Unlimited | BTS KookV [COMPLE...

By Yozora_MK

1.1M 100K 56.4K

Akhir-akhir ini, perang dingin--yang tak pernah jelas darimana asal-usulnya, dan bagaimana kejadiannya--antar... More

#1. Way to Hate
#2. Now On
#3. Hell Boy
#4. Boyfriend
#5. Sweet Things
#6. Wishy-Washy
#7. Allures
#8. That Jerk
#9. Mannered
#10. Villain & Alliance
#11. Sweet-haired Little Guy
#12. Being Sensitive
#13. Salty Jeon
#14. Sunny Day in Sunday
#15. If You Know
#16. Heartless
#17. Written by You 🔞
#18. Black Stallion
#19. Gravity
#20. Gossip
#21. Warmth on Cold
#22. Paper Hearts
#23. Lies
#24. Chit Chat
#25. Nine To Ten
#26. Wonder
#27. Bad Person
#28. A Confession
#29. First Love
#30.a. Fragments (pt.1)
#30.b. Fragments (pt.2)
#31. Insecure
#32. Winter Child
#33. Intoxicating
#34. A Poison Called Hate
#35. Loveless
#37. Zero Inch 🔞
#38. Slice of Happiness
#39. Our Tale
#40. Always Fine
#41. Stay
#42. To Be With You
#43. Sweet Dreams
#44. You Know Nothing
#45. Hope & Fear
#46. You're The Reason
#47. Do You Hear Me?
#48. Goodbye & Good Things
#49. Across The Limits
#50. Back To You 🔞
#51. Love Heals All Wounds
#52. The Begining (LAST)

#36. A Cure Called Love

21.7K 1.8K 1K
By Yozora_MK

🌸 KookV 🌸

.

.

.

A/N :
Cerita ini hanyalah fiktif & merupakan imajinasi fangirl yg dibumbui unsur dramatis di sana sini.

CAUTION :
Terlalu menghayati cerita fiksi dapat menurunkan tingkat konsentrasi dan menimbulkan efek-efek baper (?). Gejala seperti naiknya tekanan darah,euforia, cengengesan, mual-mual dan hasrat ingin gampar seseorang bukan merupakan tanggung jawab author.

.

.

.

Happy Reading~ ^^

.

.

.

.

.

Akhir pekan adalah hari yang selalu disebut-sebut oleh si guru musik. Hari ini telah dinanti-nanti para murid dengan berdebar-debar. Malam pertunjukan musim dingin telah tiba.

Acara dibuka dengan penampilan para tim pemandu sorak dari kelas sepuluh serta penampilan dari beberapa guru yang ikut berpartisipasi meramaikan. Karena panggung berada di dalam gimnasium, maka selama acara pembukaan berlangsung, para murid yang lain sedang bersiap di ruang-ruang klub—yang telah di alih fungsikan untuk ganti dan tata rias.

Kini semua tengah sibuk mempersiapkan diri masing-masing untuk tampil di atas panggung. Begitu pula Jeon Jungkook, bukan bersiap-siap, melainkan berkeliaran ke sana kemari mencari keberadaan pujaan hatinya.

“Lihat Kim Taehyung?”

Sudah lima orang yang Jungkook tanyai dalam beberapa puluh menit terakhir ini, dan baru yang satu ini akhirnya mendapat jawaban. Seorang siswa kelas sebelas menjawab, “Aku tidak lihat, tapi sepertinya belum selesai menata rambut.”

Sesudah mengetahui keberadaan sang kekasih, Jungkook segera pergi menuju ruang klub astronomi yang kini pintunya bertuliskan MAKE-UP.

Pemuda itu membuka pintu, celangak-celinguk sambil berjalan perlahan. Dia menemukan Taehyung berdiri di depan cermin dengan setelan tuksedo putih—kelihatannya baru rampung bersiap. “Belum siap juga?” dia bersuara di belakang Taehyung.

Taehyung terlonjak sesaat, lalu membalikkan badan. “Kau selalu muncul seperti hantu,” kritiknya. Sejenak dia menyadari Jungkook yang memperhatikan dirinya dari atas ke bawah, lalu langsung merapikan dasi kupu-kupu di lehernya sembari berkata, “Bagaimana menurutmu? Aku keren, kan?”

Jungkook yang masih meneliti mengangguk. Dia sempat ingin mengatakan bahwa kekasihnya tersebut terlihat manis, tapi karena menebak Taehyung tak akan menerima kata manis, maka dia mengatakan apa yang ingin didengar saja. “Kau tampan,” ujarnya yang seketika membuat senyum Taehyung kian lebar.

“Aku tahu itu,” kata Taehyung seraya kembali menatap cermin. ”Astaga, bagaimana ini? Aku benar-benar tampan. Industri hiburan Korea pasti bersedih sekarang—karena aku telah mengalahkan visual idol-idol merekaa.”

Jungkook menarik senyum miring melihat Taehyung mengagumi diri sendiri. Dia mendatangi pemuda tersebut dan lantas berdiri di sampingnya. “Harusnya aku pakai tuksedo juga hari ini,” dia berkata tiba-tiba.

Taehyung mengernyit, sementara Jungkook semakin dekat dan merangkul pinggangnya. ”Kita serasi, bukan?” kata Jungkook.

Untuk sesaat Taehyung menyempatkan diri memandang pantulan dirinya dan sang kekasih di cermin, lalu baru tersadar. Jungkook tampak begitu tampan dengan setelan jas hitam dan rambut tertata—amat cocok. Seperti yang dikatakan Jungkook, mereka berdua terlihat serasi. Seperti sepasang pengantin.

Terus-terusan memandang cermin membuat Taehyung perlahan-lahan merona. Saat pemuda tersebut tiada henti terpana, berbisiklah Jungkook, “Apa kita akan terlihat seperti ini saat menikah nanti?”

Nyaris tersedak ludahnya sendiri, Taehyung berdehem dan cepat-cepat memandang ke arah lain. Dalam benak dia mengulang-ulang kalimat menikah. Rasanya sungguh memalukan, tapi juga membuat jantung berdebar kencang. “Siapa yang ingin menikah denganmu?” Taehyung menimpali acuh tak acuh.

Namun kelewat jelas semuanya di mata Jungkook. Raut wajah Taehyung terbaca, bahkan telinganya pun tak ketinggalan memerah. “Kau merona?” Jungkook lantas bertanya sambil mengintip wajah Taehyung.

Sontak Taehyung menoleh. ”Siapa? Aku?” balasnya tak terima. “Jangan mengada-ada.”

Maka Jungkook tersenyum lebar di depan wajah Taehyung sambil menatap tepat di kedua manik karamel itu, sengaja membuat pacarnya semakin tersipu. Alhasil, Taehyung mesti berpikir cepat untuk menentukan sikap supaya tak kelihatan bodoh. “Lihat ini! Kau juga merona, Sialan!” hardik Taehyung sambil mundur.

Jungkook tertawa kecil, tak mengelak kalau dirinya juga gugup. Meskipun tahu wajahnya sendiri tak kalah merah dari Taehyung, dia tetap berkata, “Aku suka melihatmu seperti ini.”

“Jangan membual!” Taehyung membuang muka akibat rasa malu. Tak ingin terus-menerus digoda, dia putuskan untuk menarik pacarnya tersebut keluar sambil berkata, "Ayo pergi. Kita bisa terlambat."

