Race Of The Heart [COMP.]

By heliostellar

82.8K 10.7K 3.2K

Entah takdir apa yang digariskan langit untuk Mark, tidak mungkin takdir yang lurus-lurus saja. Karena terlib... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Epilog 1 : Aftermath
The Cousins

Chapter 11

3K 435 211
By heliostellar

Warning: long ass ride, kinda


.
.

Meja panjang itu menyisakan beberapa kursi kosong tidak terisi. Walaupun di hadapannya beberapa hidangan tetap tersaji, tidak menyapa tuan rumahnya. Suara dentingan benda logam dengan porselen beresonansi di ruang temaram itu. Cahaya lilin memantul membuat kalkun panggang kecoklatan tampak lebih menggiurkan. Gelas-gelas tinggi tampak terisi cairan merah keunguan yang berkilau ditimpa bias lampu gantung yang melayang di atas.

Tiap manusia berpakaian semi formal yang duduk di sana tampak sibuk berkutat dengan piring masing-masing. Mengoyak daging dengan garpu atau menyendok salad dengan dressing yogurt bercampur mayonnaise. Obrolan kecil sesekali berputar di tengah makan malam yang diiringi lantunan partitur Beethoven.

Tapi lingkaran obrolan itu menyisihkan satu orang yang sejak awal tidak berniat membuka mulut jika tidak untuk menyuap makanan. Hampir di ujung meja, Mark tengah mengaduk-aduk piring yang berisi kacang polong, wortel, dan kentang tanpa minat. Dalam hati berdoa makan malam sialan ini cepat selesai—sebelum sebuah suara menginterupsinya.

“Kau terlihat baik-baik saja.”

“Maaf kalau itu mengecewakanmu.”

Mark menyadari kesalahan jawabannya ketika suara dentingan logam berkurang drastis. Ia mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk dan—Oh, ia menyadari jawabannya kelewat sarkastis dan menyinggung untuk orang yang terbiasa disanjung-sanjung dan memiliki orang-orang yang mencium kakinya.

What I mean is, thank you for your consideration, father,” koreksinya lagi dengan nada bicara datar dan enggan. Setidaknya itu mampu menyingkirkan beberapa pasang mata yang menatapnya sadis.

“Aku sudah mendengar dari sekretaris Nam, kau menjalankan pekerjaan yang diberikan kakek dengan baik,” pria paruh baya itu melanjtkan sambil memotong daging kalkun menjadi beberapa bagian kecil.

“Well, entah sekretaris Nam yang berlebihan atau dia hanya ingin menyenangkanmu saja,” jawab Mark sambil terkekeh hambar.

“Jangan merendahkan diri begitu. Kau anak yang cerdas dan kompeten, Mark,” suara yang lain menimpali. Segala kata-kata ketus yang Mark simpan luntur seketika mendapati suara yang lebih feminim dan halus itu terarah padanya.

“Benar begitu Jeno?” lanjutnya lagi, sebuah senyum anggun terpatri di wajahnya.

Untuk pertama kalinya dalam minggu itu Mark benar-benar melakukan kontak mata dengan Jeno—adiknya. Bukan hanya sekedar tatapan dari ekor mata saat mereka berpapasan di koridor atau ruang-ruang di rumah terlalu besar ini.

“Tentu saja,” senyum khas seorang Lee Jeno kembali dipajang. Matanya yang membentuk bulan sabit kini terarah pada ayanya.

“Hyung sangat bekerja keras. Beberapa kali aku bahkan mendapatinya pulang larut,” imbuhnya dengan senyum tipis yang tetap menawan.

Wanita paruh baya yang duduk di samping laki-laki dengan sweater abu-abu itu tampak terkejut. Matanya sedikit melebar namun raut senang dan bangga menggantinya kemudian.

“Apakah kau kerja lembur? Anak muda memang bersemangat tinggi, ya?”

Mark hanya tersenyum. Diam-diam ia melirik pria tua yang surainya belum sepenuhnya berganti keperakan yang sedari tadi hanya duduk diam memakan kudapan dengan tenang. Jujur saja itu mengganggunya. (Hampir sepanjang waktu sebenarnya eksistensi manusia itu banyak mengganggu Mark)

“Sepertinya aku harus mengikuti taktik Mark hyung. Dengan begitu aku bisa bebas di akhir pekan. Iyakan, Bu?” ujar Jeno ringan. Gurauannya mengundang tawa Tuan dan Nyonya Lee. Alih-alih guyonan, Mark menangkap itu sebagai sindiran terselubung dari adiknya.

