Between Us

By winanrn

10.6K 2.4K 558

Kisah cinta yang terjadi diantara kita. Suka dan duka hadir didalamnya. Tawa dan tangis jadi pelengkapnya. Ki... More

BU||01
BU||02
BU||03
BU||04
BU||05
BU||06
BU||07
BU||09
BU||10
BU||11
BU||12
BU||13
BU||14
BU||15
BU||16
BU||17
BU||18
BU||19
BU||20
BU||21
BU||22
BU||23
BU||24
BU||25
BU||26
BU||27
BU||28
BU||29
BU||30
BU||31
BU||32
BU||33
BU||34
BU||35
BU||36
BU||37
BU||38
BU||39
BU||40
BU||41
BU||42
BU||43
BU||44
BU||45
BU||46
hai
punten

BU||08

287 91 19
By winanrn

Siang hari ini panas matahari sangat menyengat. Seorang perempuan cantik sedang duduk di halte. Ia adalah Rani yang sedang menunggu jemputannya.

Rani sedang duduk seorang diri. Temannya yang dari tadi bareng sedang menunggu jemputan sudah pulang lebih dulu. Dan itu membuat Rani sedikit kesal. Dalam hati Rani mendumel sendiri, karena sang supir tak kunjung datang menjemput.

Tangannya sedang bekerja menyeka bulir-bulir keringat yang ada di dahinya.

"Kemana sih, Pak Udin? Lama amat." Rani menggerutu.

Matanya Terus menjelajah kesembarangan arah, berharap entah dari arah yang mana supirnya segera datang. Tapi yang Rani tangkap bukan supirnya yang berhenti di depannya. Melainkan sebuah mobil yang Rani tahu adalah milik Rama. Rani menggeleng tak percaya, mana mungkin Rama mau bertemu dengannya. Kelamaan nunggu jemputan kayaknya, jadi dia mengkhayal yang tak jelas. Rani menggelengkan kepalanya, mencoba membuang jauh-jauh ilusinya.

"Belum pulang?"

Suara itu. Itu suara Rama. Rani melihat kearah mobil yang ada didepannya. Dan mata Rani melihat Rama sedang tersenyum didalam mobil. Kaca mobil yang menjadi penghalang diturunkan sampai kebawah dan hal itu membuat Rani bisa melihat wajah Rama dengan jelas.

Rani hanya bisa menggeleng pelan, ia tersenyum kikuk pada Rama.

"Mau bareng? Rumah kita searah kan? Gue juga sendiri pulangnya."

Rani mengerjapkan matanya beberapa kali. Mencubit pelan punggung tangannya, berusaha meyakinkan bahwa dirinya sedang tidak bermimipi.

Rama masih duduk didalam mobil. Dia sama sekali enggan keluar.

"Rani? Mau gak?" Tanya Rama sekali lagi yang berhasil membuat Rani sadar bahwa dirinya sedang tak bermimpi.

Bagai robot, Rani hanya bisa menganggukan kepalanya. Rama tersenyum.

"Tumben gak bareng Nindi sama Nindya?" Rani memecah keheningan yang ada.

"Enggak. Gak tahu mereka udah pulang duluan, kayaknya," Rama menjawab, matanya tetap fokus pada jalanan. Rani mengangguk paham.

Percakapan mereka berhenti sampai disitu. Tak ada lagi pembicaraan yang terjadi setelah itu, sampai Rani turun dari mobil Rama.

Demi apapun, perasaan bahagia itu sedang menangui hati Rani. Jantungnya berpacu lebih cepat, dia semakin jatuh pada Rama, senyumnya kembali merekah saat mengingat, senyuman Rama.

Sepasang mata indah itu berbinar, menatap potret yang ia ambilnya beberapa waktu yang lalu.

•••••

"Kenapa gak naik mobil aja, sih?" Nindya menggerutu pada Rama yang sedang ada di sampingnya.

"Lima belas menit lagi nyampe, kok. Gak usah bawel," jawab Rama santai.

Nindya mengerucutkan bibirnya kesal.

