Playboy Monarki The Series...

By naiqueen

276K 13.2K 1.4K

Mereka menikah karena kesalahan. Mereka bersama dan terpaksa, menelan semua kesakitan. Namun mempertahankan c... More

Prolog - Langkah awal
1. Dia yang kembali
2. Mengurus keluarga
3. Pesta penyambutan
4. Persekongkolan
6. Akhirnyaa ... Tiaraaa!
7. Senior

5. Pemainan di mulai

21.8K 1.7K 205
By naiqueen

Evan dan Aiyang Tiara balik yow.Silahkan dinikmati dan jangan lupa kasih komen buat authornya biar semangat buat lanjutin

            Einer baru saja turun dari mobilnya ketika ponsel Evan berbunyi. Sepuluh digit angka dengan lima deret angka satu dipenghujungnya menjelaskan siapa yang  sedang coba menghubungi dirinya.

            Evan menekan car communicator dengan sedikit rasa antusias yang tersisa. Kesepakatannya dengan lima pemegang hak veto dalam klub menyisakan tantangan yang harus dia penuhi setelah mendapat persetujuan untuk bergabung. Dan sepertinya sekaranglah saat utangnya di tagih.

            “Natasukma.”

            “Aku kenal dua Natasukma, Senior dan Junior. Dari vibrant-nya sepertinya kau ... yang senior.” suara malas Wega langsung terdengar begitu mereka terhubung.

            “Aku yakin kau sudah tahu itu,” jawab Evan sama enggannya. “Ada apa?”.

            “Kau harus memenuhi kewajibanmu.”

            “Oke, tentukan tempat.”

            “Kau tidak perlu pergi ke mana-mana.”

            Evan mendengus sekilas, “Aku sudah mulai curiga dengan sikap murah hatimu.”

            Suara tawa culas terdengar dari seberang, “Apa nama bakal resto milikmu?”

            “Endeavour.”

            “Wah! Mirip nama kapal induk di film star trek, kurasa sepertinya teman-teman kita akan punya tempat nongkrong favorit baru selain Troime.”

            “Kau menanyakan itu bukan karena benar-benar ingin mengetahuinya, bukan?”

            “Ah, aku bukannya ingin mengecilkan peranmu, sungguh! Aku bahkan sangat ingin tahu segala sesuatu yang berhubungan dengan keahlianmu di bidang kuliner, jadi ... temui kami di sana.”

            “Hanya itu?” Mata Evan menyipit menatap jalanan dengan kecurigaan yang sama seperti ketika dia menilai karakter semua anggota Playboy Monarki.

            Wega tertawa lagi, “Aku suka orang yang cepat tanggap, jadi kuharap saat kami tiba kau sudah ada di sana dengan sebanyak mungkin wanita berkelas yang bisa kau kumpulkan. Kami semua berharap kau bisa memecahkan rekor Treyvian dalam aksi mengumpulkan wanita terbanyak.”

            “Sial!” Evan mengumpat singkat. “Kurasa aku tidak lagi muda untuk melakukan permainan semacam itu.”

            “Treyvian hanya setahun lebih tua darimu.” Wega tidak memberi kesempatan bagi Evan untuk lolos dari tantangannya. “Dan kurasa keahlian itu masih belum memudar meski kini dia sudah mengasingkan diri di Tahiti dengan sepupumu.”

            “Kau tidak perlu menjelaskan,” Evan menggerutu kesal. “Baiklah aku akan melakukannya seperti yang kau inginkan.”

            “Ingat! Bukan sembarang wanita melainkan yang berkelas.”

            “Tidak perlu kau ulangi, tutup saja dan bersiaplah untuk menemui kejutan di Endeavour.” Evan bahkan bisa membayangkan seperti apa seringai Wega di seberang sana.

            “Dengan senang hati.” Sahut suara di seberang berusaha menyembunyikan nada antusias di dalamnya.

*****

            “Chef Evan!” seruan terkejut itu membuat Evan berpaling dari kesibukannya memilih-milih melon.

            Di seberang tempatnya berdiri, seorang gadis muda dengan kecantikan khas Indonesia yang memikat menatapnya dengan mata membelalak takjub dan senyum yang merekah. “Astaga, itu benar-benar Anda, Sir. Aku tidak percaya ....” gadis itu menutup mulutnya untuk meredam suara tawa girangnya.

“Maaf! Apa aku mengenalmu?” Evan bertanya ragu.