Jadi seperti ini caramu bermain, Jeno.

Mark masih mengamati kakeknya—dan satu orang lagi yang keberadaannya hampir Mark lupakan karena sibuk bergulat dan mengutuk dalam kepalanya. Kakeknya tampak biasa saja, bahkan sedikit tertawa oleh candaan Jeno yang menurut Mark tidak lucu.

Dan satu orang lagi—ia juga tengah tertawa. Kekehan merdu keluar dari mulutnya sangat ringan dan profesional. Profesional—dilatih selama bertahun-tahun agar terdengar sopan namun tidak canggung. Sebuah tawa yang Mark ketahui dengan mudah ada sedikit keterpaksaan di sana.

“Kenapa? Jadi kau bisa membawa Haechan pergi berkencan?”

Tawa pecah sekali lagi di meja yang terbuat dari kayu ceri mengkilap tersebut. Dan sekali lagi Mark merasa asing di makan malam keluarganya sendiri. Keluarga. Mengingat kata itu membuat dadanya berdenyut aneh dan dorongan untuk tertawa sekaligus mengumpat selalu menghampirinya.

Di tengah derai tawa yang harmonis itu Mark tidak sengaja menangkap sepasang mata coklat yang amat dikenalinya. Tidak berlangsung lama karena pemilik mata itu buru-buru membuang wajahnya.

Angin bulan Januari berhembus lebih dingin membuat Renjun merapatkan mantel bermotif flannel abu-abu yang memeluk tubuhnya. Udara dingin serasa mmenusuk-nusuk kaki kurusnya yang berjalan melewati air mancur menuju auditorium Kyung Hee university. Diam-diam ia mengutuk Ten yang berpikir bahwa pembubaran panitia resital musim dingin saat suhu berada jauh di bawah nol adalah hal yang baik.

Di malam hari pula. Di mana letak keasyikannya? Bukankah orang biasanya berkumpul di rumah barbeque sambil minum soju atau apalah namanya? (Walaupun Renjun juga sedikit banyak tidak menyukai hal itu)

Setidaknya lebih baik daripada mati membeku di dekat air mancur atau di dalam auditorium.

“Renjun, my love.”

Sapaan nyaring dari samping begitu ia melewati pintu utama membuat Renjun memutar bola mata. Ia menatap jengah pads Ten yang tengah menghampirinya dengan tangan terentang.

“Sunbae,” walau begitu Renjun masih tahu sopan santun—dan sayang nyawa—untuk sekedar memberi Ten hormat.

“Sunbae my ass. Berapa kali kubilang untuk memanggilku hyung?” decaknya sebal sambil merangkul pundaknya dari samping dan menuntunnya melewati barisan kursi.

“Kemana yang lain?” tanya Renjun mendapati auditorium yang jarang akan manusia. Kecuali dirinya, Ten, satu orang asing yang secara bersamaan tidak asing bagi Renjun, dan tiga mahasiswa yang sedang mengecek auditorium—entah untuk keperluan apa.

Relax. Mereka berangkat ke Hongdae kurang lebih dua puluh menit yang lalu,” celoteh Ten santai sambil mendegus geli. Renjun terlalu serius menurutnya.

“Hongdae?”

Ten hanya bergumam pelan. Tanpa Renjun sadari ia tengah berjalan menuju orang asing-tidak-asing yang dari awal diam-diam ia perhatikan. Apa yang dilakukan orang itu di sini?

“Yup. Barbeque House.”

“Dan kau tidak repot-repot untuk mengabariku?” tuding Renjun setengah berbisik. Ia tidak mengerti kenapa Ten menyuruhnya datang ke Kyung Hee alih-alih restoran yang sudah ia pesan.

Mendengar itu Ten hanya tertawa ringan setengah mengejek. Puas telah mempermainkan adik tingkat satu fakultasnya itu. “Karena aku ingin bertemu denganmu. Sekaligus mengenalkan seseorang padamu.”

Kini Ten dan Renjun sudah berdiri tepat di hadapan pria berbalut mantel berwana hitam yang terlihat mahal. Oh, Renjun tahu benar siapa orang ini.

“Kenalkan. Pacar sekaligus sponsor resital musim dingin kita—Jung Jaehyun.”

Dunia memang sempit. Tapi kenapa pula yang menjadi pacar senior kesayangan Renjun adalah sepupu Lee Jeno?