Malam ini, Rama mengajak Nindya untuk pergi ke toko buku yang tak jauh dari rumahnya. Entah buku apalagi yang akan Rama beli, Nindya juga tak tahu.

Lampu-lampu indah yang menghiasi jalanan membuat Nindya merasa senang. Nindya sangat menyukai suasana malam yang penuh dengan lampu. Belum lagi bintang dan bulan yang ada di atas langit sana, membuat malam ini kian indah. Mata Nindya dibuat takjub setiap malamnya.

Dan ini adalah alasan kenapa Rama mengajak Nindya keluar malam ini. Karena Rama tahu, Nindya sangat menyukai suasana malam yang seperti saat ini.

Terlihat mata Nindya sedang menelusuri tiap sudut kota yang di penuhi dengan lampu. Rama bahagia melihat senyum itu.

"Dingin," celetuk Nindya.

Rama berdecak kesal. Tapi tetap, Rama membuka jaket yang sedang di pakainya, kemudian di pakaikan-nya jaket itu pada Nindya.

"Makasih." Nindya menatap mata teduh laki-laki yang ada di hadapannya.

Sepasang anak manusia itu saling menggenggam satu sama lain. Menghangatkan tubuh lewat tautan tangan dari belaian dingin sang angin malam. Menyusuri tiap jengkal jalanan yang tak terlalu ramai oleh kendaraan. Sesekali terdengar tawa kecil diantara mereka.

Mereka telah sampai di tempat yang di tuju. Rama segera menarik Nindya untuk masuk ke dalam toko itu. Setelah memilih beberapa buku yang di cari Rama segera membayarnya kemudian membawa Nindya untuk kembali pulang.

"Mau mampir dulu, gak?"

Beberapa saat yang lalu dua orang itu telah menginjakan kakinya kembali di rumah Nindya.

"Gak usah. Mending lo tidur. Udah jam delapan lebih, nih." Rama memperlihatkan jam  pada ponselnya.

Nindya cemberut. Baru juga jam delapan lebih sudah disuruh tidur. Ibunya cerewet kalau Nindya tidur di atas jam sembilan. Sekarang, Rama juga ngoceh mulu.

"Belum ngantuk, Ram," keluh Nindya. "Main dulu, ya? Temenin gue dulu, Ibu belum pulang." Lanjutnya.

"Yaudah, iya." Putus Rama akhirnya.

Nindya bersorak senang. Setidaknya hari ini dia akan tidur lebih dari jam sembilan. Nindya mengajak Rama untuk masuk kedalam rumah. Mereka duduk di ruang keluarga sembari menonton tv.

"Bi Nung, buatin Rama minum ya," pinta Nindya pada Bi Nung yang sedang ada di ruang itu. Bi Nung mengangguk.

Nindya mengambil tempat duduk di pinggir Rama. Matanya menatap lurus pada tayangan yang sedang di tampilakan di tv.

Entah karena sudah kebiasaan ataupun apa, jika sudah memasuki jam-jam seperti saat ini, mata Nindya terasa berat. Ia mengatuk, beberapa kali dia menguap, matanya terasa perih karena menahan agar tak terpejam. Tapi apa daya, matanya kian tak bisa di ajak kompromi. Nindya akhirnya menyerah dan perlahan matanya terpejam. Kepalanya jatuh pada bahu Rama yang ada di sebelahnya.

Rama menengok, saat merasakan kepala Nindya yang bersandar pada bahunya. Nindya tidur. Cowok itu tersenyum melihat wajah damai Nindya saat sedang terlelap.

Diangkatnya tubuh Nindya oleh Rama. Kakinya berjalan membawa Nindya menuju kamar. Letak kamar yang berada di lantai dua, membuat Rama harus berhati-hati saat berjalan, ia takut mengusik tidur sahabatnya.

Sesampainya di kamar, Rama menurunkan pelan tubuh Nindya diatas kasur, tak lupa ia menarik selimut tebal yang ada disana untuk menutupi tubuh mungilnya. Rama mencium kening Nindya singkat dan mematikan lampu lalu Rama keluar.

