Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.3M 265K 44.9K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 32 •

41.1K 5K 1.1K
By AM_Sel

El mengerjap pelan. Ia mendongakkan kepalanya menatap Vano yang tengah tertidur pulas. Tadi malam itu, mengasyikkan sekali. Rasanya, dia tidak ingin berhenti tersenyum jika mengingatnya. Yah, walaupun dia harus masuk ke kamar lebih awal karena Vano tidak ingin ia begadang. Tapi, tetap saja. Dia juga makan lumayan banyak tadi malam.

Dan sekarang, ia haus. El segera menjauhkan tangan Vano yang melingkari tubuhnya, lalu menendang selimut agar tidak menutupi tubuhnya lagi. Setelah itu, bangun dari baringnya.

Jam menunjukkan pukul dua lewat lima belas dini hari. El segera beranjak dari ranjang dan keluar dari kamar. Keadaan di luar sudah gelap. Pintu kamar tetap ia buka lebar untuk membantu penerangan di ruang makan. Ia mengambil gelas dan meletakkan gelas itu di atas meja. Lalu, menuang air putih ke dalamnya. Kemudian, barulah mengambil gelas itu untuk diminum.

'Kalo minum itu ngga boleh berdiri!..'

Matanya kembali mengerjap, dan melirik Vano yang memang terlihat dari pintu kamar. Ucapan pemuda itu terngiang di kepalanya tiba-tiba. Ia pun menarik salah satu kursi makan dan mendudukkan dirinya di sana, barulah menenggak air putih itu.

"Haaah.."

Gelas yang sudah kosong, ia letakkan kembali ke atas meja. Lalu, bertopang dagu. Menatap dinding yang berada di depannya dengan datar.

Seandainya...

...Seandainya saja, dia tidak bertemu dengan Alvano di gang waktu itu, apa yang akan terjadi padanya sekarang? Apakah dia akan hidup? Atau jangan-jangan, nyawanya tak terselamatkan, dan yang bisa ia lakukan hanya menyesal di akhirat sana?

"Yah.." El mendesah pelan, dan berdiri, "Gue mikirin tentang itu sesering apapun juga ngga bakalan ngerubah apa-apa. Bego," gumamnya.

Ia segera melangkah menuju kamar, "Kayak yang Alvano bilang, mending gue bersyukur aja lah karena masih hidup," gumamnya lagi.

Saat berada di ambang pintu, El berhenti. Kepalanya menoleh menatap kucing hitam kesayangannya yang tengah duduk tak jauh dari pintu kamar sambil menatapnya. Lagian, sejak kapan coba ini kucing duduk di situ?

"Masuk, sini," ujar El. Poppy masih menatapnya. Tak bergerak sama sekali.

Dahi El mengerut. Ia berjongkok dan mengulurkan tangannya, "Sini, Pop. Poppy~"

Poppy menjilat kaki depannya pelan.

El mencebik. Merasa diabaikan, "Makin lama, lo makin sering ngacangin gue, ya. Ini pasti karena lo kebanyakan main sama Jeje. Oi, jangan lupa, gue tuan lo," gerutu El. Seingatnya, dulu saat di apartemen, Poppy selalu langsung menghampirinya tiap kali El memanggil. Kenapa begitu tinggal di sini dia berubah?

"Atau jangan-jangan, ini ajaran dari kucing sebelah? Iya, kan? Pasti iya. Kurang ajar. Mentang-mentang udah kawin, seenaknya aja ngatur-ngatur. Ini pasti karena lo seganteng yang ada di mimpi gue, Pop. Makanya, dia posesif sama lo. Mending kalian cepetan cerai sekarang, berhubung dia belum bunting. Hubungan kalian mulai ngga sehat."

"El, lo ngapain?" Suara serak itu menarik perhatiannya. El menoleh. Mendapati Vano yang masih ngantuk berat, tengah menatapnya dengan mata sayu.

"Ngobrol sama Poppy."

Vano mendesah pelan dan mengusap wajahnya, "Ngobrolnya besok aja. Sini tidur."

