Bitter-Sweet Wedding ✅

由 chocodelette

6.6M 200K 4.2K

"Kalian menikah saja?" kata mamanya Tristan tiba-tiba setelah sudah selesai makan. "HAH?!" Luna mendongak. "... 更多

P R O L O G
Unexpected Dinner
Confused
Wedding Preparation
Day Minus 1
The Day (part 1)
The Day (part 2)
The Feeling
Sick....
Concert
Pregnant??!!
Inheritance
Tears
WHAT HAPPENED?!?!
Eviction
It's all about: LUNA
Found
Revealed
Unrequited
Tristan's Birthday
Special Gift
Welcome Home, Baby....
Spoiled
sweeter than chocolate milk
Epilogue

Merlyn?!?!

184K 5.9K 178
由 chocodelette

Luna POV

Siang ini aku bermanja-manja sambil tiduran di atas paha ibu. Udah lama banget aku gak kaya gini, terakhir waktu sebelum aku kuliah di Jakarta.

Sedangkan, Mba Vanya lagi belanja keperluan rumah di supermarket sendiri, karena Aurel lagi tidur di kamarnya, kalau siang gini.

Kak Tristan dan Ayah lagi melakukan perobohan bangunan yang sudah di lahap oleh si jago merah, tapi belum rata sama tanah. Dan dalam waktu singkat ini, anak perusahaan Ardinata yang berada di malang, tempat papanya Lea kerja sekarang. Bakal bangun ulang restauran itu.

Awalnya ibu bilang, kapan-kapan saja dengan alesan duitnya belum ada untuk membangun yang baru, tapi Kak Tristan melotot saat mendengar kalimat itu. Bukan melotot karena marah, tapi kaget.

"Mana mungkin saya nyuruh ibu bayar" jawab Kak Tristan waktu itu.

Tapi ibu tetap bersikukuh jangan di bangun, karena tidak enak dengan Kak Tristan. Terkesan seperti matrealistis begitu katanya. Tapi, lagi-lagi Kak Tristan ngotot untuk membangun restaurant itu dengan alasan aku. Dia bilang aku yang minta. Hhh, rasanya seperti tumbal...

"Lun, masak yuk? Di dapur masih ada bahan-bahan dikit" ajak Ibu saat mengusap-usap rambutku.

Ini yang aku suka dari ibu. Sejak kecil ibu sudah mengajari masak. Katanya, saat umurku 3 tahun aku suka sekali menemani ibu masak di restaurant, bahkan aku begitu antusias katanya.

Makanya, sejak kecil aku sudah terbiasa dengan dapur. Beda dengan Mba Vanya yang sangat tidak tertarik dengan masak, dia lebih tertarik berimajinasi sendirian. Terbukti, dari hasil karangan-karangan, dan gambar-gambar yang ia hasilkan begitu bagus.

Katanya sih, imajinasi. Saat dia berbicara seperti itu, tangannya bergerak membentuk setengah lingkarang di depan keningnya. Persis seperti spongebob.

"Luna lagi pegel, bu" kataku manja. Aku memang benar-benar pegal, entah kenapa. Padahal semalam aku tidur begitu nyenyak dipelukan Kak Tristan, bukan di kursi.

Entah kenapa, ibu tersenyum mendengar penuturanku. Entah apa maksud senyumannya, sangat tidak terbaca sekali. Huft...

"Yaudah kamu tiduran disini aja, ibu yang masak deh. Mau dimasakin apa? Tadi seadanya aja, ya?" Ibu tertawa. Huft, menawarkan, tapi ada batasnya... "Nanti kalo Mbamu udah balik, ibu masakin deh?" tawarnya lagi.

"Luna mau gurame asem manis, ayam bakar madu, sama..........." aku mengingat-ingat tentang apa yang aku inginkan beberapa hari ini. "Udang goreng tepung sama sambel goreng ati bu" jawabku.

"Heh? Banyak banget Lun. Kamu mau nyusahin ibu ya?" kata ibuku. "Yaudah ibu bikin ayam bakar madu sama sambel goreng atinya dulu deh. Gurame sama Udangnya ibu minta Vanya beli dulu ya?"

"Oke, bu.... Makasih yaaaa" kucium pipi ibuku dengan sayang. Ah, baik sekali dia... "Bu, satu lagi boleh ya? Luna mau sayur asem"

"Iya sayang, nanti ibu buatin ya" Ibu tersenyum lagi padaku.

Baik sekali Ibuku, yaampun...

Aku sampai bingung siapa yang tega membakar restaurantnya. Apa tujuannya? Apa maunya? Kenapa dia melakukan ini pada wanita sebaik ibuku?

Atau.... Ini hanya sebuah kecelakaan?

Ah, tidak mungkin! Feelingku mengatakan kalau ini sudah dirancang. Tapi, aku belum tau siapa yang merancang ini...

Tapi feelingku mengatakan, Merlyn...