Di koridor, selagi berjalan berdampingan, Taehyung dan Jungkook mengundang tatapan siswa-siswi yang berlalu lalang di sana. Keduanya menjadi pusat perhatian. Bukan hanya karena anak-anak itu belum pernah melihat Taehyung berdandan secakep dan serapi ini sebelumnya. Namun, juga karena Jungkook menggandeng tangan Taehyung dengan jemari bertautan, yang sebelumnya belum pernah dilakukannya di depan banyak orang.

Jungkook seperti biasa selalu tampak sedatar ornamen, memasang tampang dingin masa bodoh andalannya. Sedangkan Taehyung, karena Jungkook tak mau menurut saat dia berusaha melepaskan tangan, maka dia hanya menunduk sambil menutupi wajahnya yang merah bukan main. “Bedebah sialan,” Taehyung mendesis, sambil melirik pacarnya yang kurang ajar mempermalukan dirinya.

Yang benar saja.

Mereka bukannya sedang kencan atau semacamnya, pikirnya, kenapa harus bergandengan tangan? Taehyung berharap bisa berpura-pura jadi orang lain saja saat ini, sebab baru kali ini dia sungguh merasa tak tahan dengan tatapan orang-orang di sekitarnya.

Sepasang kekasih itu terus mencuri perhatian banyak pasang mata hingga keduanya sampai di belakang panggung.

“Taetae-chan!” Yuta di belakang panggung berseru begitu melihat Taehyung tiba bersama Jungkook dari kejauhan.

Di belakang pemuda Jepang, Jimin dan Seungcheol berjalan mengikuti. Yuta berhenti di hadapan Taehyung dan sesaat meneliti temannya tersebut dari ujung ke ujung. “Wah, apa benar kau Kim Taehyung?” kagum Yuta melihat betapa rapinya Taehyung. “Hei, apa kostummu tidak tertukar dengan Jimin?”

Mereka secara otomatis serempak menatap Taehyung dan Jimin bergantian, dua pemuda dengan kostum serba putih yang memiliki kesan bertolak belakang. Taehyung mengenakan tuksedo nan rapi, sedang Jimin dengan mantel bulu lebat dan ripped jeans putih serta rambut tertata hampir tak beraturan.

“Benar juga,” Seungcheol berkomentar. “Ini benar-benar bukan kalian yang biasanya.”

“Hei, Park Jimin, kau mau menampilkan apa dengan gaya preman seperti ini?” Taehyung berkata sambil menunjuk-nunjuk Jimin. “Kau mau menyanyi hip-hop? Ini bukan gayamu.”

“Kenapa kalian yang mengatur bagaimana aku berpenampilan?” Jimin menatap keki temannya satu persatu. “Ini show. Apa salahnya aku jadi bintang utama sehari saja?”

Perkataan Jimin menuai tawa para pemuda yang lain. “Bintang utama apanya? Menggelikan sekali,” kata Yuta menonjok-nonjok lengan Jimin.

Sementara Jimin mengejek agar Yuta tak mempermalukannya saat di atas panggung, Taehyung tak sengaja menengok ke arah pintu dan melihat Lee Taeyong berdiri di sana. Pemuda itu menatap beberapa saat dan sempat bertemu tatap dengannya, tapi tak lama berbalik lalu pergi.

Taehyung tahu saat itu Taeyong berniat menemui Yuta—apa lagi memangnya? Dia juga tahu kenapa Taeyong pergi begitu saja tanpa menemui Yuta, dia memakluminya meski kadang kepikiran.

Menyadari raut termangu Taehyung, Jungkook mendekat dan berkata pelan di sebelah pacarnya, “Kau gugup?”

Sedetik Taehyung terkejut, kemudian melengos. “Tidak juga,” dia menjawab. “Aku hanya perlu melakukannya seperti saat latihan. Aku mungkin akan lebih gugup kalau ibuku benar-benar datang melihat.”

“Kau bisa tunjukkan rekamannya pada ibumu.”

“Jangan berlebihan,” kata Taehyung seketika. “Aku hanya ingin mendapatkan nilai untuk ujian.”

Taehyung kemudian beralih memandangi ke arah panggung. Dari belakang sini, sedikit-sedikit cahaya lampu panggung terlihat begitu menyilaukan, sementara dentum musik terdengar mendominasi.

Pada saat itu, mendadak saja Jungkook mencium pipi Taehyung dalam sekejap. Keterkejutan membuat si korban spontan menoleh, sementara disaksikannya laki-laki itu memasang tampang tak bersalah usai menjadi tersangka. “Apa-apaan?” Taehyung pun protes sambil memegangi pipi.

Jungkook menjawab saja, ”Supaya tidak gugup.”

Entah siapa yang dimaksud Jungkook gugup.

“Gila,” kata Taehyung menampar pipi Jungkook main-main, sebab menurutnya itu amat tak masuk akal.

Interaksi dua sejoli tersebut tak sengaja tertangkap dan mendapat perhatian dari Nakamoto Yuta. “Hei, hei, bisakah kalian tidak bermesraan saat ada orang lain di sini?”

Disusul Seungcheol yang segera mengimbuhkan, “Kalian tidak tahu malu, tapi aku yang malu melihat kalian.”

Mendengar itu, Taehyung menutup mulutnya sambil membuang muka. Sedang Jungkook malah memeluk pacarnya dan menatap Yuta beserta Seungcheol tajam-tajam. “Apa masalah kalian?” tantangnya sehingga menyulut kekesalan Yuta.

“Bocah tengil ini,” umpat Yuta. Dia berkomat-kamit dongkol sebelum memutuskan untuk pergi saja dari sana, berjalan serampangan seraya berkata, “Aku mau mencari Lee Taeyong.”

“Jangan ganggu Lee Taeyong!” Jimin menyahuti Yuta. “Moryeong harus konsentrasi untuk adegan kisseu dengan Chunhyang!”

Lalu berkoarlah Yuta sambil mengangkat dua tinjunya ke udara, “Mati saja kau!”

Taehyung menyingkirkan lengan Jungkook dan menggerutu jengkel, tapi kekasihnya itu justru memeluk kian erat dan membuatnya semakin malu. Perlu dia mengingat-ingat bahwa mereka tidak sedang berdua saja saat ini, ada Jimin dan Seungcheol yang menyaksikan—dan anak-anak lain di sekitar mereka.

Kala itu Seungcheol memandangi Taehyung sambil senyum-senyum sendiri, temannya yang biasanya selalu berlagak pongah dan kasar, kini dibuat malu-malu oleh Jeon Jungkook. Lalu mendekatlah dia pada Jimin di sebelahnya seraya berbisik, “Baby boy.”

Merasa risi, Jimin seketika menginjak kaki Seungcheol lalu ikut-ikutan pergi.

. . .

Begitu banyak yang membuat Taehyung terkejut malam ini. Belum apa-apa dia dikejutkan dengan aksi gila sahabatnya di atas panggung. Siapa sangka, laki-laki kalem seperti Park Jimin bakal membuat heboh dengan tampil panas di atas panggung.

Jimin menampilkan lagu "Love Song" milik penyanyi terkenal Rain, lengkap dengan tarian seksinya, tanpa peduli guru-guru di bangku terdepan menganga tak percaya. Beraninya. Taehyung bahkan tidak pernah tahu kalau Jimin cukup pandai menari.

Akan tetapi, yang lebih mengejutkan, di tengah-tengah lagu, sahabat Taehyung sejak kecil itu tiba-tiba melepas mantel yang dikenakan dan merobek kaos di dalamnya sehingga tereksposlah tubuh berotot di baliknya—satu lagi yang paling mencengangkan. Tidak ada satu pun yang menduga hal tersebut. Sampai-sampai, Taehyung yang paling dekat dengan Jimin sekalipun dibuat melongo.

