Love You Till Jannah

By Dilla_Kaneki

938K 78.6K 8.8K

Pertemuan mereka kerap di warnai perdebatan. Iqbal Alfakhri merupakan seseorang yang menjadikan sains sebagai... More

Prolog
--
Cuap-cuap
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
-
23
Special Part : Nikmat Yang Tak Kudustakan
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
Epilog
Q & A
B.L.U.R.B
(S2) Prolog
(S2) 1. Mufia Safa
(S2) 2. Letak Ukur Bahagia
(S2) 3. Punuk Unta
(S2) 4. Ikatan Rahasia
(S2) 5. Berkhianat
(S2) 6. Gusar
(S2) 7. Cinta (tak) Halal
(S2) 8. Riba!
(S2) 9. Dia Kembali
(S2) 10. Pengakuan
(S2) 11. Kebongkar
(S2) 12. Sang Pejuang Doa
(S2) 13. Pertimbangan
Konsekuensi Talak
(S2) 14. Perceraian
(S2) 15. Keraguan
(S2) 16. Rujuk?
(S2) 17. Keputusan
(S2) 18. Sabar
(S2) Epilog
Extra Part - Welcome
Cerita Baru
Info Penerbitan
Open PO

35.

15.2K 1.2K 190
By Dilla_Kaneki

Jalan satu bulan kemudian, saat usia kandungan istrinya menginjak dua bulan, akhirnya Iqbal pun merasakan fase-fase yang menurut ia paling menyebalkan sekaligus menyenangkan karena butuh kesabaran yang ekstra untuk menghadapinya; ngidam. Fase yang terjadi saat seorang ibu sedang hamil muda. Masalahnya, Nayla sering ngidam yang aneh-aneh.

Mulai dari merengek untuk dibelikan lontong sayur saat tengah malam, lalu meminta Iqbal memasak telur ceplok di pagi buta, yang bilamana sudah jadi, tidak dimakan sama sekali  dengan bilang dirinya mual tiba-tiba. Kesal? Pasti. Hanya saja Iqbal tidak mau menunjukkannya terang-terangan.

Dari situ Iqbal bisa menyimpulkan bahwa wanita berhati malaikat sekali pun bisa berubah menyebalkan saat sedang hamil. Tapi Iqbal memaklumi mengingat umur Nayla yang masih terlalu muda untuk menjadi seorang Ibu. Jadi sifat kekanakannya pun, pasti masih ada dalam dirinya.

Seperti malam ini. Ketika Iqbal tengah asyik terlelap dalam bunga tidurnya yang damai, Sang istri tiba-tiba membangunkan ia dengan perlakuan yang tak lazim. Nayla, istrinya itu menggigiti lehernya kuat-kuat hingga Iqbal pun sontak membuka kelopak matanya dan berjengit kaget,

“Allahu Akbar!”

Iqbal menahan Nayla yang hendak menggigitnya lagi, wanita yang duduk di atas tubuhnya itu langsung memasang ekspresi ingin menangis.

“Mas, dedeknya yang minta. Kalau Mas sayang dedeknya, biarin aku gigit ya,” rengek Nayla.

Tanpa merasa keberatan sama sekali, Iqbal berhasil merubah posisinya untuk bersandar pada punggung ranjang dengan Nayla yang masih menindihi perutnya. Iqbal memegangi pinggang Nayla, ia perhatikan Nayla dengan mata merahnya, khas orang yang baru bangun tidur. Kemudian Iqbal pun melirik ke jam di dinding, pukul baru menunjukkan dua pagi dini hari.

“Kenapa harus gigit?” tanya Iqbal, suaranya serak. Ia menatap Nayla yang menggelengkan kepala.

“Gak tahu, dedeknya yang mau.”

Iqbal menarik napas.

“Sayang, kamukan manusia, bukan nyamuk, jadi jangan gigit-gigit lagi ya?”

Melihat bibir Nayla bergetar, Iqbal jelas tahu bahwa Sang istri hendak menangis. Oke, selama satu bulan belakangan ini sikap Nayla memang berubah kekanakan, manjanya berubah tingkat wahid. Mungkin efek hormon kehamilan.