Ah, berhenti! Jangan menyiram minyak tanah pada bangunan yang sudah terbakar, lagi! Habislah!

***

"Ibu, mau ada tamu ya?" tanya Bapak saat sampai rumah, dan langsung menuju meja makan.

"Gak ada, Pak" jawab ibu enteng, karena ia sedang menyiapkan piring-piring dan sendok serta garpu. Sedangkan Mba Vanya sedang mengambil nasi dari rice cooker.

"Terus ini kenapa banyak banget?" tanya bapak bingung. Wajah bapak jadi terlihat sedikit tua. Kurasa, bapak harus menampakkan wajah bingungnya terus menerus kalau tidak akan banyak ibu-ibu yang anaknya masih remaja naksir sama Bapak, karena dikira umur bapak masih kisaran 45 tahun-an.

Ya, aku tau itu karena ibu menceritakan itu padaku di telpon. Aku dan Ibu memang setiap hari telpon-telponan.

Ibu tersenyum padaku yang hanya duduk manis di meja makan, tanpa berniat untuk membantu sama sekali. Aku benar-benar pegal. "Ini Luna yang minta"

***

Author POV

Tristan melotot mendengar perkataan Ibu mertuanya barusan. Luna yang minta? Tristan sendiri tak yakin kalau Luna mampu menghabiskan semua yang terhidang di meja makan ini.

Tristan memijit pelipisnya, karena melihat Luna hanya cengengesan tak berdosa.

"Lun, kamu......" Tristan tak dapat melanjutkan kata-katanya dan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saja.

"Kenapa?" tanya Luna, tiba-tiba mukanya menjadi galak seperti medusa. "Kamu gak suka aku makan banyak? Pasti kamu gak suka ya kalo aku gendut?" suara Luna meninggi.

"Gak kok, aku suka" jawabnya dengan kaget. Apa-apaan Luna tiba-tiba menuduhnya seperti itu?

"Bohong! Kamu pasti gak suka! Kan kamu sukanya cewek kaya Merlyn yang badannya ba--"

"Merlyn siapa?" Vanya berbisik di kuping Ibunya, dan Ibunya hanya mengangkat bahu, tak tau.

Tristan melotot kaget mendengar nama merlyn disebut-sebut lagi. Apa-apaan Luna tiba-tiba membawa Merlyn ke dalam masalah ini?

Seakan baru tersadar setelah mendengar gumaman Vanya, Luna menutup mulutnya dan memandang Tristan dengan takut-takut. Namun, sorot mata itu tak lagi tajam seperti sebelum Luna menatapnya. Tatapan itu menjadi teduh, sarat akan kasih sayang.

Awan, Tias dan Vanya memilih bungkam.

"Ma--" belum sempat Luna menyelesaikan kalimatnya untuk meminta maaf pada Tristan, rambutnya sudah dielus oleh Tristan dan ditarik kepalanya Luna untuk mendekat ke bibirnya.

Kalian tidak lupa kan, kalau tinggi Luna hanya sedagu Tristan?

Cup.

Tristan menyelipkan rambut Luna berada di samping pipi ke belakang telinganya. "Aku sayang kamu, apa adanya" Tristan menatap Luna tepat dimatanya. "Bukan Merlyn" Tristan mengelus pipi Luna lembut.

"ada ibu sama bapak, ihhh" kata Luna dengan suara manjanya. suara yang hanya akan keluar kalau di depan orangtuanya, Vanya, dan juga Tristan. Tristan terkekeh geli, melihat istrinya yang malu-malu begitu padanya..

"eh?" ibu mengernyit, lalu sedetik kemudian mereka semua tertawa, termasuk Tristan dan juga Luna yang mengumpat di balik punggung tegap Tristan. "yaudah yuk kita makan"

***

setelah makan siang keesokan harinya, Tristan dan Luna membereskan semua perlengkapan yang mereka bawa sedikit, karena Luna merengek-rengek minta cepat ke malang saat itu. dengan pakaian seadanya, dan yang lainnya membeli di malang, merekapun berangkat.

Sedangkan besok mereka sudah harus pulang dari malang, tapi sebelum itu, Luna minta jalan-jalan ke pantai balekambangan, pantai itu adalah pantai yang terkenal di malang. seperti tanah lot bali, mungkin.

Berhubung Tristan ingin liburan, dan dia juga masih merasa bersalah karena tempo hari telah membentak Luna sehingga membuatnya menangis, akhirnya Tristan menuruti kemauan Luna.

dan disinilah mereka sekarang, di mobil anak kantor Ardinata yang digunakkan Tristan untuk mondar-mandir di malang sampai mereka semua kembali ke Jakarta besok.

pantai balekembangan tidak terlalu jauh dari pusat kota. mereka menghabiskan waktu 2 jam hanya untuk diperjalanan. Tristan tetap fokus menyetir. berbeda dengan Luna yang sudah terlelap di sebelahnya. kali ini, Luna tidurnya tidak mangap-mangap seperti saat pertama kali tidur di mobil Tristan dulu. ia tidur dengan cantik dan damai, bak bidadari turun dari khayangan...