Taehyung tahu Jimin rajin berolahraga meski tak begitu menggemarinya, tapi mana dia tahu kalau sahabatnya itu kini memiliki perut kotak-kotak seperti itu. Bahkan ketika Jimin turun dari panggung, Taehyung masih melongo menatapnya.

“Wah, kau benar-benar membakar panggung, Sobat!” Yuta menyambut Jimin di belakang panggung.

Disusul pula Seungcheol yang berkomentar, “Hei, berani sekali kau?”

Mereka tertawa-tawa bersama, Yuta dan Seungcheol terlihat bangga meski sesekali mengejek. Jimin juga tertawa dan menyeringai, “Aku keren, kan?”

Sementara itu Taehyung masih berusaha membuat dirinya percaya, karena mendadak saja sahabatnya itu jadi demikian mengagumkan di matanya—dan itu adalah yang pertama kali. Sungguh, baru kali ini saja dia memandang Jimin sebagai seorang pria, bukan sekadar teman sejak kecilnya.

“Apa kau benar Park Jimin temanku?” Taehyung menanyai Jimin selagi pemuda tersebut mengenakan kembali jaket untuk menutupi tubuh sambil cengengesan.

“Kau terpesona melihatku?” kata Jimin pada Taehyung. “Aku tak kalah seksi dari pacarmu, kan?”

Jimin melirik ke arah Jungkook selagi menekankan kata pacarmu. Refleks, Taehyung juga segera menengok sang kekasih di sebelahnya, lalu menemukan pacarnya itu tengah menatap dengan wajah keruh. Sedetik Taehyung mengernyit, bersamaan didengarnya yang lain cekikikan menertawainya.

Ekspresi Jungkook nyaris tak terbaca, tapi sorot matanya kentara sekali mendakwa. Didekatinya Taehyung tak lama setelah itu dan dia bisiki, “Suka melihat tubuh Park Jimin?”

Tiga anak yang lain tertawa sebab melihat Taehyung mendadak terbelalak. Karena malu diledek, sekaligus tak terima dituduh pacarnya, dia seketika mencerca Jungkook. “Apa-apaan kau?” makinya sekalipun dengan wajah yang sudah memerah. “Bukan urusanmu aku melihat siapa.”

“Haruskah aku merobek bajuku juga?” Jungkook berkata menggoda Taehyung, yang sekali lagi menuai tawa.

“Mau mati kau?” ancam Taehyung. Dia lantas menatap teman-temannya garang dan lagi-lagi memaki, “Apa yang kalian tertawakan? Diam!”

“Aku juga bisa merobek punyamu kalau kau tidak keberatan,” Jungkook masih saja berbisik, kali ini tepat di telinga Taehyung dengan suara serendah mungkin.

Jadi Taehyung sontak mengusir Jungkook. “Tutup mulutmu dan pergi sana! Sebentar lagi giliranmu.”

Jungkook pun pergi saat Taehyung mendorongnya menjauh. Sementara di belakang mereka terdengar suara Yuta berseru, “Jeon Jungkook, aku mendukungmu!”

Di kejauhan dengan terus di dorong-dorong Taehyung, Jungkook mengangkat jempolnya tanpa menoleh.

Sewaktu Jungkook merahasiakan dan bilang bahwa lagu yang akan dibawakannya adalah lagu spesial, Taehyung tidak percaya dan sudah sombong kalau penampilan tersebut bakal ditujukan padanya. Pikirnya, sudah pasti. Untuk siapa lagi memang?

Itu tidaklah salah. Malam itu Jungkook menyanyikan lagu yang dulu cukup terkenal di tahun 2010, milik grup SS501 yang berjudul "Let Me Be The One". Tidak banyak yang spesial selain penampilan Jungkook yang memukau dan membuat tiap pasang mata tak bisa melewatkannya barang sedetik, seperti yang diperkirakan.

Ketika Taehyung menonton dari sisi lain panggung, Yuta memuji pacar Taehyung dengan mengatakan bahwa laki-laki tersebut harusnya masuk agensi musik saja daripada belajar seperti kutu buku hanya demi ranking. Taehyung tertawa kala itu. Dia mengejek Yuta dan mengatakan, “Kau terlalu berlebihan. Dia biasa-biasa saja menurutku.”

Tentu saja Taehyung tidak serius saat itu. Sebab, dari dalam hati terdalamnya dia betul-betul terpukau dan terpesona akan Jeon Jungkook.

Hanya saja, Taehyung tak menyangka ini yang bakal terjadi. Di akhir penampilannya, guru mereka—Lee Hyukjae, yang menjadi pembawa acara malam itu—memuji penampilan Jungkook dan serta merta menanyakan untuk siapa kiranya lagu tersebut dibawakan.

Jungkook memang tak langsung menyebut nama Taehyung, mulanya dia menjawab, “Aku rasa semua sudah tahu siapa orangnya.”

Terdengar sorakan di bangku penonton.

“Oh, mungkinkah pacarmu?” Hyukjae bertanya setengah bergurau sambil menaikturunkan alisnya. “Aku banyak mendengar dari murid-murid yang lain. Dia Kim Taehyung dari kelas 2-4—benar, bukan?”

Terdengar lagi suara riuh di bangku penonton, sedang Jungkook tersenyum penuh percaya diri dan berkata, “Iya, ini khusus untuk Kim Taehyung.”

Alhasil, kembali terdengar para penonton yang heboh. Di belakang panggung pun banyak anak bersiul-siul dan menyoraki Taehyung, tapi si tokoh utama merasa tak punya muka dan pelan-pelan malah beringsut ke belakang Yuta dengan wajah merah—sambil mengumpat dan menggerutu tentang si brengsek Jeon Jungkook yang keterlaluan memalukan. “Bocah sialan tidak tahu malu,” Taehyung mendesis.

Jungkook dipersilahkan kembali diiringi komentar dari Hyukjae yang berkata, “Wah, benar-benar romantis. Mengingatkanku pada masa muda.”

Ketika penampilan berikutnya berlangsung, Taehyung tak berlama-lama untuk segera mencegat Jungkook di ujung anak tangga panggung. “Apa-apaan itu?” protesnya. “Apa kau benar-benar harus membuatku malu seperti ini?”

“Tapi kau suka, kan?” Jungkook bertanya sambil menarik satu sudut bibir, dan Taehyung lantas menendang kakinya.

“Kau membuatku jadi bahan olok-olokan anak-anak, Sialan!” sergah Taehyung jengkel. ”Sekarang bagaimana aku bisa naik ke atas panggung?”

“Tidak usah pedulikan yang lain,” kata Jungkook, lalu mendekat dan mencium bibir Taehyung sekilas. “Pikirkan aku saja jika kau malu.”

Bukan membaik, Taehyung justru semakin merengut dongkol. “Jangan bercanda!” katanya, “Memikirkanmu dan semua tingkah memalukanmu membuat percaya diriku hancur.”

“Jangan mengelak, kau tukang berbohong.” Jungkook menyeringai dan kembali mencuri kecupan di bibir Taehyung.

Alhasil Taehyung kembali menghujat, “Berhenti berbuat mesum, Bangsat!”

Sesudah dihadiahi penampilan tak terduga Jimin, serta nyanyian klise dari Jeon Jungkook, rupanya Taehyung tak berhenti dibuat terkejut sampai di sana.

Taehyung pikir saat tiba gilirannya, dia hanya perlu naik ke atas panggung dengan penuh percaya diri, bermain piano seperti saat latihan, menyanyikan lagu "Mom" milik boygroup bernama Infinite lalu cepat-cepat turun begitu selesai.

