki itu pergi, maka nyawa menjadi taruhannya. Setidaknya untuk malam ini, dia harus tetap tinggal walau dalam keadaan marah.

"Johahamnida, Ray-ssi."

"Hah?!" tubuhnya menegang. Dari leher hingga ujung kakinya membeku perlahan. Dia tidak percaya dengan telinganya.

"Johahandago," lelaki itu meletakkan lengannya diatas pundaknya.

Ray tidak dapat bergerak. Bahkan kepalanya tidak dapat melihat lengan yang kini bersandar pada pundaknya. Matanya terkunci pada seseorang didepan wajahnya.

"Gomawo-yo, Ray-ssi. Aku rasa ... aku tidak salah menilaimu. Nan ... johahae."

Jantungnya tidak bermain-main. Telinganya pun tidak salah mendengar kalimat dari mulutnya. Matanya juga tidak salah melihat gerak bibir lelaki itu. Ray sangat risau. Dia tidak tahu bagaimana caranya menghindar dan keluar dari posisi ini. Dia memang sangat bodoh dalam hal seperti ini. Dia menjadi kikuk karena seseorang menyatakan perasaannya padanya.

Ray telah menjadi patung dan bodoh dalam waktu yang bersamaan. Ketika Baekhyun mendekati wajahnya, dia kira lelaki itu hendak memeluknya lagi, tapi tidak. Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada wajahnya, membuat nafas mereka saling membelai wajah sama lain.

Ray memejamkan mata karena buaian nafas yang hangat. Dirinya terdorong untuk merasakan sesuatu yang lebih, namun dia tidak tahu apa dan bagaimana itu, sehingga dia menyimpan pertanyaan itu. Tetapi, tidak ada yang terjadi setelah itu. Ray membuka matanya dan mendapati Baekhyun yang telah memundurkan wajahnya dengan senyuman manisnya.

Ray menyentuh dadanya. Disana, jantungnya berdebar cepat dan keras. Dia menatap lelaki dihadapannya, dan bertanya dalam hati, 'apakah ini karena ulahnya? Mengapa seperti ini? Haruskah seperti ini,wae?'

"Kau bodoh, atau berpura-pura bodoh?"

Hatinya tersentak. Dia tahu, dia memang bodoh. Dia memang tidak pandai dalam bidang ini, tapi jika dia belajar tentang sesuatu, dia akan menjadi sangat ahli dalam hal tersebut.

"Mwoya?" lelaki itu menyentuh rahang kirinya, mendesirkan darah yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Kaku sudah lelaki bertopeng ini. Pikirannya pun lenyap karena ungkapan mengejutkan darinya.

Ray tidak dapat menebak yang sebenarnya terjadi padanya. Sentuhan lelaki ini telah membangkitkan sesuatu yang selama ini terkubur dalam dirinya. Ray terus diam, bahkan ketika lelaki itu menarik tangan kanannya untuk ditempatkannya pada pinggang kiri miliknya.

Dadanya sesak saat lelaki itu kembali memberi senyuman yang berbeda dari biasanya. Terlalu sesak hingga kehilangan kendali diri. Ray kembali memejamkan mata saat Baekhyun mendekati wajahnya, dengan hembusan nafas sehangat senja pada kulit wajahnya. Hidung mereka saling menyentuh wajah keduanya, melekatkan sepasang dataran empuk yang kemudian bergerak perlahan.

Ray mulai berkeringat. Saat bibir lelaki itu mencumbu bibirnya, terasa sepasang sayap tumbuh dan membawanya terbang ke dunia lain. Nafasnya kian menipis, namun membangkitkan api dalam dadanya yang sesak. Bibir itu menyecap bibir bawahnya, menimbulkan bara yang memperbesar api tersebut. Ciuman yang lambat itu mampu mengubah kebekuan tubuhnya. Yang mulanya dia mematung, perlahan tangannya bergerak menyentuh bahu lelaki itu. Tanpa disadari olehnya, dia menyukai ciuman ini. Dia terbawa emosi dan hasrat yang membara karena godaan Yun Baekhyun.

