RA - ALI - SELI [fanfiction s...

By utsukushiina

17.8K 526 105

Ra menyukai Ali. Ali tahu Ra menyukainya. Seli pun tahu Ra menyukai Ali. Namun, apakah Ra dan Ali tahu bahwa... More

Sepulang dari perjalanan panjang
Bermalam di rumah "teman"
Secangkir kopi dan selarik puisi
Selera musik yang menarik

Buka bukunya halaman 123

2.6K 90 10
By utsukushiina

ALI

"Ali!" terdengar suara Randy memanggilku dari kejauhan. Ternyata teman-teman basketku sudah berkumpul di meja favorit kami. Tentu saja aku menghampiri mereka, meskipun aku sebenarnya ingin makan bersama Raib dan Seli.

"Hai, guys!" aku menempati tempat duduk sebelah Randy dan menatap benda berlapis koran yang bertumpuk manis di depanku.

"Buka saja, Ali." ucap Hendra yang tengah menghabiskan sarapan bubur ayamnya.

"Sekarang?"

"Tidak. Tahun depan."

Mereka tertawa ketika aku bertanya. Bisa-bisanya mereka bercanda! Padahal aku sedang serius...

"Kamu pasti suka kok kadonya.."

Yang benar saja, ketika aku membuka kadonya, terlihat dengan jelas sepasang sepatu basket berwarna merah dengan aksen putih. Pas sekali ketika aku membutuhkan sepatu baru.

"Kalian hebat, bisa membaca pikiranku!" aku berseru.

"Tentu saja, Ali." Randy merangkul bahuku. "Kita selalu tahu apa yang kamu inginkan."

Hendra menyikut perutku. "Termasuk perempuan yang kamu incar.."

Perempuan? Siapa?

"Aku tidak mengincar siapapun.."

"Sudah.. jangan bohong.. kami semua sudah tahu kok." Nadhif ikut menyengir seperti kuda.

Sialan!



//


RAIB

Lagi-lagi pelajaran biologi diadakan pembagian kelompok dan sesi diskusi. Seperti biasa, penentuan anggota-anggota kelompok dilakukan dengan mengocok nama layaknya arisan ibu-ibu RT. Dua minggu yang lalu, aku satu kelompok dengan Randy dan Hendra. Ya, Randy dan Hendra yang kebetulan teman basket Ali. Meskipun sebenarnya aku jarang berbicara dengan mereka di kelas, ternyata mereka tidak canggung denganku dan tetap bercanda seperti biasanya.

"Silakan ketua kelasnya mengambil tiga nama untuk kelompok pertama," ucap guru biologiku.

Ketua kelas kami menutup matanya dan mengambil beberapa gulungan kertas dalam sekali genggam. Karena mengambil terlalu banyak, sebagian dikembalikan hingga hanya tersisa tiga gulungan. Perlahan ia membuka gulungan pertama, seiring dengan irama drum roll yang dimainkan oleh beberapa anak laki-laki di kelas.

"Ali." ucapnya. Nama pertama yang dipanggil akan menjadi ketua kelompok.

Oh, tentu saja Ali akan menjadi ketua kelompok yang baik dan bertanggung jawab, pikirku. Selama aku memerhatikannya, ia tak pernah memedulikan tugas apa pun baik dalam bentuk soal-soal pilihan ganda, esai, ataupun powerpoint. Bahkan, aku pernah ditelepon jam 11 malam oleh teman sekelompoknya hanya gara-gara ia belum mengirim materi yang ditugaskan. Temannya ini ingin aku yang menghubungi Ali agar ia mau mengirimkannya. Memangnya aku ibunya Ali!? Mana aku tahu Ali sedang apa, di mana, dengan siapa? Asumsi yang lucu sekali ya, teman sekelompoknya Ali.

Maka dari itu, aku sangat ragu padanya kalau ia menjabat sebagai ketua kelompok.

"Seli." lanjut ketua kelasku.

Bagus. Seli adalah perempuan yang dapat bertanggung jawab. Setidaknya kalau Ali malas, Seli bisa mengingatkan dia. Lagi pula, Ali sudah terbiasa dimarahi oleh Seli. Biasanya setelah diceramahi, Ali akan kapok dan langsung mengerjakan tugasnya. Ah, aku tenang mendengar nama Seli disebutkan setelah Ali.

"Dan terakhir..." ketua kelasku membuka kertas terakhir yang berada di tangannya. "...Raib."

Apa? Aku?

"Kelompok satu ada Ali, Seli, dan Raib. Selanjutnya kelompok dua..." ketua kelasku melanjutkan pembuatan kelompok sembari aku mempertanyakan kejadian yang kebetulan ini.

