My Story Book (One Shoot)

By naiqueen

902K 37.7K 2.9K

kumpulan one shoot milik naiqueen...disini tempatnya. More

13 Days in Salzburg
Terang Bulan
Senin Minggu Ketiga
Chocolate Gelato
Mr. Drama King
Jadi Culik!
Another Ben Laden
Xtra - Rahasia Kecil
UFO
Mualaf
Plumeria
Kejutan
My Vampire
Penggoda
Secret Mission
Ketemu Istri
A tale from the past
Purnama keseratus
Mein Mann
Modus
Love at the first sniff
Rujuk
Posesif
Permintaan

Ombak Banyu

28.3K 1.6K 184
By naiqueen

Udah lama gak bikin cerfan ginian.

Yups, jika ada yang nebak ini salah satu tokoh dalam cerita Terang Bulan, itu benar sekali.

Meski di sini aku bikin kisahnya secara mandiri terpisah dari cerita teman2nya.

 

Selamat menikmati readers, ditunggu komentarnya.

 

Aku memandangi arus sungai yang mengalir tenang di kejauhan dari balik jendela kamar.

Ombak yang demikian halus bergerak-gerak di bawah terik begitu menghipnotis dan anehnya terasa menenangkan

Padahal empat tahun lalu aku pernah tenggelam di sana.

Diketemukan dalam keadaan hampir mati di bawah akar pohon bakau tua yang konon menjadi istana bagi sang penguasa sungai.

Sesuatu yang kokoh dan besar melingkari pinggangku, membuatku menghentikan lamunan dan tersenyum seraya menumpukan lenganku ke atasnya lalu membelai dengan sayang.

Dia yang melakukannya adalah yang paling kucintai.

Kau betah tinggal di sini Padma?Pertanyaannya menyelinap halus di benakku.

Aku menoleh kearahnya tanpa berbalik seraya tersenyum dan memandangi seribu fragmen wajahku sendiri yang ada di kedalaman matanya. Di sana ada diriku yang terbias oleh cahaya senja dengan cara yang selalu akan membuatku terkagum-kagum meski menyaksikannya ratusan tahun sekalipun.

“Karena di sini ada kau,” bisikku, “aku tidak ingin pindah.”

Kau tahu jelita, aku bisa memberimu rumah di tempat lain, di manapun tempat yang kau pilih. Aku tidak keberatan.

“Lalu bagaimana denganmu? Bila aku jauh maka ....”

Banyu mencium lembut bibirku sebelum memberikan jawaban, Tidak ada jarak yang bisa memisahkan kita, tidak ada pintu yang bisa membatasi semua pertemuan-pertemuan ini wahai sang jelita, Padmawangi.

Pengakuannya sudah cukup menenangkan hatiku, sudah lebih dari cukup untuk dijadikan alasan dari pilihanku untuk menetap di dekatnya sepanjang sisa usiaku.

“Kalau begitu aku tidak akan pindah ke manapun Banyu, aku sudah memilih tempatku. Di sini, bersamamu.”

................

 

Aku tidak pernah memimpikan takdir yang demikian aneh hadir dalam hidupku.

Jadi pertama kali melihatnya kukira dia mahluk fana sama sepertiku juga manusia lainnya.

Namun semuanya sirna ketika mataku tanpa sengaja menangkap sesuatu yang begitu beda pada bening mata kristalnya yang memancarkan cahaya keemasan mentari serupa kilau permata yang terpapar sinar.

Detik yang sama barulah aku tersadar jika apa yang kulihat bukanlah pemandangan yang bisa dilihat oleh mata biasa.

Dengan cepat aku berusaha mengabaikan kehadiran sosoknya dan coba berkosentrasi membunuh ketakutanku pada sungai dan apa saja yang tersembunyi di kedalamannya.

Itu adalah minggu pertama sejak kedatanganku untuk berdinas sebagai bidan di puskesmas desa Teluk Ketapang, Pemayung, Kabupaten Batanghari.

Kondisi desa yang terbagi dua oleh sungai memaksaku untuk mendatangi penduduk di seberang dengan menggunakan perahu kayu milik penduduk setempat, parahnya arus sungai sama sekali tidak bersahabat untuk kami lewati. 

