Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.3M 264K 44.9K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 28 •

41K 5.2K 1.3K
By AM_Sel

El mengerjap. Dahinya mengerut. Ia menatap wanita paruh baya itu dengan tak mengerti. Lalu, mengalihkan tatapannya ke arah Vano yang juga sedang menatapnya.

"Erm.. saya bisa tinggal sendiri, Tante," ujarnya.

"Tinggal sendiri?" Vano meletakkan pisau yang tadi ia gunakan, dan membawa piring berisi potongan apel itu mendekat ke El, "Apartemen lo ada di lantai tiga. Satu-satunya cara untuk ke sana, ya naik tangga. Dan lo ngga bakal bisa naik ke sana dengan keadaan kaki lo yang begini," ujarnya.

El sontak menatap kaki kirinya. Ah.. semua ini karena fraktur sialan itu.

"Gue bisa tinggal sama Orly," ujar El pelan.

Vano menyodorkan piring tersebut, "Bukannya gue ngeraguin Orly, cuma gue rasa lebih aman, lo tinggal bareng kami. Kalo ada apa-apa yang terjadi sama tubuh lo, lo bisa langsung dapetin pertolongannya. Dan gue rasa, Orly ngga bakal keberatan kalo lo tinggal bareng kami."

"Gue yang keberatan," gumam El pelan.

Ibu Vano menggenggam tangan kiri El, "Nak, gimana kalo kamu coba dulu tinggal selama beberapa minggu. Kalo kamu nyaman sama kami, kamu harus tinggal. Kalo ngga suka, kami ngga bakal maksa lagi."

El menatap wanita paruh baya itu, lalu mengalihkan tatapannya ke Vano. Pemuda besar itu mengangguk menyetujui perkataan sang Ibu. Tapi, El masih ragu untuk mengiyakan.

Dia pasti akan sangat merepotkan sekali jika tinggal di sana. Dia belum bisa berjalan. Tidak bisa mandi sendiri. Mengenakan pakaian dengan benar pun ia tidak bisa juga. Makan pun terkadang masih harus diurusi oleh Alvano.

Menyebalkan.

Begitu tidak berguna.

Vano menepuk pelan punggung kecil El. Kedua matanya menyorot lembut. Begitu pula dengan ekspresinya yang menenangkan. Membuat El merasa... begitu berharga.

"Lo terlalu banyak mikir. Tinggal bilang 'ya', ngga terlalu susah, kan?" ujar Vano. Bibirnya melengkung manis.

Jantung El berdebar. Lengkungan bibir itu seolah mengambil napasnya secara paksa. Tapi, rasanya... menyenangkan?

"Ya."

Ah.. hanya perasaan El saja, atau memang semenjak ia bangun, El mudah luluh pada pemuda besar ini?

*****

Lalu, seminggu kemudian, El diperbolehkan keluar dari rumah sakit.

Vano senang bukan main. Ah, siapa juga yang tidak senang, jika akan tinggal serumah dengan orang yang dicintai? Dan lagi...

"Lo tidur bareng gue."

El mengerjap. Ia menoleh menatap Vano yang duduk di kursi pengemudi. Kedua mata pemuda itu fokus ke depan, dengan tangan yang sesekali memutar setir mobil.

"Kenapa?" tanya El.

"Akan lebih mudah kalo kita satu kamar. Jadi, kalo lo butuh sesuatu, gue bisa langsung bantuin."

Si kecil itu mendengus dan mengalihkan tatapannya ke arah jendela di samping, "Gue cacat bukan berarti ngga bisa ngelakuin apa-apa," gerutunya pelan.

Vano tersenyum tipis, "Gue ngga ada bilang kalo lo ngga bisa ngelakuin apa-apa. Gue cuma bilang, kalo gue mau bantuin."

El berdecak. Orly tidak bisa ikut menyambut El yang keluar dari rumah sakit. Pria itu sibuk sekali. Dia hanya mengucapkan selamat via telepon, dan meminta El untuk berhati-hati pada Vano dimalam hari. Katanya, takut El diserang.

Memangnya Alvano itu apa? Binatang buas?

"Di rumah lo sekarang, ada siapa?" tanya El.

"Cuma Adek gue. Bokap masih sibuk di rumah sakit, sementara Nyokap gue harus ke Apotek. Oh, ada Poppy juga."

Ah, El jadi kangen Poppy. Kucing hitam itu suka sekali bermanja pada dirinya. Mengekori kemanapun ia melangkah di apartemen, dan selalu membuat ramai suasana apartemennya dengan bunyi lonceng yang menjadi mata kalung kucing itu.

"Jangan-jangan, Poppy udah lupa sama gue?" tanya El pelan.

Vano kembali tersenyum, "Ngga mungkin lah. Poppy selalu nungguin lo tau. Dia selalu duduk di dekat pintu, pas jam-jamnya lo biasa pulang sekolah dan tengah malam waktu dimana lo pulang kerja. Manis, ya?"