Hanya saja, semua tak berjalan seperti rencananya. Begitu naik menginjakkan kaki di atas panggung, teman-teman sekelasnya masih bersorak dari tangga panggung, termasuk pula mereka yang ada di bangku penonton. Samar-samar Taehyung bisa melihat anak-anak di bangku penonton membicarakan dirinya. Meskipun tidak tahu apa yang mereka bicarakan, melihat tatapan-tatapan yang terpaku padanya, dia serta merta merasa gugup dan terus menunduk tanpa sadar.

Ini adalah pengalaman pertama Taehyung memainkan piano di hadapan khalayak. Penampilannya memang tak mengalami kendala, tapi dia gagal untuk langsung turun sesudah lagunya usai sebab Lee Hyukjae menahannya saat penonton masih bertepuk tangan, dan ternyata dia malah berdiri lebih lama di atas panggung.

“Penampilanmu sungguh memukau, Kim Taehyung,” Hyukjae memuji sembari merangkul Taehyung untuk tetap berada di panggung bersamanya. “Jadi kau memberikan penampilanmu untuk ibumu? Ku dengar ibumu juga ada di sini. Apa itu benar?”

“Tidak, Seonsaeng-nim,” Taehyung tersenyum. “Ibuku sibuk dan tidak bisa datang.”

Akan tetapi jawaban Taehyung tak diterima oleh Hyukjae. Pria itu menggeleng dan menatap sangsi, lalu berkata, “Tidak begitu yang ku dengar.”

Taehyung mengernyit, karena selanjutnya Hyukjae maju selangkah dan mengedarkan pandangan ke arah bangku penonton. “Nyonya Kim,” pria itu memanggil ke arah para penonton, lalu sejenak menengok ke sana kemari. “Anda di sini, kan? Tim lighting, tolong berikan sedikit cahaya ke bangku Nyonya Kim Yujin.”

Debaran-debaran mengisi rongga dada Taehyung selagi dia menatap sudut bangku yang ditunjuk sang guru. Lalu, betapa terkejutnya dia begitu lampu betul-betul menyorot sosok ibunya yang tengah tersenyum di sana. Murid-murid yang menonton terperangah dan mulai berbisik-bisik seusai mengetahui sosok ibu Taehyung, bagaimanapun wanita itu kerap muncul dalam pemberitaan seputar bisnis di TV.

“Taehyung Eomoni, selamat malam,” Hyukjae menyapa dengan sopan dan ramah. Yujin pun berdiri lalu membungkuk dari bangku penonton.

“Anda menikmati pertunjukan malam ini?” tanya Hyukjae.

Yujin tersenyum dan mengangguk kecil. Seorang staff memberikan mikrofon padanya dan Hyukjae lantas kembali mengajukan pertanyaan.

“Hari ini putra Anda menyanyikan lagu yang sangat indah untuk Anda. Bagaimana pendapat Anda? Apa ada yang ingin Anda sampaikan pada Kim Taehyung?”

Suasana panggung mendadak sangat hening. Yujin memandangi lamat-lamat Taehyung dari kejauhan saat semua di sana menunggunya mengeluarkan suara. Taehyung sempat bertatapan dengan sang ibu selama satu dua sekon, tapi langsung mengalihkan pandangan. Sedang Yujin sejenak menarik napas sebelum akhirnya mengucapkan beberapa kata.

Eomma sangat berterima kasih ... dan ... Eomma juga menyayangimu.”

Kata-kata itu terdengar menggema.

Kata-kata sang ibu demikian singkat, tapi bagi Taehyung itu bukan sekadar kalimat sederhana.

Jadi Taehyung menundukkan kepalanya saat itu juga. Tiba-tiba saja hidungnya terasa perih dan matanya mulai memanas. Selagi suara tepuk tangan menyertai Hyukjae yang sedang berkata-kata, Taehyung menatap lantai panggung dengan pandangan mengabur. Tak lama, dia akhirnya segera melenggang begitu Hyukjae mempersilahkan.

Jeon Jungkook yang pertama menyambut Taehyung di belakang panggung. Mereka saling memandang sesaat, tapi kemudian Taehyung membuang muka dan menyeka sudut mata sambi berlalu melewati pemuda tersebut.

Langkah Jungkook menyertai. Dia beberapa meter di belakang sewaktu Taehyung berhadapan dengan ibunya di depan gedung olahraga. Suara wanita paruh baya itu terdengar di antara bunyi berisik panggung.

Eomma hanya pulang sebentar. Setelah ini Eomma akan langsung kembali ke Busan.”

”Harusnya tidak perlu datang kalau masih sibuk.” Taehyung tidak mau menatap ibunya selama percakapan berlangsung, jadi dia pun praktis tak melihat senyum yang ditujukan padanya.

Taehyung merasakan tangan Yujin di pundaknya, mengusap-usap dengan lembut yang kehangatannya dia rasakan melebihi kata-kata. Berucaplah wanita itu, “Mana mungkin Eomma melewatkan penampilan seindah ini.”

Dada Taehyung terasa sesak mendengarnya. Padahal, di awal, dia tak sungguh-sungguh berniat memainkan piano untuk ibunya. Namun rupanya, bahkan tanpa dia berusaha sekalipun, perasaannya telah tersampaikan—meski lewat hal sekecil ini, Yujin mampu memahaminya. Kini saat menyadari perasaan Yujin yang sesungguhnya, Taehyung seketika terharu. Dia tahu harusnya dia bisa lebih baik lagi kepada ibunya.

Jungkook masih di sana selagi Yujin meninggalkan Taehyung terdiam di tempatnya. Dia berpapasan dengan wanita tersebut dan membungkuk.

Beberapa langkah berlalu, Yujin tiba-tiba berbalik kembali dan menyebut nama si pemuda. “Kau Jeon Jungkook, bukan?”

Sontak Jungkook terkesiap. Sekejap dia mendadak teringat akan dirinya sebelum ini yang menyebut-nyebut nama Taehyung sesudah unjuk gigi. Dia tersadar, wanita ini tentu juga melihat apa-apa saja yang dilakukannya di atas panggung—dan tak ayal membuatnya merasa malu sendiri.

Selama Jungkook memikirkan bagaimana harus bersikap, Yujin mengatakan, “Penampilanmu bagus.”

Mendengar hal itu Jungkook tersenyum canggung. Dia tidak yakin apakah itu betul-betul sebuah pujian atau sindiran. Dia semata-mata merutuki dirinya sendiri. Kalau tahu ibu Taehyung akan hadir di bangku penonton, tentu dirinya tidak akan mengatakan yang aneh-aneh sewaktu di atas panggung.

Beberapa saat sebelum Jungkook mampu menentukan bagaimana berkata-kata, keluarlah pertanyaan dari Yujin yang paling diwanti-wanti, “Apa benar kau berpacaran dengan putraku?”

Jungkook sudah menduga bakal ditanyai hal-hal semacam ini. “Ah, itu ...” dia berkata dengan nada pelan nan canggung sembari mengusap tengkuk karena mendadak bingung, mempertimbangkan apakah dirinya boleh mengaku sebagai pacar Taehyung atau tidak di depan wanita ini.

Ini lebih mendebarkan ketimbang tampil di atas panggung.

Melihat si pemuda kehilangan kata-kata, Yujin pikir mungkin tidak semestinya dia bertanya secara blak-blakan seperti ini. Jadi dia mengulas senyum. “Terima kasih banyak sudah menjaga Taehyung,” dia pun berkata seadanya, lalu berjalan pergi tanpa menunggu reaksi Jungkook.

