Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.4M 268K 45.1K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 29 •

44.5K 5.3K 1.3K
By AM_Sel

Kedua mata El terbuka. Ia mengerjap sejenak. Cahaya oranye masuk dengan leluasa ke dalam kamar. Memberitahunya bahwa sebentar lagi, malam akan segera datang. Ia menumpukan berat tubuhnya pada lengan kiri, dan mendudukkan tubuhnya. Kepalanya menoleh. Alvano tidak ada.

El menunduk, menatap telapak tangan kirinya. Tadi, sebelum tidur, dia memeluk Alvano terlebih dahulu. Dia yang memulai. Melingkarkan tangan ini ke tubuh besar itu. Ah, memalukan sekali.

El berdecak dan mengacak rambutnya kasar. Pintu kamar itu terbuka.

"Ah? Bangun juga akhirnya," ujar Vano. Ia menutup kembali pintu tersebut dan melangkah mendekat.

"Um," El mengangguk, " 'Met pagi."

Vano tertawa pelan, dan membenarkan rambut El yang mencuat ke sana kemari, "Sore. Mau mandi sekarang?"

Si kecil itu kembali mengangguk dengan tangan yang mengusap mata.

Ah, imutnya~, ujar Vano dalam hati. Ia segera melingkarkan tangan kanannya ke belakang tubuh El, dan tangan kiri yang ia letakkan di belakang lutut. Lalu, membawa tubuh ringan itu ke dalam kamar mandi yang memang berada di kamar.

Tubuh itu ia dudukkan di meja sebelah wastafel. El menatap Vano dengan lekat.

"Angkat tangan," ujar pemuda besar itu.

El segera melakukannya. Mengangkat tangan kirinya ke atas. Lalu, kaosnya ditarik dan dilepaskan. Setelah itu, kaitan celana El yang ia lepas. Melingkarkan sebelah tangannya ke tubuh kurus itu dan mengangkatnya sedikit agar celana pendek itu bisa ia tarik.

Baju celana itu Vano masukkan ke dalam keranjang pakaian kotor yang berada tak jauh dari mereka, lalu mengangkat El lagi dan membawanya menuju kursi kecil yang berada di dekat bathup.

"Ngerepotin ya, harus digendong ke sana sini," gerutu El pelan saat ia didudukkan di kursi kecil itu.

Vano tersenyum, "Ngga kok. Gue mah suka-suka aja ngegendong lo kemana-mana," ia beranjak mengambil shower dan menghidupkannya. Lalu, menyiram tubuh kurus itu dari bagian bawah terlebih dahulu. Baru ke atas, hingga ke kepala.

"Gue pengen cepet bisa jalan," gumam El.

"Kalo gitu, lo ngga boleh rewel sama makanan atau vitamin yang gue suruh makan, dan harus nurut pas gue bawa check up ke rumah sakit."

El mendongak. Menatap Vano yang sedang menunduk dengan tangan yang berada di sela rambut kecokelatan El.

"Gue ngga suka."

"Harus suka kalo pengen cepet sembuh."

Si kecil itu mencebik dan menatap kaki kirinya.

"Ngga mau disuntik," ujar El.

"Ngga akan disuntik."

Vano mengambil sikat gigi dan meletakkan odol di atasnya, lalu memberikannya pada El.

Sementara si kecil itu menggosok giginya, Vano menuang sabun cair ke tangannya, lalu menggosok pelan tubuh kecil itu. Tidak ada bagian yang ia lewatkan. Belakang telinga, leher, punggung, dada, perut, hingga ke ujung kaki. Tidak ada yang ia lewatkan.

El kembali menatapnya lekat. Memperhatikan dengan detail wajah pemuda itu. Tidak ada yang berubah dari ekspresinya. Vano tetap memasang ekspresi biasa, bahkan hingga ia membilas tubuh itu dari busa-busa sabun yang menghiasi. Ekspresinya tak berubah.

"Gosok giginya udah?"