Ten adalah seorang pembohong.

Setelah menipunya untuk datang ke Auditorium, rupanya Ten berpikir tidak perlu mengatakan pada Renjun kalau Barbeque House yang disewanya juga merupakan bar cukup menakjubkan di kawasan Hongdae.

“Kukira Locos BBQ adalah restoran biasa?” hardik Renjun sebal. Ten mencibir dengan tawanya. (Bagaimana caranya? Hanya Ten yang tahu.)

“Menurutmu? Anak-anak akan membunuhku kalau hanya memberi mereka daging setelah kerja rodi berminggu-minggu di musim dingin, Junnie.”

“Lagipula,” Ten mendekat dan menghentikan wajah tepat di samping telinga Renjun. “Kau butuh melepaskan stres. Kerutan di dahimu nyaris permanen dan akan membuatmu cepat tua.”

Renjun hanya bisa mendumal tidak jelas. Di dalam kepalanya sudah berputar berbagai omelan Sicheng dan Kun yang alan menyerangnya kalau-kalau mereka mencium sedikit saja bau alkohol dari pakaiannya. Renjun paling bencu hal ini—dia kan sudah legal?

“Jangan melamun. Cepat habiskan makananmu dan susul aku ke belakang,” tegur Ten. Ia menepuk bahu Renjun pelan sebelum pergi dan berbisik ‘Jaehyun sudah menungguku'

Dia tidak tahu apa maksudnya—dan tidak mau tahu. Renjun bahkan tidak mengerti kenap Ten repot-repot membawa pacarnya ke acara kampus. (Secara teknis)

Renjun tidak mengerti kenapa harus belakang. Namun tidak lama setelahnya ia menyadari bahwa restoran ini lebih besar dari kelihatannya. Jauh lebih besar dan luas.

Di belakang Restoran terhubung dengan lorong sempit adalah bar dua lantai yang tengahnya terbuka seperti atrium mall. Nuansa minimalis sekaligus futuristik mendominasi interiornya. Sebuah lampu besar berbentuk tiga lingkaran tersusun secara vertikal. Menggantung ke bawah seperti membentuk keeucut.

Renjun berjalan ragu di sepanjang mezanin. Ia menengok ke bawah dan menghela nafas lelah tatkala matanya menangkap beberapa tubuh yang ia sinyalir sebagai koleganya di kampus sedang bergerak liar mengikuti alunan musik. Beberapa duduk santai dan mengobrol di meja bar.

“Apa yang kulakukan di tempat ini?”

“Tentu saja bersenang-senang.”

Renjun membalik badannya cepat. Matanya nyaris tidak mempercayai apa yang sedang dilihatnya. Sedikitpun ia tidak menduga akan menemuinya di tempat seperti ini.

“Haechan?”

Surprise.”

“Apa yang—kenapa kau ada di tempat ini?”

Laki-laki berparas manis itu mendengus. “Bukan cuma kau saja yang boleh bersenang-senang. Lagipula Jeno yang mengajakku kemari.”

“Jeno? Lee Jeno?”

“Berapa Jeno yang kau kenal memang?”

Kurasa hanya satu. Itupun sepertinya aku tidak mengenal dengan baik.

Tapi mengapa memilih di tempat ini? Bukankah banyak bar yang lebih memenuhi standar mereka dari ini? Well, bukan berarti bar ini jelek atau bagaimana. Tapi Renjun pikir kalau seorang konglomerat seperti Jeno hendak bersenang-senang, bukannya ia akan memilih tempat yang lebih privat dan hanya diakses orang-orang sejenisnya?

“Kau selalu banyak berpikir,” ujar Haechan menghadapi Renjun yang asyik terdiam. “Sepupunya juga ada di bar ini, kok.”

“Ya, bersama pacarnya,” gumam Renjun tertelan bass musik yang kini makin memberat dan keras. Di bawah sana orang-orang kembali bergerak lebih liar.

“Kutraktir minum.”

Renjun tidak sempat protes saat tangannya sudah diseret Haechan menuruni tangga yang panelnya ikut bergertar pelan karena gelombang audiosonik.

Renjun mrmandang gelas berisi scotch dengan kaku. Apa ia benar-benar harus meminumnya?

“Minum saja,” ujar Haechan santai seolah yang ada digenggamannya adalah segelas susu murni.

