Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.4M 268K 45.1K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 31 •

43.6K 5K 973
By AM_Sel

Vano mendekati El yang tengah menyusun piring dan sendok di atas meja makan. Tanpa berkata apa-apa, ia ikut membantu pemuda cokelat itu. Menata sendok, garpu, serta gelas.

"Lo kenapa?" Vano bertanya pelan tanpa mengalihkan tatapannya pada El.

Si kecil itu menelan ludah dan menggeleng, "Ngga kenapa-napa."

Alvano mengehela napas dan memusatkan perhatian penuhnya pada El, "Gue udah pernah bilang kan, kalo lo ngga cerita apa-apa, gue ngga bakal bisa ngasi bantuan apapun. Cerita aja. Kenapa? Ada yang salah sama Om gue?"

El menunduk, dan menggigit bibir bawahnya, "Ceritanya panjang," gumamnya pelan.

Vano tak mengalihkan tatapannya sama sekali. Hanya menatap pucuk kepala yang bermahkotakan helaian rambut cokelat itu dalam diam. Lalu, saat El mendongak menatapnya, ia memberikan seulas senyum menenangkan.

"Gapapa. Cerita aja."

El mengalihkan tatapannya. Ke arah dinding di sebelah mereka, lalu beralih ke dapur di mana Ibu dan Tante Vano sedang sibuk. Setelah itu, menatap Jeje yang baru mendatangi ruang makan bersama teman tetangganya.

Melihat Jeje datang, Vano menggenggam pergelangan tangan kiri El, lalu menariknya pelan menuju kamar mereka yang memang berhadapan dengan ruang makan.

"Mas!" Teman tetangga Jeje menyapa pemuda tinggi itu.

Vano membalas dengan tersenyum ramah padanya, dan tetap menarik El.

"Suchart! Cepetan sini!" Jeje memanggilnya dengan wajah serius.

"Apa sih?! Panggil gue Chan!"

"Dih!"

Vano mengabaikan kedua orang itu, dan menutup pintu kamar. Lalu, berbalik menatap El.

"Di sini, lo bisa cerita tanpa takut kedengeran orang lain, kan?" ujarnya.

El menelan ludah.

"Sebenernya... gue ngga ada masalah sama Om lo," ujarnya pelan.

Vano mengangguk memahami, "Terus?"

"Cuma.. dia.. mirip sama.. seseorang yang.. gue benci?" El ragu pada kata terakhir. Benci? Dia benci atau takut?

"Mirip banget?" tanya Vano.

El mengangguk, "Banget."

"Semuanya mirip?"

"Semuanya."

Pemuda tinggi itu bersedekap dada, "Suaranya juga mirip?"

"Suaranya ju-eh?"

El mengerjap. Suara? Refleks, otaknya langsung mengingat suara pria yang ditakutinya dulu. Lalu, beralih mengingat suara Raka.

"Suaranya.. beda," ujar El pelan.

Vano menarik kedua sudut bibirnya, "Ooh," sautnya singkat. Lalu, mengangguk, "Cara bicaranya juga sama?"

Cara bicara?

"Pasti beda lah!" Pria itu selalu berbicara manis yang menakutkan, sementara Om Vano berbicara dengan lembut dan penuh kehati-hatian. Lalu, El mengerjap. Kaget dengan ucapan spontannya tadi.

"Ooh beda," Vano kembali mengangguk, "Senyumnya sama?"

"Lo bercanda?" Dahi El mengerut. Mana mungkin Om Vano memiliki senyum mengerikan seperti Pria itu! Pasti tidak mungkin!

"Terus, kalo matanya? Sama? Sorot mata mereka?"

El menggeleng, "Ngga mungkin sama!"

"Lalu, yang mirip itu apanya?"

El terdiam. Seolah tersadar dengan perkataan Vano. Pemuda tinggi itu benar. Yang mirip itu apanya? Wajahnya? Iya, sih, memang mirip, tapi... disaat bersamaan juga, wajah mereka berbeda.

Lalu...

...apa yang harus dia takutkan?

