Bitter-Sweet Wedding ✅

By chocodelette

6.6M 200K 4.2K

"Kalian menikah saja?" kata mamanya Tristan tiba-tiba setelah sudah selesai makan. "HAH?!" Luna mendongak. "... More

P R O L O G
Unexpected Dinner
Confused
Wedding Preparation
Day Minus 1
The Day (part 1)
The Day (part 2)
The Feeling
Sick....
Concert
Pregnant??!!
Inheritance
Merlyn?!?!
WHAT HAPPENED?!?!
Eviction
It's all about: LUNA
Found
Revealed
Unrequited
Tristan's Birthday
Special Gift
Welcome Home, Baby....
Spoiled
sweeter than chocolate milk
Epilogue

Tears

206K 6.1K 95
By chocodelette

Tristan POV

Luna baru sadar dari pingsannya yang dikarekan oleh telpon dari Vanya tadi. Aku sudah tidak mempedulikan ponselku lagi tadi, langsung kugendong Luna ke kamarku -dan dia- di lantai atas. Tubuhnya begitu enteng dalam gendonganku, padahal dia lebih gemuk dari saat sebelum kami menikah.

Aku memegangi gelas untuk Luna minum. Tatapannya begitu nanar kepadaku. Aku yakin dia sedang sedih. walau aku belum tau apa alasannya sedih, aku yakin nanti dia akan menceritakannya padaku setelah dia lebih tenang.

"Kak" panggilnya.

"Ya, Lun?"

"Luna mau ke Malang sekarang" katanya dengan pandangan yang sangat menyedihkan. "Ibu masuk rumah sakit gara-gara kebanyakan ngehidup asep" kata Luna menjelaskan padaku. tatapannya begitu kosong menatapku. "restoran ibu kebakar"

Aku langsung menariknya ke dalam pelukanku. miris sekali nasib istriku ini... aku pun ikut sedih mendengar kabar seperti itu, bagaimanapun dulu saat kecil aku sudah menganggap Ibu itu adalah Mama keduaku, dan sekarang hal itu sudah menjadi kenyataan.

Dia menenggelamkan wajahnya di dadaku, aku jadi ingat dia pernah bilang 'disini nyaman'. dia nyaman di pelukanku. aku pun nyaman memeluknya...

"Iya, sayang, nanti kita ke malang ya" jawabku.

"Luna mau sekarang ka" pintanya.

"Gak bisa, sekarang masih jam 2. pesawat gak ada yang berangkat jam segini, adanya mobil, kalau mobil juga lebih lama nyampenya sayang" aku berusaha memberi pengertian kepadanya. aku merasa Luna mengangguk di dadaku.

***

Aku dan Luna sudah sampai di rumah sakit tempat Ibu Luna di rawat, rumah sakit yang sama seperti Mamanya Lea dirawat. Wajah panik Luna sudah sangat terlihat, tapi ia begitu takut untuk masuk ke dalam.

Aku merangkulnya untuk sekedar memberi kekuatan untuknya.

254. Aku dan Luna sudah berdiri di depan pintu, saat aku mengintip ke jendela sudah ada Vanya dan Noel di dalem sana, ada Bapak juga. Aku membuka pintu tanpa kuketuk terlebih dahulu.

mereka semua menatapku, dan Luna, lalu Vanya dengan cepat berjalan ke arah kami dan ia memeluk Luna. seketika, Luna menangis di pelukan Vanya. Manja sekali istriku ini... tapi kenapa tidak manja kepadaku saja?

"Yang tenang ya, Lun. Ibu lagi tidur" kata Vanya, dan kulihat Luna mengangguk.

Luna sudah berdiri di samping ranjang rumah sakit Ibunya, dan sekarang gantian bukan Vanya lagi yang mememeluk Luna melaikan aku yang merangkul Luna.

"Van, Noel, temenin bapak cari kopi yuk? Biarin Luna sama Tristan yang nemenin Ibu dulu" ajak Bapak.

Dan mereka berdua menurut. "Mari, Tan," kata Bapak.

"Iya, pak" jawabku dengan anggukan.

Luna masih terdiam memandang Ibu yang tidur dengan tenang. nafasnya teratur. Luna duduk di kursi yang ada, dan aku tetap memegang bahunya... hanya ini yang mampu kuberikan sebagai penyemangat untuknya.

Perlaham tapi pasti, kudengar isakannya. Ia menggenggam tangan ibu, dan menciumnya.. "maafin Luna ya bu hiksss baru sempet pulang ke Malang hikss......" isaknya pelan, tanpa ia sadari genggamannya begitu kuat hingga membuat ibu terbangun dari tidurnya.

ia tersenyum kepadaku, dan kubalas senyum itu dengan senyum sopanku. aku tidak canggung sama sekali, waktu dulu kami dekat karena rumahku yang persis di depan rumah Luna membuatku banyak bermain dengan Vanya dan Luna, hingga dekat dengan Ibu.

"Gapapa ndo" katanya lemah.

Luna langsung mendongak dan tangisnya semakin pecah. "Ibuuu, kenapa bisa gini? siapa yang tega?" tanya Luna dengan suara yang sedikit meninggi.

TOK TOK TOK

"Aku bukain dulu ya" kataku pada Luna, dan saat kubuka, kulihat Lea dan Ronald berdiri disana. kupersilahkan mereka masuk, dan aku berdiri disamping Luna lagi.

"Siang tante," Kata Lea dan Ronald bergantian, dan menyalam tangan Ibu yang sudah tidak dipegang oleh Luna.