El menurut dan berdiri. Ia kembali menatap Poppy, "Mau masuk ngga lo?" tanyanya sebal. Keempat kaki berbulu itu segera bergerak melangkah masuk. El mencibir melihatnya. Lalu, menutup pintu kamar.

Ia pun melangkah menuju ranjang, dan naik dari sisi tubuh Vano. Lalu, duduk di atas kedua kaki pemuda tinggi itu sejenak.

"Vano.."

Kelopak mata itu langsung terbuka lebar, "Oi!" Ia bergerak bangun dan menumpukan sebagian bobot tubuhnya pada siku lengan.

El menoyor kepala itu, "Jangan bergerak, bego. Kalo gue kejengkang gimana?!"

"Ya lagian, lo ngapain duduk di situ?! Awas!" gerutu Vano dengan dahi berkerut. Tangan kirinya mendorong pelan tubuh kecil itu agar berbaring di sampingnya.

El mengabaikan gerutuan tersebut, dan menolak untuk beranjak, "Gue mau nanya sesuatu."

"Minggir dulu!"

"Nanti, lo bakalan berangkat ke sekolah pagi-pagi lagi?" tanyanya.

"Enggak," jawab Vano langsung, "Udah. Minggir sana."

"Vano.."

Pemuda tinggi itu berdecak.

"Apa.. lo berharap gue ngebales perasaan lo? Maksud gue, ya kayak ngutarain gitu?"

Vano tak menjawab. Ia menatap sepasang manik biru yang tampak makin cantik di matanya itu. Apalagi, dia sudah tidak 'semati' dulu. Vano mendengus pelan, dan kembali mendorong tubuh itu untuk berbaring. Kali ini berhasil. Ia pun segera memeluk tubuh tersebut.

"Tidur. Akhir-akhir ini, otak lo sengklek kalo kebangun tengah malem," ujar Vano.

El berdecih, "Gue serius."

Vano memejamkan kedua matanya, "Kalo mau ngomong serius besok aja. Gue ngantuk."

El tak membalas. Ia menatap paras wajah itu dengan lekat. Lalu, beralih menatap dada bidangnya. Tangan kiri El memegang erat kaos yang Vano gunakan. Dahinya ia sandarkan di dada itu.

"Padahal, kalo lo mau, gue bisa ngutarainnya," ujar El. Belakang kepalanya diusap.

"Ngutarain, tapi ngga ada perasaan, ngga ada gunanya, El."

"Kalo gue punya?"

Keheningan menyapa. El mendongak menatap Vano yang masih memejamkan kedua matanya, tanpa membalas apapun. Lama tak mendapat balasan, El mencebik. Iseng, ia mendekatkan wajah mereka, dan bernapas tepat di depan wajah itu. Membuat embusan napas hangatnya menerpa pipi Vano.

"El, gue inget benar, kemarin gue ada bilang kalo gue bisa horny karena lo," ucap Vano sambil membuka kedua matanya tiba-tiba.

"Lo ngacangin gue," gerutu El.

"Ya kita ngomongnya besok aja. Ini udah malem. Gue ngantuk."

Vano membenarkan pelukkannya, dan segera mengeratkan pelukan tersebut. El menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher Vano. Tapi, kemudian, ia menatap Vano dengan dahi berkerut.

"Kok kayaknya ada yang ngeganjel-hmp!"

Bibir itu segera di tutup oleh Vano. Pemuda itu menghela napas kasar.

"Bukan salah gue," gerutunya, lalu mendorong El menjauh dan membalikkan tubuhnya untuk membelakangi si kecil itu.

"Tidur sana!" gerutu Vano kesal.

"Loh?! Pelukannya?"

Vano mengabaikan. Matanya ia pejamkan erat. Mencoba untuk tidak mempedulikan ocehan-ocehan El yang minta dipeluk, hingga akhirnya ia kembali tertidur dengan nyaman.