Ketika lelaki itu menjauhkan wajahnya dan menarik tangannya menjauh, ada perasaan menyesal yang melingkupinya. Seakan tak ingin menyudahi, lelaki bertopeng itu menahan belakang kepala Baekhyun. Senyum lelaki itu menyadarkannya bahwa yang telah dilakukannya salah, tapi dia tidak dapat menolak saat bibir itu kembali menciumi bibirnya dengan cara yang berbeda.

Kali ini ciumannya tidak selembut dan selambat sebelumnya. Tiap kecupannya terjadi cepat dan beruntun. Kian lama kecupan itu menjadi semakin liar dengan satu tangannya yang mulai menyelinap diantara rambutnya, sementara tangan yang lain masih bertengger pada rahangnya, namun ibu jarinya mengusap sensual di belakang telinganya Ray.

Ray tidak dapat menahannya lagi. Lelaki ini telah menciptakan sebuah magnet tak kasat mata diantara mereka. Dia terus mendorongnya agar dia terpancing dan tak dapat mengelak segala perbuatan yang diberikan. Lelaki itu nampak terkejut, namun tersenyum bahagia saat Ray mulai tertarik.

Mereka saling mencumbu. Namun, lelaki itu tiba-tiba berhenti memberinya kecupan-kecupan. Masih dalam jarak yang dekat, dimana nafas mereka beradu didepan mulut. Ray mulai menikmatinya, namun lelaki ini berhenti tanpa sebab. Jantungnya berteriak kepanasan, tapi lelaki ini hanya diam. Kehilangan akal, Ray menariknya mendekat, tapi lelaki itu menahan pundaknya, memberinya batas.

"Kau menyukainya?" lelaki itu bertanya seraya menatapnya, tapi lidahnya telah dikelukan untuk berkata. Lelaki itu tersenyum, mengalungkan kedua lengannya pada leher Ray posesif, "akhirnya, kau melakukannya."

Lelaki itu mengecupnya lagi, tapi saat Ray ingin membalasnya, dia menjauhkan wajahnya. Ray tahu lelaki ini ingin mempermainkannya. Tapi, dia tidak dapat berdiam diri saat bibirnya telah dicium mesra oleh seseorang.

Ray mendekap tubuhnya, lalu menciuminya dengan liar, menyalurkan besarnya api dalam diri yang tak tertahankan.









-Man in Mask: Amour ets Secrets-







Dirinya tidak lagi seburuk sebelumnya. Dia telah menenangkan tubuhnya setelah keluar dari ruang UKS. Dia hampir gila karena membiarkan dirinya tersakiti oleh masa lalu. Baekhyun kira dia sudah sangat bodoh karena mengira kakaknya terluka karenanya. Padahal, selama ini mereka sudah lama terpisah dan baru bertemu di sekolah ini.

Tidak ada satupun bukti yang mengarahkannya sebagai penyebab dari luka kakaknya. Dengan pemikiran seperti itu, Baekhyun dapat mengendalikan dirinya dan berjalan tegap menuju perpustakaan. Tangannya mungkin terluka, tapi tidak apa-apa, seperti yang dikatakan Jongsuk kepadanya. Baekhyun tegar.

Saat kakinya memasuki perpustakaan, Baekhyun mengedarkan pandangannya ke seluruh perpustakaan, nampak sepi dan kosong. Tidak ada suara, atau tanda-tanda adanya keberadaan seseorang. Baekhyun sempat berpikir untuk pergi karena tidak menemukan seseorang yang dicarinya. Tetapi, karena mendengar suara gaduh yang berasal dari buku-buku, yang sepertinya terjatuh di sudut belakang perputakaan, dia mengira mungkin disana Jongsuk Hyung berada.

Baekhyun berjalan menuju sumber suara itu berasal. Ketika penglihatannya menemukan sosok yang benar, bahu yang sempat menegang, kini melemas. Baekhyun bergerak, menghapiri untuk membantu kakaknya yang kesulitan mengumpulkan buku-buku yang berserakan. Perasaannya sudah lebih baik dan dia bisa mengendalikan emosinya, "biar aku saja."

Baekhyun memilah buku-buku itu sesuai namanya, lalu bertanya, "buku mana yang harus kita bawa?" mereka saling menatap.