"Bu, siapa sih yang tega sama kita? waktu itu Mamanya Lea, sekarang Ibu" kata Luna dengan nada sangat melas.

Betul juga, waktu itu Mamanya Lea, sekarang Ibunya Luna, jangan-jangan sebentar lagi Mamaku? eh, ngacoo... amit-amit...

"hus, sembarang kamu Lun. ini murni kecelakaan," kata Ibu Luna. dia emang sangat baik, bahkan setauku Luna dan Vanya tidak pernah dimarahi sama Ibu mertuaku ini. baik sekali, bukan?

"tapi keajadiannya beruntun gitu bu, kan Luna jadi curiga" jawabnya, membela diri...

"emang lo curigain siapa sih Lun?" tanya Lea.

"Gak tau" Luna mengedikkan bahunya.

akhirnya mereka semua mengobrol dan bercanda-canda ringan sehingga membuat Luna yang belakangan ini lebih sering menangis menjadi bisa tertawa. aku senang melihatnya...

akhirnya Luna bisa tertawa...

sekitar 30 menit mereka ngobrol-ngobrol dan Lea dan Ronald pamit pulang karena harus merawat mama mereka lagi...

"Tante, Lea sama Ronald pamit ya?" kata Lea.

"Makasih ya sayang udah jenguk tante" kata Tias.

"Tan, boleh minjem Luna bentar?" ijin Lea.

***

Author POV

"Tan, boleh minjem Luna bentar?" tanya Lea pada Tristan.

"Boleh, jangan lama-lama tapi, ya" kata Tristan usil, dan dibalas dengan tawa dari seisi ruangan.

Bapak, Vanya, Noel tadi SMS ke Luna kalo mereka pulang ke rumah, ngga ke atas lagi. Katanya kalo mereka mau pulang, suruh SMS Vanya supaya Vanya kesana buat gantian jaga.

Alhasil, Tristan sendiri yang menjaga Ibu. Ya, menjaga Luna yang begitu manja padanya saja Tristan bisa, apalagi Ibunya Luna yang baik.

"Iya, tenang aja," kata Lea.

"Bu, Luna nganterin Lea sama Ronald dulu ya. Kalo ada apa-apa minta sama Ka Tristan aja, dia siap buat direpotin kok," kata Luna sambil terkekeh ke arah ibunya dan mengedipkan sebelah matanya ke Tristan.

Akhirnya Lea, Ronald dan Luna sampai di depan pintu rumah sakit. Lea menyuruh Ronald untuk mengambil mobilnya, dan Lea menunggu disitu bersama Luna.

"Lun, kok gue mikir hal yang sama kaya lo, ya?" tiba-tiba Lea membuka suara.

"Halah ngikutin aja lo bisanya, tapi emang pemikiran yang mana Le?" tanya Luna penasaran.

"Yang tadi lo bilang kalo ada 'seseorang' dibalik ini semua" kata Lea, sambil mengutip dengan tangannya saat mengatakan seseorang.

"Iya kan? Gue juga mikirnya gitu," kata Luna setuju. "tapi siapa ya?" tanyanya.

"Gue gak tau ya bener apa gak, tapi kok gue mikirnya Merlyn ya?" Lea mengemukakan pendapatnya tentang yang ia rasakan.

"Emm" Luna bergumam. "Gue sih belom kepikiran itu siapa Le, tapi boleh lah pendapat lo gue tampung" kata Luna terkekeh.

"Yaudahlah, kapan-kapan aja kita cari taunya," kata Lea menyelesaikan omongannya. "Eh, Lun,"

"Apa?"

"Lo gendutan ya? Hamil ya lo? Wuih, keren tuh Kak Tristan" kata Lea dengan bangga, tanpa mengetahui isi hati Luna sebenarnya. Ia cukup jengah dengan pertanyaan dan pernyataan seperti ini.

"Belom kok" Luna menunduk sedih. "Masih dalam tahap usaha" katanya.

"Weh, usaha nih yee. Pasti sering deh kalian usahanya" kata Lea cekuikikan.

"Apaan sih Le" Luna tersenyum malu, dan rona merah tercetak di pipinya.

"Ceileh, bisa blushing juga lo kalo gue godain" kata Lea tertawa. "Tenang, Lun, lo kan ulang tahun ke 24 baru minggu lalu, masih ada waktu 3 bulan buat usaha supaya lo hamil, terus ngelahirin di umur 24" Lea berusaha membuat sahabatnya ceria lagi. "Itukan impian lo? Punya anak diumur 23 ato 24?" tanyanya.

"Iya, masih inget aja lo"

"Gak pernah lupa gue mah" kata Lea.

Tin... Tin... Tin...

Ronald membunyikan klakson mobilnya untuk memannggil Lea, yang tidak sadar akan kehadirannya yang sudah menunggu mereka selama 5 menit lebih.

"Lun, gue balik ya?" tanya Lea.

"Iya, hati-hati ya"

***

Sudah 15 menit yang lalu Luna dan Tristan sampai dirumah Luna yang di Malang. Luna sedang memasak makan malam untuknya dan Tristan. Bapak dan Vanya sudah ke rumah sakit sebelum mereka pulang -karena di SMS Luna- dan Noel sudah balik ke Bandung karena rumah mereka di Bandung -4 bulan yang lalu pindah- karena Noel ada dinas di Bandung.

Seperti biasa, Tristan memeluk Luna dari belakang saat ia masak, dan menunduk di lekukan leher Luna. Menghirup dalam-dalam aroma strawberry yang begitu manis itu.