Tristan menoleh ke arah Luna dan tersenyum, "cantik" gumamnya, lalu memfokuskan diri pada jalanan.

tidak, tidak fokus seratus persen. otaknya dipenuhi wanita disebelahnya. Luna memang tampak lebih gemuk, mukanya juga lebih bersinar dan belakangan ini dia sering mual-mual, sifatnya juga jauh lebih manja. biasanya ia tidak pernah minta dipeluk kalau tidur, Tristan lah yang berinisiatif untuk memeluknya, dan dia tidak pernah minta untuk disuapin, tapi sekarang hal itu adalah hal yang paling sering dilakukan oleh Luna.

Tristan bukan orang bodoh yang tidak mengerti akan tanda-tanda orang hamil, ia yakin 100% kalau wanita disebelahnya ini sedang mengandung buahcinta mereka, tapi Tristan tidak berani menanyakan atau pun mengajak Luna untuk cek ke dokter kandungan. bukan, bukan Tristan takut pada Luna, tapi Tristan takut pada hasilnya. kalau hasilnya negatif, Luna pasti akan sangat terpukul...

dan, Luna pasti akan merutuki dirinya sendiri. ia bahkan akan menghina dirinya sendiri, kalau dirinya adalah wanita mandul, yang tidak akan memiliki anak, dan setelah itu ia akan menangis dan kemungkinan dia bisa jatuh sakit. seperti saat itu...

Tristan menggeleng-gelengkan kepalanya pusing. ia ingin sekali ngecek bagaimana keadaan Luna sekarang.

kalau Luna sekarang hamil, dan ia belum sadar, ia pasti menyesal karena tidak merawat Luna sepenuh hatinya. maksudnya, ia kan tidak tau Luna hamil atau tidak, begitupun Luna, pasti Luna tidak akan minum susu ibu hamil, dan sebagainya yang harusnya dilakukan ibu hamil diawal kehamilannya. ia takut anaknya kekurangan nutrisi di dalam rahim Luna.

tapi kalau Luna tidak hamil, habis sudah air mata Luna karena ia gunakan setiap malam.

"kakak kenapa?" tanya Luna yang sudah bangun daritadi saat Tristan menggumamkan kata 'cantik' untuk memuji dirinya, dan daritadi ia melihat kepala Tristan geleng-geleng, membuatnya menjadi bingung. namun Tristan seakan terlalu sibuk dengan pikirannya, sehingga tidak sadar kalau wanitanya ini sudah terbangun daritadi.

Tristan menengok dengan mata melotot kaget, "kok kamu bangun? sejak kapan bangunnya?" tanya Tristan bingung.

"sejak kakak bilang aku cantik" jawab Luna cengengesan dengan berbangga hati. "kakak kenapa geleng-geleng?" tanya Luna lagi, karena tadi pertanyaannya diabaikan begitu saja.

"ini Lun....." Tristan berpikir sekeras mungkin, ia tak tau harus mengatakan apa pada Luna. tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya ia pikirkan, itu sama saja menancapkan pisau ke hati Luna. "enggg....." dia masih berusaha berpikir, dan tanpa sadar ia mengusap tengkuknya, tanda ia grogi.

"kenapa sih?" tanya Luna lagi... Tristan benar-benar tidak konsen saat ia sadar kalau Luna sedang memperhatikannya. "ehh ka, salah jalannya......" spontan Luna mengingatkan.

"Nah ini, daritadi aku udah bolak-balik lewat sini mulu, tapi gak tau jalannya, kayanya aku nyasar deh" kata Tristan. ah, bagus otak! dia tidak sepenuhnya berbohong, karena sebelum Tristan bilang Luna cantik juga Tristan lewat jalan sini, tapi ia tidak tau harus kemana. HPnya lowbat, dan otomatis mereka tidak punya panduan.

Luna tertawa, manis sekali. "nanti di depan belok kanan ka, itu buat balik ke jalan tadi," kata Luna dengan halus.

Selanjutnya, Luna yang memberi arahan kemana mereka harus berbelok, dan Tristan hanya mengikuti saja, karena ia tau Luna sudah berkali-kali ke pantai ini. kenapa Tristan tau? ya, karena waktu Luna minta ia mengatakan "kangen sama pantai sana, udah lama banget gak kesitu"

Akhirnya Tristan dan Luna sampai ke tempat penginapan yang mereka tuju. Mereka hanya beristirahat sebentar, lalu berjalan ke belakang tempat penginapan itu. Pantai balekembangan yang cantik terbentang luas disana.

Tristan mencari sebuah gazebo untuk mereka bersantai sebentar, untuk menikmati es kelapa saja. Namun, Luna yang seperti terlalu bahagia tidak mengijinkan itu.