"Kau tidak apa-apa?" Baekhyun berdecak acuh. Dia tidak ingin menghiraukan pertanyaan itu. Dia tahu kakaknya sedang mengkhawatirkan perban yang menyelimuti ditangannya, tapi dia tidak ingin mengatakan apa-apa. Dia hanya ingin membantu sang kakak tanpa membebaninya. Kalau saja, Jongsuk mengetahui kejadian sesungguhnya, Baekhyun tidak akan tenang.

"Buku yang mana, Hyung?" tanyanya sekali lagi lebih tegas. Dia melihat Jongsuk yang kecewa, termakan ucapannya. Baekhyun sedih dan hampir terbujuk untuk mengatakan yang sejujurnya karena Jongsuk terlihat sangat tulus.

"Yang ini," laki-laki itu menunjuk tumpukan buku di sebelah kanan Baekhyun dengan penuturan yang berbeda, "dan yang ini, kau kembalikan ke atas saja," tunjuknya pada buku-buku di sisi yang lain. Baekhyun menggigit bibir bawahnya menahan rasa prihatinnya.

Baekhyun melakukan seperti yang dikatakan kakaknya. Dia meletakkan buku-buku itu kembali pada tempatnya. Kemudian menghitung jumlah buku yang telah terkumpul. Baekhyun menghela nafas, melirik Jongsuk dan berkata, "bukunya kurang, Hyung."

"Benarkah?" Jongsuk menatapnya tak percaya seraya mendirikan tubuhnya disamping Baekhyun. Dia turut menghitung karena perkataan Baekhyun.

"Kau benar, jumlahnya kurang satu. Seharusnya sudah tepat, tapi kenapa sekarang jumlahnya berkurang?" Jongsuk bergumam saat Baekhyun sedang mencari buku yang hilang itu.

"Itu, Hyung," Baekhyun menunjuk sesuatu di belakang kaki Jongsuk.

Jongsuk berbalik, lalu memundurkan tubuhnya ke belakang dan menemukan buku yang hilang. Baekhyun berjongkok, begitu pula Jongsuk. Saat Baekhyun menjulurkan tangannya untuk mengambil buku tersebut, tangan Jongsuk pun terulur untuk melakukan hal yang sama. Kening mereka bertabrakan, mengundang rasa sakit dan tawa kecil yang menghangatkan suasana.

Mereka sama-sama menggosok kening yang terasa sakit, saling mengeluh sakit, namun menikmati diam-diam.

"Seharusnya aku saja yang mengambil buku ini," Jongsuk mendekatkan jemarinya pada kening Baekhyun. Dia elus kening itu hingga sang pemilik menyingkirkan tangannya, "lihat, sekarang keningmu sakit, bukan?" Baekhyun membeku dan kagum disaat yang bersamaan.

Matanya memerah saking lamanya tak berkedip. Seolah takjub, Baekhyun terpana dan hanya diam ketika lelaki itu mendekatkan wajahnya. Namun, kesadarannya datang lebih awal, mengacaukan sesuatu yang hendak terjadi. Baekhyun terduduk ke belakang setelah menghindarinya.

"Ini tidak terlalu sakit," Baekhyun tersenyum paksa. Entah perasaannya saja, atau tidak, tapi ada perbedaan yang jelas saat sebelum dan sesudah dia menghindar. Baekhyun tidak mengira perbuatannya telah mengubah suasana menyenangkan antara dia dengan kakaknya. Baekhyun hanya takut.

Baekhyun mengira Jongsuk hendak menciumnya, karena itu dia menjauh. Tapi, yang dia lakukan bukan membuat Jongsuk mengerti, melainkan kecanggungan dan sikap diam yang membingungkan. Baekhyun menyayangi Jongsuk masih seperti dulu. Tapi, dia pikir tidak pantas mendapatkan hal itu darinya setelah yang terjadi padanya tanpa sepengetahuan Jongsuk.

Baekhyun berdiri setelah membawa semua buku itu di tangannya, "ayo, Hyung. Kelas sudah dimulai dan kita terlambat membawa buku-buku ini."

Jongsuk hanya mengangguk, lalu berdiri dan berjalan disampingnya. Sungguh perasaan tidak nyaman dirasakan Baekhyun, namun dia harus melakukannya karena dia tidak pantas mendapatkan itu dari Jongsuk.