Senyuman Vano melebar, "Kan gue udah bilang. Lo aman di sini. Ngga bakalan ada yang ngelukain lo lagi," ujarnya.

El menatap kedua mata Vano.

"Penderitaan lo udah selesai."

Waktu seolah berjalan lambat. El tidak bisa berkata apa-apa. Empat kata yang Vano ucapkan tadi, seolah membuatnya mendengar kalimat paling indah sedunia.

Kalimat yang ia tunggu sejak dulu.

"Selesai?"

Vano mengangguk dan tersenyum lembut, "Ya. Sekarang, lo tinggal duduk manis dan ngebiarin kebahagiaan nyerbu lo. Oke?"

"Emang bisa? Cuma diam aja?" tanya El tak percaya.

"Bisa. Gue yang bawain kebahagiaannya buat lo," ujar Vano percaya diri.

El diam sejenak dan mengerjap, "Karena... lo cinta gue?" tanyanya.

Pemuda tinggi itu tersenyum, "Ya. Karena gue cinta sama lo."

El tak membalas. Ia mengalihkan tatapannya dan menyandarkan punggungnya di pintu kamar. Menahan sekuat mungkin agar wajahnya tidak memerah atau menahan agar bibirnya tidak tersenyum seperti orang bodoh.

"Ah!" Vano menepuk tangannya sekali. Membuat fokus El langsung kembali tertuju padanya.

"Kenapa?"

"Gue inget, pas gue lagi ngelamun di ruang OSIS tadi, gue dapet satu lagu yang pas banget pesannya buat lo!" seru pemuda itu semangat.

"Hah?" Dahi El mengerut, "Lagu?"

"Yah... biarpun ada satu atau dua part yang ngga sesuai sih," ujar Vano lagi. Ia merogoh saku celananya. Namun, tidak menemukan apa-apa. Lalu, berbalik dan mulai mencari ponselnya.

El melangkah mendekat dan menatap pemuda itu dengan penasaran. Apalagi saat Vano sudah menemukan benda persegi itu. Tapi, kemudian, pemuda tinggi itu menghela napas dan menatapnya sambil mencebik.

"Duh, kayaknya klise banget ya pake lagu segala," gerutu Vano, "Ngga jadi aja deh."

"Loh, kenapa? Gue ngga masalah kok dengan lagu. Lagian, dulu gue suka dengerin Aga nyanyi."

Vano mendelik, "Aga siapa?"

"Yang biasa nyanyi di restoran tempat gue kerja. Putar aja lagunya. Gue pengen denger."

Vano menyipitkan kedua matanya, tapi ia tetap mengalihkan tatapannya ke layar ponsel. Lalu, mulai menekan-nekan pelan layar itu.

"Yah, gue ngga ada lagunya. Gue download dulu."

El mendelik sinis, "Ngga usah. Gue ngga tertarik lagi."

Vano tertawa pelan, "Bercanda. Ada kok, ada," ujarnya sambil menunjukkan layar ponselnya ke El. Belum sempat El membaca judul lagu tersebut, Vano sudah terlebih dahulu menyembunyikan layar itu.

"Tapi, gue mau lo meluk gue. Dari awal, sampe lagu ini habis," ujar pemuda tinggi itu.

"Gue mencium aroma-aroma modus di sini."

"Oi, lo mau ngga?"

El menghela napas. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia membuka tangan kirinya.

Vano tersenyum senang, dan segera memeluk tubuh kecil tersebut. Setelah itu, memutar lagu tadi dengan volume besar, dan melempar pelan ponsel itu ke atas ranjang. Lalu, mengeratkan pelukkannya pada El.

Yang terdengar di awal, adalah suara petikan lembut gitar. Indah.

Vano melirik ke arah pintu kamar. Kepala Jeje menyembul dari sana. Vano mendengus pelan dan mengibaskan sebelah tangannya mengusir. Ah, seharusnya ia mengunci pintu itu tadi.

Jeje menunjuk ke arah luar. Mengisyaratkan bahwa makan malam sudah siap. Vano mengangguk dan berujar 'nanti' tanpa suara, lalu mengusir Jeje lagi.