Luna sama sekali tidak risih akan perlakuan Tristan.

Tapi, mungkin Tristan sedang nakal hari ini, karena tangan Tristan sudah bergerak naik memegang dada Luna yang belakangan ini Tristan rasa semakin besar dan semakin kenyal. Pas untuk tangan Tristan yang besar. 'Mungkin karena sudah sering dipegang-pegang' batin Tristan.

Tristan pernah membaca artikel tentang buah dada wanita yang kalau dipegang akan bertambah besar dan kenyal.

"Ugh..." Lenguh Luna tertahan saat Tristan meremas kecil dadanya. "Jangan... Ahhh... Nakal, kak... Ouh..." desah Luna tertahan.

"Ehmmm" Luna menggigit bibir bawahnya saat tangan Tristan masih 'bermain'

Tristan mencium pipi Luna gemas. Dan mencubitnya.

Luna bersyukur penderitaan yang nikmat itu berakhir, karena daritadi Luna memejamkan matanya dan tidak fokus akan masakannya. Ia takut masakan itu gosong.

"Aku tunggu di meja makan ya, Cantik?" kata Tristan.

"Iya gih, daripada gangguin aku masak" kata Luna mengusir Tristan.

"Diganggu bukannya protes malah nikmatin" kata Tristan menggoda Luna.. Lalu dia melangkah keluar dapur dengan tawa senangnya.

Wajah Luna merah padam dalam beberapa detik, namun langsung hilang warna merah itu.

Sekitar 1 jam Luna be-repot-repot-ria di dapur, istananya selain kamarnya itu. Luna merapikan dapur dan mengelap segala cipratan minyak di meja dekat kompornya itu.

Sesudah menghidangkan di piring, Luna membawa piring-piring itu ke meja makannya. Mangkuk besar berisi nasi tak lupa taruh.

Menu makanan malam itu: ati kentang balado, ayam bakar, dan cah kankung, serta pudding caramel yang masih ia letakkan di kulkas.

"Wuaaaah, bidadariku udah selesai masak ya?" tanya Tristan, ia baru selesai mandi di kamar istrinya itu. "Sampe keringetan gini," kata Tristan sambil mengelap keringet Luna dengan handuknya yang setengah basah.

"Ka, kan anduknya kan basah ya" protes Luna dengan wajah cemberut.

Tristan menarik kursi untuk ia dan Luna duduk. Tristan sudah duduk, sedangkan Luna masih berdiri disebelahnya.

"Aku mandi dulu ya?" Luna pamit dari Tristan, tapi dengan cepat tangan Luna sudah ditarik oleh Tristan sehingga Luna sudah duduk dipangkuannya.

"Kenapa? Aku mau mandi, bau banget ini" kata Luna.

"Gakpapa, bau bau juga istriku, jadi aku suka" kata Tristan dengan senyum manisnya. Tristan mencium bahu Luna yang tak terhalang apapun, karena Luna memakai baju tanpa lengan.

Luna membalikkan badannya dan menatap Tristan dalam, saat Tristan mulai hanyut dalam tatapan Luna.... Cup. Luna mencium bibir Tristan sekilas. "Aku mau disuapin lagi, Kak, makannya" kata Luna manja

"Siap,"

Lagi, kejadian di apartement pagi itu terulang. Dada mereka bertubrukan, karena Luna yang enggan disuruh turun sebentar -emang Luna yang pengen- dan itu agak membuat Tristan kesusahan untuk mengambil makannya.

"Udah belom? Kok ga ada bunyi sendok lagi?" tanya Luna saat ia merasa tak ada bunyi antara sendok dan piring beradu.

"Udah" kata Tristan masih tetap pada posisinya.

"Terus kenapa masih nyender ke aku gini?" tanya Luna.

"Empuk sih yang, jadi bikin betah" kata Tristan dengan kekehannya, membuat Luna malu sekaligus gemas.

Saat Tristan sudah tidak menyendarkan badannya lagi, Luna mencubit pipi Tristan.

"Sepiring berdua ya?" tanya Tristan.

"Iya boleh"

Luna jadi ingat saat resepsi pernikahan mereka, mereka suap-suapan, dan mereka hanya makan 1 piring berdua.

Berbeda dengan sekarang, Luna mampu makan 2 piring kalau disuapi oleh Tristan. Begitu manjanya ia dengan Tristan, tapi Tristan tidak merasa aneh, ia malah senang kalau istrinya itu manja dengannya.

'Bikin makin cinta aja' batin Tristan.

***

hanya 2 hari Tias di rawat di rumah sakit, karena keesokan harinya ia sudah boleh pulang sari rumah sakit.

Luna dan Tristan di rumah saja, menunggu Ibu pulang, dan Luna sibuk di dapur, Tristan juga. Tristan sibuk di dapur untuk menggoda Luna, menyentuh apapun yang bisa ia sentuh dan ingin dia sentuh. Dan desahan-desahan yang keluar dari bibir Luna membuat Tristan menahan tawanya.

Luna begitu tidak konsen.

Akhirnya, karena merasa bersalah dengan Luna yang ia ganggu daritadi, akhirnya Tristan berganti malah menjadi membantu Luna. Ia menuruti apapun yang Luna suruh, termasuk memeluknya dari belakang.

Luna sangat ketagihan akan pelukan Tristan itu. Mendekapnya, seakan-akan menyatakn kalau Luna adalah harta berharganya dan tak ingin ia lepaskan sama sekali.

Tristan juga membantu Luna menyiapkan meja makan, karena 5 menit sebelumnya Vanya menelpon kalau mereka sebentar lagi sampai.