Gerakan menggosok giginya yang sudah terhenti sejak ia memperhatikan wajah Alvano, kembali bergerak. Menandakan bahwa ia masih harus menggosok bagian-bagian yang sempat terlupakan tadi.

Alvano mengambil sampo. Menuangkannya ke telapak tangan, dan memberinya sedikit air. Lalu, tangannya ia gosok dengan gerakan melingkar agar berbusa. Barulah meratakannya di rambut El. Sesekali ujung jemari Vano, memijit lembut kulit kepala itu.

"Gue bisa tidur lagi kalo lo pijit kek begitu," ujar El.

Vano tersenyum tipis, "Tidur aja, ngga masalah."

El berdecih. Kegiatan mandi itu segera Vano akhiri, karena tidak mau El masuk angin. Tubuh basah itu, ia lilit dengan handuk dan membawanya keluar dari kamar mandi. Lalu, mendudukkannya di tepi ranjang

"Lo yang ngegedong gue, tapi gue yang capek ngeliatnya masa," gerutu El.

Vano tertawa. Melepaskan lilitan handuk itu, dan mengeringkan tubuh tersebut dengan benar.

"Makanya, pas lo udah bisa jalan, lo harus bayar gue."

El mendelik, "Si Anjir, lo pamrih rupanya, ya. Jangan gedong gue lagi lo."

Pemuda itu kembali tertawa, "Bercanda doang."

"Ngga lucu," sinis El.

Vano mengulum senyum dan tetap mengeringkan rambut El. Lalu, mengalungkan handuknya ke leher El dan beranjak menuju lemari. Memilih baju yang akan El pakai.

"Memangnya lo mau dibayar apa?"

Vano menjatuhkan pilihannya pada kaos lengan panjang berwarna pink muda, dan celana pendek berwarna putih, "Ngga usah. Gue bercanda aja tadi."

Dahi El berkerut menatap pilihan bajunya, "Baju siapa?"

"Punya lo."

"Gue ngga inget pernah beli baju warna pink?"

"Gue beliin kemarin."

"Kenapa harus pink?" Dahi El semakin berkerut.

Vano tersenyum lebar, "Unyu, sih. Kalo lo yang pake, pasti bagus."

El berdecih, "Bedebah," gerutunya pelaaan sekali.

Alvano dengar sebenarnya, tapi dia mengabaikan, dan segera memakaikan baju tersebut.

"Tuh kan, bagus," ujar Vano. Baju itu pas sekali di tubuh El. Tidak kecil, tidak kebesaran juga.

"Kok lo tau ukuran baju gue?" Dahi El kembali mengerut. Baju-bajunya di apartemen, memiliki ukuran yang lebih besar dari tubuhnya. Jadi, kalau Vano berpatokan pada baju-baju tersebut, seharusnya ini kebesaran, "Stalker," bisik El tajam.

Vano memutar kedua matanya, "Lo tuh suka meluk gue. Jadi, gue tau ukuran badan lo itu berapa."

"Dih, manusia mana coba yang tau ukuran baju orang cuma dari pelukan?" sinis El.

"Biarin, yang penting pas di badan lo."

Setelah itu, giliran celana yang di pasang.

"Gue serius. Lo mau dibayar apa?" tanya El.

Vano menatapnya. Kedua tangannya bertumpu di sisi tubuh El.

"Lo beneran mau bayar gue?"

El mengangguk mantap sebagai balasan, "Kalo mau barang, jangan mahal-mahal. Kalo mau uang, gue ngga bisa."

Dia miskin, jadi dia tidak bisa membayar dengan uang. Bahkan, dia harus berhenti bekerja dan mungkin tidak akan bisa bekerja sampai waktu yang lama karena hanya punya satu tangan. Lalu, kalau minta uang dengan Orly, ya tetap saja itu bukan uangnya.

"Ya, gue juga ngga mau uang lo sih sebenernya," ujar Vano.

"Iya. Lo kan kaya, jadi ngga perlu uang lagi. So? Mau apa?"

"Hmm.. Gue mau... lo tetep tinggal di sini sampai kapanpun."