“Ya, uhm ... mungkin tidak,” si gadis mengulurkan tangan dengan hati-hati. “Saya Andisa Gemma Parameswara, kita eh maksudnya saya pernah kebetulan bertemu Anda saat  kebetulan Anda diundang oleh cabang CIA di kampus St. Helena untuk mengajarkan tekhnik memanggang roti ala Perancis.”

“Ah! The Culinary Insitute of America,” Evan menyentak kepalanya ke belakang, “aku ingat, kau satu-satunya gadis Indonesia yang kursus di sana waktu itu, dan satu-satunya yang membuat adonan paling stabil dan sukses sampai akhir.”

“Ya, Sir.” Jelas-jelas Si gadis merasa tersanjung bisa diingat oleh Evan sampai sebegitu detail. “Saya dengar Anda sudah kembali ke tanah air, benarkah?”

Evan tersenyum, “Ya benar. Dan apa kabarmu, setelah lulus dari CIA.”

“Saya baru pulang magang dari Bali, pak, di Hotel Bulgari.”

“Itu bagus, masih tetap dengan keahlian cake and pastry?” tanya Evan ingin tahu yang segera di angguki oleh Gemma. “Hmm ... aku baru akan memulai bisnis resto-ku sendiri, kalau kau berniat untuk bergabung denganku, kau bisa mengajukan lamaran.”

“Sungguh!” Gemma nyaris melompat mendengar penawaran itu.

Evan tertawa, “Apa aku kelihatan seperti sedang bercanda?”

“Tidak! Saya mau pak, ya ampun, ini serius kan? Aduh, kapan saya bisa datang ke restoran Anda, pak?”

“Wah, aku sarankan kau untuk melihat-lihat dulu saja ... tapi makin cepat makin bagus, secara teknis semua yang kubutuhkan sudah kudapatkan, hanya saja aku masih belum membutuhkan chef pastry yang tepat.”

“Chef pastry! Tapi ... tapi selama ini saya baru magang sebaga asisten saja, saya khawatir ...,”

“Aku sedang memberimu kesempatan untuk naik jenjang Gemma,” Evan memotong kalimat bernada pesimis bekas muridnya itu dengan senyum menenangkan, “Meski kau masih harus menghadapi tes juga dariku.”

Gemma mengepalkan jari jemarinya yang gemetar, seakan berusaha menggenggam erat tekad atau keberanian yang dia butuhkan untuk selangkah lebih maju. “Dengan segala hormat, saya menerima tantangan Anda, Sir.”

“Bagus. Kalau begitu apa kau bisa ikut denganku sekarang juga?” Evan menatap gadis itu penuh harap, dan dalam sedetik dia sudah menerima satu tanggapan yang bagus dan antusias.

*****

            Evan membawa Gemma ke restorannya yang kebetulan letaknya tidak begitu jauh dari mall tempat keduanya bertemu. Beberapa pekerja sedang sibuk melapisi meja-meja dengan taplak linen putih dengan pinggirannya yang berenda. Bunga-bunga di tata pada bagian-bagian yang tepat, tidak berlebihan sebagaimana yang biasa dilihat pada restoran Perancis dengan interior klasik seperti restoran lama tempatnya bekerja.

Evan menerapkan interior futuristis urban yang ultra modern, chic, namun tetap berkelas—apa yang jelas bisa membuat para eksekutif muda yang dinamis betah berada di dalamnya, dan sebenarnya—dengan letak resto yang mudah di jangkau dari pusat perkantoran Ibukota, para eksekutif muda dan pebisnis adalah segmen klien yang diincar Evan.

            “Ini menakjubkan, Sir.” Gemma mengapresiasi dengan tepat. “Saya langsung bisa memikirkan daftar desert yang tepat untuk tempat ini.”

            Evan tersenyum, “Kalau begitu sebaiknya kau bergegas ke dapur untuk memulai tes pertama.”

            “Secepat ini?”

            “Ah, kukira kau sudah memikirkannya?” Evan pura-pura terkejut dengan reaksi gadis itu.

            “Eh, ya ... uhm maksud saya iya.”

            “Dengar Gemma,”

            “Anda bisa memanggil saya G saja pak,”

            “Oke! G, dengarkan aku, hari ini aku mengundang beberapa teman sebagai tester menu yang akan kusajikan untuk acara pembukaan resto, mereka termasuk orang-orang berkelas, dan berselera tinggi yang tidak mudah terpuaskan.”

            “A-apa! Tapi ... tapi, Anda bilang ini hanya tes.”