“Hari ko arus aeknyo aneh, bu bidan.” Mang Bujang, si tukang perahu mengutarakan keheranan atas fenomena aneh yang ternyata bisa dia rasakan. “Dak do angin dak do hujan, ntah ngapola aek ko beriak-riak,” sambungnya lagi

Aku tersenyum kecut, seraya bertanya-tanya sendiri, haruskan aku memberitahukan penyebab yang sebenarnya pada lelaki itu?

Jika pada kenyataannya seekor buaya jadi-jadian sedang beraksi menampar-nampar permukaan sungai dengan ekornya yang panjang, besar, dan terlihat berat hingga membuat gelombang yang cukup besar pada aliran sungai.

“Hati-hati sajalah, Pak.” Komentarku pada akhirnya.

“Sayo ko biaso e dapet firasat, aek mak iko ni petando Batanghari nak minta korban.”

“Oh ya?”

“Iyo nianla bu bidan, dak salah lagilah dugoan tobo ni biaso e.”

Aku ingin menimpali perkataan itu untuk menenangkannya ketika kulihat sosok di tengah sungai yang tengah berpesta diantara arus itu menyelam ke dalam air untuk kemudian secara mengejutkan muncul tepat di samping perahu yang aku tumpangi.

Aku mencoba untuk tidak menunjukkan reaksi yang seharusnya normal, tapi jantungku berpacu dalam detak keras ketakutan saat melihat tangan kokohnya bertumpu pada sisi perahu hingga membuatnya sedikit oleng.

Dari sudut mata aku melihatnya menyeringai menatap ke arah Pak Bujang dengan mata emas yang memancarkan kilau intan yang berbinar oleh kekejian yang anehnya justru membuatnya terlihat seindah pemandangan sungai di kala senja. Begitu tenang dipermukaan namun juga menyimpan bahaya dan penuh dengan misteri.

Kali ini kau membawakan mangsa yang begitu elok untukku, tukang perahu.

Suara tawanya yang kejam terdengar datar tanpa nada, membuatku terpaku, disaat benakku berusaha mencerna arti dari kalimat yang diucapkannya dengan suara lembut yang terdengar bagai gema dalam kepalaku.

Mangsa.

Siapa yang dia maksud dengan mangsa!

Pak Bujang kah? Tapi dia bilang ... Ya Tuhan.

Apa yang dia maksud adalah aku!!

Gadis yang cantik, lagi-lagi aku mendengar gema itu. bahkan bisa kurasakan tatapannya yang tertuju langsung padaku begitu dalam hingga mampu membuat seluruh bulu kuduk berdiri. Kepalaku terangkat ke depan, alih-alih ketakutan, anehnya sekarang kemarahan justru mengusikku dari dalam.

Kemarahan yang begitu panas hingga terasa meluap-luap bagai hendak keluar dari dalam diriku. Perlahan tapi pasti aku menoleh kearahnya ... menentang langsung sepasang matahari emas itu. Dengan sangat terang-terangan, hingga membuatnya terdiam. 

Kau bisa melihatku?

Gema itu terdengar tidak lagi tenang. Keheranan yang membaur dengan keterkejutan demikian nyata dalam suara sang penguasa sungai.

Meski tidak kujawab, tapi tatapan mataku yang masih tak geming dari rupa adonis sang siluman sudah menjawab seluruh pertanyaan yang kupahami dari caranya menatapku.

Dari balik punggungnya bisa kulihat ekornya bergerak-gerak menyibak air dengan cara yang seakan-akan menguatkan pradugaku atas kegelisahannya.

Kau melihatku kan!

Suaranya meninggi, nyaris bercampur amarah. Seperti jatuhnya air hujan dan desau angin yang berputar-putar diatap rumah kala badai melanda. Seharusnya itu membuatku takut, namun suaranya justru membuat jantungku bergetar oleh sensasi asing yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Suaranya laksana panggilan dari alam lain yang kerap kudengar dalam mimpi sejak aku kanak-kanak.

Geramannya demikian primitif. Suara hewan buas yang wujudnya menyatu pada dirinya sendiri.

Kau pasti melihatku jelita ... karena aku bisa melihat pantulan diriku pada matamu ....

Aku telah membuatnya bermonolog, dan aku tetap tak bergeming sama sekali oleh perkataan demi perkataan  yang dia lancarkan untuk membuatku membalasnya. Tentu saja aku tidak mau terlihat seperti orang gila di mata Pak Bujang hanya karena menjawab pertanyaan yang diajukan siluman itu padaku.