Aku tidak menyesal, sungguh ... sebab aku pantas.

-

Tak terasa waktu berlalu cepat. Waktu menunjukkan bahwa sekolah hari ini telah usai dan para pengajar mulai meninggalkan kelas. Meski ada beberapa guru yang masih tinggal di kelas, namun tidak menurunkan semangat murid untuk segera tiba di rumah. Studi yang dipelajari hari ini terasa lebih berat dari sebelumnya. Begitu pula untuk hari esoknya, jauh lebih sulit dari pelajaran hari ini. Oleh karena itu, murid yang rajin akan menyambung belajarnya, sementara murid yang malas akan segera tidur. Pikirnya, siap-tidak siap, sulit, atau mudah, sama saja.

Murid-murid di kelas 1-3 mulai ricuh. Hampir seluruh murid meributkan siapa yang lebih dulu melewati pintu, tidak terkecuali dengan lelaki burung hantu itu. Dia berdesakan, berdiri diantara teman sekelasnya yang memiliki tujuan yang sama. Berbeda dengan Jongdae yang masih di tempatnya. Dia tidak suka berdesakan. Lebih baik menunggu antrean itu hilang, sehingga tubuhnya tidak perlu terhimpit dan sepatunya pun tidak terinjak.

Saat kerumunan teman sekelasnya menipis, Jongdae berbalik pada bangku Baekhyun, "aku pulang lebih dulu. Kau pulang dengan Chanyeol, 'kan?" Jongdae tersenyum menggoda.

Baekhyun mengerutkan keningnya antara malu dan tidak suka. Dia hendak meraih pundak lelaki itu, namun temannya lebih gesit. Dia pun ditinggalkan dengan Jongdae yang menaik-turunkan alisnya, masih menggodanya karena sangat dekat Chanyeol sekarang.

Baekhyun kembali pada posisi. Dia menatap Chanyeol yang sedang berkutat dengan ponselnya. Dia hendak memanggilnya, menanyakan kapan mereka akan pulang, tapi Chanyeol lebih dulu menatapnya dengan cara yang membuatnya terkejut. Baekhyun menjadi urung dan memperhatikan lelaki itu sesaat.

Chanyeol menggaruk pangkal hidungnya, "maaf. Aku tidak bisa mengantarmu pulang hari ini," lelaki itu menyembunyikan bibirnya.

Baekhyun mengangguk pelan. Matanya bergerak perlahan ke arah lain.

"Tapi, aku berjanji akan menjemputmu besok," Baekhyun menatapnya dan kembali mengangguk pelan. Dapat dia lihat kekhawatiran dari lelaki yang masih mengenakan kacamatanya. Baekhyun sulit percaya bila lelaki dingin ini sangat mengkhawatirkan kepercayaannya.

Matanya membulat ketika lelaki jangkung itu memegang bahunya setelah melepaskan kacamatanya, "aku bersungguh-sungguh."

"Iya, aku tidak apa-apa. Besok aku akan menunggumu," setelah Baekhyun berkata, barulah lelaki itu melepasnya dengan penuh lega. Baekhyun melihat senyumnya, membuatnya berpikir Chanyeol perlahan mulai berubah. Baekhyun mengulas senyum saat lelaki itu melangkah pergi.

Kelas menjadi sunyi karena tidak ada seorangpun selain dirinya. Baekhyun berdiri seraya menyampirkan ranselnya di pundak. Sebelum melangkah, dia mendorong kursinya, mendekatkannya pada meja. Lalu berjalan meninggalkan kelas yang sunyi dengan tenang. Tidak terlalu sepi keadaan di luar kelas. Ada beberapa murid yang masih berada di sekitar kelas. Berdiri di depan kelas, dari kejauhan dia dapat melihat sekumpulan anak lelaki yang tengah bermain sepak bola. Selain itu, ada beberapa murid perempuan dan lelaki yang berjalan dengan teman sebaya mereka menuju gerbang sekolah.

