But I , I got to keep trying
Gotta keep my head held high..
(Miley Cyrus_The Climb)
•°•
“Kenapa kamu tidak memberitahuku?” Tama bertanya langsung tanpa menyapa terlebih dahulu.
“Yah, pikiranku sedang sibuk menghawatirkan ibu.” Jawab Bryna lelah.
“Bagaimana keadaannya?”
Bryna menatap Tama dan merasa jengkel karena menyadari bahwa ia ternyata senang saat melihat laki-laki itu berada disini.
Dadanya yang lebar dan kuat kelihatan seperti tempat bersandar yang sempurna untuk kepalanya yang lelah. Jika saja Tama memeluknya sekarang, Bryna pasti akan menyambut setiap kenyamanan yang ditawarkannya.
Tapi tentu saja Tama tidak membagikan kenyamanan. Dia hanya menjadi dirinya yang kaku dan menjengkelkan, seperti biasa.
“Bagaimana keadaannya?” Tama mengulangi agak keras.
“Ibu baik-baik saja.”
“Kalau dia baik, kamu tidak mungkin terlihat kacau seperti ini.” Sindirnya pedas.
“Yah, dia tidak baik-baik saja. Mereka memotong dadanya, melakukan bypass di jantungnya, dan terlalu lemah untuk bisa membuka mata. Menurutmu bagaimana dia?”
Tama menurunkan nada bicaranya, sedikit.
“Semua orang dikantor mengkhawatirkannya.”
“Ya, terimakasih." Bryna menggosok lengannya pelan. "Tolong sampaikan kalau Ibu akan baik-baik saja.”
“Kapan terakhir kali kamu makan?”
“Apa?”
“Makan.”
“Aku tidak lapar.”
“Ya, dan sebentar lagi, perawat akan memasukkan infus ke tubuhmu karena dehidrasi.”
Bryna merasa telinganya tidak menangkap kalimat Tama dengan benar. Laki-laki itu tidak sedang mengkhawatirkannya kan?
Bryna menggeleng lemah. “Aku tidak ingin makan.”
“Setidaknya cobalah untuk tidur.”
Ya, Bryna juga menginginkan itu juga. Toh sekarang ada Brenda yang menemani ibu. Tapi dia tidak akan bisa tidur dengan pikiran yang tidak tenang.
“Aku nggak bisa, aku nggak mau meninggalkan rumah sakit. Aku harus tahu perkembangan keadaan ibu. Aku.. Aduh..”
Bryna memekik kaget saat Tama mencengkeram lengannya dan setengah menyeret Bryna.
“Apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku! Tama!”
Tama tidak bereaksi. Bryna berusaha bertahan dan membebaskan dirinya, tapi Tama terlalu kuat untuknya.
Tama membawanya melewati keluarga-keluarga lain yang sedang berjaga, yang memandang keduanya dengan heran dan ingin tahu.
"Kamu menyakitiku!"
Tama berhenti, masih tidak melepas pegangannya di lengan Bryna.
"Akan lebih menyakitkan kalau kamu terus menerus melawan."
"Apa mau kamu sebenarnya?"
"Kamu. Tidur."
"Tidak perlu mencemaskanku, aku tahu bagaimana kondisiku, oke?"
Tama menatapnya dengan pandangan geli.
"Percayalah, aku tidak sedang menghawatirkanmu. Kami memerlukanmu untuk tetap sadar dan sehat saat rapat besok pagi."
"Rapat apa?"
"Kami mendapatkan proyek baru."
"Proyek apa?"
"Besok." Jawabnya tajam, dan Bryna tidak ingin membantah sekarang.
"Oke. Sekarang, bisakah kamu melepas tanganmu dariku?"
Tama melepas cengkeramannya. Sepertinya terkejut dengan dirinya sendiri karena mempertahankan kontak fisik dengan Bryna selama itu.
Bryna bisa melihat tanda merah bekas cengkeraman Tama ditangannya. Merapikan sweaternya dengan marah, ia berjalan mendahului Tama keluar koridor Rumah Sakit.