Jujur saja minuman beralkohol itu sangat menggodanya. Seperti kata Ten tadi, ia perlu melepas stres. Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalanya akhir-akhir ini membuatnya frustasi. Tapi kalau ia melampiaskannga pada alkohol—entahlah.

Loose yourself a little.’ kata-kata Ten masih bergaung di telinganya.

Masa bodohlah. Renjun meminumnya sekali teguk dan meringis saat sensasi membakar di tenggorokan menyerang tiba-tiba. Belum sempat pantas gelas itu mengenai permukaan meja, gelasnya sudah terisi lagi, kali ini sedikit lebih banyak.

“Sepertinya kau berbohong soal tidak bisa minum,” celetuk Haechan sambil menyesap bibir gelas yang berisi cairan coklat terang.

“Entahlah.” Kurasa aku berbohong tentang banyak hal. Batinnya getir sambil meneguk segelas lagi. Huh, Sicheng akan membunuhnya besok.

“Bagaimana liburanmu?”

“Tidak ada yang spesial. Biasa saja.”

Buruk. Aku bertengkar dengan tunanganmu. Dan aku mungkin saja membuat Jaemin membenciku—well, kalau telepon yang berkali-kali ditolak dan ratusan pesan tak terjawab (sialnya di baca) adalah indikasi yang cukup. Belum lagi ia sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya malam ini. Dan juga—kakak dari tunanganmu itu. Dia—seenak jidat menciumku tanpa memberi penjelasan. Payah.

“Bagaimana denganmu?” celetuk Renjun, nada bicaranya agak ngelantur saat mengamati gelas keempatnya. Haechan hanya mengangkat bahu.

“Seperti biasa.”

Menangkap nada lesu Haechan, Renjun terkekeh. “Jeno tidak mengajakku liburan, huh? Nah, kalian kan sama-sama sibuk.”

Satu gelas lagi tandas di tangan Renjun. Menuju gelas ke lima.

Mendengar Renjun, Haechan hanya tertawa miris. Renjun tidak sepenuhnya salah. “Begitulah,” jawabnya singkat.

Beberapa detik kemudian ia menolehkan wajah ke arah Renjun yang mulai sedikit tidak fokus. Minum berapa gelas dia?

“Renjun, mungkin ini lancang tapi bolehkah aku bertanya sesuatu?”

Kesadaran Renjun sesikit terisi kembali mendengar nada sungguh-sungguh dari Haechan. Ia menoleh ke samping dan untuk pertama kalinya ia melihat sorot mata Haechan yang begitu menusuk dan serius.

“Ada apa?”

Pemuda itu tampak ragu. Tetapi yang terjadi berikutnya adalah mata coklat yang biasa tenang itu makin tajam.

“Percayalah ketika aku mengatakan ini, aku tidak punya niat tersembunyi.”

Berasal dari kegugupannya, Renjun menenggak lagi beberapa mili cairan tersebut. Mengabaikan fokusnya yang mulai mengabur.

“Apa yang mau kau sampaikan?”

Haechan mengambil satu tarikan nafas yang dalam sebelum berkata. “Apa hubunganmu sebenarnya dengan Mark hyung?

Brakk

Pintu alumunium itu dibanting kasar hingga membentur tembok cukup keras. Bayangan seseorang dengan jaket biru melesat masuk ke bilik toilet. Ia membungkukkan badannya menaungi mulut toilet. Menanti cairan yang meninggalkan rasa asam keluar—namun nyatanya tidak keluar juga.

Renjun tidak tahu apa yang salah. Perutnya baik-baik saja sampai Haechan menyuarakan nama orang itu. Ribuan kupu-kupu serasa berputar di perutnya. Alih-alih perasaan melayang, rasa mual dan perut yang seolah diaduk-aduk menyerangnya membabi buta. Membuatnya langsung lari meninggalkan Haechan begitu saja.

Merasa putus asa, Renjun berdiri menyandar pada dinding toilet sambil memejamkan mata. Berharap rasa mual di perutnya berkurang. Setelah menghitung sampai sepuluh, ia menguatkan tubuh dan menyeret langkah keluar. Terserah bagaimanapun ia harus pulang sekarang juga.

Mungkin kesadarannya yang terancam melayang sebentar lagi.

Ia membasuh wajah dengan air dan berkumur di wastafel—dalam usaha mengembalikan kesadaran yang sama sekali tidak berbuah manis. Yang ada dia kedinginan.