"Ya... setidaknya aku tidak perlu bingung akan mengerjakan di rumah siapa." aku menatap binderku lalu menengok ke arah Ali juga Seli yang sedang berdiskusi.

Setelah semua kelompok sudah terbentuk, masing-masing anggota berkumpul di salah satu meja anggotanya dan membahas topik yang sudah ditentukan ketika mengocok anggota kelompok.

Kelompok kami mendapatkan materi reproduksi. Ya, dari semua materi yang mungkin kami dapatkan, kami mendapatkan materi itu.

"Bab reproduksi halaman berapa?" Seli bertanya kepadaku dan Ali.

"Halaman 123." Ali menjawab tanpa mengecek buku. Ia justru sibuk menulis di dalam bindernya. Mungkin merancang sesuatu terkait Komet Minor.

"Ah, jangan bercanda!" Seli menjawabnya dengan sebal.

"Serius, coba buka."

Ternyata benar. Bab reproduksi yang sebenarnya tak ingin kami bahas pada minggu depan terdapat tepat pada halaman 123 dalam buku Biologi kelas XI.
Ali tidak mungkin mengetahui ini sebelumnya kan?

"Bagaimana kalau kita langsung membagi tugas saja?" Seli yang terus berinisiatif untuk menggerakkan kelompok kami. Tidak seperti ketuanya yang asyik sendiri dalam dunia imajinasinya.

"Boleh." Ali menjawab dengan singkat, masih melanjutkan pekerjaannya.

"Ayo, Ali! Simpan dulu bindermu!" Seli sudah tidak sabar menghadapi manusia yang satu ini.

"Ya, sebentar Bu Seli.." Ali segera mengambil tasnya yang ia gantung di samping meja dan memasukkan binder saktinya.

Kami hanya ditugaskan untuk membuat powerpoint dan mempresentasikannya minggu depan. Sebenarnya tidak sulit, materinya pun aku rasa tidak banyak. Namun banyak dari kami yang sebenarnya malas (jujur saja) dan ingin menghabiskan akhir pekan dengan bermain.

"Aku punya ide." Ali yang sedari tadi tidak berpartisipasi akhirnya bersuara.

"Apa?" Seli menjawabnya, berharap sang ketua mempunyai ide yang cemerlang.

"Sebaiknya kita mengambil powerpoint dari internet saja." ucapnya dengan wajah cerdas dan meyakinkan. Tapi malas. "Kelompok lain juga seperti itu."

Tentu saja Seli menolak. Aku pun sama.

"Jadi selama ini kamu tidak pernah membuat powerpoint sendiri?" Seli mendengus. "Dasar malas."

Ali menyengir lebar. "Buat apa membuat powerpoint dari nol kalau sudah banyak di internet? Tinggal diunduh dan ditambahkan nama kelompok beserta anggotanya." ucapnya. "Kalau sedang niat, mungkin beberapa foto dan video bisa disisipkan juga."

"Dasar malas." aku ikut mengomentari Ali.

Ia hanya tertawa dan merebut laptopku dariku untuk mencari powerpoint yang ia maksud tadi.



...


"Ali," aku memanggilnya sebelum ia sempat kabur.

"Apa?"

"Apakah kamu sudah membuka kado ulang tahun dariku?"

Aku hanya penasaran.
Bagaimana reaksi dia setelah mendapatkan hadiah seperti itu?
Aku memang tidak tahu harus memberi apa padanya.

Meskipun Ali adalah sahabat terbaikku, aku tetap tidak tahu harus memberikan apa padanya.
Dan aku takut ia tidak suka kado dariku.

"Sudah. Kenapa memangnya?" ia bertanya balik.

"Tidak apa-apa, aku cuma penasaran saja."

Sambil berjalan pulang, aku menyadari ada yang beda dari Ali hari ini. Sepatunya.

"Wah... belum kenalan nih..." aku menatap sepatu Ali dan mendekatkan kakiku menuju sepatunya.

"EEEH!!" Ali langsung menghindar dan berlari menjauhiku yang berusaha mengisenginya.

"Ayo kenalan dulu!" aku mengejar Ali sampai keluar gerbang sekolah dan bertemu sebuah mobil yang tidak asing.

Sepertinya ini salah satu mobil Ali dari sekian mobil yang pernah ia tunjukkan di garasi bawah tanahnya.

"Tuan Muda Ali," panggil sopirnya dari jendela. "Ada agenda makan siang bersama orang tuamu di restoran Floraison."

Ali yang sebenarnya ingin cepat-cepat sampai di rumah dan melanjutkan proyeknya tentu saja menolak tawaran dari sopirnya, tapi bagaimana lagi? Orang tua sendiri yang mengajak, bukan orang tua lain. Mana mungkin Ali menolak begitu saja?