Mau tak mau, Tristan menuruti apa yang Luna minta, dengan satu syarat, Luna tidak lari-lari. Luna dengan tidak semangat menurutinya, padahal ia ingin sekali berlari-lari menghantam deburan ombak.

Tapi tidak, ia tidak melakukan itu. Selain karena itu adalah syarat dari Tristan, Luna juga merasa kalau badannya sangatlah berat. Entah sudah segendut apa ia sekarang, ia tak tau. Ia tak berani menatap kaca full-body. Ia hanya berani berkaca wajah, namun pipinya saja sudah bengkak, apalagi daerah lainnya.

"Kak sunsetnya cantik ya" kata Luna di dalam rengkuhan Tristan, saat mereka sedang duduk memerhatikan sunset yang ada di depan mereka. Warnanya oranye kemerahan, sempurna.

"Masih cantikan istriku, tapi" jawab Tristan kalem, matanya masih tertuju pada matahari yang tinggal seperenam bagian saja.

Luna merasa kehangatan matahari yang tinggal sedikit itu menjalar ke hatinya. Hangat sekali, sampai-sampai membuat pipi Luna panas dan memerah tanpa ada yang sadar-kecuali author ya.

Tak ada kata yang terucap diantara mereka lagi setelahnya. Mereka saling menikmati detik-detik matahari itu kembali ke peradabannya, dan menyiapkan diri untuk hari esok.

"Kak, mau ikan bakar disitu" tunjuk Luna pada warung tenda dipinggir pantai. Langit sudah mulai gelap, tapi tidak begitu gelap.

Tristan mengangguk sambil tersenyum, ia memang lapar akibat 3 jam bermain air, sambil mengejar-ngejar Luna yang tidak menuruti syarat yang ia berikan.

Hanya awal saja Luna berjalan disebelahnya, kadang juga di depannya. Namun setelah itu, Luna akan berlari-lari kecil, dan lama-lama mereka main kejar-kejaran. Oh, bukan kejar-kejaran seperti film india. Tapi, Luna bandel, dan Tristan ingin menangkapnya.

Entahlah, Tristan benar-benar yakin kalau Luna hamil. Ia hanya takut Luna jatuh, dan ia serta bayi mereka akan terluka.

Mengapa Tristan begitu yakin? Feeling suami, mungkin...

Luna menggenggam tangan Tristan dan berjalan di depannya, tapi sekuat tenaga Tristan menahan agar Luna tidak lari. Ia sudah cukup lelah menghapi kelincahan wanita di hadapannya kini.

Saat mereka sudah hampir sampai warung tenda itu, mata Luna melihat sosok yang begitu ia kenal. oh tidak, ia tidak kenal, hanya mengetahui kalau itu......

"Merlyn?!" pekiknya tak sadar.

Tristan mengernyit saat nama itu lagi-lagi disebut oleh Luna. "Kamu kenapa?" tanyanya.

"Itu..." tunjuk Luna pada sebuah kerumunan orang. "Itu merlyn kakkk! Ada merlyn disini" entah kenapa, kebahagiaan yang Luna rasakan barusan menguap begitu saja melihat sosok itu.

Merlyn.

Sosok yang ia curigai menjadi dalang dibalik semua kecelakaan yang menimpa orang-orang disekitarnya.

"Gak ada Merlyn, Lun, gak ada" kata Tristan kalem, masih menggenggam tangan Luna. "Udah ayo kita makan"

Makan? Bahkan nafsu makannya sudah hilang bersama kebahagiannya saat melihat Merlyn.

Tapi Luna dengan keras kepalanya, melepaskan genggaman itu dan berlari kecil ke arah orang-orang.

"Lun aku cape lari-larian terus" kata Tristan saat sudah dapat menggapai lengan Luna. "Kamu dengerin aku, disini gak ada Merlyn, oke?" katanya.

Tapi Luna masih yakin akan penglihatannya. Ia belum rabun, minus aja enggak. Matanya masih normal, penglihatannya masih baik.

"Tapi aku liat Merlyn kak, aku liat diaaaa!" geram Luna frustasi merasa Tristan tidak percaya padanya. Ia sungguh-sungguh melihat Merlyn barusan. "Pasti dia disini karena mau nyelakain ibu lagi"

Lagi-lagi Luna berhasil melepaskan genggaman tangan Tristan, dan berlari semakin kencang ke arah kerumunan orang-orang itu. Ia tak peduli akan suara Tristan yang terdengar begitu marah memanggil namanya.

Ia berlari, berlari dan...

***

Luna POV

"Luna! Udah berapa kali aku bilang, disini gak ada Merlyn!" teriak Kak Tristan tepat di depan mukaku.

Apa yang barusan ia lakukan? Ia membentakku karena Merlyn lagi. Ini ketiga kalinya aku dibentak olehnya, dan semua penyebabnya sama. Merlyn.

"Ada kak, ada" aku mencoba melepaskan genggaman Kak Tristan di lenganku, begitu erat. Membuat agak sakit. "Disana ada, Merlyn!" bentakku.