Sampai saat itu, Jungkook masih tidak tahu harus bagaimana menyikapinya. Dia bahkan tak sempat mengucapkan salam. Jadi kemudian dia putuskan pergi pada Taehyung yang belum juga berpindah ke mana-mana.

Lama sekali Taehyung bergeming merenung. Selama beberapa menit terakhir air mata serasa meluap-luap nyaris tumpah sehingga dia mesti susah payah menahannya. Ketika Jungkook tiba, dia mendadak sedikit panik.

“Kim Taehyung,” kata Jungkook, “kau tak apa?”

Taehyung masih menahan-nahan emosi dan mengusap matanya buru-buru. Suaranya parau menjawab, “Aku hanya terlalu senang.”

Jungkook merasa lega sekaligus jengkel sendiri, sebab Kim Taehyung kelewat menggemaskan. Tadinya dia sungguh berpikir pacarnya menangis karena sedih atau kecewa. Jika pacarnya itu senang, tentu dia juga.

Namun air mata Taehyung saat ini memang tak berhenti keluar, sampai-sampai Jungkook ingin sekali memeluknya. “Sialan,” Taehyung mengumpat selagi menggosok-gosok matanya. “Ada apa denganku? Ini memalukan.”

Jungkook pun tertawa. Dipegangnya tangan Taehyung dan dia hapus air mata di pipi sang kekasih. Dia rengkuh tubuh Taehyung ke dalam dekapannya, sembari mengatakan, “Harusnya aku yang mengatakan itu. Aku sudah bicara aneh-aneh di atas panggung. Aku pasti mempermalukan diriku sendiri di depan ibumu.”

“Sudah ku bilang kau itu memalukan,” balas Taehyung di bahu Jungkook.

“Tapi itu sungguhan,” Jungkook berkata, lalu menyandarkan dagu. Tepat di sebelah telinga Taehyung, dia menyampaikan, “Lagu itu tidak bohong. Hanya satu yang membuatku bersinar di dunia ini. Kau satu-satunya di antara jutaan.

Mendengar kata-kata Jungkook, Taehyung serta merta berdegup kian kencang. “Itu bualan, kan?” dia bertanya untuk memastikan bahwa itu tidaklah serius.

Jungkook menjawab saja, “Itu lirik lagu.”

Taehyung tertawa tanpa kesan jenaka. Jungkook tidak ahli membuat candaan, tapi apa pun lelucon yang dikatakannya Taehyung tetap suka. Dia tahu itu terdengar berlebihan dan mungkin cuma omong kosong. Masalahnya, memang tidak pernah ada yang mengatakan hal semacam itu kepada Taehyung, dan karena memang baru kali ini dia merasa demikian berharga, maka dia tetap tersentuh. Dia ingin membalas perasaan Jungkook meski dia sendiri belum tahu caranya.

Jadi Taehyung melepaskan pelukan Jungkook setelah beberapa saat. Raut wajahnya sulit diterka. “Jungkook," dia berkata lalu perlahan mencium Jungkook penuh perasaan.

Jungkook sempat terkesiap. Apa yang dilakukan Taehyung semata-mata tidak diduga olehnya, tapi dia menyambut pagutan Taehyung. Keduanya kembali jatuh cinta, melupakan sejenak bahwa di dalam hati masing-masing masih menyimpan ribuan kebimbangan serta pertanyaan tak terjelaskan.

Tak berapa lama ciuman berakhir, keraguan lenyap dan berkatalah Taehyung, “Ada yang ingin ku sampaikan padamu.”

Jungkook mulai berekspresi serius. Di hadapannya, Taehyung menoleh ke sekeliling dan tiba-tiba menyeretnya memasuki gedung olahraga.

Selagi pertunjukan berlangsung, Taehyung menarik pacarnya berjalan di sepanjang koridor, melewati gimnasium serta ruangan-ruangan klub yang telah sunyi, terus berjalan hingga masuk ke dalam ruang taekwondo di jajaran paling ujung.

Pintu di kunci, Taehyung menyeret Jungkook yang dipenuhi tanda tanya, duduk menghampiri matras yang ditumpuk setinggi lutut. Cahaya lampu di luar masuk menembus kaca jendela sementara keadaan di dalam sana tak begitu terang saat itu. Jungkook menyarankan untuk menyalakan lampu, tapi Taehyung menariknya untuk tetap di sana bersamanya.

“Ada apa?” Jungkook mulai dipenuhi berbagai macam pikiran.

“Jungkook,” kata Taehyung. Sesaat tampak gugup, dia menunduk dan berpaling, lalu menyentuh lehernya. “Cium aku di sini.”

Dada Jungkook terentak keras, berusaha mencari tahu apa yang dipikirkan Taehyung. Sebab, dia tahu ada maksud lain yang tersirat dari permintaan tersebut.

“Kenapa kau—”

“Tandai aku, Jungkook,” pinta Taehyung. Kata-katanya terucap sambil bergetar. Wajah itu memerah di tengah cahaya samar, dan sekalipun Taehyung terdengar takut serta putus asa, suaranya penuh keyakinan.

Karena permintaan tersebut tak terdengar main-main, maka Jungkook menetapkan untuk melakukan apa yang diminta. Dia berhenti sejenak dan menatap untuk memastikan bahwa pacarnya betul-betul serius, sebelum akhirnya mulai mencium permukaan leher Taehyung.

Taehyung memejamkan mata dan menggigit bibir untuk menahan sensasi saat Jungkook mengecup, menjilat dan menyesap kulitnya. Sekujur tubuhnya menegang dan gemetar, Jungkook sendiri bisa merasakan itu. Jemari Taehyung menggenggam erat tangan sang kekasih dan tak mau melepasnya, bahkan sesudah Jungkook beringsut menjauh darinya.

“Bicaralah,” kata Jungkook kemudian.

Taehyung tak yakin harus memulai dari mana. Pikirannya berkecamuk. Dia tahu kalau inilah yang tersulit, mengatakan kejujuran. Hingga akhirnya satu usapan Jungkook di tangannya membuatnya meloloskan kata-kata yang sedari lama ditahannya. Kata-kata yang seharusnya dia katakan sejak Jungkook memaksanya untuk jujur.

“Soal leherku,” kata Taehyung. “Sebenarnya ... leherku tidak terluka.”

Jungkook lambat laun tertohok. Taehyung memandangnya sejenak, kemudian berpaling lagi. Pemuda itu menyentuh bekas ciuman di lehernya dan berkata, ”Sesuatu seperti ini yang ku sembunyikan.”

Selama beberapa detik Jungkook membisu. Taehyung memberanikan diri untuk menatap, tapi laki-laki itu tak berekspresi dan hanya menatap dengan sorot mata lurus. Jungkook tercekat dalam sunyi, dibungkam oleh pengakuan Taehyung. “Aku tidak bisa mengatakannya padamu,” kata Taehyung berat setelah beberapa saat.

Di keheningan Jungkook mulai bersuara, “Siapa?”

Tersirat beribu emosi dari pertanyaan Jungkook. Sinar matanya amat dingin tak luluh, membuat Taehyung kesulitan merangkai kata.

“Siapa yang melakukannya?” Jungkook bertanya sekali lagi saat sejenak Taehyung tergugu.

Taehyung meratap dalam batinnya. “Kau ingat Bang Minsoo?” ujarnya hati-hati. “Laki-laki yang menggangguku di jalan dekat tempat boxing—dia orangnya.”