Adiknya itu hanya memutar kedua matanya, dan menarik kepalanya keluar. Lalu, menutup pintu dengan pelan. Ah, dia tidak mengerti lagi apa yang dipikirkan oleh Masnya itu. Kalau dia mau membangun suasana romantis dengan pemuda yang ia bawa pulang berbulan-bulan lalu, kenapa harus pakai lagu itu? Kenapa lagu The Hunger Games? Kan lagu lain banyak!

"Mas Vano makannya nanti sama Kak Daniel."

Yah, Jeje hanya tidak mengetahui makna lagu itu bagi El dan Vano. Karena..

'I remember tears streaming down your face, when I said "I'll never let you go"..
When all those shadows almost killed your light..'

Vano mengelus pelan, belakang kepala El. Dia akan selalu ingat, saat El menangis hanya karena ia berkata bahwa dia tidak akan melepaskan El.

'I remember you said don't leave me here alone..'

Atau saat-saat di mana El memintanya untuk tidak pergi meninggalkannya.

Vano tersenyum pelan, dan memejamkan kedua matanya. Benar. El pasti mengerti.

'Just close your eyes, the sun is going down..
You'll be alright, no one can hurt you now..
Come morning light, you and I'll be safe and sound..'

El akan baik-baik saja di sini. Tidak akan ada yang melukainya lagi. Tidak ada lagi.

Bajunya dicengkram erat, "Vano.."

Vano menyaut pelan, dengan kedua mata yang tetap terpejam.

"Mungkin gue.."

El tak melanjutkan. Ia hanya meremas kuat baju itu. Membuat Vano menepuk-nepuk pelan punggungnya untuk menenangkan. Apalagi saat merasakan hangat yang basah di bagian dadanya.

"Jangan terburu-buru, El. Kita masih punya banyak waktu."

"Uh..ugh.."

El menggigit bibir bawahnya. Biarpun Vano sempat mengatakan, menggunakan lagu seperti ini klise sekali, tapi ia tak peduli. Karena bagi El, ini adalah lagu terindah yang pernah ia dengar.

*****

"Kalian ngga habis mesuman kan, di kamar tadi?"

Bara bertanya asal. Vano langsung menarik keras telinga Bara. Dasar sembarangan! Iman Vano sudah kembali tau! Dia yakin, dia pasti tidak akan mudah tergoda lagi, hanya karena mimpi laknat yang sepertinya nikmat sekali itu.

"Hah? Mesuman?" Suchart mengerutkan dahinya. Jeje menyikut sahabatnya itu pelan, lalu alisnya bergerak-gerak aneh. Kemudian, anak tetangga itu ber'oh'ria dan mengangguk.

Vano berkacak pinggang menatap Jeje, "Maksud sikutan sama ekspresi kamu tadi itu apa?" tanyanya dengan mata menyipit curiga.

Jeje menggeleng, "B-bukan apa-apa kok! Iya, kan, Suchart?!"

"Chan!"

"Iya, iya, Chan!"

Bara menatap El dengan lekat, "Lo gapapa?" tanyanya. Alisnya berkedut pelan saat melihat mata El yang sedikit sembab. Pemuda cokelat itu tak menjawab dan mengalihkan tatapannya, lalu bersembunyi di balik tubuh tinggi Vano. Bara hanya menatap datar.

"Apa lo liat-liat?" tanya Vano sinis.

"Dih, siapa juga yang ngeliatin lo," gerutu Bara. Lalu, kembali membuat api untuk persiapan barbeque mereka.

"Kalian ngga kenyang gitu, habis makan malam langsung barbeque-an?" tanya Vano.

Ketiga orang di depannya sontak menoleh, dan menggeleng serempak, "Enggak."

"Dasar," gerutu Vano. Lalu, ia menoleh menatap pemuda cokelat yang masih setia berada di belakangnya, "El, lo harus contoh mereka biar bisa cepat gemukan."

"Gue ngga mau gendut," gerutu El.