Baekhyun tidak merasa sendiri karena suasana sekolah masih cukup ramai. Dia berjalan seorang diri. Setelah melewati gerbang, dia berhenti sebentar, melihat jalanan yang ramai oleh kendaraan. Dia kembali melangkah menuju halte pemberhentian bus yang jaraknya tidak terlalu jauh, hanya tiga ratus meter.

Di perjalanan yang singkat itu, Baekhyun bertemu dengan dua sejoli-hitam dan putih, Kim Jongin dan Oh Sehun. Baekhyun tahu keduanya tidak akan melaluinya begitu saja, mereka pasti mengganggunya, atau mengajaknya berbasa-basi dengan hal yang tidak penting. Baekhyun memutar matanya ke atas.

"Kenapa kau terlihat kesal? Kau tidak senang bertemu denganku?" Jongin merangkulnya, sementara Sehun berdiri di sebelah lelaki tan itu.

Baekhyun menghentikan langkah kakinya. Dia menatap lelaki tan itu tajam, "tentu saja. Mengapa kau selalu menggangguku? Bukannya kau sudah memiliki kekasih?"

Jongin menarik lengannya, "siapa yang mengatakannya? Aku tidak memiliki kekasih," sangkalnya.

Baekhyun menggeleng tak percaya, "semua orang tahu kau berciuman dengan seorang gadis setelah perlombaanmu usai. Apa kau lupa?" Baekhyun mengingatkan. Dia terpancing emosi, berbicara dengan nada marah tanpa sadar.

"Jadi, kau cemburu?" lelaki tan itu tersenyum. Dia nampak malu, saling menatap dengan Sehun yang menaikkan alisnya kemudian.

Baekhyun jengah. Dia menghela nafas. Dia menatap Jongin sebagai seseorang yang dibencinya, "tidakkah kau menyadari sesuatu, Kim Jongin?" Baekhyun menaikkan nada suaranya dengan mata melotot ketika Jongin memandangnya serius, "perbuatanmu telah menyakiti banyak pihak."

"Siapa? Aku tidak tahu. Yang aku tahu hanya kau, Baekhyun."

"Kau tahu Kyungsoo menyukaimu, tapi kau selalu mendekatiku. Sekarang kau sudah memiliki seseorang, tapi kau masih berani menggangguku. Apa kau masih belum mengerti hati siapa yang kau sakiti?" Baekhyun meneguk liurnya. Dia tidak sanggup menutup semua yang diketahuinya lebih lama. Baekhyun merasa ini tidak adil bagi Kyungsoo dan dirinya. Jongin sudah sangat keterlaluan.

"Karenamu, aku dan Kyungsoo tidak bisa berbaikan sampai sekarang. Sejauh mana kau akan membawa kami dalam lingkaranmu?" Baekhyun menunjuk dada Jongin tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun.

Baekhyun mengernyit heran mendapati reaksi Jongin. Lelaki tan itu menjauhkan tangannya dengan cara yang membuatnya terlihat seperti seseorang yang menjijikan. Baekhyun sudah tahu lelaki tan ini sangat temperamental, dan dia menunggu itu agar tidak ada celah yang dapat mengundangnya kembali mengusik kehidupan Baekhyun.

Baekhyun ditatap dengan pandangan yang dinantinya, "aku tidak menyukai Kyungsoo. Aku tidak memiliki seseorang yang spesial dihidupku karena aku hanya berharap kau menerimaku suatu hari nanti."

Baekhyun memejam. Indranya tak sanggup mendapati apa yang terjadi pada detik sebelumnya, "aku menyesal," sahut Baekhyun seakan hidup untuk satu kata itu. Dirinya memanas mengetahui kenyataan yang baru saja terjadi.

"Kau ingin meminta maaf?" Baekhyun melihat senyum yang terkembang dari wajahnya.

"Bukan," senyuman dari wajah Jongin lenyap, "aku menyesal mendengarmu mengatakan itu," Baekhyun berlalu. Dia melangkah maju untuk meninggalkan kedua lelaki itu. Dia telah melewatkan satu bus yang sempat berhenti di halte karena menghiraukan pembicaraannya.

-

Baekhyun tiba di halte, tapi dia kehabisan tempat duduk, jadi dia hanya berdiri menghadap jalanan. Dia mengabaikan orang-orang di sekelilingnya. Keinginannya hanya pulang dengan selamat sampai rumah, itu saja.