*****

El duduk di sofa ruang keluarga dengan lesu. Ia mengantuk, tapi tidak bisa tidur. Dari dini hari tadi, ia belum tidur. Vano tidak memeluknya. Entah sejak kapan, ritual 'dipeluk sampai tidur' itu begitu memengaruhinya. Dan satu-satunya orang yang bisa membuatnya tidur sudah pergi ke sekolah dengan wajah segar.

"Kenapa lo?" Bara yang memang menginap di sana, menatapnya bingung.

"Ngantuk."

"Lo ngga tidur?" sebelah alis Bara naik. Seingatnya, tadi malam itu, El yang masuk paling pertama ke kamar.

Si kecil itu menggeleng, "Peluk gue, Bar."

Bara mengerjap. Tawaran seperti itu, tentu saja tidak akan ia tolak. Dengan segera, ia melompati senderan sofa dan duduk di samping El. Lalu, menarik lengan kiri El dan memeluknya.

"Posisinya ngga enak, ah," gumam El pelan.

"Ya, bentar dulu. Gue benerin dulu."

"Coba lo gedein badan dikit. Pasti lebih enak."

"Jangan samain gue dengan Vano, tolong."

"Ngga nyamain. Cuma memberi saran."

"Lo berat juga ya, Dan. Tanda-tanda banyak dosa nih."

"Brengsek."

El menyandar nyaman di dada Bara. Kedua matanya mulai menutup. Dia ngantuk sekali. Biarpun rasanya tidak seenak pelukan Vano sih. Tapi, yah, lumayan lah.

Bara mengusap pelan rambut kecokelatan El. Membuat kesadaran si kecil itu semakin menghilang.

"Daniel," panggil Bara.

"Hmm.." El menyaut semampunya.

"Lo cinta Vano ngga sih?"

"Hmm.."

Dahi Bara mengerut, "Hm itu iya apa engga?"

"....rgkk..zzkr.."

Bara memutar kedua matanya, "Si bocah."

Ia mengambil remot tv yang berada di atas meja dengan susah payah. Lalu, mengganti-ganti saluran tv tanpa menghentikan usapan di kepala El.

"Sayang banget lo udah diambil Vano," gerutunya pelan.

"Bara ngga sarapan?" Ibunya Alvano melongokkan kepala menatap keponakannya itu, lalu mengerjap melihat El yang sedang tertidur nyaman di dalam pelukan Bara.

"Nanti aja, Tante. Bara masih kenyang."

Si Ibu menumpukan sikunya di sandaran sofa, "Kamu suka Daniel juga?"

"Hah?" Bara sontak menatap wanita itu dengan kaget, "Maksud Tante?"

Wanita paruh baya itu bertopang dagu, "Yah... gimana ya? Ya suka. Suka ngga?"

"Daniel kan temen Bara dari dulu, Tante. Ya suka lah. Kalo ngga suka, ngga bakal jadi temen."

"Ngga suka kayak sukanya Alvano?"

Lagi-lagi, Bara menatap wanita itu dengan kaget, "Tante tau?!"

Si Ibu tertawa pelan, "Apa sih yang ngga diketahui seorang Ibu dari anaknya?"

"Vano coli berapa kali seminggu, Tante tau?"

"Heh!" Wanita itu menyentil dahi Bara, "Ngga sopan kamu ya."

Bara tertawa, "Tante sih!"

"Lagian, interaksi diantara mereka itu udah beda banget. Ngga mungkin kalo ngga tau. Si Vanonya juga kayaknya santai-santai aja ngeumbar perhatian yang kelewatan itu di depan Om, Tante, sama Jeje."

"Terus, Tante kok biasa aja?" tanya Bara bingung.

"Tante kan udah latihan ketat, biar keliatan biasa aja. Mana ada orang tua yang 'biasa aja' ngeliat anaknya begitu," ujar Si Ibu.

"Kenapa latihan? Kok ngga Tante marahin?"

Ibunya Vano tersenyum lembut, "Karena Vano keliatan lebih bahagia kalo sama Daniel. Lagian, Ayah kamu pernah cerita tentang Daniel ke kami. Dan Tante rasa, ngga ada salahnya kan ngebiarin dua anak Adam ini seneng-seneng di sini."