            Evan mengangguk mantap, “tes terbaik adalah dengan langsung mempraktikkannya di lapangan, dan kau punya sekitar sepuluh lidah untuk dipuaskan seleranya. Mereka juga yang akan menilaimu secara langsung.”

            Gemma memberengut tak senang, “Anda membuat sudah saya gemetaran pak.”

            “Simpan itu untuk nanti G, hanya lakukan yang terbaik, kau sudah pernah membuktikannya padaku si California, dulu.”

            Gemma mengangguk mantap, “Oke, Sir.”

            “Jadi, apa bisa kuperlihatkan di mana dapurnya sekarang?”

            “Saya sudah siap untuk itu, Sir!”

            “Good!” Evan tersenyum simpatik sambil merangkul bahu Gemma dengan ringan, mereka berbalik menuju ke arah dapur resto berada, tapi perhatian Evan terpecah saat melihat sosok bayangan yang tak asing menatapnya tertegun dari balik pintu kaca resto. “G, dapur ada di sana,” Evan  menunjuk ke pintu steinless pada bagian paling ujung restoran. “Kau ke sana saja, kepala chef di sini Dareen Wong, bilang padanya kalau kau kuminta membuat tiga macam hidangan penutup, aku punya sedikit urusan dengan istriku.” Evan menunjuk kearah pintu tempat Mutia yang sudah bisa menguasai perasaannya tampak mendorong dan masuk ke dalam.

            Gemma menoleh sekilas sambil tersenyum penuh arti pada keduanya. Dia sudah tahu sejak lama kalau chef yang satu ini sudah tidak lagi available, dan ketertarikannya pada chef Evan jelas-jelas tertuju pada keahlian bukan pada kehidupan pribadinya.Oke, Sir. Saya akan segera menyingkir.” Katanya seraya berlalu meninggalkan Evan yang bergegas menghampiri istrinya yang cantik.

            “Ai,” sapanya datar. “Ada apa?”

            Tiara menggigit bibir bawahnya lalu mengelus sisi lehernya perlahan, “kau sibuk, ya.” itu pernyataan bukan pertanyaan.

            “Cukup sibuk,” salah satu jemari Evan dengan sengaja ditumpukannya pada meja yang sudah berlapiskan alas. “Ada apa?” dia mengulang pertanyaan yang sama dengan nada santai—nyaris tanpa desakan—meski yang terlihat di matanya justru ketidaksabaran. 

            “Apa sebaiknya aku kembali nanti saja?” 

            “Nanti aku akan lebih sibuk dari sekarang.”

            “Oh!” Tiara berseru pelan, “Aku mmm ... aku mau minta maaf,” sambil menundukkan kepala dia mengatakan tujuan kedatangannya. “Tadi pagi ... tidak seharusnya aku bicara seperti itu padamu,” Tiara mengangkat wajahnya dan menatap langsung me wajah suaminya yang masih terlihat datar-datar saja. “Aku menyesal.”

            Evan menyipitkan matanya, “Sungguh?”

            Tiara mengangguk sambil membasahi bibirnya, berusaha keras mengenyahkan rasa gugup yang acapkali datang setiap mereka saling bertukar pandang. “Aku benar-benar menyesal dengan kata-kataku.”

            “Kata-kata yang mana?”

            “Kau ingat, tadi pagi aku bilang aku ingin membunuhmu.”

            “Oh.”

            “Aku tidak bermaksud mengatakannya, sungguh.”

            Evan mengangguk singkat, “Lalu kata-kata yang satunya?”

            “Yang mana?”

            “Tentang poligami?”

            Lagi-lagi Tiara menundukkan kepalanya, “Aku masih menganggap itu perlu, demi kebaikan bersama.” Kemudian dia mengangkat wajahnya lagi, menatap Evan dengan raut kepedihan dan penyesalan mendalam yang jelas bisa meruntuhkan siapapun yang melihatnya, begitu juga Evan.  

            Evan menghela nafas, daripada berusaha melampiaskan rasa kesalnya dia memilih untuk mengabaikan dan mengulurkan tangan meminta agar Tiara mendekat padanya. mereka tetap saling bertatapan saat Tiara melakukan apa yang suaminya minta, selangkah demi selangkah dia maju hingga Evan bisa menjangkau kedua lengan Tiara lalu menguncinya dalam kurungan dua tangannya.

            “Kau bisa memaafkan aku?” Tiara memberanikan diri untuk bertanya.    

“Untuk keinginanmu membunuhku, iya.”