Tiba-tiba saja seseorang menyentuh lengan atasnya, "Baek-" dia menggeser tangannya ke belakang. Dia tidak sudi menatap lelaki itu. Baekhyun tetap diam, memandang jalan raya.

Baekhyun terus menganggap keberadaan Jongin dan Sehun tidak ada. Namun, saat seorang perempuan menghampiri Jongin, Baekhyun mengikis benteng tak kasat dari mereka.

"Tolong aku, Jongin. Jika Myungwoo menemuimu, katakan padanya aku adalah sepupumu," perempuan itu meminta. Baekhyun mendengarnya. Dia menajamkan pendengarannya sembari melirik.

"Baik, tapi kau tahu cara kerjanya?" Jongin menawar, membuat Baekhyun kian tertarik dan menolehkan kepalanya.

"Iya. Ibuku punya usaha karaoke dan aku akan memberimu pelayanan gratis sebanyak lima kali, bagaimana? Kau boleh membawa siapa pun, sebanyak apapun tidak masalah, asal kau berjanji menjagaku dari Myungwoo. Itu saja," perempuan itu mengatupkan tangannya, mengelusnya seolah sangat membutuhkan pertolongannya.

Sepenuhnya Baekhyun telah menghadapkan tubuhnya pada mereka bertiga. Dia butuh satu penjelasan untuk kesepakatan mereka.

"Oke. Aku akan mengaku sebagai sepupumu. Sebagai sepupu yang selalu melindungi saudaranya," Jongin dan Sehun tersenyum pada gadis itu. Dari awal mereka nampak asing, tapi sekarang mereka terlihat akrab. Sehun tidak ragu meletakkan lengannya pada pundak gadis itu, dan Jongin mengelus rambut gadis itu sebelum dia itu pergi. Mereka berbalas senyum dan ucapan sampai jumpa.

"Gadis itu ... bukan sepupumu yang sebenarnya, bukan?" Tanya Baekhyun begitu. Baekhyun mencurigai adanya suatu sandiwara.

Kedua lelaki itu mendengus sebelum setelahnya mendekatinya. Mereka berdiri diantara Baekhyun.

"Pelankan suaramu, itu rahasia," bisik Sehun.

"Kenapa kalian melakukan itu? Untuk apa?" bisik Baekhyun pula. Dasarnya, dia memang orang yang sangat ingin tahu banyak hal.

"Demi saku tambahan," jawab Jongin santai.

"Bila klien meminta, Jongin akan menurutinya dengan bayaran yang pas. Aku sebagai teman hanya membantu Jongin dan menikmati hasil bersama," mereka terkekeh, "bila mereka ingin menjadi teman, sepupu, saudara, atau pacar sekalipun, tidak masalah."

"Apapun akan kami lakukan untuk mereka," tambah Jongin.

"Bagaimana jika klien itu memintamu untuk menciumnya?" Baekhyun menatap Jongin.

"Aku akan melakukannya. Itu kesempatan dalam kesempitan," ejeknya lepas.

-

Hampir seluruh anggota bertopeng EX'ACT telah tiba dalam rapat. Tidak semua sebab dalam tiap pos harus mempertahankan satu orang untuk menjaga wilayah kekuasaan mereka. Lalu, anggota yang mengikuti rapat akan memberitahukan segala isi dalam rapat setelah kembali pada pos masing-masing.

Ray, selaku ketua anggota bertopeng tersebut, telah duduk pada tempat seharusnya. Tangan kanannya berdiri diatas meja, memangku dagu dengan rahang tegasnya, menanti orang-orang yang tidak tepat waktu. Dia menggigit bibirnya risau tatkala beberapa lelaki bertopeng itu memasuki ruang megahnya. Berulang kali matanya mengarah pada jam dinding yang terus berdetak tanpa membawa orang-orang pentingnya.

"Di mana mereka?" gumamnya gusar. Kuku jemarinya digigit selama memperhatikan waktu.