Tepat saat Luna melepas celemaknya, klakson mobil berbunyi dan Luna buru-buru lari untuk membukakan pintu.

***

Mereka makan dengan tenang, walaupun diselingi beberapa candaan yang ringan.

Sampai akhirnya Luna merasa sangat mual.

Ia berlari ke kamar mandi terdekat dan memuntahkan semua isi perutnya, dibantu oleh Tristan yang memijit tengkuknya...

Tadi ia memakan udang pedas hingga tenggorokannya terasa perih karena ada cabe ditenggorokannya. Mata Luna berkaca-kaca, selain sakit ditenggorokannya, ia juga merasa kepalanya sangat pusing.

"Kak, pusing, pedes" Luna mengadukan apapun yang ia rasakan pada Tristan, dan Ibu sudah begitu panik berdiri di belakang Tristan.

"Kamu kenapa ndo?" tanya Tias.

"Mual, Pusing, Pedes," aku Luna.

"Tan, tolong bawa Luna ke kamarnya diatas ya, nanti Ibu buatin Luna bubur. Kamu tungguin Luna diatas aja" perintah Tias.

"Iya bu"

Tristan menggondang Luna ke kamarnya yang diatas, sebenernya Luna menolak karena ia merasa mampu untuk tetap berjalan. Toh, hanya berjalan kan?

Tapi perkiraan Luna salah, bahkan dia berjalan keluar kamar mandi saja sudah sempoyongan. Kalau saja Tristan tidak segera menangkap Luna sudah dipastikan akan terpleset dan terbentuk keramik kamar mandi ini.

Belakangan ini, kondisi Luna memang sangat menurun. Mengawatirkan sekali. Ia bisa kelaperan tengah malem, dan setelah itu tidur sebentar, lalu bangun untuk muntah sedikit. Setelah itu ia akan minum susu coklat kardus kesukaannya, dan tak butuh waktu lama ia akan tidur dalam pelukan Tristan.

Pernah waktu itu, habis Tristan mengambilkan susu dan sudah dihabiskan Luna, Tristan memeluk Luna sebentar dan saat ia merasa Luna sudah tidur, ia bergegas ke meja yang ada di kamarnya untuk menyelesaikan pekerjaannya, namun Luna malah terbangun dan merengek-rengek minta di peluk.

Hhh, sungguh terlalu...

Tristan sih seneng-seneng aja Luna manja gitu, tapi dia bingung kenapa Luna tiba-tiba jadi manja banget sama dia?

Yaudahlah, selama mereka berdua sama-sama seneng, dan Luna bisa sehat lagi, Tristan rela ngelakuin itu. Demi Luna....

'Apa Luna hamil?' tanya Tristan dalam hati.

Ia tau bagaimana ciri-ciri wanita hamil, dan yang dialami oleh Luna adalah ciri-cirinya. Bedanya, Luna tidak pernah minta apa-apa alias ngidam.

Tristan jadi bingung. Dia perlu cek lagi ke dokter itu. Toh, selama seminggu terakhir ini mereka sudah mencobanya setiap hari. Eh, tapi, apa secepat itu? Luna kan belom halangan, berarti ini bukan masa suburnya Luna.

Aduh.... Batin Tristan menyesal memikirkan hal itu.

***

Daritadi Luna marah-marah pada Tristan karena Tristan katanya sih menghalangin pemandangan Luna yang sedang asik nonton kartun.

Daritadi juga Luna ngemil brownies buatan Ibunya, dan tidak segan-segan untuk memukul tangan Tristan kalau ia ingin mengambilnya. 'Huft, mencoba saja tidak boleh' batin Tristan.

Mereka sedang nonton TV di kasur, dengan Luna yang tiduran ngadep ke TV di atas Tristan. Tristan juga gak ngerti apa maksud Luna buat ngejadiin dia kasur, tapi selama ia dapat menyentuh Luna, tak apa. Mereka sama-sama senang.

Pletak!

"Ih, kan Luna udah bilang gak boleh ngambil" omel Luna saat tangannya dan tangan Tristan bersentuhan dipiring brownies.

"Sakit, Lun" ringis Tristan, memasang muka sedihnya. Luna yang merasa tak tega dengan wajah kesakitan suaminya, mengelus pipi itu.

Dan kesempatan itu digunakan Tristan untuk mengambil sisa 4 potongan brownies itu tanpa Luna sadari.

Dengan gerakan cepat, Tristan sudah memasukan semua potongan itu dan mengunyahnya hingga membuat pipi Tristan mengembung.

Hal itu membuat Luna melotot. "Huaaaaah" Luna menangis layaknya anak kecil yang permennya dimakan sang kakak.

"Kak Tristan tega, huuaaahhh" tangisnya semakin kencang.

Vanya dan kedua orangtuanya mendengar itu, namun hanya cekikikan. Biarkan saja anak manja itu ditangani oleh suaminya. Hahahah.......

"Ka Tristan jahaaaat" teriak Luna lalu turun dari badan Tristan.

"Maaf sayang, maaf" Tristan kelabakan melihat Luna menangis begitu histeris. Tristan mencengkram tangan Luna.

"Gak mau!" bentak Luna dan melepaskan cengkraman tangan Luna.

Luna berlari keluar kamar, membuat Tristan panik, takut dimarahi kedua orangtuanya, walaupun ia tau, ia tak akan dimarahi.

"Ibuuuu huaaah! Bapak huaaah" teriak Luna, tapi mereka tetap saja duduk sambil nonton berita.