"Lunaaaa!" teriaknya.

"Lepas ka, lepas!" Aku berusaha menghempaskan tangannya, tapi tidak bisa...

"Luna, denger aku!" katanya dengan nada tajam. Kaki gemetar karena merasakan panas dipipiku. Aku ditampar oleh suamiku sendiri. Apakah dampak dari di tampar sesakit ini? Kaki-ku sangat lemas sekarang.

"Pertama, Merlyn gak ada disini. Kedua, kalopun Merlyn ada, dia cuma ada kerjaan karena emang dia sama timnya lagi ada tugas di Ardinata Malang" dia menarik nafas, dan membuangnya secara kasar. "Ketiga, terserah kalo kamu mau nyari dia apa gak. Aku gak peduli" katanya, dan seketika itu juga ia menghempaskan tanganku secara kasar dan berjalan meninggalkanku. Sehingga ia tidak melihat kalau aku terduduk di pasir putih ini dengan lemas.

***

Author POV

Merlyn dari kejauhan. Ya, dia memang ada di pantai itu juga, tapi seperti yang dikatakan Tristan sebelumnya. Urusan pekerjaan. Bahkan Merlyn juga berdiri diantara kerumunan orang-orang, yaitu timnya.

"Pak Tristan kasar gitu gak, sama kamu dulu?" tanya seorang partner Merlyn yang sama-sama melihat kejadian itu.

Merlyn menggeleng, menahan air dipelupuk matanya. "Gak, dia berubah. Kasian Luna." Mata Merlyn menamapakan kesedihan begitu mendalam melihat kejadian tersebut. Walau mereka tidak bisa mendengar apa yang Tristan dan Luna bicarakan.

"Iya, Kasian ya Bu Luna" jawab yang lainnya.

"Pak Tristan emang gitu, perintahnya gak bisa dilanggar sama sekali" jawab Gesna. "Kalo yang diperintahin dilanggar, atau hasilnya mengecewakan, bisa dibentak abis-abisan sama dia" sambungnya.

Seketika semua mata tim melotot ke arah Gesna. Mereka mengingat-ingat, dan mengangguk, kecuali Merlyn. Dia tak tau apa-apa.

"Emang iya?" tanya Merlyn ragu.

"Ya," jawab Gesna. "Dulu ada pembangunan yang hasilnya jelek banget, karena orang yang kerja mau korupsi jadi dia beli bahan-bahan yang murah, tapi di laporan dia nulis bahan-bahan yang bagus" jelasnya. "Waktu tau bangunannya rapuh, Pak Tristan nyari tau, dan setelah tau itu kenapa dia ngebentak-bentak bahkan sampe bikin babak belur" lanjut Gesna lagi.

Merlyn mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Tristan memang tidak pernah kasar padanya, tapi dia bersifat cuek. Kalau Merlyn mau pergi kemana-mana, dia tak pernah melarang. Beda dengan Luna...

***

Dua orang di jarak yang berjauhan, di waktu yang sama saat Tristan meninggalkan Luna saling melempar seringai kemenangan. Dan, saling mengirimkan pesan singkat ke ponsel masing-masing.

"Ini kan yang kamu mau?"

"Ralat. Bukan 'kamu' tapi 'kita'. Hahahah"

"Ya, tapi minus adegan tampar-tamparan ya. Ini diluar rencana kita"

"Yah elah, emang dianya aja yang cewek lemah"

"Kalo kamu lupa, biar aku inget. Dulu kamu juga kaya gitu, bedanya kamu punya otak setan!"

"Ya, itulah kelebihan ku"

"Terserahlah!"

Mereka saling melempar senyum setan yang sama-sama mereka milikki.

***

Seakan setan yang memasuki tubuh Tristan baru keluar, ia baru tersadar hal apa yang ia lakukan pada Luna barusan. 'Setan!' rutuk Tristan pada dirinya sendiri.

'Apa yang barusan kau lakukan Tristan? Kau baru saja meninggalkan istrimu. Suami macam apa kau!' batin Tristan memaki dirinya sendiri.

Segera Tristan balik badan dan melihat Luna sedang terduduk sambil menyelipkan wajahnya diantara kedua lutunya. Tristan yakin Luna sedang menangis.

Tristan melangkah mendekati Luna, yang masih menunduk. Bahunya bergetar Luna disentuh oleh Tristan, namun dengan cepat ditepis oleh Luna.

"Luna" panggil Tristan tertahan.

Luna langsung mendongak, dan pemandangan itu membuat hati Tristan teriris. Mata itu terluka. "Pergi!" teriak Luna masih dalam isakannya.

"Maaf Lun" Tristan begitu menyesal akan hal yang ia lakukan tadi.

"Aku bosan denger kata maaf dari kakak! Pergi! Aku gak butuh suami yang cuma bisa nyakitin aku" bentak Luna, sudah berhenti terisak, dan digantikan dengan kemarahan.