Alih-alih menjawab aku malah menghadiahkannya satu senyum tipis untuk mengejek sikapnya yang kelihatan masih terguncang dengan pengetahuan asing, jika ada manusia yang bisa melihat sosok asli dirinya.

Siapa kau sebenarnya jelita? Tidak ada manusia yang bisa melihat wujud asliku kecuali dia memiliki garis keturunan yang sama dengan bangsa kami .... tapi kau,

Matanya meneliti sosokku. Pada helaian rambutku yang hitam dan tergerai bebas di bahu, pada kehangatan darah yang mungkin bisa dia rasakan mengalir pada nadiku. Hanya untuk memastikan siapa aku sebenarnya.

Kau manusia.

Pada akhirnya dia mendesahkan dua kata itu bagai melontarkan kekecewaan yang purba.

Tepat sebelum akhirnya perahu yang kutumpangi tiba di tepian sungai.

Sejak itu sedapat mungkin aku menghindari sungai di belakang rumah dinas.

Meski kadang kala aku masih tidak sengaja bisa melihatnya berenang pada tepian landai tempat di mana deretan perahu ditambatkan, menatap ke daratan dengan penuh harap, seakan-akan menantikan sesuatu. Aku tidak pernah berharap jika akulah yang dia tunggu.

.............

“Air sungai sedang pasang tinggi, tapi saat normal pun masih tetap terasa aneh.”

Aku mendengar kepala puskesmas bercakap-cakap dengan staf administrasi dan perawat pembantu ketika sedang memberi vaksinasi untuk anak-anak dan balita yang datang ke puskesmas.

“Batanghari sepertinya sudah haus darah korban,” Seorang ibu-ibu penduduk setempat menimpali dengan wajah datar. “Saya khawatir jika sebentar lagi akan jatuh korban.”

“Bukan sungainya yang haus korban, tapi penunggunya. Siluman buaya dan hantu air,” sambung ibu yang lain. “Diantara gaib penunggu Jambi, para siluman air yang paling jahat, jadi berhati-hatilah jika mau menyeberang atau sekedar main-main di pinggiran sungai, apalagi bagi mereka yang punya puseran rambut dua.”

“puseran?” aku yang sudah menyelesaikan tugas-tugasku menghampiri dan coba-coba terlibat dalam percakapan mistis itu.

Ibu itu menoleh padaku, aku mengenalinya sebagai nenek dari salah satu balita yang kuvaksinasi, salah satu penduduk yang dituakan di kampung ini. “Maksudnya bentuk ugel-ugel rambut di kepala bu bidan,” dia menjawab sambil tersenyum. 

“Oh!” aku berseru lalu menundukkan kepalaku, “Apa seperti ini?” aku menunjukkan pada si ibu. Tak ada jawaban, yang kudengar hanyalah suara terkesiap.

...............

Sekuat apapun usahaku untuk menghindari bepergian melalui sungai, nyatanya tidak berhasil. Tiga bulan setelah perbincangan dengan tetua desa yang memberi tahuku segala pantang yang tidak boleh kulanggar, salah seorang penduduk di seberang yang menjadi pasienku nyatanya mengalami In Partu pada saat yang tidak aku duga-duga.

Menjelang tengah malam suaminya datang menggedor pintu rumah dinasku dengan membawa kabar jika ketuban sang istri sudah pecah dan aku, tanpa bisa berpikir apapun selain memberikan pertolongan, bergegas mengikutinya ke arah yang selama ini aku hindari.

“Sungai?” kataku ragu pada si  calon bapak.

“Maaf bu bidan, jika lewat jalan kampung terlalu jauh, kita harus berputar jadi ...”

“Baiklah,” potongku was-was, sambil mengikutinya mendekati jembatan bambu tempat dia menambatkan perahu.

Saat itulah aku melihatnya lagi.

Dalam naungan kegelapan bulan mati, aku tidak tahu apa yang bisa membuatku melihatnya yang berendam separuh badan pada sisi sebelah kanan perahu milik suami pasienku. Mungkin itu adalah kilau mata berliannya yang bisa dengan mudah kukenali dalam kegelapan, atau ... sesuatu yang lain.

Kita jumpa lagi, Jelita. Takdir yang bagus bukan!

Sapanya dalam senyum tipis ketika melihat aku ragu-ragu untuk naik ke perahu.

 

Naiklah jangan ragu ... aku akan menjaga perahu ini agar tidak bergerak.