Hening lagi sesaat, dan Jungkook bertanya, “Si berengsek itu memaksamu?

“Itu ... dia menyerangku tiba-tiba. Aku menghajarnya, tapi—” Taehyung tergagap, mendadak kalut, “—tapi ...”

Sialan.

Taehyung tidak menyesal telah berkata jujur—sungguh, sedikit pun dia tak menyesal, meski ini mungkin memang sedikit terlambat—tapi, kenapa sekarang dia merasa takut? Kata-katanya tidak ada yang terucap dengan benar. “A-aku ...” Taehyung tak bisa mengatakan semuanya, jadi dia mengumpat saja. “Sial.”

Ditengah-tengah itu, Jungkook kembali berkata, “Ku pikir kau menginap di apartemen Park Jimin. Kau pergi ke tempat Park Hyungsik?”

Ini sesuai dengan yang Taehyung duga. Dia tahu, saat dirinya membuka rahasianya, maka satu persatu kebohongannya yang lain pasti bakal terbongkar juga. Namun, kepalang tanggung untuk berdalih. Taehyung tidak ingin terjebak sendirian. Jadi dia pun menceburkan dirinya terang-terangan. “Aku berbohong juga soal itu,” lambat dia menjawab.

Jungkook menarik napas dalam-dalam, memikirkan apa yang harus dilakukannya seraya menggeram, “Kim Taehyung.”

Taehyung menahan napasnya, lalu sontak terperanjat saat mendadak saja tubuhnya didorong hingga ambruk. Kedua lutut Jungkook berada di sisi kiri dan kanan, sementara lengannya bertumpu memenjarakan Taehyung. “Jungkook!” sergah Taehyung kebingungan.

"Aku sudah melarangmu pergi ke sana, bukan?" ujar Jungkook dengan rahang mengeras.

“Aku tidak melakukan apa-apa, Taehyung membela diri. “Lagi pula Hyungsik Hyung bukan orang sembarangan. Ibuku memintanya menemaniku. Ku pikir, aku akan bertemu dengannya bagaimanapun, jadi aku menemuinya sendiri.”

Jungkook menyipitkan mata mendengar rentetan penjelasan Taehyung. Ekspresinya demikian menusuk, sampai-sampai Taehyung gentar dan tak bernyali untuk berlama-lama menatap. Sial, pikir Taehyung. Dia bertanya-tanya bagaimana Jungkook bisa terlihat begitu berbeda saat ini. “Jungkook, kau percaya padaku, kan?" dia pun berusaha mencari pembelaan.

Jungkook mendekat hingga wajahnya berada tepat di atas Taehyung. “Aku percaya padamu,” kata Jungkook, “tapi orang seperti Bang Minsoo yang tidak bisa ku percaya."

Taehyung mencoba untuk meloloskan diri. Dia menyuruh Jungkook menyingkir darinya, tapi laki-laki itu bertahan, dan sesaat berselang justru menyambar bibirnya. Seketika itu dia terbelalak. Penjelasannya belum selesai, masih ada yang ingin dia bicarakan, tapi napasnya malah sudah lebih dulu dikuras habis.

“Sudah berapa kali aku melarangmu?” Jungkook berkata seusai melumat. Nada bicaranya penuh penekanan sewaktu dia menambahkan, “Jangan pergi ke tempat sialan itu lagi."

Terengah-engah Taehyung menyeka bibirnya. Matanya berair menatap Jungkook kesal. “Bukan salahku!” dia menghardik.

Akan tetapi Jungkook kelihatan berkali-kali lipat lebih kesal lagi. Dia berniat untuk memarahi dan menyalahkan dengan berbagai kata-kata, tapi dia juga sadar bahwa Taehyung ahli mendebat, pacarnya itu bisa lebih kasar darinya ketika menyumpah. Jadi dia putuskan untuk menutup mulutnya.

“Jungkook, apa yang kau lakukan? Jeon Jungkook!” Taehyung berseru saat Jungkook menciumi perpotongan lehernya.

Taehyung berusaha keras mendorong tubuh tegap itu, tapi kekuatannya tak cukup untuk mengimbangi Jungkook yang diliputi kemarahan. “Akh! Jungkook!” Taehyung memekik saat Jungkook menggigit lehernya. “S-sakit, Bodoh! Ah!”

Sayangnya, Jungkook tak mengindahkan reaksi sang kekasih. Dia tahu betul yang Taehyung rasakan saat ini, tapi dia berlagak tak peduli. Dia terus membuat bekas ciuman, sementara tangannya melepas jas Taehyung.

“Sialan,” Taehyung mengumpat, lalu memegang tangan Jungkook yang meraba hingga kemejanya kusut. “Apa-apaan kau? Apa yang kau lakukan?!” suaranya memecah malam.

“Kau tahu betapa kesalnya aku saat ini?” Jungkook berbisik seraya menjilat daun telinga Taehyung. ”Aku marah, Kim Taehyung.”

Bagaikan disengat listrik, Taehyung berjengit dan menggelinjang merasakan lidah Jungkook di telinganya. “J-Jungkook,” Taehyung mendadak terbata-bata. “Berhenti di sana!”

Kini Taehyung mulai kalut. Dia tidak peduli lagi soal menjelaskan kepada Jungkook ataupun meminta maaf, dia semata-mata ingin menyadarkan laki-laki tersebut. “Berengsek! Berhenti atau aku tidak akan pernah memaafkanmu, Jeon Jungkook!” dia menjerit.

Jungkook sedikit menjauh mundur, hanya supaya dia bisa menatap manik Taehyung dan mengatakan, “Harusnya aku yang mengatakan itu."

“Apa salahku?” bentak Taehyung.

“Kau tidak paham juga?” Jungkook mengintimidasi Taehyung melalui tatapan serta nada bicaranya. “Aku tidak masalah kau menemui Park Hyungsik atau berbohong padaku—aku percaya kau punya alasan, tapi yang jadi masalah, kau selalu saja ceroboh tanpa tahu kau akan dalam bahaya—kau tidak pernah berpikir panjang.”

Napas Taehyung tak beraturan. Sorot matanya menggugat dengan alis bertaut, mencoba mencerna satu-satu perkataan Jungkook. “Aku tidak mengerti maksudmu,” dia membalas karena betul-betul tak paham, masih berkeras kepala meninggikan diri sekalipun keberaniannya sudah terkikis.

“Sadarlah!” kata Jungkook, “Kau itu berbahaya. Kau yang memancing bahaya untuk dirimu sendiri!”

Taehyung membuang muka. Sorot matanya berkelebat menghindari tatapan Jungkook dan mencari jalan keluar, sebab dia tidak tahu kalau bakal sejauh ini hasilnya. “Aku tidak paham, Jeon Jungkook,” katanya lagi. Dia mulai benci membicarakan hal ini—paling tidak, bukan dengan suasana semacam ini.

“Ku beri contoh,” Jungkook berkata, lalu mendadak kembali mengimpit tubuh Taehyung.

Taehyung merasakan ada yang janggal. Cepat-cepat dia menengok sang kekasih dan kemudian terkesiap. Tahu-tahu kancing kemejanya dibuka satu persatu. “Saat kau membawaku ke sini,” kata Jungkook, ”apa kau tidak berpikir aku mungkin saja melakukan ini?”

“Tunggu,” Taehyung mencegah Jungkook yang terus membuka pakaiannya, dan tak digubris. “Kau mau apa?”

“Kau tidak pernah berpikir aku akan melakukan ini, bukan?” Jungkook berkata, lalu menggerayangi Taehyung dan menjilat di sejumlah tempat.