"Lun, kakak tadi lost control, maaf Lun" Tristan mencoba memegang bahu Luna lagi, tapi lagi-lagi ditepisnya.

"aku gak mau kemakan sama kata maaf kakak lagi... PERGIIII!!" teriak Luna lebih kencang.

Entah apa yang mendorong Tristan, hingga ia berlutut dihadapan Luna demi mendapat maaf dari Luna. "Maaf, Lun, maaf"

Luna yang tak enak dilihat oleh orang-orang segera mengangkat tubuh Tristan, sehingga ia berdiri lagi.

"Asal kakak tau ya! Aku benci kakak! Aku benci kita dijodohin" bentak Luna dengan nada begitu emosi, tapi tak sepenuhnya keluar dari hatinya.

"Aku benci kakak yang jadi suamiku!" bentaknya lagi, sambil memukuli dada Tristan. "Aku ben---"

"Lunaaa!" teriak Tristan saat tiba-tiba mata Luna terpejam, dan hampir saja tubuhnya terhempas ke pasir putih kalau saja tangan kokoh Tristan tidak menahannya.

***

Tristan POV

Sekarang Luna sedang terbaring di sebelahku tepatnya di dalam pelukanku. Tadi ia pingsan saat meluapkan emosinya padaku. Aku segera menggendongnya dan berlari ke tempat penginapan.

Kalau nanti dia terbangun dan mencak-mencak karena kupeluk, bilang saja kalau aku pun tidak sadar kalau memeluknya. Toh, aku akan pura-pura tidur.


Kurasakan pergerakan tubuh Luna. Sudah ku bilang tadi kan, aku akan pura-pura tidur, tidak tidur beneran. Aku melihat jam yang tergantung di depan Luna. Jam 23.00. Oh, sudah cukup lama ya aku memeluknya. Kurang lebih seiatr 4 jam. Gak kerasa.

"Ekh" Luna terdengar putus asa karena tidak bisa bergerak bebas, sedangkan saat ia ingin melepaskan tanganku. Aku tidak mengeratkan, tapi aku membuat tanganku kaku. Sehingga ia susah mengangkatnya.

Kasian juga.

Aku melemaskan tanganku, dan dengan mudahnya Luna melepaskan pelukanku dan meletakan tanganku di depan perutku. Eh apa? Kenapa dia meletakkan di perutku? Bukannya kalau dia marah, dia akan menghempaskan dengan kasar?

Aku mengintip dari celah mataku yang sengaja kubuka sedikit.

Dia duduk dan melihat ke arahku. Lalu melihat ke arah jam yang ada disamping kirinya. "Laper" katanya sambil memegang perutnya.

Luna langsung bangkit dari ranjang, dan menghampiri pintu. Tapi ia menggeram frustasi saat waktu gak nemuin kunci. Ya, memang kuncinya kusimpan dikantong celanaku. Entah kenapa, aku yakin Luna masih marah padaku, dan dia berniat kabur.

Ya walaupun ternyata dugaanku salah. Dia tidak ingin kabur, tapi hanya ingin mencari makan.

Kasian dia.

Dia berjalan ke arah laci yang terletak di sebelahku. Dia membuka satu per satu laci itu dengan tidak sabar, dan berisik sekali.

Ah, ini waktunya, aku pura-pura bangun.

"Enggg...." erangku pura-pura, seakan-akan baru bangun tidur. "Lu....na" kataku dengan suara

lemah.

Luna tetap mencari kunci itu, tanpa menghiraukan panggilanku.

"Kamu cari apa?"

Luna masih saja diam, dia mengobrak-abrik semua tempat yang ia kira dapat menemui kunci itu. Dan aku hanya memandangnya dengan tersenyum kecil. Aku yakin dia tak akan melihat, kan ini gelap.

Akhirnya, Luna terduduk disudut lemari dengan frustasi sambil memegangi perutnya.

"Cari kunci..... Laper" katanya, menatapku dengan pandangan memelasnya.

Kasian dia.

"Oh" aku mengangguk-angguk. Dan langsung turun untuk mengambil dompetku dilaci yang sudah diobrak-abrik Luna, tanpa ia bereskan.

"Ayo makan" kataku mengulurkan tangannya.

Luna memilih berdiri tanpa memegang tanganku, dan dia meminta sesuatu padaku. "Kunci" tagihnya. "Aku mau makan sendiri, gak sama kamu!" katanya sengit.

Eh?! Biasanya dia bilang 'kakak' bukan 'kamu'.

Aku kembali ke ranjangku, tanpa memberikan kunci itu. Luna tampak geram melihat ulahku.

"Ada 3 pilihan pertama, makan sama aku. Kedua, kamu di kamar dan aku yang cari makan. Ketiga, gak makan sama sekali, karena aku gak akan ngebiarin kamu keluar sendiri" aku memberikan opsi untukknya.