Beberapa lelaki bertopeng yang merupakan saudara-saudaranya telah menempati tempatnya masing-masing. Mereka semua memandangnya, menantinya untuk memulai rapat. Mereka tidak berbisik, apalagi membuat sebuah forum dalam forum. Mereka ada dalam sebuah forum yang dipimpin oleh sang ketua, Ray. Mereka tahu, ada yang membuat ketuanya itu belum memulai rapat hingga kini. Mereka pun menunggu kehadiran dua anggota inti yang selalu mendampingi ketua mereka.

Ray berdiri, bangkit dari kursinya dan membungkukkan tubuhnya sedikit, "maaf, membuat kalian menunggu, tapi kita harus menunggu kedatangan Kai dan Chuang."

Seluruh lelaki bertopeng itu tersenyum hangat, "tidak apa-apa," tidak hanya itu, ada pula yang berkata, "kami mengerti," dan, "kami akan menunggu. Jangan cemaskan apapun."

Sebelum meraih bangkunya, dia tersenyum singkat. Dia menarik ponselnya, mengetikkan sebuah pesan pada kedua orang tersebut.

Apa yang sedang kalian lakukan? Semua telah menunggu.

Dia meletakkan ponselnya kembali. Ray maupun seluruh orang di dalam ruangan itu masih berharap agar keduanya lekas menyelesaikan urusannya. Rapat tidak akan dimulai tanpa kehadiran dua orang itu.

Ray menghembuskan nafas terakhir yang digunakan untuk menunggu sebab kedua lelaki yang dicari kehadirannya telah datang. Ray menunduk sedikit, memberi aba-aba agar keduanya melangkah lebih cepat.

"Maafkan kami, semuanya. Ada sesuatu yang menghambat kehadiran kami. Sekali lagi, kami minta maaf," kedua lelaki bertopeng itu membungkukkan tubuhnya dalam. Seakan merasa sangat bersalah, mereka belum berdiri sebelum mendapat permaafan dari anggota lainnya. Keduanya duduk setelah mendapatkan yang mereka harapkan.

"Karena semua orang telah hadir, maka rapat dapat kita mulai," Ray berdiri. Dia berjalan mendekat pada papan tembus pandang-kaca. Ditariknya benda beroda itu ke tengah rapat, lalu berdiri di sampingnya untuk menampilkan gambar dan petunjuk yang tertera diatasnya.

Pada papan itu tertempel sebuah gambar dari seorang pria yang beberapa waktu lalu mati. Ada keterangan mengenai biodata diri di dekat fotonya.

"Ha Insang," tunjuk Ray pada gambar dengan spidol, "dinyatakan tewas akibat kehilangan banyak darah, sementara mengalami luka tembak di kepala."

"Malam itu, aku dan kedua anggota inti lainnya berada di tempat kejadian dan berusaha mencampuri urusan mereka. Mulanya, kami pikir ini ada kaitannya dengan penjualan senjata ilegal yang seringkali keluar-masuk daerah Gyeonggi. Tetapi, barang yang mereka berikan tidak banyak, hanya sebuah mini gun yang dibungkus kain hitam," Ray beralih pada gambar persenjataan.

"Jadi, kami berpikir untuk mencari tahu informasi dari orang yang mengambil barang tersebut. Namun, saat kami mengikuti lebih jauh, kami mengetahui bahwa dia tidak sendirian, dia memiliki kelompok. Dia dan kelompoknya ingin menggunakan senjata itu untuk membunuh Ha Insang, seorang pegawai swasta berusia 47 tahun," Ray menunjuk udara menggunakan spidol ditangannya.

Setelah memandang mata-mata ingin tahu dan keseriusan dari para anggotanya, kepercayaan diri seorang Ray meningkat. Dia melanjutkan penjelasannya dengan kembali melihat pada isi papan bening tersebut, "aku, Kai, dan Chuang merusak kegiatan mereka. Lalu, mereka berdua mengejar kelompok itu, sementara aku membantu pria ini menyelamatkan diri, tapi jalan raya sangat sepi, tidak ada kendaraan yang melintas. Tempat yang mereka gunakan sangat bagus. Mereka memiliki perencanaan yang tersusun rapi, dan aku salut dengan itu."