"Luna! Luna!" Panggil Tristan sambil mengejar Luna.

"Ibu, buatin Luna brownies lagi dong, hiks hiks" pintanya. "Brownies Luna diabisin sama Kak Tristan" adunya.

Tias terkekeh mendengar pengaduan yang dilakukan anak bungsunya itu.

"Gak bu, Tristan cuma makan 4 potong doang, yang lainnya dimakan Luna" Tristan membela dirinya sendiri.

"Tapi kak Tristan makan 4 potongan terakhir, berarti kakak yang abisin" Luna memulai adu mulut bersama Tristan.

"Ya tadi aku minta, kamu malah mukul tanganku kan?"

"Kakak gak minta, kakak asal nyomot"

"Ya tapi gak kamu kasih kan?"

"Huaaaah ibu, Luna dibentak Kak Tristan" Luna menangis lagi dan mengadu ke ibunya. Ia mengambil tempat duduk disebelah ibunya.

Ia bergelung manja di lengan ibunya, sambil menangis, dan memajukan bibir bawahnya.

"Jangan nangis ah, udah nikah juga. Malu atuhh" kata Ibunya sambil mengapus air mata yang jatuh di pipi Luna.

Tristan menyusul Luna, "aku ganti deh browniesnya, aku beliin coklat deh" tawar Tristan.

"Coklat?" Luna tampak menimbang-nimbang saat mendengar kata coklat.

Ia memang penggila coklat, tapi sejak 4 bulan yang lalu ia mengurangi makan coklat, bahkan ia sudah lupa kapan terakhir ia makan coklat. Karena ia dilarang orang salon yang mem-facial wajahnya, dan dia juga takut gendut.

Semenjak menikah, dia jadi menjaga badan dan muka, seperti saran dari Lea dulu.

"MAU!" Luna mengatakannya begitu semangat, sampai bibirnya maju-maju. Tangannya sudah berpindah dari lengan Ibunya, menjadi di tangan Tristan.

"Yaudah aku beli dulu ya" kaya Tristan lalu bangkit berdiri.

"Ikuuuuttt" pinta Luna sambil tangannya diangkat keatas, dan kakinya digoyang-goyangkan. Seperti anak kecil ngambek, dan minta digendong.

"Kamu kan masih sakit"

"Mau ikuttt" pinta Luna lebih memelas lagi. Masih dengan posisi tangan kaki yang digerak-gerakkan.

Vanya tak tega melihat wajah melas adiknya, dan wajah kuatir yang begitu ketara di wajah Tristan, sehingga ia berinisiatif untuk menawarkan diri.

"Yaudah, mba aja deh yang beli, Tristan gendong Luna aja, dia minta digendong tuh" kata Vanya.

Luna tersenyum mendengar kalimat yang terlontar dari mulut kakaknya. Rasanya, begitu enak bermanja-manja dengan suami, kakak, dan orangtua.

"Gendong" pinta Luna.

Tristan dengan canggung, walaupun ia menginginkannya, akhirnya menggendong Luna, seperti menggendong bayi. Ia gendong di depan. Tangan Luna sudah dikalungkan di leher Tristan, dan kakinya melingkar diatas bokong Tristan. Luna juga meletakan kepalanya di bahu Tristan.

"Bu, kita keatas ya? Anak bungsunya lagi mau manja-manja sama suami nih" kata Luna tanpa rasa malu.

"Iya gih sana" kata Tias. "Jadi inget kita jaman dulu ya pa?" Tias mengerling genit ke arah suaminya.

Luna yang sudah digendongan Tristan dengan bebas mencium pipi Tristan dihadapan kedua orangtuanya. Menyenangkan sekali hidupnya....

***

Setelah Tristan dan Luna sudah di kamar, Tias dan Awan membicarakan anak dan menantu mereka itu. Tanpa sepengatahuan Vanya juga pastinya, karena Vanya sedang membeli coklat untuk adiknya itu.

"Pak, kok ibu ngerasanya Luna itu hamil ya? Badannya gemukan, sifatnya juga jadi manja itu, tadi juga dia mohon-mohon ibu buatin brownies, katanya sih kangen sama brownies buatan ibu, tapi kok ibu ngerasanya dia ngidam ya?" Tias mengemukakan pendapatnya.

Mereka berdua sudah diberi tau oleh Karin tentang hasil USGnya Luna, yang mengatakan kalau Luna belum hamil supaya tidak menanyakan :kapan Luna hamil. Namun melihat kondisi Luna sekarang, tanda-tandanya begitu jelas. Apa mungkin dokter itu melakukan kesalahan?

"Bapak juga mikirnya gitu, tapi wes toh bu, jangan diomongin lagi. Kasian Luna kalo denger, sedih pasti" Awan menutup topik pembicaraan yang menurutnya tak pantas dibahas itu.

***

Malam harinya, Luna dan Tristan sedang duduk di ruang TV sambil menonton acara kartun tengah malam. Luna baru saja makan indomie rebus pake bakso, telor, udang, yummy banget lah pokoknya..

Luna sudah berpikir seharian tetang kata-katan Lea tadi. apa benar yang melakukan itu Merlyn?

apa modusnya?

'gue bakal pastiin hidup lo menderita'

AH YA!

kalimat itu daritadi berputar-putar bagai kaset kusut di kepala Luna. Luna ingin membicarakan masalah ini pada Trista, tapi ia takut kalau Tristan akan memarahinya bahkan memukulnya saat seperti di kantor waktu itu.

tapi, ini di rumah orang tuanya... Luna yakin 100% Tristan tidak akan berani mengasarinya disini...