•••••

Hari ini adalah hari senin. Hari dimana di setiap sekolah melaksanakan kegiatan upacara bendera.

Nindya merasa jengah, kesal pada kepala sekolah yang sedang memberikan amanat tapi tak kunjung selesai. Pagi ini panas, dan rasanya Nindya ingin cepat berlari ke kelas daripada harus mendengarkan amanat di depan.

Katanya ini yang terakhir bapak sampaikan. Tapi sampe sekarang masih ngomong panjang kali lebar sih!? Dumel Nindya dalam hati.

"Ngapain sih?" Bisik Nindi pelan.

"Pegel gue. Masih lama, ya?"

Nindi tertawa pelan. Sebenarnya dia juga pegel. Jika di hitung, kepala sekolahnya sudah menyampaikan amanat lebih dari 30 menit. Dan entah apa yang di bicarakannya. Baik Nindya maupun Nindi tidak begitu mendengarkan. Mereka sedang sama-sama mendumel dalam hati karena pegal dan panas.

Semua murid akhirnya bisa mengehela nafas lega, karena kepala sekolah telah menutup amanatnya.

Upacara selesai, semua peserta upacara di bubarkan. Mereka segera berhamburan menuju tempat yang lebih adem. Dan perpustakaan adalah pilihan Nindya dan Nindi. Perpustakaan di sekolahnya ber-ac tempat langganan dua perempuan itu jika sedang kepanasan. Sebenarnya di kelas juga bisa. Tapi mereka lebih senang di perpustakaa sekalian mereka bisa ngadem sambil baca novel.

"Ndi?" Panggil Nindya.

Nindi berhenti membaca novel yang tadi dia pinjam dari perpus. "Kenapa?"

"Kalau, suatu saat nanti Rama nembak, lo. Dan ngajak jadian. Diterima gak?" Entah ada angin apa Nindya bertanya seperti ini.

Nindi tertawa pelan. Tak ada yang berlebih diantara ikatan persahabatan meraka.

"Ngaco. Mana mungkin, lah. Kita sahabat." Tegas Nindi, lalu melanjutkan kemvali membaca novelnya. Sebelum bel masuk jam kedua berbunyi.

Nindya manggut-manggut.  Ah, efek baca novel yang di belinya beberapa waktu yang lalu membuat dia bertanya yang ngaco. Lagian kan, mana mungkin salah satu diantara meraka ada mempunyai perasaan yang berlebih. Begitu kiranya pikir Nindya.

"Ndi?"

Nindi berdecak kesal. "Apaan lagi?"

"Gue mau tanya."

"Apaan? Yang bermanfaat kalo nanya tuh."

Nindya nyengir. "PR dari Pak Riyad, udah dikerjain belom?"

PR dari Pak Riyad? Fisika dong. Mampus belum ngerjain lagi.  "Mampus!" Nindi menepuk jidatnya. "Gue belum ngerjain. Lo udah ngerjain?"

Nindya menggeleng. Dia bertanya itu siapa tahu Nindi udah ngerjain. Niatnya mau nyontek, tapi sama saja. Nindi juga belum ngerjain.

Dua orang yang sama-sama sedang bingung itu, saling melempar tatapan. Mereka itu satu hati dan satu pemikiran, kalau urusan kayak gini. Keduanya mengangguk paha. Sama-sama mengerti apa yang harus mereka lakukan sekarang. Mereka buru-buru menyimpan kembali novel yang sedang mereka baca pada tempat semula. Mereka melesat menuju ke kelas untuk mencari contekan.

Mereka menyalin jawaban dari Siska, dengan kekuatan the power of  kepepet. Untunglah mereka masih bisa menyelesaikan PR mereka dengan tepat. Kalau tidak, kamar mandi yang baunya dan kotornya kalau siang hari sangat mantap siap menanti untuk disantap.

*****

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.7M 274K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
15.5M 875K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
5M 920K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
9.7M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...