"Baiklah.." ia membuka pintu mobilnya, "Jarang-jarang aku makan bersama kedua orang tuaku." ia menatapku dan menutup pintu mobilnya kembali. Mobil tersebut pergi dan aku pun segera kembali ke rumah.



//



ALI

"Ada apa tiba-tiba mengajak aku makan siang?" aku duduk di depan kedua orang tuaku. Mereka terlihat lebih santai dari biasanya. Entah mengapa.

"Kebetulan Papa lagi free siang ini." Papa menatap ke arah Mama. "Mama juga free."

Sambil menunggu makanan datang, aku terus disuguhi berbagai pertanyaan dari kedua orang tuaku. Tumben, pikirku. Biasanya mereka tidak pernah bertanya sebanyak ini. Ketika mereka sedang bekerja di luar kota atau luar negeri pun aku jarang sekali ditelepon.

"Kemarin temanmu yang perempuan itu..." dan mulailah pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik.

"Kenapa, Pa?"

"Dia benar temanmu?"

"Ya, dia sahabatku. Kenapa, Pa?" Lagi, aku bertanya 'Kenapa, Pa?' karena ia tidak menjawab 'Karena...'

"Papa kira pacarmu."

Deg.

Pacar?

Aku dan Raib?

Ah, bisa-bisanya ayahku bercanda.

"Tidak, Pa. Aku memang menyukainya," aku terus terang saja pada ayahku. "Tetapi.....hanya sebagai teman."

Meski ayah dan ibuku tidak percaya kepadaku, mereka tetap ingin mendengarkan aku bercerita.

"Raib memang lucu, tapi aku tidak punya perasaan lebih untuk dia."

Pertanyaan konyol ini juga berhubungan dengan undangan pernikahan yang sempat ayahku sebutkan sebelumnya.

"Berarti kamu bisa datang bersama Papa dan Mama di acara pernikahan Sabtu ini?"

Tidak. Aku ada pertandingan basket!

"Sabtu? Aku tidak bisa, Pa.. benar-benar tidak bisa.." mengingat bahwa pertandingan tersebut jam 7 malam dan kemungkinan besar pesta pernikahan teman ayahku juga diselenggarakan pada malam hari, pastinya aku tidak mungkin hadir. Kecuali badanku bisa membelah diri menjadi dua.

"Kenapa? Ada pertandingan basket, ya?"

"Ya, pertandingannya jam 7 malam."

"Tidak masalah, kamu menyusul saja."

Menyusul itu kata yang mudah diucapkan tetapi sulit dilakukan. Apalagi dalam konteks ini.
Aku yang bermain dalam pertandingan dari jam 7 sampai jam 9 diharapkan menyusul ke pesta pernikahan yang sudah berlangsung dari jam 6 sampai entah jam berapa. Tetapi tidak mungkin sampai jam 10 atau pun jam 11.

Ah sudahlah.



...


Sesampainya di rumah, aku segera bergegas menuju kamarku. Aku teringat kata-kata Raib tadi sore. Kado ulang tahun darinya? Maksud dia, novel itu?

Aku sebenarnya suka membaca buku, apa pun buku itu. Ya, lebih berminat baca nonfiksi.. tetapi aku tetap mau membaca komik atau pun novel.

Raib memberikanku sebuah novel romansa. Padahal ia tahu aku tidak begitu suka novel sejenis itu. Aku akan lebih senang jika diberi novel science fiction, tetapi kembali lagi ke prinsip "terserah yang memberikan kado".

Seketika aku menemukan sebuah bookmark menyelip di sela-sela halaman. Penasaran, aku mencoba mengambilnya. Lalu, halaman 123 terbuka.

Tepat di halaman 123 tertulis jelas kata-kata yang membuatku terus terjaga sepanjang malam.

Aku mencintaimu, sungguh.
Tetapi apa daya?
Aku tahu kau mencintainya.

Untuk apa ia menaruh bookmark di halaman itu? Tepat di bagian itu?

Atau itu hanya sebuah kebetulan? Apakah bookmark tersebut sudah tersimpan rapi pada halaman 123 dari sejak ia membeli buku itu? Entahlah, aku tidak tahu.

Tetapi aku ingin tahu.

Continue Reading

You'll Also Like

299K 32.6K 34
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
64K 3.4K 19
seorang gadis bernama Gleen ia berusia 20 tahun, gleen sangat menyukai novel , namun di usia yang begitu muda ia sudah meninggal, kecelakaan itu memb...
247K 26K 28
warn (bxb, fanfic, badword) harris Caine, seorang pemuda berusia 18 belas tahun yang tanpa sengaja berteleportasi ke sebuah dunia yang tak masuk akal...
930K 56.5K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...