            “Kalau begitu terima kasih,” alih-alih balas menjawab Evan malah mengulurkan tangannya untuk membelai pipi istri yang sangat dia cinta, menimang wajah berbentuk berlian itu sambil memandangi penuh kasih sayang.

            Tiara begitu terkesima dengan kedekatan wajahnya dengan wajah suaminya, hingga dia nyaris tidak sadar saat evan menundukkan wajah dan menyelipkan bibirnya pada bibir Tiara.

            Sejak awal, tidak ada kelembutan dalam ciuman Evan kali ini. Kasar, disertai amarah dan dipenuhi hasrat nafsu yang menuntut. Gerakan lidahnya bukanlah belaian yang biasa Tiara terima melainkan serangan gencar sekaligus upaya untuk melucuti daya tahannya dan tembok penghalang penerimaan yang dirinya bangun untuk membentengi pesona Evan. 

Begitu berbeda dari ciuman-ciuman Evan yang lain, yang satu ini tidak menuntut balasan halus, bukan pernyataan cinta, murni dominasi serta ketertarikan sensual yang menggebu dan diperlihatkan terang-terangan. Desakan emosi yang tidak menenggelamkan kesadaran Tiara tetapi malah membuatnya terus sadar jika yang menyentuhnya adalah Evan. Hanya Evan.

            Ciuman itu sama sekali tidak melunak di penghujung, Evan justru mengecap kasar lidah Tiara hingga gerakan bibir keduanya mengeluarkan suara kecapan keras yang di balas batuk tertahan oleh seseorang, suara berisik denting sendok garpu yang jatuh, lalu makian seseorang. Tiara tersadar dan menarik diri menjauh dari suaminya. Wajahnya memerah saat melihat kesekeliling, pada beberapa penonton yang menyaksikan apa yang telah dia dan Evan pertontonkan.

            “Lanjutkan, anggap saja kami tidak ada!” Dareen Wong, kepala chef yang Evan pekerjakan mengulum senyum geli, sementara beberapa pramusaji yang menjadi saksi romantisme keduanya hanya bisa menahan senyum tetapi memalingkan wajah berusaha terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Cukup untuk membuat Tiara menyembunyikan wajahnya ke dada Evan.

            “Ada apa?” Tanya Evan pada Dareen.

            “Tidak, tadinya aku hanya mau bertanya apa tidak masalah jika Chardonnay Perancis di ganti dengan Muscat lokal untuk teman makan siang hari ini.”

            “Tidak apa-apa, selera mereka perlu di sederhanakan kali ini, lagi pula sedapat mungkin kita gunakan produk lokal karena ... sssh, aku mengundang banyak investor untuk proyek bisnis jangka panjangku .”

            “Oke, baiklah, kalau begitu aku balik ke dapur lagi supaya kau tidak malu-malu.”

            Evan mendengus sekilas, “Aku tidak pernah malu-malu, oh ya nanti aku ke sana untuk sentuhan akhir.”

“Sip!”  sahutan Dareen menggema sebelum hilang di telan pintu dapur yang tertutup.

“Ai,” tegur Evan begitu sahabat sekaligus rekan kerjanya berlalu, “Ayo kita ke kantorku.”

Tiara menggeleng perlahan, “Aku mau pulang saja.”

“Kenapa?” bukan jawaban yang Evan terima melainkan pukulan ringan dari tangan Tiara yang terkepal dan menempel di dadanya.

“Aku sangat malu.”

“Oke, kalau begitu kita seri.”

Tiara mendongak, hanya untuk mendapati Evan sedang menyeringai sambil menatapnya.

 “Seri?”

“Aku juga malu karena memperlihatkan emosi berlebihan di rumah. Di depan Einer.”

Tiara menahan nafas, mulai menyadari apa yang dirasakan oleh suaminya. Sejak Einer lahir, Evan sangat berhati-hati dalam bertindak. Beda usia yang terhitung cuma belasan, dan alasan pernikahan mereka membuatnya mesti bekerja keras untuk menegaskan keberadaannya sebagai seorang ayah yang baik. Apa yang seringkali dipandang remeh orang lain karena kurangnya usia yang dia miliki. “Maafkan aku.”

Evan mengangguk, “Kita akan bicara lagi nanti, sekarang aku harus ke dapur, aku akan sangat sibuk seharian ini.”

“Sibuk?”

Evan berdecak kesal, “Kau kan tahu untuk masuk ke kumpulan bocah manja itu aku setuju untuk memenuh tantangan dan kualifikasi yang mereka minta, dan sekarang hari di mana tantangan itu mesti aku jalani.”