Tapi baru beberapa langkah berjalan, ia merasakan tangan Tama mendarat di belakang pinggulnya, mendorong Bryna untuk terus bergerak maju.
Mereka berhenti di tempat parkir dan Tama membukakan pintu untuknya.
"Aku anter pulang."
"Aku tidak mau meninggalkan Rumah Sakit." Katanya keras kepala.
Tama menatapnya kesal, menutup pintu mobil dengan kekuatan berlebih, dan bergeser ke pintu belakang mobilnya lalu membukanya.
"Tidur saja disitu, kalau begitu."
"Yang benar saja." Sahut Bryna tak percaya.
Tama tidak mengatakan apapun, hanya menatap tajam kearah Bryna dengan tatapan yang tidak dapat dibantah.
Bryna balas memberikan tatapan tajamnya dan masuk ke dalam rover putih Tama. Ia tak habis pikir bagaimana bisa ada orang seperti laki-laki di sampingnya itu. Dan kenapa juga ia mau menurutinya.
“Tidur!” Perintahnya.
Bryna menekuk wajahnya saat ia berbaring miring di kursi belakang mobil itu. Entah mana yang lebih mendominasi Bryna saat itu, kemarahan atau kelelahan, tapi ia akhirnya tertidur juga.
•°•
Tama menghembuskan asap rokoknya perlahan. Berdiri sambil bersandar di samping jendela mobilnya yang terbuka, ia berusaha keras untuk tidak menoleh dan memandangi tubuh yang meringkuk di jok belakang mobilnya itu.
Tidak berhasil.
Ia menengok kearah Bryna.
Lagi.
Entah sudah untuk yang keberapa kalinya ia melakukan itu. Ia hanya ingin memastikan gadis itu bisa memejamkan mata dan beristirahat dengan nyaman walaupun sejenak.
Tama tahu Bryna sudah melewati malam yang berat dua hari ini. Wajahnya pucat, matanya memerah karena kelelahan, dan dia masih saja berkeras bahwa dirinya baik-baik saja.
“Dasar keras kepala.” Omelnya pelan.
Tama mematikan rokoknya dan melirik kearah Bryna sekali lagi. Melihat dadanya yang naik turun saat bernafas dan mulutnya yang sedikit terbuka.
Sialan.
Lagi-lagi Tama terbayang saat tubuh mereka begitu dekat dan bibir keduanya bersatu. Dan kalau saat itu dia bermaksud menghina Bryna dengan menciumnya, dia membohongi dirinya sendiri.
Karena kenyataannya, Tama menciumnya bukan karena alasan lain, tapi karena ia benar-benar ingin mencium Bryna, merasakan bibir gadis itu.
Dan sekarang pun juga begitu.
Akhir-akhir ini ia tidak berhasil melakukannya dengan wanita lain gara-gara ingatan panas itu. Dan ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Dan ia tahu kenapa.
Ia menginginkan orang lain saat bersama mereka.
•°•
Bryna terbangun karena suara ponsel yang berdering di dalam saku celananya.
Bingung, ia langsung duduk dengan cepat dan merasa agak pusing karenanya.
“Pelan-pelan.”
Bryna nyaris menjerit kaget karena suara itu. Dan ia baru menyadari bahwa ia tidak sendirian di mobil.
Ada Tama, duduk kaku di kursi pengemudi, dan tengah menatapnya dari kaca di atas dashboard. Dan Bryna bertanya-tanya, apakah sepanjang malam laki-laki itu disana? Memandangi Bryna dengan matanya yang tajam?
Membuang rasa penasarannya, ia kembali fokus ke ponselnya, menjawab panggilan dari Brenda dengan was-was.
“Ya Bren?”
“Ibu udah bangun.”
Lega, Bryna merasa semua beban yang menghimpitnya terangkat begitu saja.
“Ya, Bren. Aku kesana sekarang.”
Ia mematikan ponselnya. Menatap belakang kepala Tama dengan canggung, dan berkata, “Ibu udah sadar. Aku masuk sekarang. Emm.. Dan.. Thank’s Tam.”