"Malam itu, jalan yang berhubungan dengan jalanan di sekitar lokasi ditutup karena ada papan pemberitahuan bahwa jalan sedang dialihkan, padahal tidak ada kejadian apapun disekitar lokasi. Bukankah ini adalah sebuah kesengajaan yang mereka ciptakan untuk membunuh pria itu disana tanpa diketahui orang lain?" Mereka mengangguk.

"Itu artinya ... pembunuhan itu sudah direncanakan akan terjadi disana, malam itu, di tempat itu."

Salah seorang anggota mengangkat tangan. Dia berbicara setelah Ray menyilakan, "mungkinkah kau berpendapat bahwa pembunuhan Ha Insang memiliki suatu motif? Karena dari yang kau jelaskan barusan, pembunuhannya adalah sebuah misi, dan jika pria itu memang dibunuh, berarti ada sebuah rahasia besar yang melahirkan misi tersebut. Apakah Ha Insang memiliki sesuatu yang membuat nyawanya terancam?"

"Kau benar. Sebelum pria itu tertembak, dia sempat mengatakan alasan yang membuatnya menjadi target kelompok itu, tapi saat itu ada seseorang yang berada di lokasi kejadian yang mengacaukan pendengaranku, membuatku kehilangan kesempatan untuk mendengar pengakuannya," Ray menunjukkan penyesalannya. Dia memukul meja itu dengan kepalan tangannnya yang kuat, "seharusnya malam itu dia tidak disana," lanjutnnya sesal, lalu barbalik dengan tangan melipat dibawah dada.

"Siapa orang yang berada di lokasi kejadian?" Ray berbalik menghadap anggotanya.

Belum ingin menjawab, muncul sebuah pertanyaan yang tak jauh berbeda dari anggota lainnya, "siapa saksi itu, Ray? Tidakkah kau ingin memberitahukannya pada kami? Aku curiga, kau pasti sudah mengenalnya karena itu kau tidak mendengar ucapan Ha Insang dengan jelas."

Ray menghela nafas berat, "sebelum itu aku harus memastikan bahwa semuanya telah memahami maksud yang kusampaikan sebelumnya. Adakah pertanyaan lain mengenai Ha Insang?" mereka menggeleng.

"Baik," lelaki bertopeng itu mengeluarkan sebuah gambar baru dari sakunya. Dia angkat foto itu, menunjukkan wajah seorang remaja berseragam di tingkat SMA, "Yun Baekhyun. Seorang siswa kelas satu, XoXo International High School," dia menempel gambar itu pada papan.

"Dialah orang yang berada di tempat kejadian dan hampir tertembak oleh letusan peluru kedua. Saat ini dia tinggal di rumah pengusaha ternama yang telah memenangkan penghargaan sebagai pengusaha terbaik dengan perusahaan tersukses di Asia selama tiga tahun berturut-turut, Byun Gaejeong. Semenjak memenangkan kedua penghargaan bergengsi itu, namanya semakin dikenal dan banyak rumor mengatakan bahwa dialah orang terkaya di Asia masa kini ..."

Seseorang yang lain kembali mengangkat tangan, "kau terlalu banyak berkata tentang Byun Gaejeong. Bukankah saksi kita adalah Yun Baekhyun, mengapa kau harus menjelaskan pria itu begitu banyak? Itu tidak berkaitan."

"Mungkin itu tidak berkaitan secara langsung, tapi Yun Baekhyun tidak memiliki hubungan apapun dengan Byun Gaejeong. Yun Baekhyun tidak mengenal siapa orangtuanya. Tidakkah kau bertanya bagaimana dia dapat tinggal disana tanpa adanya sebuah ikatan? Byun Gaejeong tidak mengadopsi Yun Baekhyun, tapi ...

Aku mencurigai ini ada kaitannya dengan transaksi senjata illegal Gyeonggi."

Continue Reading

You'll Also Like

300K 22.9K 104
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
431K 34.6K 65
"ketika perjalanan berlayar mencari perhentian yang tepat telah menemukan dermaga tempatnya berlabuh💫"
483K 36.6K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
61.6K 7.3K 21
Ibarat masuk isekai ala-ala series anime yang sering ia tonton. Cleaire Cornelian tercengang sendiri ketika ia memasuki dunia baru 'Cry Or Better Yet...