"Enggak gendut. Gemukin dikit."

"Lo ngga liat, pipi gue udah gembil begini?!" seru El sebal sambil menunjuk pipinya sendiri.

Dahi Vano mengerut menatap pipi itu, "Gembil dari mananya?"

"Udah siap belum?" Om Raka tiba-tiba muncul.

El bergidik, menolak untuk menoleh. Ia segera meraih baju Vano untuk kembali bersembunyi di belakang pemuda itu, namun Vano sudah terlebih dahulu menahannya. Tidak mengijinkan untuk bersembunyi.

"Om butuh bantuan?" tanya Vano.

El memelototkan matanya ke pemuda itu. Dalam hati, mengutuk keras bedebah bongsor di depannya ini. Dia tau, apa yang akan Vano lakukan.

"Hmm.. Om mau bawa barbequenya ke sini sih. Mau bantuin?" tanya Raka.

"Mau! El mau!" seru Vano semangat.

Tuh, kan! El menggeram pelan. Vano pura-pura tidak tau, dan membalikkan tubuh kecil itu agar menghadap Raka. Setelah itu, mendorong-dorong pelan punggungnya seperti induk burung yang menyemangati anaknya saat akan terbang pertama kali.

"Jangan dorong-dorong gue, anjing," gerutu El sinis. Lalu, menutup mulutnya dengan tangan saat ingat bahwa ada 'orang tua' tepat di depannya sekarang.

Raka tertawa, "Saya baru tau, kalo di keluarga saya ada yang berubah jadi binatang anjing. Jenis apa kamu, Van?"

"Cihuahua, Om."

"Ngga sadar badan kamu, ya."

Vano terbahak, "Bercanda. Jenis St. Bernard kok. Untuk nolong orang, dan enak buat dipeluk. Iya ngga, El?"

El tak membalas. Tangannya masih di depan bibir. Tapi, Vano bisa melihat semburat merah samar di telinganya. Ah, manis sekali.

"Beneran El mau bantuin?" tanya Raka.

"Iya, Beneran!"

El mendelik. Kenapa Vano yang jawab?!

"Oke, oke. Ayo, sini."

Raka berjalan masuk terlebih dahulu. Vano memegang pundak El.

"Jangan fokus ke wajahnya. Fokus ke lain aja. Suaranya kek, jakunnya kek, atau bibirnya kek, atau apapun terserah deh. Kalo ngga sanggup jangan dipaksa-"

"Lo udah maksa gue, Bangsat."

Vano kembali terbahak, "Ya udah, sana. Semangat, ya!" serunya.

El melangkahkan kakinya masuk sambil mendumel sebal. Apa-apaan dia?

"Gapapa tuh, si El dipaksa begitu?" tanya Bara.

"Gapapa lah. Kalo ngga sekarang, kapan lagi?"

Bara hanya membalas dengan 'hmm' pelan. Ia menatap arang-arang di depannya dengan datar, "Jadi, kalian berdua udah resmi pacaran?" tanyanya.

"P-pacaran?!" Suchart bertanya kaget. Jeje di sampingnya langsung menepuk dahinya sendiri.

"Gue udah bilang sih kalo gue cinta dia. Tapi, El ngga pernah bales. Jadi, gue rasa itu bukan pacaran?"

Suchart bengong. Kali ini, Jeje ikutan.

Bara mendelik, "Ngga pacaran, tapi satu ranjang. Ngga pacaran, tapi pegangan tangan. Ngga pacaran, tapi pelukan. Ngga pacaran, tapi mau ciuman. Terus, namanya apa? Temenan? Dih, kalo aja si Daniel itu cewek, dia pasti udah hamil!"

Vano memukul kepala itu dengan kekuatan sedang, "Makin kurang ajar ya, lo. Ngga mungkin lah gue ngehamilin anak orang! Gila lo, ya."

Bara mengelus kepalanya pelan, "Kan gue bilang 'kalo', bukan berarti lo beneran ngelakuinnya. Atau jangan-jangan si Daniel udah ngga-"

"Jangan gila! Ngga mungkin lah!"