Kalau kondisinya aku dan Luna tidak berantem, aku yakin Luna akan kegirangan dengan semua pilihanku karena ia tidak perlu repot-repot mencari makanan.

Luna menghela nafas putus asa. "Bosi" katanya tanpa menatapku, malah jalan duluan ke pintu. "Pilihan pertama"

***

"Bu, kerang bakar 2, ikan kue bakar, sama es teh manis gulanya dikit aja ya" kata Luna pada ibu-ibu yang jualan.

"Nasinya uduk apa putih mbak?" tanyanya.

"Uduk deh bu, bawang gorengnya yang banyak ya" katanya.

"Oke" jawab si ibu tersebut. "Kalo masnya?" tanyanya padaku.

"Saya ikan kue bakar sama cah kangkung, minumnya teh anget ya" jawabku.

"Nasinya, mas?"

"Nasi putih aja"

Tak berapa lama, pesanan kami datang. Perutku yang sudah keroncongan karena cacing sudah menari balet daritadi semakin meronta ketika menghirup aroma makanan di hadapanku.

Luna terlihat melahap makanannya dengan lahap. Saat aku baru mulai makan dan nasinya sudah tinggal setengah, aku sadar ia melihatku dengan begitu intens. Aku menoleh kepadanya.

"Kenapa?"

Dia tetap memandangku, tanpa berbicara.

"Lun, kenapa?" Aku mengulang pertanyaan itu.

"Makanan kakak enak ya?" tanyanya.

Heh, mana kutau. Jelas-jelas aku belum makan, nasiku saja masih utuh. Ikanku pun belom tercabik-cabik seperti ikannya. Kankungku pun masih pada tempatnya. Belom ada yang kusentuh sama sekali.

Aku mengangguk saja.

"Luna mau?" tanyaku.

Dan detik itu juga aku menyesal telah melontarkan pertanyaan itu. Kenapa? Karena kulihat ia mengangguk dengan semangat, dan ada binar bahagia dimatanya. Oh....

"Mau disuapin" katanya.

Ohhh, jadi ini maunya? Tak apa lah, ini tandanya dia sudah tidak marah lagi padaku dan akan bermanja-manja padaku.

Yes! Hatiku bersorak senang!

"Pake tangan, jangan sendok" katanya menghentikan gerakanku yang ingin mengambil sendok di hadapanku.

Akhirnya aku memesan satu porsi yang sama denganku, selama masih menunggu aku menyuapi Luna yang tampak girang sekali.

***

"Lun titip dompet sama HP bentar, kebelet" kataku, dan melihat dia mengangguk. Kutinggalkan dia di warung tenda yang kebetulan sepi.

Hanya ada dia, dan ibu-ibu yang jualan, dan anaknya ibu itu yang daritadi menatapku dengan tatapan 'aku siap menerkammu'. Membuatku bergidik ngeri.

Aku berjalan ke arah pohon kelapa yang jaraknya agak jauh dari warung tenda tadi. Tadi memang banyak warung-warung tenda yang menutupi pohon kelapa, aku kan tidak mungkin buang air di belakang tenda.

Oh, tidak!

Baru saja aku memegang resleting celanaku, belum kubuka, dan aku mendengar teriakan Luna.

"Kakkk! Kak Tristaaaan!" teriaknya.

aku berlari ke warung tenda tadi, tiba-tiba rasa kebeletku hilang entah kemana. Saat aku sampai ke warung tenda itu, Luna sedang meronta-ronta dipegangan seorang yang tubuhnya tidak terlalu besar, tapi memakai pakaian serba hitam.

Oh, bodyguard gagal dasar.

Kuhampiri mereka dan langsung kutendang tulang keringnya. Dan dia mengaduh kesakitan. Ah, bodoh. Percuma sekali pakaian hitam-hitam, yang menandakkan ia bodyguard, ditendang sekali saja sudah mengaduh seperti itu.

Dengan mudahnya aku menarik Luna, karena 'bodyguard' itu tangannya digunakan untuk memegang daerah tulang keringnya yang sakit.

Kasihan....

Luna menatapku dengan mata yang memancarkan ketakutan begitu dalam.

Aku langsung mengajak Luna kembali ke tempat penginapan. Eits, jangan menuduhku tidak membayar. Aku sudah membayarnya sebelum aku pamit ke Luna untuk mencari pohon kelapa tadi. Aku juga meninggalkan Luna karena ia belum menghabiskan minumannya.

Saat sampai di kamar, tiba-tiba saja Luna menangis. Kudekati dia, untukku peluk. Dia tidak menolak. Ah, untunglah, dia sudah tak marah padaku. Aku tersenyum lega.

"Jangan kakak kira aku udah maafin kakak ya, aku masih marah sama kakak"

Eh? Kenapa dia tau isi otakku?

Aku masih memeluknya, tanpa mengeluarkan 1 kata pun.

"Kak, Luna marah" katanya mencubit perutku.

"Iya, iya, maafin dong" kataku.