Sudut bibir El refleks naik sedikit. Membentuk senyum kecil yang samar, "Ya. Manis."

Vano memutar setirnya. Mobil itu memasuki pekarangan sebuah rumah. Rumahnya tidak terlihat mewah. Walaupun bertingkat, tapi kesan nyaman yang tergambar. Pekarangannya juga ditumbuhi oleh beberapa tanaman. Indah. Terlihat asri.

Mobil mereka berhenti. Vano melepas sabuk pengamannya, dan segera keluar. Ia mengambil kursi roda El yang ia lipat dia kursi belakang. Lalu, membukanya, dan ia letakkan di dekat pintu depan.

Pintu itu, Vano buka. El menghela napas. Tangan kirinya melingkar di leher Vano saat pemuda itu akan mengangkatnya. Ia berdecak pelan saat bahu kanannya refleks bergerak untuk ikut berpegangan.

"Udah?" tanya Vano.

El mengangguk, dan mengeratkan pelukannya. Vano segera mengeluarkan tubuh kurus itu, dan mendudukkannya di kursi roda.

"Kapan gue bisa jalan lagi?" tanya El.

"Butuh beberapa bulan lagi. Ntar gue tanyain ke Dokter yang nanganin kaki lo untuk waktu pastinya."

Vano mendorong pelan kursi roda tersebut. Saat sampai di depan pintu masuk, pintu itu sudah terlebih dahulu dibuka. Adiknya Vano. Perawakannya tidak setinggi atau segede Alvano. Adiknya ini... normal. Tingginya standar seperti anak-anak cowok lainnya. Kulitnya sawo matang. Pribumi sekali. Terlihat sangat berbeda dengan kulit El yang putih pucat.

Dia terpaku di ambang pintu. Menatap El sambil sesekali mengerjap.

"Ada apa, Je?" tanya Vano bingung.

Dia tersentak, "Ah, e-enggak," sebelah tangannya mengusap tengkuk dengan canggung. Ia masih menatap El.

"Erm.. hai?" ujarnya mencoba untuk menyapa El.

Si kecil itu tak membalas. Hanya diam dan menatap anak itu dengan lekat. Membuatnya semakin merasa gugup.

Tapi, tak lama kemudian, El menghela napas dan mengulurkan tangan kirinya, "El," ujarnya singkat. Berhubung dia akan menumpang di sini selama waktu yang belum bisa ditentukan, dia rasa, dia harus mencoba akrab dengan penghuni tetap rumah ini.

"Ah," anak itu segera menyambut uluran tangan tersebut. Menyadari betapa rapuhnya tubuh pemuda yang hanya berjarak setahun lebih tua darinya ini, "YongJe."

Sebelah alis El terangkat, "Korea?"

Adik Alvano itu meringis, "Iya. Pas Ibu lagi hamil saya, dia ketagihan nonton drakor full home. Jadi, dia ngasi saya nama tokoh utama cowoknya," ujarnya pelan.

Vano menelan ludah dan bersyukur dalam hati. Untung gue ngga dikasi nama India, batinnya.

"Ooh."

"T-tapi, Kakak panggil Jeje aja."

El mengerjap, "Kenapa?"

"Kalo manggil 'Yongje', saya malu."

"Yongje, bagus kok. Yah, terserah kamu sih," El tidak terlalu peduli juga, sebenarnya.

Jeje menatap Vano, "Ada barang-barang yang perlu aku bantu bawa?"

Vano menggeleng, "Barang-barangnya udah Mas bawa ke kamar semua kemarin."

Dahi El mengerut. Mas? Oke, itu bukan panggilan yang asing sebenarnya. Tapi, kalo Vano yang dipanggil dengan kata itu... rasanya sedikit... gimana gitu ya.

Jeje mengangguk dan mundur beberapa langkah agar kedua orang itu bisa masuk dengan leluasa. Vano menutup kembali pintu tadi.

"Ibu tadi telepon. Katanya, bakal pulang telat. Ayah juga hari ini ngga pulang," ujar Jeje.

Vano mengangguk. Sudah biasa.

"Ntar sore, aku pergi futsal ya, Mas," ujar Jeje meminta ijin.

Vano mengangguk lagi, "Jangan sampe kemaleman."

"Oke!" Dan dia berlari kecil menuju sofa ruang keluarga.

El mengedarkan tatapannya ke seluruh penjuru ruangan. Ada beberapa furnitur antik di sini. Kursi rodanya kembali didorong lebih masuk ke dalam.

"Poppy mana, Je?" tanya Vano.

"Ke rumah tetangga sebelah. Ngecengin kucing betina."

Kedua alis El sontak naik. Wah, ditinggal beberapa bulan, Poppy semakin dewasa ternyata.

"Lo mau ikut Jeje nonton, atau mau istirahat di kamar aja?" tanya Vano.

"Gue mau tidur."

Vano mengangguk mengerti, dan mendorong kursi roda itu menuju kamarnya yang terletak di ujung sebelah kiri. Berhadapan dengan ruang makan dan dapur.