Pintu utama toilet terbuka di belakangnya dan tubuhnya membeku di tempat melihat pantulan orang itu pada cermin di hadapannya. Renjun mencengkeram pinggir wastafel yang timbul erat-erat. Buru-buru ia mengeringkan wajah dengan tisu.

Ia memasang tudung hoodie berharap bisa menyelinap kabur. Tetapi niatnya kandas begitu mata mereka bertemu lewat cermin. Renjun tercekat—dan sedikit panik. Berkebalikan dengan wajah orang di belakangnya yang tampak kalem.

“Haechan bilang ia bertemu denganmu di luar.”

Tanpa sapaan, Jeno melangkah santai menuju wastafel di samping Renjun. Gestur tubuhnya tidak menggambarkan seseorang yang beberapa waktu lalu saling adu argumen dan belum selesai. Terlebih orang yang berselisih paham dengannya berada di ruang yang sama dengannya.

Apa yang ia harapkan? Cih.

“Ya,” Renjun merespon singkat. Canggung.

“Berapa gelas yang kau minum?” ucap Jeno sambil membasuh tangannya di bawah keran.

“Maaf?”

“Melihat keadaan mu sepertinya cukup banyak. Well, kau memang punya toleransi rendah dengan alkohol sejak dulu,” kelakar Jeno, ia kini sibuk mengeringkan tangannya pada hand-dryer.

“Jangan gegabah dengan minum alkohol seperti itu lain kali. Kau tentu ingat efeknya. Aku sampai harus merawatnya berhari-hari waktu itu gara-gara hangovermu.”

“Apa maumu?” Renjun bertanya. Suaranya serak dan nafasnya tidak teratur.

Jeno menyilangkan tangannya di depan dada, satu sisi pinggangnya ia sandarkan pada keramik yang membungkus wastafel. Laki-laki itu tersenyum tipis. “Nothing.”

Renjun membuang nafas kasar. Kepalanya mulai berdenyut dan matanya berkunang-kunang. “Oke kalau begitu. Selamat malam.”

“Hanya itu?”

Renjun menghentikan badannya yang sudah setengah jalan untuk berbalik. “Ya. Apa lagi? Oh, selamat menikmati waktu luangmu.”

Ia kini benar-benar membalik badannya. Masa bodoh dengan Jeno, ia tidak peduli. Yang ada di pikirannya adalah bagaimana cara agar ia bisa kembali dengan cepat dan selamat. Ia akan menghadapi Kun dan Sicheng besok.

Sedingin apapun Renjun untuk pulang, tidak menghentikan sebuah tangan yang menguat pada sikunya. Ia sedang menyusuri koridor gelap ketika edetik kemudian punggungnya sudah membentur dinding lorong. Tempurung kepalanya berdenyut nyeri saat membentur tembok konkret itu.

“Apa yang kau lakukan?” sungut Renjun geram pada Jeno yang berdiri menghimpit badannya pada dinding.

“Konfirmasi.”

“Hentikan omong kosong dan menyingkir dari hadapanku, Lee,” desis Renjun geram. Matanya kembali berkunang dan kepalanya serasa ditusuk ribuan jarum.

That’s not so nice, now, isn’t it? Apa kau berbicara seperti ini juga pada hyung?” Jeno bertanya dihiasi seringai tipis di wajahnya.

“Apa maksudmu, Lee. Tunggu—itu bukan urusanku dan aku tidak mau tahu. Lepaskan aku!” seru Renjun tertahan. Plafon di atasnya serasa berputar sekarang.

“Oh, kau tahu,” timpal Jeno. Ia makin menekan tubuh Renjun pada permukaan keras di belakangnya saat ia mulai memberontak lemah. “Apa kau sedingin ini juga saat Mark menciummu malam itu?”

Dada Renjun seolah dihantam sesuatu tak terlihat. Bagaimana bisa ia lupa kalau dua bersaudara ini saling memata-matai?

“Atau kau membiarkannya?”

“Lepaskan aku,” desis Renjun. Rasa mual perlahan kembali saat deru nafas Jeno menghiasi wajahnya.

“Kau membiarkannya? Seperti ini?”

Renjun baru akan berucap ‘itu bukan urusanmu’ saat benda tipis tapi lunak mengunci bibirnya dengan gerakan cepat. Ia bahkan belum selesai memproses situasi yang barusan terjadi saat sebuah gigitan dan lumatan mulai menyapa permukaan bibirnya.

“Hmmppff—hnng!”