“Jeon Jungkook!” Taehyung memperingatkan, tapi napasnya memburu tak beraturan. Dia berusaha mendorong bahu Jungkook dan ternyata sia-sia.

"Pikirkan," kata Jungkook, “kau tidak ragu-ragu membawa pacarmu ke tempat gelap dan sepi seperti ini. Apa kau sengaja menggodaku? Kau mau aku melakukan ini?”

Jungkook menggigit tulang selangka Taehyung dan menyesap kuat-kuat, gejolak yang ditimbulkan membuncah mengacaukan saraf Taehyung hingga dia tak kuasa mengendalikan diri. Pemuda itu mengatupkan mulut dan menggigit bibir. "Jawab aku, Kim Taehyung," Jungkook berkata diktatoris.

Namun saat Taehyung membuka mulutnya, justru erang dan desahan yang keluar. “Jungkook—ughh—berhenti, Bangsat.”

“Kim Taehyung,” suara Jungkook terdengar begitu berat selagi mencium dan meraba. “Bagaimana jika aku memaksamu bercinta saat ini juga?"

“Apa—? Tunggu!” Taehyung mendelik, sedetik kebingungan. Dia tidak yakin siapakah sosok di hadapannya ini—atau apakah Jeon Jungkook memang demikian berengsek—tapi yang jelas, sekarang dia sungguh tidak suka melihat Jeon Jungkook yang seperti ini.

“Hentikan, kau—ahh,” Taehyung berkata setengah mendesah. Jungkook kembali menggigit dan menjilat kulitnya sehingga dia otomatis mengeraskan rahang, dia pejamkan mata dan berpaling.

Lalu, sedetik kemudian Taehyung berteriak. “Jeon Jungkook!”

Tiba-tiba sekali Jungkook berhenti.

Taehyung merasakan perlahan Jungkook bangkit dari tubuhnya. Begitu membuka mata dan menoleh, dia menyaksikan Jungkook berdiam di atasnya, bertumpu pada kedua lengan sembari menatap datar. Taehyung tak mengerti apa yang terjadi.

Selagi Taehyung masih berekspresi waspada sekaligus panik dengan napas terengah, Jungkook akhirnya berkata, “Kau takut, kan?”

Kedua alis Taehyung kembali menukik tajam, dia mengerjap dan menggugat dalam benaknya, apa-apaan?

“Kau tetap pergi meski tahu kau akan bertemu lagi dengan Minsoo, karena kau tidak berpikir dia mungkin melakukan sesuatu seperti ini, bukan?” tukas Jungkook saat Taehyung tak berkata-kata.

“Inilah yang diinginkan si berengsek itu—dan bahkan bukan hanya dia, tapi semua laki-laki yang menatap padamu! Dan jika ini yang terjadi, apa yang bisa kau lakukan? Apa kau pikir kemampuan berkelahimu itu akan berguna? Tidak. Kau tidak bisa apa-apa, Kim Taehyung!”

Suara Jungkook meninggi dan terdengar mutlak tak terbantah. Sorot matanya memancarkan kemurkaan sehingga Taehyung mencelus selama sekejap.

Tak lama kemudian, tanpa tedeng aling-aling Taehyung lantas menampar Jungkook keras-keras. Jungkook berpaling sesaat, kemudian menatapnya lagi. Serasa dipermainkan saja Taehyung. Rasanya ingin menangis saking kesalnya, sebab dia pikir Jungkook betul-betul serius ingin memerkosanya, dan dia sudah luar biasa panik gara-garanya.

“Kau pikir apa yang kau lakukan?” raung Taehyung tak kalah marah.

“Dengar aku, Kim Taehyung,” Jungkook terus berkata. “Aku percaya kau bisa menjaga dirimu, tapi kau harus tahu kalau tahu tidak semua orang bisa kau hadapi seorang diri.”

“Sialan, Jungkook,” Taehyung membentak, “itu tidak sengaja—oke? Tidak sengaja! Aku tidak tahu kalau akan terjadi seperti itu.”

Jungkook meringis dan menggeram frustrasi, lalu menatap Taehyung gemas. “Jangan main-main!” dia berkata. “Jangan bertindak ceroboh dengan orang-orang yang tidak bisa dipercaya!”

“Dan kau termasuk salah satunya?”

Jungkook sekejap bungkam. Sementara di hadapannya, Taehyung berusaha mengatur napas sembari menatap sangsi. Suara barusan berkesan menuntut jawaban pasti. Karena Jungkook tak segera memberikan jawaban, Taehyung pun mengatakan, “Tapi aku percaya padamu, Jungkook.”

Cara Taehyung menatap membekas di relung hati Jungkook. Dia perlu memejamkan matanya sejenak, sebab sorot mata itu menyayatnya. Sinarnya demikian redup sarat akan luka—dan mungkin juga kecewa.

“Kau benar-benar percaya padaku, ya?” Jemari Jungkook membelai pipi Taehyung, lalu terus menuruni leher dan dada. “Kau percaya—aku tidak akan melakukan hal yang aneh?”

Entah apa yang salah dengan pertanyaan itu, Taehyung jengkel mendengarnya. Dia menolak untuk menjawab dan lebih memilih membuang muka sambil menutup mulut menggunakan lengannya.

“Kau tidak tahu betapa sulitnya aku menahan diri saat ini,” Jungkook berkata. “Meskipun aku selalu berusaha berpaling, kau tahu aku bisa saja luput.”

Taehyung termangu tepat sesudahnya. Memang sejak berpacaran dengan Jungkook saja dia mengetahui, betapa banyak pria-pria kelebihan hormon yang tanpa dia sadari tergoda olehnya. Namun fakta bahwa Jungkook susah payah menahan-nahan demi dirinya semata-mata membuatnya tahu, setidaknya Jungkook berbeda.

Taehyung akhirnya menatap Jungkook. Seakan-akan kekasihnya itu tidak yakin padanya, dia kembali mengulang kalimat, “Aku percaya padamu.”

Padahal itu juga bohong. Di mulai pada hari Taehyung memergoki kedekatan Jungkook dengan Oh Hayoung, sesungguhnya dia tak lagi percaya.

Berkali-kali Taehyung ingin menanyakan perihal ketidak-jelasan tersebut, tapi seiring waktu yang bergelincir, semakin sering Jungkook mengatakan kata-kata manis dan meyakinkan cintanya, lambat-laun dia semakin takut untuk mencari tahu. Maka tiap kali perasaan itu datang, Taehyung hanya akan memastikan sekali lagi dengan satu pertanyaan seperti saat ini.

“Kau mencintaiku kan, Jeon Jungkook?”

Jungkook mengangguk, sudah pasti. Dia menjawab, "Aku benar-benar mencintaimu." Di tengah-tengah keraguan Taehyung, Jungkook mengamit tangan pemuda tersebut, meletakkan di dadanya seraya berkata, "Apa ini tidak membuktikan semuanya?"

Taehyung bergeming dengan tangan di dada Jungkook. Dia bisa merasakan degup jantung Jungkook di tangannya, begitu kencang dan seirama dengan miliknya. Debaran-debaran di dada Jungkook meyakinkan Taehyung, bahwa bukan dirinya seorang yang memiliki perasaan ini. Cinta Jungkook terasa begitu nyata, sampai-sampai kecil kemungkinan Taehyung tak tersentuh karenanya.

Jadi Taehyung membohongi diri sendiri. Dia berpura-pura percaya. Setidak-tidaknya dia tahu cinta mereka jauh lebih nyata ketimbang perasaan Jungkook di masa lalu. "Berjanjilah kau tidak akan pergi, Jungkook," dia berkata, lalu meraih tengkuk Jungkook dan menariknya.