Dia menanggapi keraguanku dengan bergegas berenang ke ujung perahu dan memeganginya, sementara sisi tubuh jejadiannya menghalangi terpaan arus sungai hingga membuat perahu berhenti terombang-ambing, dengan acuh tak acuh bergegas naik ke dalam perahu tanpa mengucapkan terimakasih.   

Aku benci air.

Tuhan tahu Aku benci air.

Tapi aku lebih membenci kutukan yang membuatku bisa melihat yang seharusnya tidak bisa aku lihat.

Sosoknya yang gagah dan sangat mencuri perhatian siapa saja yang bisa merasakan kehadirannya. Caranya ketika berenang membelah arus sungai dengan suatu kemustahilan yang bisa dilakukan oleh manusia sambil memamerkan kulit emas dan otot liat yang mengintip dari balik sutra gading yang tampak selalu basah hingga mencetak jelas fisik tubuhnya yang panjang, langsing, namun tetap maskulin.

Dia bahkan lebih menawan dari apa yang kuingat saat terakhir kalinya kami berjumpa. Terlihat seperti dewa, bukannya siluman.

Sepanjang perjalanan menyeberangi sungai dia terus berenang sambil menghalau arus sehingga perahu yang kutumpangi bisa melaju lebih cepat. Dalam gelap malam sesekali aku mencuri pandang kearahnya, dan beberapa kali tatapan mata kami bertemu, meski demikian tidak ada percakapan lain yang terjalin antara aku dan sang raja sungai.

Ketika perahu mulai mendekat ketepian aku melihatnya berbalik arah dan menenggelamkan diri untuk menyelinap ke bagian bawah perahu, dalam sekejap dia membuatku terkesiap karena muncul tepat pada sisi perahu tempatku duduk.

Seakan sengaja, ketika tangannya menyentuh pinggiran perahu dia menaruhnya tepat di atas punggung tangan yang kutumpu pada tepi pelaru, anehnya sentuhannya terasa hangat di sana.

Jelita, apapun yang terjadi kau jangan pulang sebelum fajar tiba dan ufuk timur memerah.

Aku ingin menanyakan alasannya. Tapi dengan cepat dia menghilang ke dalam gelombang pasang, berpindah pada ujung perahu yang sudah menyentuh daratan memeganginya agar tidak berguncang ketika aku lewat dan melompat ketepian.

Ingat pesanku!

Dia menyerukan itu ketika aku melewatinya tanpa berpaling.

............

Pukul empat dini hari persalinan selesai. Bayi perempuan keluarga muda itu hadir ke dunia tanpa kendala berarti dan sehingga aku meminta pada tuan rumah untuk mengantarkanku kembali ke rumah dinas.

Kali ini yang mengantarku adalah Ayah dari pasienku.

Selagi menunggunya bersiap aku melangkah sendirian menuju landasan bambu tempat menantunya tadi menambatkan perahu. Dalam kegelapan aku melihat sesosok bayangan pada bagian ujung dari tempatku berdiri. Awalnya aku menduga itu adalah dia ... tapi ketika aku sudah semakin dekat degannya, tak ada kilau bintang yang kutemukan dari tatapannya.Lalu kemudian cengkraman rasa takut yang pekat mewarnai udara yang kuhirup hingga aku tertegun penuh waspada.

Bawah sadarku mengatakan, apapun yang kulihat bukanlah sesuatu yang punya kebaikan atau belas kasih. Aku ingin lari menghindar tepat saat kusadari jika itu bukanlah sang raja sungai, meski tidak bisa disangkal jika mahluk apapun itu jelas sama berbahaya dengan siluman buaya putih itu.

Secara refleks aku berusaha menghindar dengan melangkah mundur tapi sesuatu meraba pergelangan kaki ku, kemudian mencengkramnya dengan kuat aku tidak melihat apapun selain bayangan hitam pekat yang bergulung membentuk pola melingkar berlapis-lapis semakin ke atas. Tanpa sempat kuberteriak tarikan kuat menjatuhkan dan menyeretku pada pusaran yang telah menunggu di tepi sungai.

Aku tenggelam.

……………

 

Bertahanlah jelita … bertahanlah.

Suara itu … terdengar dekat. Berbaur dengan kecipak air yang disibak oleh sesuatu namun tidak ada yang bisa kulihat, semata hanya warna putih yang melingkupi.

Aku tidak tahu aku ada di mana?