Saat sebuah benda lunak dan basah mengetuk-ketuk di antara lipatan bibirnya barulah otak Renjun mulai bekerja. Ia mendorong (mencoba) bahu Jeno sekuat yang ia bisa (sekuat Renjuj yang sedang di bawah pengaruh alkohol). Ia mencoba memalingkan wajahnya namun rahangnya lebih dulu dikunci oleh jari-jari pucat milik Jeno.

Ia mengumpat dalam hati saat rasa perih menyebar dari sudut bibirnya. Refleks oleh rasa sakit membuat Renjun membuka mulut yang disambut oleh invasi benda lunak asing itu di dalam rongga mulutnya.

Senyuman di kepala datang berkali lipat lebih nyeri dan rasa mual mulai naik ke tenggorokan. Setelah beberapa menit dan usaha payah yang dilakukannya (ia balik menggigit keras lidah Jeno hingga berdarah. Mampus), ia berhasil mendorong Jeno menjauh.

Renjun menyandarkan tubuhnya ke tembok sambil berusaha menetralkan nafasnya kembali. Matanya yang setengah tertutup menatap Jeno yang juga balik menyorotnya tajam. Dari rasa pahit yang sempat diceceapnya samar dari lidah orang itu, tidak sulit menyimpulkan Jeno telah menenggak sedikit wiski sebelumnya.

“Renjun...”

Laki-laki itu bergerak mendekat. Namun kali ini insting Renjun dan syaraf motoriknya bergerak lebih cepat. Didorong rasa panik, takut, benci, dan mual yang menjadi satu ia memacu kakinya lari dari lorong gelap tersebut.

“Renjun!”

Persetan aku harus mencari toilet lain.

Lagi-lagi niatnya terhalangi—goddamn you dewi fortuna. Kali ini oleh sebuah tubuh solid yang cukup keras untuk membuat Renjun mengaduh kesakitan. Susah payah ia mencoba untuk berdiri. Gerakannya patah-patah mengenaskan seperti orang tua yang sakit punggung.

Ia mendongak bersitatap dengan benda—orang—yang menghalangi jalannya. Matanya membulat horor. Entah harus bersyukur atau bertobat.

No Shit,” umpatnya setulus hati.

Renjun familiar dengan tubuh tegap itu, dan bau pinus bercampur lavender yang menguar dari tubuhnya. Menenangkan tapi untuk saat ini dia adalah orang terakhir yang ingin Renjun temui. Saat ini dia—

“Renjun.” derap langkah kaki seseorang berhenti tepat di belakangnya. Menambah satu dari sekian banyak faktor yang bisa membuatnya terkena panik attack.

Hello, brother.”

Renjun tidak bisa menahannya lagi. Ia tidak kuat. Alkohol yang mengalir di pembuluh darahnya mengacaukan seluruh sistem kontrol tubuhnya. Stres dan panik yang sekarang melandanya dengan intensitas tinggi menambah kerja otaknya makin tidak beres. Terlebih sumber utama masalahnya berada di dekatnya. Di hadapannya. Dua-duanya.

Hoek

Renjun mengeluarkan isi perutnya saat itu juga. Sebagian mengenai sepatu mengkilap milik orang di hadapannya. Ia tidak peduli. Pemuda itu tidak punya banyak waktu untuk minta maaf ataupun berpikir karena kegelapan menyambutnya tak lama kemudian.

Sayup-sayup ia mendengar dua suara yang bersahutan dan satu kalimat sebelum dirinya benar-benar memeluk kegelapan

"It's time to take you home, princess."

.
.
.

A/N: apa ini aaaaaaaaakkk /(•□•)/
Anyway anyhow chapter ini panjang semoga kalian tidak bosan bacanya :"

But enjoy the chapter hehehe... markrennya absen dulu. Itu ada secuil noren.  *plak* 😂😂😂😂

I'll see u next update^^

사랑해 여러분 안녕~~

Continue Reading

You'll Also Like

612K 13.8K 41
In wich a one night stand turns out to be a lot more than that.
314K 6.9K 35
"That better not be a sticky fingers poster." "And if it is ." "I think I'm the luckiest bloke at Hartley." Heartbreak High season 1-2 Spider x oc
1.1M 49.6K 95
Maddison Sloan starts her residency at Seattle Grace Hospital and runs into old faces and new friends. "Ugh, men are idiots." OC x OC
162K 7.9K 53
Four siblings, two elder brothers and two younger sisters living with their rich parents!! Get ready to enter the life of these siblings and their fa...