Bara bersedekap dada, "Iya juga sih. Diliat dari trauma masa lalunya, ngga mungkin si Daniel mau nganuan sama lo."

"Jangan nganuan, ambigu. Ena-ena lah."

"Si anjing," delik Bara.

"Kok gue rasa, ada yang beda dari otak gue ya, Bar?"

"Tingkat kemesuman lo naik beberapa puluh persen, Van."

"Kok gue rasa, kita ngga seharusnya ngedenger pembicaraan ini ya, Je?"

"Iya, kita pergi aja, yuk, Chan."

*****

El menunduk dan menelan ludah dengan pelan. Bisa ia rasa, tangannya mulai mendingin.

"Kamu angkat sebelah sana, saya angkat sebelah sini. Oke?" ujar Raka.

El mengangguk, lalu memegang sisi wadah yang berlawanan dengan Raka.

Raka mengerjap. Menatap tangan kiri El yang memegang di depannya, lalu beralih menatap kedua tangannya yang juga sedang memegang. Wadah itu belum mereka angkat.

"Kok saya rasa, si Vano bego ya, nyuruh kamu bantuin saya?" tanyanya pelan.

"Eh? K-kenapa?"

El mencoba untuk mendongak. Tatapannya fokus ke jakun Raka. Tapi, karena benda itu bergerak saat pria itu menelan, membuat fokus El buyar. Tatapannya beralih ke bibir. Tapi, bibir lebih banyak bergerak daripada jakun. Lalu, ia harus fokus ke mana? Hidung? Pipi? Oh. Tatapan El berhenti di tahi lalat kecil yang berada di sudut mata kanan Raka.

"Bukannya saya gimana-gimana ya. Cuma, erm... kamu kan cuma pake tangan kiri, jadi kayaknya ngga bakalan seimbang sama sayanya," ujar pria itu dan melepas tangannya dari sisi wadah tadi.

El terdiam sejenak, lalu mengangguk mengerti.

"Coba kamu panggil salah satu dari mereka yang ada di depan tadi."

"O-oke, Dokt-maksudnya Om."

El segera melangkahkan kakinya menuju halaman rumah dengan cepat.

Raka hanya tersenyum menatap punggung kecil itu.

Pemuda cokelat tadi langsung menghampiri Vano.

"Loh, ada apa?" tanya pemuda tinggi itu.

"Om lo manggil. Katanya, gue ngga bisa bantu angkat. Takut ngga seimbang karena tangan gue cuma satu."

Vano menatap wajah itu dengan lekat. Dia bisa melihat ada binar samar di matanya, "Terus?" tanya Vano sambil tersenyum.

"G-gue ngomong sama dia tadi! Jaraknya juga deket!" seru El semangat. Tangannya menyentuh dada bagian kirinya, "Jantung gue juga ngga berdebar-debar yang kenceng banget kayak tadi sore."

Bara yang tengah mengipasi api, mengulum senyum.

Vano menepuk pelan pucuk kepala El, "Pinter. Nanti ajak ngomong lagi ya?"

Si kecil itu mengangguk semangat.

"Yodah, gue ke sana dulu."

Vano melangkah masuk. El tetap diam di tempatnya tadi. Lalu, menatap tangan kirinya.

Ternyata, ngomong sama Dokter Raka... ngga semenakutkan itu.

Tbc.

Continue Reading

You'll Also Like

3.5M 253K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
502K 43.5K 29
END. [Revolusi Indomilo] Aruna Harsa Dirgantara dan Baskara Sandhyatama. Kedua pemuda yang menjadi akrab karena suatu kejadian yang menimpa Baskara...
3.8K 338 33
Freyandra Gerald sandova seorang anak SMA yang nakal serta mempunyai gelar ketua mafia dan dipertemukan dengan gadis SMA yang baik dan cantik, hal i...
1.1M 117K 45
[DAH TAMAT] Warn: -COWOK SAMA COWOK -Dewasa 🔞 -Banyak kata kasar -Ada adegan dewasa Walaupun ini cerita tentang kit...