“Apa tantangannya?” desak Tiara penasaran, dan ketika Evan membisikkan jawaban ketelinganya Tiara hanya menatap Evan tidak percaya. “Kalau begitu aku boleh ada di sini untuk menontonmu.”

“Kalau kau ikut menonton aku akan gemetaran.”

“Kau bisa bersikap seolah-olah aku tidak ada, aku bisa berpura-pura jadi pelayan atau ....”

            “Huuuh ... aku tidak mau mempertontonkan kaki istriku untuk para bocah bajingan itu.”

            “Kaki ku? Ya ampun, C’mon ... aku ibu dari seorang remaja lelaki ....”

            “Tapi kau masih secantik gadis belasan, Ai.”

            Tiara hanya bisa memutar mata mendengar reaksi suaminya itu. “Apapun itu, aku ingin ada di sini. Bukankah aku termasuk wanita berkelas seperti yang mereka mau.”

            “Benar,” Evan tersenyum, “tapi kau milikku.”

            Entah kenapa kata-kata itu memberi efek merah jambu pada wajah Tiara. Padahal bukan kali pertama Evan mengatakannya, tapi kali ini rasanya begitu berbeda, Tiara merasa seakan-akan mereka seperti sepasang remaja yang sedang bergenit-genit saat kasmaran. “Tapi aku ingin tetap ada di sini,” kali ini suara yang dia keluarkan nyaris mirip rengekan kekasih yang manja, hingga Tiara merasa tidak tahan untuk meringis diam-diam.

            Evan mengecup dahinya sekilas, “Baiklah ... kalau begitu kau boleh membantu di dapur dan megintip sesekali.”

            “Dapur?”

            “Ya, kau tahu, aku sedang menguji calon chef pastry-ku di dapur. Kau boleh ada di dekatnya dan mencicipi setiap desert, pastry dan minuman segar yang dia buat.”

            “Itu enggak seru.”

            “Aku tahu, tapi kau bilang kau ingin aku poligami dan aku tidak ingin calon istri yang tidak kau setujui.”

            Tiara mengernyit sambil menahan nafas, “Kau mau poligami?” tanyanya kaget.

            “Kan kamu yang suruh.”

            Tiara mengerjab tak percaya, “Dan kau setuju?”

            “Selama itu bisa membuatmu bahagia,” saat mengatakan dan melihat bagaimana ekspresi Tiara, rasanya Evan ingin tertawa dan mulai mengecup bibir istrinya sekali lagi.

            “Dan kau ... hmm ingin aku mulai dengan chef pastry mu?”

            “Aku suka wanita yang bisa memanggang kue dengan sempurna.”

            Entah kenapa, tapi rasanya Tiara ingin menendang selangkangan suaminya hingga kejantanannya tidak pernah bisa berfungsi lagi. Tapi ketimbang memperlihatkan apa yang sebenarnya dia rasa, Tiara malah tersenyum dan mengangguk dengan sopan santun yang biasa diperlihatkan gadis remaja kalangan terpelajar pada orang asing yang baru diperkenalkan padanya. “Baiklah, di mana aku bisa menemuinya?”

            “Di dapur, tanya saja pada Dareen.”

            “Oke.”
            Evan berbalik ke arah meja bar di mana bartendernya tampak kebingungan menyusun botol-botol liquer dengan benar. “Tanya padanya apa dia biasa menggunakan selai instant atau buatan sendiri saat membuat kue nastar.”

            Tiara mengernyit lagi, “Memangnya kenapa?”

            “Poin plus plus buat gadis yang membuat nastar dengan filling selai nanas buatan sendiri.”

            “Kenapa kau penuntut sekali, aku kan tidak bisa masak tapi kau bilang kau mencintaiku?”

            Evan berbalik dan kembali menatap Tiara, kali ini tidak ada sorot usil dan tawa di matanya yang bisa Tiara temukan. “Karena Ai, kalau aku harus punya istri lagi maka dia harus memiliki banyak kualifikasi untuk membuatku bisa mencintainya, karena jika tidak ...  tidak ada alasan bagiku untuk menginginkan apalagi mempertahankannya.”

TBC   

           

   

            

Continue Reading

You'll Also Like

403K 16.2K 34
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
688K 1.3K 15
WARNING!!! Cerita ini akan berisi penuh dengan adegan panas berupa oneshoot, twoshoot atau bahkan lebih. Untuk yang merasa belum cukup umur, dimohon...
2.5M 275K 48
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1.2M 63.2K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...