Kepalaku sakit. Rasanya begitu … begitu tak tertahankan, seakan seseorang sudah melakukan sesuatu untuk mengorek-ngorek isi didalamnya. Lalu tubuhku … sakit, semuanya sakit.

Punggungku terasa menekan sesuatu yang keras, mungkin itu akar pohon yang menjorok ke tepi sungai.

 

Iblis itu,

Kudengar suaranya memaki gusar. Lalu sentuhannya berpindah ke puncak kepalaku, dan kembali ku dengar desisan murka dan janji pembalasan yang terasa begitu nyata.

Mereka sudah berpesta pora dengan mengambil separuh energimu, itu tidak akan kubiarkan, tunggulah nanti. Aku pasti akan membalas dendam.

Dengar jelita, apa kau ingin hidup?

Untuk kali pertama, aku sangat ingin merespon pertanyaan darinya, lebih dari apapun.

Mati bukanlah apa yang aku inginkan ada banyak hal-hal yang aku rencanakan dalam hidup, dan belum satupun yang kucapai. Tak ada yang bisa kulakukan sekarang sebagai respon, setiap kata-kata hanya terpendam dalam kesadaran yang demikian jauh.

Kau harus memberiku jawabanmu, karena kau sudah hampir mati. Sekali lagi aku bertanya, apa kau ingin hidup?

Sangat! Itulah yang ingin kukatakan, tapi yang terasa olehku hanyalah gerakan lemah kelopak mataku. Lihatlah … aku memohon dalam hati. Lihat itu. Aku benar-benar ingin tetap hidup.

Cih! Aku anggap itu sebagai ‘iya’.

Desisnya pelan, lalu tidak kudengar apapun lagi. Tapi kemudian kurasakan sesuatu yang bulat dan hangat menyelinap ke dalam mulutku, bersamaan dengan itu tubuhku mulai terasa hangat sehingga aku nyaris terkejut menyadari jika selama ini ternyata rasa dingin sudah menyelinap jauh hingga ke tulang.

Telan.  Dia memerintah

Telan. Satu kali lagi.

Tapi bahkan, aku tidak bisa melakukan itu hingga sesuatu yang liat ikut mneyelinap masuk dalam rongga mulutku, memberi bantuan untuk mendorong benda itu ke kerongkongan hingga sempurna tertelan olehku.

Jelita, bisiknya. Setelah ini tidak ada jarak yang bisa memisahkan kau dariku, tidak ada pintu yang bisa membatasi pertemuan kita. Kau milikku, ingat selalu itu.

..............

Empat tahun yang lalu aku pernah di telan oleh dalamnya Batanghari.

Arusnya menyeretku hingga dua kilometer dari tempat di mana aku terjatuh.

Orang bilang hantu air lah yang menarikku. Terbukti dari bekas luka yang membentuk lubang di kepala.

Namun anehnya, bahkan luka separah itu tidak mampu membunuhku.

Sesuatu entah apa—atau siapa—mereka bilang telah menyelamatkanku.

Sesuatu yang mereka sebut sang raja diraja para siluman air.

Sesuatu yang tidak pernah mereka tahu seperti apa wujudnya tapi mereka yakini ada.

Sesuatu yang telah mengikatkan takdirku padanya dalam ikatan yang gaib.

Yang kini sudah kukenali seperti mengenali diri sendiri.   

Wujudnya nyata dalam diri seorang Ombak Banyu.

Suamiku.

THE END

Continue Reading

You'll Also Like

52.7K 3.2K 19
10 tahun bukanlah waktu yang sedikit dalam menjalin hubungan bagi Aristide Keano dan Kyla Aurelia. Sudah banyak yang mereka lewati selama ini. Pahit...
415K 36.8K 32
Cerita ini berkisah tentang perjuangan cinta, pengorbanan, serta untuk mencari tahu apa itu arti ketulusan. Semua berawal dari tiga kerajaan terbesar...
613K 28.4K 13
TERSEDIA DI PS, KUBACA APP, KARYAKARSA Temui Ameera, gadis matang berusia dua puluh empat tahun yang jutek dan idealis. Baginya, kemapanan dalam hidu...
219K 21.3K 41
Gwen Kruger. Gadis kaya raya manja yang sangat nakal dan sulit diatur, membuat ayahnya yang selalu sibuk bekerja kewalahan dibuatnya. Sampai suatu sa...