Si kecil itu mengerjap, "Hah? Kenapa?"

"Karena gue ngga mau lo jauh dari gue El. Mau lo sakit, atau pun lo sehat sentosa, gue mau lo tetep tinggal di sini. Sampai kapanpun. Di sisi gue. Selamanya."

Vano menatapnya dengan sorot serius.

El menghela napas, "Kalo untuk sementara, mungkin gue bisa. Tapi, kalo selamanya, gue ngga janji. Gue pasti mati, bego. Gue ngga immortal sampe selamanya."

"Gue juga tau, manis," Vano menarik paksa kedua sudut bibirnya. Ingin berkata kasar, tapi tak tega.

Lalu, ia menggenggam tangan kiri El dan menyentuhkan dahi mereka, "Bakalan gue buat lo ngga bisa hidup tanpa gue, El. Just wait. Lo bakalan kacau tanpa gue. Tanpa cinta gue."

Dan Vano terdiam. Menatap paras wajah El yang mulai memerah, dan bibirnya yang mengulum seulas senyum manis.

"Ah... lo kalo mau senyum jangan dikulum-kulum dong! Kalo mau ngulum, ya kulum bibir gue aja! Biar senyum lo lebih bersinar gitu!"

"Kok mesum lo makin berani, Bangsat?"

*****

El mulai membiasakan dirinya dengan lingkungan yang baru. Dia tidak tinggal sendiri sekarang. Di sini, tidak hanya dia dan Poppy. Sekarang, ada Alvano, adiknya, bahkan kedua orang tuanya. Dia tinggal di dalam sebuah 'keluarga'. Hal yang benar-benar baru di dalam hidupnya.

Dia jadi tau bagaimana rasanya memiliki orang tua lengkap. Bagaimana rasanya memiliki adik. Walaupun mereka bukan 'miliknya'. Tapi, setidaknya, El tau. Ternyata, memiliki keluarga itu bisa sehangat ini.

Seperti, bisa berbagi resep makanan dengan Ibunya Alvano, atau menonton film bersama Jeje di laptopnya. Bahkan, mengganggu Poppy yang sedang kawin dengan kucing sebelah bersama Jeje, terasa sangat menyenangkan.

"Lo jahat. Lo ngelupain gue, sumpah."

"Eh?"

El menoleh ke arah Alvano yang tengah tengkurap dengan mata yang menyipit tak suka ke arahnya.

"Bukan, maksud gue-"

Vano tertawa pelan, "Bercanda," sebelah tangannya terulur dan mengelus pelan rambut kecokelatan itu.

"Begini lebih baik, kan? Gue suka ngeliat lo yang begini."

Tapi, tetap saja, bersama Alvano adalah yang paling menyenangkan. Walaupun, dia jadi tidak bisa mengontrol dirinya sendiri, seperti detak jantungnya yang selalu menggila atau... seperti sekarang, bibirnya yang refleks melengkung manis karena tau bahwa Vano akan sangat suka melihatnya.

"Iya, begitu! Ululululu~ cenyum lagi, cenyum lagi."

"Apa sih, anjir! Geli gue!"

Vano terbahak. Menarik tangan kiri itu, dan memeluknya.

"Ah, sayang banget gue udah mulai masuk sekolah lagi. Ngga ngeliat lo dalam waktu delapan jam itu nyebelin tau," rengut Vano.

"Sekolah dulu yang bener lo."

"Kaki lo gimana?"

El menunjukkan jempol tangannya sebagai tanda 'ok', "Gue bisa jalan."

"Gue juga tau, lo udah bisa jalan, manis. Maksud gue, ada keluhan? Jangan diem aja."

"Nah, gaada."

Vano tersenyum dan mengeratkan pelukannya, "Bagus."

Dia rasa, semuanya akan baik-baik saja. Bisa memeluk dan menggenggam tangan El, sudah lebih dari cukup untuknya.

Benar. Semuanya baik-baik saja, hingga akhirnya, di suatu malam yang suram...

"....Vano..."