Tidak ada sahutan. Jadi Bryna memutuskan untuk keluar tanpa mengucap apapun lagi.
Belum subuh, Bryna menyadari itu sekarang. Suasananya masih begitu dingin dan sepi. Jadi dia tidak lama tidur di mobil Tama, pikirnya kemudian.
Ia berbelok ke kamar mandi, memutuskan untuk memperbaiki tampilannya agar terlihat lebih segar saat bertemu ibunya, dan diam-diam berterimakasih karena kepedulian yang ditunjukkan Tama. Meskipun sekali lagi, menyayangkan kenapa ia dan Tama tidak bisa berkomunikasi seperti orang normal lain.
Ia terhadang oleh Nicko saat mendekati ruangan ibunya. Laki-laki itu menatapnya dengan penuh curiga.
“Kamu darimana?” Tanyanya dingin.
“Tidur.”
“Dimana? Nggak dirumah pastinya. Aku menelepon rumah, dan pengurus rumah nggak melihatmu pulang semalam. Jadi, darimana kamu, Bry?”
Nicko menatapnya penuh selidik dengan ekspresi marah.
“Aku tidur di mobil.” Jawabnya jujur.
Nicko mendengus. “Mobil siapa? Bukan mobilmu pastinya. Apalagi milikku.”
“Tama.” Katanya, merasa tidak perlu menyembunyikan fakta itu dari Nicko.
“Apa? Apa maksudmu, Bry? Kamu sudah tidur dengan Tama? Di mobilnya? Apa kamu nggak punya malu lagi?”
Semangat Bryna yang baru saja terbentuk langsung roboh begitu mendengar pertanyaan Nicko.
Dia tersinggung oleh penghinaan yang ditujukan Nicko padanya. Lagipula, bukankah urusan pribadinya sama sekali bukan urusan Nicko?
“Certainly not! Aku tidur di mobil Tama, bukan tidur dengannya.”
Nicko mengambil dua langkah mendekatinya dengan marah.
“Well, kamu tahu gossip apa yang merebak akhir-akhir ini? Ada hubungan diluar pekerjaan antara kamu dan Tama! Dan perilakumu barusan semakin menguatkan cerita itu!"
“Astaga Nick, kamu juga tahu bagaimana orang-orang suka mengatakan yang tidak-tidak. Kami bahkan tidak akur satu sama lain."
“Nggak ada asap kalau nggak ada api. You spend all day with him!”
“But not all night! Kami bekerja dibawah atap yang sama, jangan lupa itu juga!"
Kemarahan Bryna bangkit, tapi ia buru-buru memadamkannya. Dia tidak ingin membuat kegaduhan sekarang. Tidak di Rumah Sakit. Tidak saat ia akan menemui ibunya.
“Aku bekerja dengan Tama, Nick. Tapi bukan berarti aku memiliki hubungan romantis dengannya.” Ucapnya sabar.
Nicko mendengus, kasar.
“Tapi orang-orang sudah melihat kalian tidak hanya berdua saat bekerja. Diluar itupun kalian sering bersama. Coba pikirkan apa yang mereka pikirkan tentangmu sekarang Bry! Kamu berkeliaran dengan Tama dan terlibat jauh dengannya. Aku nggak ingin namamu dikait-kaitkan dengannya lagi Bry.”
“Mereka salah. Tapi mereka boleh memikirkan apapun yang mereka mau, Nick.”
Nicko mengumpat.
“Damn! Dia laki-laki busuk Bry! Dia pasti akan membawamu ke tempat tidur dan meninggalkanmu setelahnya. Dan kamu baik-baik saja tentang itu? Kenapa? Apa kamu bahkan menyukai hal itu?”
Bryna menatap Nicko seolah tidak pernah melihatnya sebelumnya.
“Aku nggak percaya kamu bisa berpikir seperti itu tentangku, Nick. Kamu mengenalku. Apa menurut kamu aku wanita seperti itu?”