"Adek lo kelas berapa?" tanya El.

Vano menutup pintu kamarnya, dan kembali mendorong kursi itu untuk mendekat ke ranjang.

"Tahun ini dia masuk SMA."

Tubuh kurus itu kembali ia angkat dan ia dudukkan di atas ranjang.

"Gue berat ngga sih?" tanya El lagi.

Vano mengulum senyum, "Engga. Rasanya kayak ngangkat tulang belulang."

El mendelik, "Lo beraninya pas gue udah cacat begini ya, Bangsat. Pas gue normal, manis banget mulut lo."

Vano tertawa pelan. Kedua tangannya bertumpu pada sisi kiri dan kanan tubuh El. Wajahnya ia dekatkan.

"Makanya, ntar makan yang banyak biar badan lo ini ngga cuma tulang," ujar Vano.

El berdecih dan mengalihkan tatapannya ke kanan. Sebuah jendela berukuran besar ada di sana. Tapi, bukan itu yang menjadi fokus utama. Melainkan rak-rak buku yang menempel di kiri kanan atas jendela tersebut.

"Lo beneran suka buku, ya?" gumam El pelan.

Vano mengangguk semangat, "Suka. Gue ngoleksi bukunya Paulo Coelho sama Jostein Gaarder. Terus juga-"

"Gue ngga nanya."

Raut Vano langsung mendatar. El sedikit menyakiti hatinya. Tapi, tidak apa-apa. Vano strong. Kalau tidak strong, dia pasti sudah meninggalkan El jauh hari.

Lalu, dahi El menyandar di bahunya. Vano mengerjap. Tangan kiri El melingkari tubuh besar itu. Vano tidak sanggup menahan senyum yang mulai mengembang.

Ah, manisnya~

"Mau tidur," gumam El pelan.

"Iya, lepas dulu. Gue ganti posisi, biar elonya enak. Atau mau gue pangku? Biar lebih terasa. Gue pegangin. Lo nikmatin aja."

'Brak!' 'Brak!' 'Brak!'

Pintu kamarnya digedor kuat secara tiba-tiba.

"MAS! MAS BUKA!"

Vano mengerutkan dahinya. Ia menjauhkan tubuh El dan beranjak menuju pintu, lalu membukanya. Jeje masuk selangkah, dengan wajah memerah dan napas yang tak teratur.

"Mas lagi ngapa-" ucapan Jeje terhenti.

Kedua mata Jeje langsung menatap Vano dari atas ke bawah, lalu beralih melihat El yang tengah menatapnya aneh. Setelah itu, melihat Vano, lalu ke El lagi. Vano lagi. El lagi.

"Apa, sih?" tanya Vano, "Kenapa? Ada maling?"

Adiknya itu mengatur napasnya sejenak. Lalu, menelan ludah, dan menggeleng, "E-enggak."

"Kamu kenapa?" tanya Vano lagi.

Jeje mengerjap dan menatap pintu, "Enggak."

"Kenapa, sih, Je?"

"Aku.." Jeje mundur, "Aku pergi aja deh, Mas," ujarnya dan beranjak mengambil jaketnya yang tersampir di kursi makan tak jauh dari sana.

"Loh, mau ke mana?"

"Aku ke sebelah aja, ke rumahnya Suchart," Jeje mengenakan jaket itu, "Kalo Ibu udah pulang, kabarin ya."

"Loh, Je?"

Dan Adiknya itu langsung beranjak pergi. Vano menggaruk kepalanya bingung.

"Udah belom?" El membaringkan tubuhnya. Kedua matanya sayu karena mengantuk.

"Gue ngunci pintu depan dulu bentar," ujar Vano.

"Hm," El memejamkan kedua matanya.

Ah, kasur ini lebih empuk dari kasurnya di apartemen. Ia rasa, ia sanggup tidur seharian di sini. Enak sekali.

Lalu, tak lama kemudian, kasur itu bergerak. El membuka sebelah matanya. Vano sudah berbaring di samping.

"Sini," tangan Alvano terulur. Mendekap tubuh kurus itu. Membagi kehangatan tubuhnya.

Ah, biarpun kasurnya enak, tapi tetap saja, pelukan Alvano yang terbaik. Iya, kan, El?

Tbc.

Haii!

Wah, maaf ya, saya keasyikan ngerusuh ke rumah orang untuk lebaran sekalian cari uang wkwk 😂😂

Suka ngga sama chapter ini? 😋

Continue Reading

You'll Also Like

2.8M 200K 36
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
905K 97.4K 32
#1 in lawak (22/05/2020) #2 in pelangi (21/09/2019) ______________________________________ 13 Januari 2019 - 10 September 2019 ______________________...
1.5K 220 17
Felix, seorang omega yang membenci alpha. Karena masa lalunya yang kurang baik terhadap alpha. Felix tidak suka hidup dalam bayang-bayang Alpha, hing...
2.5M 35.4K 28
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...