"Kak" panggil Luna saat Tristan sedang mengunyah kacang kulit.

"Hm?" gumamnya.

"Kok aku ngerasa yang ada di balik ini Merlyn ya?" tanya Luna. tapi sayangnya, Luna terlalu blak-blakan mengemukakan pemikirannya bersama Lea itu. "yang bikin Mamanya Lea sama Ibu sampe di rumah sakit gitu"

Tristan menatap Luna dengan tatapan tak terduga. Merlyn sudah membantunya di kantor, menjadi sekretaris cadangannya saat Raya tidak masuk, entah dengan alasana apaun.

"jangan asal nuduh Lun" kata Tristan.

"Aku gak nuduh," jawab Luna.

"tapi kamu gak punya bukti, kan?" tanya Tristan dengan begitu kesal. mengapa istrinya keras kepala.

"punya kok" jawab Luna terlalu percaya diri.

"Apa?" tanya Tristan meragukan.

"inget gak, waktu kita menikah Merlyn bilang dia bakal mastiin aku menderita, nah itu caranya" jawab Luna.

"kalo yang diincer itu kamu, kenapa jadi ibu sama mamanya Lea yang kena?" tanya Tristan sambil menaikan sebelah alisnya.

"taktik kak" jawab Luna. "perlahan tapi pasti, pertama orang-orang disekitar aku, baru nanti aku yang kena" jawab Luna frustasi. mengapa suaminya ini tidak percaya sekali padanya?

"ini yang licik kamu atau dia sih?" tanya Tristan. "apa jangan-jangan kamu yang sebenernya ngelakuin ini, buat nuduh Merlyn ya?" tanya Tristan begitu entengnya.

ia tak menyadari kalimat yang keluar dari mulutnya mampu menyakiti hati wanita yang ada dihadapannya ini. tanpa diminta, air mata Luna menetes akan tuduhan yang terlontar dari mulut Tristan itu.

"Aku gak mungkin nyelekaiin orang-orang yang aku sayang!" bentak Luna disela tangisnya.

entahlah, Tristan merasa bosan karena seharian ini emosi Luna tidak terkontrol sama sekali. membuatnya jengah dan lelah...

bahkan, air mata sakit dari Luna pun sudah tidak mempan dihadapannya.

"mungkin aja, demi mecapai suatu tujuan orang itu rela ngelauin apa aja Lun" kata Tristan masih dengan suara terkontrol.

"kenapa sih kak, kakak gak percaya banget sama Luna?" tanya Luna dengan air mata yang sudah membanjiri wajah mulusnya.

"KARENA AKU KENAL MERLYN!" bentak Tristan. ia tak sadar sudah membentak Luna. "DIA ITU ANAK YATIM PIATU, DIA GAK PUNYA SIAPA-SIAPA, HIDUPNYA SEDERHANA, DIA GAK MUNGKIN NGELAKUIN KAYA GITU. APALAGI WAKTU MAMANYA LEA SAKIT, MERLYN ITU LAGI ADA DI KANTOR!" bentar Tristan lagi.

tangis Luna semakin pecah.

"nangis mulu sih kamu, kaya anak kecil" Tristan meneguk air putih yang ada di gelas yang ada di meja di hadapannya.

Luna memandang Tristan dengan tatapan terlukanya. sangat terluka. "kenapa kakak selalu ngebentak aku kalo kita lagi ngebahas Merlyn?" tanyanya, suaranya sarat akan kesedihan dan rasa terluka yang dalam.

"kan kamu yang mulai" kata Tristan cuek, sambil melanjutkan acara nontonnya.

Luna merasa sakit hati, ia ingin menangis sampai puas di kamarnya.... ya, dia butuh itu... kamar dan selimut untuk tempatnya mengumpat....

Luna langsung berlari ke kamarnya di lantai 2 dan membanting pintu itu dengan emosi yang bergemuruh di dadanya.

Luna tak sadar karena emosinya itu, pintu itu dibanting begitu kencang hingga membuat Vanya yang sudah tertidur terbangun, kedua orangtua mereka juga. tapi, mereka tak tau apa-apa, mereka kira Tristan dan Luna akan melakukan 'misi punya anak' mereka hingga menutup pintu dengan terlalu semangat.

akhirnya mereka melanjutkan tidur mereka.'

Tristan menggeram frustasi. Merlyn, merlyn, merlyn, ada apa sama wanita itu? kenapa Luna benci banget sama wanita itu? dan kenapa dia satu-satunya alesan buat Luna dan Tristan berantem bahkan sampai ngebentak Luna....

"Arghhh!" teriak Tristan frustasi.

***

Luna POV

Aku membanting pintu dengan keras, dan aku langsung berjalan menuju kasurku. aku langsung mengumpat di balik selimut, mencoba mencari ketenangan didalam sini. mencoba mengumpulkan segala kepingan hati yang baru saja di hancurkan oleh suamiku sendiri.

suami yang selalu membela mantannya dibanding istrinya sendiri. miris ya nasibku?

aku masih terisak dalam diam dan kegelapan. bukankah Kak Tristan harusnya menjadi penerangku? tapi kenapa dia membawaku ke gelapan. aku sakit...

dulu waktu di rumah sakit dia minta maaf padaku. kukira dia tak akan melakukan hal seperti itu. membentakku demi membela mantannya itu. Merlyn.

apa salahku? aku hanya menduga kalau yang ada di balik ini semua adalah Merlyn. aku tidak menuduhnya tanpa bukti. waktu itu dia kan yang bilang akan membuat hidupku menderita, dan melihat orang-orang disekelilingku yang kusayang sakit juga membuat hidupku menderita.