"Mereka masuk neraka loh, Tant."

"Emang kamu masuk surga?"

Bara mengerjap. Lalu, nyengir, "Ngga tau hehe.."

"Dah, kalo mau sarapan ambil sendiri ya."

"Siaap~"

Wanita itu pun pergi dari sana.

Bara kembali mengganti-ganti saluran tv. Mencari acara yang seru untuk ditonton. Sesekali membenarkan posisi El, atau memijat pelan kepalanya.

Hingga beberapa jam kemudian, saat jarum pendek telah menunjuk angka sepuluh, dan jarum panjang menunjuk angka delapan, keadaan Bara hampir memprihatinkan.

"Anjir, gue pegal. Pinggang gue kesemutan," gerutunya. El masih sibuk melanglang buana ke alam mimpi. Bara tidak tega untuk membangunkan sebenarnya, tapi demi keselamatan pinggangnya agar tidak encok, ia memutuskan untuk mengakhiri acara tidur El. Dan yang jadi masalah, El ini tidak bangun-bangun. Masa iya, Bara harus membangunkan makhluk manis ini dengan kasar?

Suara pintu luar yang terbuka, terdengar. Lalu, bunyi langkah kaki yang berjalan masuk.

"Lo mau nikung gue?"

Bara menoleh, mendapati Vano tengah menatapnya dengan raut tak suka. Jeje berlalu menuju kamarnya, tidak ingin ikut campur.

"Kok lo udah pulang?" tanya Bara.

"Ada rapat guru."

Bara menghela napas, "Terserah deh. Nih, ambil cowok lo. Sakit pinggang gue, njir."

Vano tersenyum sinis, dan mengangkat tubuh El dengan mudah, "Tanda-tanda kalo lo emang ngga ditakdirkan untuk El, Bar. Gue aja kadang mesti meluk dia semalaman penuh, dan gue ngga kenapa-napa."

"Elo di ranjang, anjing. Gue di sofa. Keras."

"..mhh?" Sebelah mata El terbuka, "...Pano.."

"Sshh.. yuk, yuk, pindah ke kamar."

Kepala El bertumpu pada bahu Vano, karena pemuda tinggi itu menggendongnya ala koala.

"Loh, kenapa pulang awal, Mas?" Si Ibu yang baru keluar dari kamar, bertanya bingung.

"Iya, Bu. Ada rapat guru, jadi kami dipulangin. Vano ke kamar dulu, ya."

"Iya, langsung ganti baju."

"Okee.."

Bara terperangah menatap
punggung Vano yang menjauh.

"Jadi, selama ini, mereka berdua selalu nempel-nempel kayak begitu, Tante? Sesantai itu?" tanyanya.

Wanita paruh baya itu mengangguk, "Makanya, bakalan aneh kalo kami ngga sadar."

Bara menggelengkan kepalanya tak habis pikir, "Si Vano emang sinting. Kalo keluarganya ngga pengertian, pasti udah dipecat jadi anak dia. Gila."

Tbc.

Yuhuuuu~ teman-teman pembaca tercintaaaaa~

Ada fanart again nich wkwkwk

Dan dari @RikeSouwandi lagii..

Makasih yaa!!

Makasih juga udah ngebuat saya makin iri ;)

Daaaahh!!

Continue Reading

You'll Also Like

565K 33.9K 55
Cerita kecil, keluarga Choi. Seungcheol + Jeonghan = Jihoonie. Ngga pinter bikin summary, cuman diinget ya. 1. Ceritanya loncat-loncat 2. Most of it...
392K 55.5K 79
Read me first, please! Untuk mengiringi kehaluan ku tentang mereka. Just for fun ya gengs! Semoga kapal JoTing dan Fajri terus berlayar!! 🚨🚨BoyxBoy...
982K 74.8K 45
[TERBIT] [BAB MASIH LENGKAP] Axel dan Zio. Zio yang menjadi bahan bully oleh semua murid di sekolahnya terutama remaja lelaki bernama Axel. Dan Zio t...
2.5M 38.4K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...