Mungkin Nicko tahu bahwa ia sudah melukai Bryna. Atau mungkin ia menyadari kalau ia sudah keterlaluan, karena saat Nicko berkata lagi, ia sudah menurunkan suaranya.
“Sorry Bry, sorry..” Nicko menyisir rambutnya dengan jari-jarinya. “Fire him.”
“Aku nggak bisa Nick.”
“Kenapa?”
“I need him too much.”
“Ada banyak orang lain yang lebih dari sekedar mampu untuk pekerjaan itu, Bry. Kenapa kamu ngeyel untuk mempertahankannya?” Nada Nicko mulai mengeras. “Untuk apa? Mengisi kisah romansamu?”
“Tim sudah berjalan dengan baik sejauh ini. Dan aku nggak akan bodoh untuk mengganti salah satu dari mereka, apalagi dalam keadaan genting seperti sekarang.” Ucapnya dingin. “Lagipula Nick, urusan percintaanku sama sekali bukan urusanmu!”
“Ya, itu akan menjadi urusanku kalau kamu berhubungan dengan laki-laki seperti Tama. Dia itu bajingan brengsek. Entah sudah berapa banyak wanita yang ia manfaatkan untuk kepentingannya sendiri.”
“Dia bajingan, mungkin, ya. Tapi paling tidak, dia jujur tentang itu. Tidak berpura-pura baik, lalu menusuk dan menghianati kita dari belakang.”
Nicko mendapat pesan dari ucapan Bryna. Ia tampak terhenyak sesaat, dan amarahnya mereda.
“Aku hanya tidak ingin kamu..”
“Aku seperti mendengar suaramu, Bry. Sejak kapan kamu datang?” Brenda keluar dari pintu ruang perawatan, berjalan mendekati mereka yang berdiri hanya beberapa meter dari pintu.
“Apa yang kalian berdua lakukan disini?” Tanyanya, saat menyadari jarak antara Nicko dan Bryna.
Untuk sesaat tidak ada yang menjawab.
“Nicko memberiku saran tentang tim kerjaku, dan memberikan nama orang yang harus dikeluarkan dari tim.”
“Benarkah?” Tanya Brenda sangsi.
Itu benar, hanya saja bukan keseluruhan ceritanya.
Mengangguk, Bryna berkata, “Well, thanks untuk masukannya Nick. Tapi aku bisa menilai timku sendiri. Dan aku mau masuk dulu. Aku mau menemui ibu.”
Ia baru melangkah beberapa langkah saat mendengar Brenda bertanya pada Nicko.
“Apa yang kalian berdua lakukan disini? Sebenarnya?”
“Bryna sudah menjawabnya.”
“Tapi aku bertanya padamu, Nick!”
“Jawabanku sama.”
“Oh, hanya karena kalian berdua pintar, jangan pikir orang lain tidak dapat membaca apa yang tersirat diantara kalian. Kamu masih menghawatirkannya Nick. Kamu masih peduli, kamu..”
“Ya, itu benar. Aku masih melakukannya.”
Bryna nyaris berlari menuju pintu. Ia masuk, menutup pintu dibelakangnya, berharap bisa melupakan apa yang sudah diperdebatkan Brenda dan Nicko.
Dia ingin jauh dari mereka. Dia tidak ingin mendengar pertengkaran mereka, tidak mau tahu apa yang mereka ributkan, lagi.
Bryna berusaha keras mengatur senyum di wajahnya dan melangkah mendekati ranjang perawatan ibunya.
“Bu..” Bisiknya, mengelus tangan ibunya yang meskipun masih pucat tapi sudah terlihat sedikit lebih berwarna.
Ibunya membuka mata, tampak lelah dan luar biasa lemas. Tapi tatapan mata itu tidak lagi kosong.
“Bu..” Bryna mendekatkan kepalanya.
“Hai, Sayang..” Suara yang keluar dari bibir ibunya terdengar parau dan tidak jelas. Tapi itu memberi dampak yang luar biasa bagi Bryna.
•°•
Terimakasiiih.. 🙏🙏🙏
Regrads, ulphafa.