"Maaf terus dilakuin lagi, buat apa?" katanya, lalu menarik diri dari pelukanku. Aku tak memaksakan dia tetap dalam pelukanku.

Kupegang tangannya, dan dia tak menolak sama sekali. Kutatap ia tepat ke matanya. "Luna, kakak minta maaf tadi udah ngebentak Luna, bahkan sampe nampar, kakak lost control" kataku jujur. Aku merasa tadi kemasukan setan yang datang entah darimana.

"Sakit kakkk, sakitnya tuh disini" kata Luna sambil menunjuk pipi kanannya yang tadi kutampar.

"Disitu?" tunjukku pada pipinya. "Bukannya disini?" kataku sambil menunjuk ke dadanya.

Biar seperti ABG di pantai tadi, kalo berantem selalu bilang 'sakitnya tuh disini' sambil menunjuk ke dadanya, ke hatinya.

"Ih, abege banget" kata Luna malu-malu sambil menampar pipiku halus, lalu memalingkan wajahnya yang memerah.

Kugapai lagi tangannya yang tadi kulepas untuk menunjuk dadanya. Kuangkat tangannya, dan kusejajarkan dengan dada kami berdua. "Lun, kakak gak bisa janji buat gak kasar sama kamu, tapi kakak bakal usaha" kataku jujur. "Kamu tau sendiri, aku bos, aku jarang banget dilanggar, makanya aku kesel waktu kamu ngelanggar aku" lanjutku.

"Tapi kakak ngebentak Luna kalau lagi topik Merlyn terus" kata Luna sambil memanyunkan bibirnya. tanda dia ngambek.

"Luna mau kakak jujur?" tanyaku, dan dia mengangguk.

"Sebenernya kakak mau ngebentak kamu waktu tadi lari-lari, padahal udah dibilang jangan lari, kakak juga mau ngebentak kamu kalo kamu ganggu kakak kalo kakak lagi kerja, dan ngancem gak mau makan kalo gak disuapin. Kamu tuh gak inget waktu" kataku.

Luna menundukkan kepalanya. "Luna kan cuma mau manja-manja sama kakak, emang salah?" tanyanya. "Lagipula kenapa gak dibentak? Kenapa ngebentaknya kalo tentang Merlyn aja?" tanyanya lagi.

"Gak salah, mungkin salah kakak yang terlalu sibuk. Dan kenapa ngebentak cuma kalo ngomongin Merlyn, karena kamu selalu keras kepala" jawabku.

"Luna cuma mau ngebuktiin ke kakak, Merlyn yang ngerencanain ini semua" katanya lagi.

Luna semakin tertunduk, dan aku mengusap rambutnya. Aku yakin dia takut aku bentak lagi.

Aku menarik Luna mendekat padaku, dan kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Dia menyenderkan kepalanya di dadaku.

"Oke," aku menarik nafas sejenak. "Luna ga perlu nyari tau tentang Merlyn lagi, biar kakak sama orang suruhan kakak," kataku lagi. "Oke?"

Luna tampak diam sejenak, "oke" katanya.

"Luna mau maafin kakak tentang yang tadi?" tanyaku.

Dia tampak diam, sepertinya sedang menimbang-nimbang. Aku tak tau. Aku tak dapat melihat wajahnya. "Mau," jawabnya akhirnya. "Tapi ada satu syarat" katanya.

"Sebut" kataku.

"Luna mau kakak gak terlalu sibuk sama kerjaan kalo di rumah, kerja ya di kantor bukan di rumah. Kalo di rumah, Luna maunya kakak ngeluangin waktu semaksimal mungkin buat Luna" pintanya. Terdengar sedikit egois ya?

"Luna egois? Luna manja?" Waaah, tepat sekali sasaran pertanyaannya. Kurasa ia bisa membaca pikiran.

"Bodo amat, pokoknya Luna mau kakak punya waktu yang banyak buat Luna" katanya sambil mengetatkan pelukannya padaku. "Gimana?"

"Asal kamu mau maafin kakak, gak nyari tau tentang Merlyn lagi dan nurut apa kata kakak, kakak bakal jalanin syarat dari kamu" kataku.

"Yaudahdeh"

"Oke, sekarang waktunya tidur" kataku.

"Peluk ya?" pintanya.

"Siap!"

Akhirnya, aku tidur sambil memeluknya, yang sama memelukku juga.

=====

繼續閱讀

You'll Also Like

853K 53.6K 39
[Cerita dan part lengkap] Bersama Adinata, Ayyara menyadari satu hal. Bahwasannya, menjalani hubungan tanpa cinta bukanlah sebuah masalah besar. Sali...
5.2M 282K 55
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
Mistake ✓ 由 PERSONA

青少年小說

16.1K 1.4K 27
Anila refleks memejam kala cowok beralis tipis itu menyejajarkan wajah, embusan napas dapat dia rasakan. Kerongkongannya semakin tandus, oksigen suli...
2.4M 267K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...