Jungkook tahu Taehyung tak pernah berhenti meragukannya. Namun dia tak begitu mempermasalahkannya, selama Taehyung bersamanya. Tidak peduli meskipun kepercayaan Taehyung palsu.

Sesaat sebelum mencium Taehyung, pemuda itu pun menjanjikan, “Aku janji, Sayang.”

Dua remaja ini saling mencintai sehingga beranggapan, asalkan mereka terus bersama, semua akan baik-baik saja. Sesederhana itulah hati mereka.

Di bawah cahaya temaram yang menerobos, di tengah keheningan dan udara dingin, mereka bertukar kebahagiaan. Ini adalah dunia mereka sendiri, di mana hanya ada mereka berdua, Jeon Jungkook dan Kim Taehyung. Seperti lelehan cokelat di bulan Februari, saliva mengalir perlahan menuruni dagu dan leher Taehyung. Ciuman mereka kian dalam dan dalam, seakan melumat bibir dan mengecap lidah satu sama lain tak akan pernah cukup. Ciuman pertama ataupun ciuman yang dilakukan berkali-kali, entah mengapa rasanya tetap manis.

Suara napas terengah Jungkook dan Taehyung beriringan ketika tautan terlepas. Mereka bertatapan untuk beberapa momen singkat dengan napas saling menerpa. Baik Jungkook maupun Taehyung, keduanya sama-sama merona—tersipu akan pesona satu sama lain.

“Wajahmu merah,” Jungkook berkata di sela-sela napasnya.

Taehyung segera membalas, “Kau juga, Bodoh.”

Jungkook terkekeh. Disaksikannya Taehyung memalingkan wajah menghindari kontak mata dengannya, dan berkatalah dia serta merta, “Kau cantik.”

Berpikir dirinya mungkin baru saja salah dengar, Taehyung kontan menoleh kembali. Mimik wajahnya sangsi, dia menanti penjelasan lain melalui tatapan sang kekasih.

Akan tetapi, wajah Taehyung yang merona dan menatap dengan mata bulat, tak ayal membuat Jungkook tersipu—alangkah manisnya. Dia terpana untuk ke sekian kalinya. “Kim Taehyung,” ucapnya lambat nan lirih. Pandangannya turun dan praktis menangkap potret dada terbuka Taehyung yang naik turun akibat napas terengah.

Jungkook merasakan wajahnya kian memanas. Gawat, pikirnya, lalu ikut-ikutan memalingkan wajah.

Ini keterlaluan. Kim Taehyung kelewat berbahaya. Pemuda itu kini tampak berkali-kali lipat lebih memesona sampai-sampai dada Jungkook serasa akan meledak. Alhasil dia segera bangkit karena, jika begini terus, bisa-bisa dia kelepasan betulan. Taehyung terlalu menggoda.

Sementara itu, Taehyung hanya mengerjap melihat Jungkook menjauh darinya. Dia tidak paham kenapa, padahal mereka baru saja berciuman. Dia turut bangkit, lalu mendekati Jungkook yang memunggunginya. Takut kalau-kalau dirinya telah melakukan kesalahan lain tanpa sadar.

“Jungkook,” Taehyung memanggil, hendak bertanya, dan ternyata Jungkook lebih dulu menimpali.

“Tunggu sebentar,” kata Jungkook sambil mengusap wajahnya risau. Dengan siku bertumpu ke lutut, dia menambahkan, “Beri aku waktu sebentar.”

“Kenapa?” Taehyung dengan bodohnya malah menyentuh punggung Jungkook.

Secara otomatis Jungkook membayangkan sosok Taehyung di belakangnya, yang menatap dengan wajah merah dan pandangan lugu—meski sekadar imajinasi belaka—serta pakaian terbuka tak rapi dan, sialan, bayangan itu tak mau sirna.

Jungkook segera membekap mulutnya sendiri, menenangkan diri dan mengatur napas, kemudian mengalihkan pandangan karena khawatir Taehyung akan memergokinya tersipu. Dia berkata, “Kau—maaf, tapi betulkan dulu pakaianmu. Aku tidak tahan melihatnya.”

Taehyung mengernyit dan menunduk melihat dirinya sendiri. Begitu menyadari, dia kontan merengut. “Yang benar saja,” ucapnya geram, nyaris tak percaya. "Kenapa? Kau tergoda? Ini hasil perbuatanmu sendiri, Idiot."

“Aku tahu,” Jungkook membalas cepat. *Karena itu, rapikan. Aku tidak mau melihatmu seperti itu”

Tidak mau melihat? Entah mengapa kata-kata itu terdengar menyinggung tanpa sebab. Jadi, dengan sengaja, Taehyung malah mencari gara-gara. Dia berlagak merajuk. “Tubuhku terlihat menjijikkan, ya?”

“Apa yang—? Kim Taehyung, serius,” Jungkook menggeram. “Kau tahu bukan itu masalahnya. Apa kau sengaja?”

“Aku mengerti,” putus Taehyung. “Aku tidak akan pernah membuka baju di depanmu lagi.”

Sekejap Jungkook melotot dan mengerjap, lalu menoleh secepatnya dengan wajah tak menduga. Jalang sialan, pikirnya. Yang benar saja—serius? “Bukan begitu ku bilang!” sergah Jungkook. Dia mengeraskan rahang dan menyuruh Taehyun” untuk, “Jangan main-main kau!"

“Kau tidak menginginkanku?” Taehyung masih menumpuk keberanian.

Hanya saja, sikap tersebut dilakukan pada saat yang tidak tepat. Saat ini Jungkook tengah mati-matian untuk tak memperhatikan Taehyung lebih jeli, sebab nafsu bejat menginginkannya untuk melirik tubuh sang kekasih. Tentu itu sulit. Nafsunya kian meluap.

Jungkook berpikir, mana mungkin dia tidak menginginkan ini. Dia tahu Taehyung sendiri pasti juga menginginkannya, dan justru itulah masalahnya. Karena mereka mungkin sama-sama berkeinginan. Ini benar-benar gawat.

Lalu, Jungkook tidak bisa berpikir lagi.

Pada akhirnya, Jungkook gagal menjalankan norma-norma di kepalanya. Tatapannya secara naluri menghampiri pemandangan tubuh mulus Taehyung. Dia ingin menyentuh itu semua. Jadi berkatalah Jungkook, “Kau yang menyebabkan ini, Kim Taehyung.”

.

.

_TBC_

Related song :

Rain - Love Song

SS501 - Let Me Be The One

Infinite - Mom

Makasih banyak2 buat reader yg setia ikutin ini ff sampe sini~ Lophyu lophyu semua! Special thanks buat voters & komentator ~ Unlimited bukan apa2 tanpa kalian~ 💋💕

💞💃💃💃

Continue Reading

You'll Also Like

3.2K 243 34
memelihara seekor kucing yang bisa berubah menjadi wujud manusia??
74.7K 8.3K 21
I'm the lost soul Filled with regret Where joy use to live Regret for decisions made And opportunities missed For the pain I caused and The pain I f...
17.7K 2.3K 27
Kimura Tae, wakashu berparas elok seindah bunga namun sedingin salju diduga menyimpan jutaan informasi yang dapat dijadikan kelemahan maupun senjata...
1M 7.7K 33
Warning 21+ not for🔞 Satu malam yang merubah hidupku 180 drajat.Kecelakaan tak terduga membuatku harus bertemu dengannya I Made Harjuna lelaki tampa...