tapi apa tadi yang Kak Tristan bilang? dia malah mengatai kalau akulah yang licik disini, dan dia menuduhku yang membuat papanya Lea dipecat, dan mamanya Lea jantungnya kambuh. dan aku yang membakar restaurant ibu?

bagaimana aku melakukannya?

aku selalu berada di apartement, atau tidak dirumah mama. lagipula mana tega aku melakukan itu kepada orang-orang yang aku sayang? dan aku tak mungkin pingsan mengetahui ibu masuk rumah sakit karena terjebak asap saat restaurantnya terbakar, kalau itu ulahku.

dimana otak suamiku itu?

tunggu, tunggu, apa Kak Tristan masih mencintai Merlyn dan terpaksa menikah denganku karena keinginan orangtuanya?

toh aku juga tidak pernah mengetahui apa alasan yang membuat mereka berdua putus, waktu itu Kak Tristan cuma bilang kalo mereka putus secara baik-baik. apa, yang dimaksud baik itu karena Kak Tristan masih mecintainya?

Dan Merlyn di terima di kantornya karena mereka masih ingin menjalin cinta dibelakangku.

'tapi kak tristan kan bilang waktu itu dia cinta kamu' batinku mengingatkan.

Ah, pasti itu bohong. waktu itu kan aku yang bilang duluan kalau aku menyukainya, aku yakin dia hanya ingin menghiburku sehingga mengatakan kalimat yang membuatku senang. dia hanya pura-pura! jangan lupa, kalau dulu Mama adalah anak teater, pasti sedikit banyak ada bakat yang turunnya kepadanya.

aku semakin terisak memikirkan itu semua. sakit sekali, ya, Tuhan menerima kenyataan kalau suami yang sudah menikah denganku 4 bulan ini, dan bersikap seolah-olah menyanyangiku ternyata hanya sandiwara.

Sakit, Tuhan.....

Ceklek!

kudengar langkah kaki mendekat ke arah ranjang ini. dan setelah itu kurasakan kasur ini bergerak, seperti ada yang menaikki. aku sudah tau itu siapa, dan aku yakin itu dia. suamiku yang sangat pintar bersandiwara.

huft, kenapa dia jadi CEO? harusnya menjadi artis aja. kuyakin fansnya akan banyak.... kandia ganteng.... EH?! apa kataku barusan?

***

Tristan POV

aku tau wanita disebelahku ini belum tidur, aku masih sadar akan pergerakan-pergerakan kecil yang ia ciptakan atas............ entah, aku tidak tau dia sedang apa. seluruh badannya tertutup selimut.

segudang rasa bersalah menumpuk dihatiku. ah, aku lupa kalau wanitaku ini terlampau lemah akhir-akhir ini...

kupegang bahunya. ya, walaupun tertutup selimut tai aku sangat hafal bentuk tubuh istriku ini. dan dengan cepat, ditepisnya tanganku. belum juga 2 detik tanganku mendarat..

huft..

"Lun, aku minta maaf" kataku sambil duduk dibelakangnya. Luna masih diam, bahkan sekarang dia sudah tidak bergerak sama sekali setelah menepis tanganku tadi.

"Lun, please ngomong, jangan diem gini" kataku lagi. dia masih diam. Ah, Tuhan, kenapa wanitaku ini?

"Lun, aku lebih baik kamu amuk daripada kamu diemin aku" kataku jujur padanya. aku memang lebih suka wanitaku ini melampiaskan seluruh amarahnya padaku, daripada dia diam saja, dan disimpan dalam hati, lama-lama menjadi dendam? hih, mana mau aku didendamin sama istri sendiri.

sepertinya kata-kataku barusan manjur, Luna langsung membuka selimutnya dengan kasar. untungnya aku sepat ngeles, jadi selimut itu tidak menutupi wajahku. tidak bagus sekali kalau hal itu terjadi disaat seperti ini.

dia menatapku. mata itu............ oh, terluka. aku pun terluka melihat mata itu..

"aku benci kakak, aku benci merlyn, aku benci kalian" kata Luna dengan nada datar, dan pandangan kosong. walaupun kuyakin dia sangat menahan emosinya.

"iya, aku juga sayang kamu" jawabku,

"bullshit!" bentaknya padaku. aku kaget dengan apa yang keluar dari mulutnya, aku tak pernah mendengar kata kasar dari bibir kecilnya selama aku menikah dengannya, bahkan semenjak aku mengenalnya.

siapa yang mencemarinya?

dengan cepat dan kasar, kucium bibirnya yang baru saja mengeluarkan kata-kata kasar. jujur, aku tak bermaksud untuk menciumnya secara kasar seperti ini, aku hanya ingin memberi pelajaran padanya. tidak sopan sekali berkata kasar seperti itu, padaku. suaminya.

dia tidak membalas ciumanku, dia malah menangis. aku merasakan air mata itu juga membasahi pipiku. ah, aku tau aku menyakitinya. aku menyudahi ciuman itu, dan aku menatap matanya yang masih terluka.

langsung kupeluk dia, kurengkuh, dan aku tak tau kalau dia marah dia masih ingin kupeluk. aku baru tau wanita seperti itu. karena, cuma dialah wanita yang pernah kupeluk kalau saat menangis, dalam keadaan marah.

ups, tidak, dia emang satu-satunya wanita yang kupeluk selain mama dan kak vera.