"...le..bih.. keras.."

"Ahh.. V-vano ugh.. deeper.."

Kedua mata Alvano sontak terbuka lebar. Dadanya naik turun tak teratur. Tubuhnya berkeringat. Ia menelan ludah.

MIMPI MACAM APA ITU?!

Oke. Oke. Tenang. Dia bukan remaja tanggung yang tidak tau apa-apa. Vano tau itu mimpi apa. Mimpi basah.

Tapi, kenapa harus sekarang munculnya?! Kenapa harus disaat El sedang tidur dengan nyaman di sampingnya?!

Berengsek.

Ia mengusap wajahnya dengan gusar, lalu menatap ke samping. El masih tertidur dengan nyenyak. Tangan kirinya melingkar nyaman di lengan kiri Vano. Dengan perlahan, ia melepaskan pelukan itu dari lengannya. Lalu, duduk. Selimut ia sibak, dan langsung berdecak. Benar juga, mimpinya tidak sampai klimaks tadi.

Vano menghela napas dan segera beranjak dari ranjangnya. Lalu, masuk ke kamar mandi. Dia butuh diguyur air dingin.

Cukup lama, Vano menghabiskan waktu di dalam kamar mandi, dan akhirnya ia keluar. Mendapati El tengah terduduk dalam keadaan setengah sadar.

"Jam berapa?" suara pemuda kecil itu terdengar serak. Kedua matanya sesekali terpejam, namun ia segera menahannya agar tetap membuka.

Vano melirik jam dinding, "Masih jam tiga. Tidur lagi sana," rambutnya ia keringkan dengan handuk kecil dari kamar mandi, lalu beranjak menuju lemari dan memakai pakaiannya.

"Kenapa udah mandi?"

Vano menggantung handuk biru yang tadi ia lingkari di pinggang. Lalu, mengusap rambutnya yang masih basah.

"Tadi gerah. Jadi, gue mandi biar ngga kepanasan," jawab Vano tanpa menatap El, "Masih ngantuk, kan? Tidur lagi makanya."

Kedua mata El terpejam. Dahinya mengerut. Tangan kirinya terulur pada Vano, "Peluk."

Vano berdecak dalam hati. Dia belum bisa melupakan mimpinya tadi, dan sekarang orang yang berada di dalam mimpinya itu, malah minta peluk.

Tapi, Vano tetap saja tidak bisa menolak. Karena didetik berikutnya, tubuh El sudah berada di dalam rengkuhannya.

"Ahh.. enak."

Vano mencubit tangannya sendiri. Tahan, Alvano. Tahan. El tidak bermaksud apa-apa. Itu karena kulitnya dingin sebab habis mandi dan El suka. Bukan karena hal lain.

Lalu, El bergerak. Naik ke atas tubuhnya dan berbaring nyaman.

Vano pasrah.

Dia hanya diam dijadikan kasur dadakan oleh El yang bergerak ke sana kemari di atas tubuhnya.

Benar. Vano hanya perlu menunggu hingga El benar-benar nyenyak, dan setelah itu, dia bisa pergi untuk diguyur air dingin lagi.

Tbc.

Ah, saya jadi ngga sabar untuk namatin cerita ini 😳

Continue Reading

You'll Also Like

789K 77.2K 40
WARNING! BL, TOXIC RELATIONSHIP. Gak suka? Gak usah baca. ** [Book 2nd of Prince School SEX with Bad Boy School] Bagaimana jika anak bungsu keluarga...
4.1K 185 36
Setelah terbangun dari koma Farsan tidak mengingat apa-apa. Ingatannya seperti kertas putih tanpa goresan tinta. Hanya ada seorang pria yang dengan s...
KAPTEN ✔ By EL

Teen Fiction

1M 81.6K 34
[ Squel Sohib ] [GEN 2] N. Bisa baca sohib dulu. ⚠️Mpreg Belum Revisi! Tidak bertemu selama 14 tahun lamanya membuat Samudra canggung. Angkasa Ghav...
3.4M 250K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...