"hiks hiks hiks" isaknya di dadaku. Ah, Tuhan, kenapa tangisnya menjadi kelemahanku? kenapa juga tadi aku mengatai cengeng?

"kakak gak cinta kan sama Luna?" tanyanya. Heh, bicara apa dia? apa kurang perhatian yang kuberikan padanya? apa kurang cukup bukti yang kuberikan untuknya?

"Luna ngomong apa sih?" tanyaku. "ngaco banget nanyanya"

aku semakin mempererat pelukanku padanya, karena entah kenapa aku yakin Luna akan melepaskan diri dari pelukanku.

benar, Luna ingin melepaskan pelukanku tapi tidak bisa karena aku memeluknya terlalu erat.

"kakak lebih belain merlyn dibanding Luna, selalu gitu" isaknya.

kali ini, aku melepaskan pelukanku secara pelan, dan aku menangkup wajah Luna supaya aku dapat bertatap mata dengannya.

***

Luna POV

"liat aku Luna" katanya saat melihat ke arah lain. aku tak ingin menatap matanya, aku takut akan jauh lebih sakit saat aku menatap mata itu.

"Luna, look at my eyes, please?" pintanya dengan nada yang halus. uh, kenapa harus sehalus itu?

mau tak mau, kuat tak kuat, aku memberanikan diri untuk menatap matanya. Oh, apa yang kulhat? matanya menampakkan kesedihan...

bagaimana bisa?

'katamu dia pandai bersandiwara, pasti itu hanya sandiwaranya saja' entah kenapa, batinku muncul seperti setan bertanduk merah.

'mata itu adalah pancaran hati. disaat lidah berbohong, mata tidak akan berbohong' hatiku mengingatkan. oh, terimakasih, ternyata hatiku memang baik seperti malaikat.

"apa yang kamu liat dari mata aku, itu isi hati aku" kata Tristan seolah mengerti perdebatan batinku barusan.

"sedih" gumamku, walau tak ditanya.

"iya, aku sedih ngeliat kamu kaya sedih, dan aku juga sedih waktu kamu bilang aku gak sayang sama kamu" katanya tenang.

aku masih terdiam, menatap matanya, dan mencari kebohongan. tapi tak ada. hanya ada pancara ketulusan dan kesedihan yang tercetak jelas dimatanya. jadi pemikiranku tadi salah?

berikan aku petunjuk Tuhan..

"aku udah gak ada perasaan apa-apa sama merlyn, sumpah, rasa cintaku cuma buat kamu, Lun, cuma kamu"

"kasih aku 1 alesan supaya aku perca... hmptt" dia menciumku, kali ini tidak kasar seperti tadi..

halus, sangat halus, sampai membuat jantungku deg-degan, hatiku bersorak senang, dan seperti ada kupu-kuppu terbang di perutku. aku tidak lebay, aku hanya mengatakan apa yang kurasakan.

saat bibir kamu masih menyatu, Kak Tristan menarik tanganku dan didekatkan ke dadanya. Apa ini? kenapa jantungnya berdetak begitu kencang? kenapa sama seperti yang aku rasakan?

setelah itu, ia meletakkan tanganku lagi ditempatnya, dan tiba-tiba adasebuah tangan yang mampir ke dadaku. oh, kalian jangan berpikiran macam-macam, sepertinya ia memeriksa keberadaan jantungku..

"hah hah hah" aku menarik nafas sekuat tenaga saat ia sempat melepaskan bibirnya dari bibirku. walaupun sedetik kemudian, dia mendekatkannya lagi, dan akal sehatku kali ini sudah tidak dapat bekerja dengan baik lagi untuk menolaknya.

ciuman kali ini tidak lama, sangat sebentar malah.

"rasa coklat" katanya. ah, itu membuatku malu, memang tadi aku memakan coklat sebelum aku mengemukakan pendapatku tentang merlyn.

"maafin aku ya, Lun? aku bener-bener janji gak akan ngulangin ini lagi" katanya sambil menggenggam tanganku.

"yakin gak akan ngingkarin janji?" tanyaku. walaupun hatiku yakin dia tidak akan mengingkarinya, tapi entah kenapa mulutku mengeluarkan seperti itu.

"I promise you" katanya dengan begitu yakin. walaupun aku sedikit bingung kenapa ada kata 'you'nya. mungkin inggrisku saja yang tidak terlalu bagus dibandingkan dia yang CEO yang pekerjaanya kuyakini kebanyakan menggunakan bahasa inggris. supaya terkesan internasional, kali...

"Can I keep your promise?" tanyaku. ah mulut bodoh, kenapa kamu selalu bertanya pertanyaan yang meragukan seperti itu?

"Yes you can, babe" katanya dengan yakin dan tersenyum

Setelah itu kupeluk dia, dan dia juga memelukku begitu erat. dan entah kenapa, aku menangis di dadanya. huh, kenapa akhir-akhir ini aku sering sekali menangis?

=====

Continue Reading

You'll Also Like

16.1K 1.4K 27
Anila refleks memejam kala cowok beralis tipis itu menyejajarkan wajah, embusan napas dapat dia rasakan. Kerongkongannya semakin tandus, oksigen suli...
2.3M 19.1K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
47.1K 4.9K 32
Sahmura, nama seorang gadis yang mengidap penyakit amenore yaitu penyakit tidak mengalami menstruasi karena cacat lahir. Penyakit ini menyebabkan dir...
9.5K 520 54
Dia yang kupercayai sebagai pemilik hati ini seutuhnya. Namun dia juga yang menghancurkanku hingga menjadi butiran debu. Melupakan memang takkan pern...