“Duh, jangan nangis dong,” pinta Iqbal. Ia jadi merasa bersalah. Laki-laki itu menahan Nayla dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya ia gunakan untuk mengusapi perut buncit Sang istri. “Dedek sayang, kalau ngidam tolong jangan yang aneh-aneh lagi ya. Kasihan Papa kamu, masa harus jadi korban Mama mulu?”

Setetes air mata lolos dari pelupuk Nayla. Wanita itu menangis setelahnya.

“Mas kok gitu?”

“Sayang--”

“Mas gak sayang sama dedek lagi ya?”

Iqbal menarik tengkuk Nayla mendekat ke rahangnya. Iqbal berbisik antara rela dan tidak,

“Yasudah nih gigit aku sepuas kamu.”

Nayla menghentikan tangisnya. Ia menatap Iqbal dengan ekspresi sendu dan penyesalan.

“Gak jadi... maaf ya udah ganggu tidur Mas.”

Iqbal mengelusi surai Nayla yang tergerai. Bibirnya terkulum. Iqbal memandang gemas pada istrinya.

**

“Loh, Boss? Kenapa lehernya diplester?” tanya Ferdi saat mereka melintasi lorong.

“Digigit nyamuk kayaknya Fer.”

Ferdi mengerutkan dahi.

“Kan cuma bentol Boss kalau digigit nyamuk.”

“Nyamuk di rumah saya beda,” respon Iqbal. Ferdi bergidik ngeri.

“Emangnya nyamuk spesies apa sih Boss?”

Iqbal memutar knop pintu setibanya mereka di tempat tujuan.

“Sejenis vampir. Bedanya, dari bangsa manusia yang murni.”

Ferdi tampak bingung. Iqbal lebih dulu memasuki ruangan meninggalkan sekretarisnya itu.

Melihat kedatangan Sang CEO, para karyawan yang hadir di ruang rapat lantas bangkit dari duduknya dan membungkuk hormat pada Iqbal. Tak lama kemudian Ferdi turut menampilkan batang hidungnya.

Ferdi meletakkan tas yang dibawanya ke meja tempat di mana Iqbal kini mengambil posisi duduk menghadap para karyawannya. Sambil membuka tas yang berisikan laptop, Iqbal bertanya pada karyawannya yang kembali duduk.

“Saya sudah dengar soal omset yang akhir-akhir ini naik drastis. Dan berhubungan dengan itu, saya mau menyampaikan keinginan saya pada kalian.”

Iqbal menghubungkan koneksi laptopnya dengan LCD Proyektor, layar presentasi pun memunculkan gambar windows yang kemudian berubah menjadi sebuah grafik. Semua orang mengalihkan pandangannya pada layar. Ferdi menarik sebuah kursi kosong dan ikut bergabung dengan yang lain.

“Saya berniat menggunakan 15 dari 20% keuntungan lebih yang didapati dalam kurun waktu sebulan ini untuk membuka saham baru. Dan saya butuh team profesional yang mau bekerja sama untuk melancarkan semuanya,” ujar Iqbal. “Kita akan membangun perumahan di kota Depok. Model kali ini saya memilih tropical, kontemporer juga Mediterania. Jadi tolong carikan saya arsitek yang jelas ahli dibidang tersebut. Sisa 5% nya akan kita gunakan untuk refreshing setelah rencana ini berhasil.”

Iqbal dapat melihat sepasang mata para karyawannya yang berbinar-binar tatkala kata refreshing terlontar.

“Dan saya---” Iqbal menggantungkan ucapannya saat merasakan getaran di saku celana. “Tunggu sebentar.”

Iqbal melangkah mendekati jendela, ia berdiri membelakangi semua orang dan lantas menerima panggilan yang ternyata dari Riki. Iqbal memang sengaja tidak mensilent ponselnya. Takut akan mendapat kabar buruk menyangkut Nayla. Sejak dirinya mendengar Nayla masuk rumah sakit waktu itu, Iqbal jadi was-was dan ia bertekad untuk tidak lalai lagi sebagai suami.

Meski sudah menyuruh Riki dan Siska menjaga Sang istri selama dirinya tidak ada, tak menutup kemungkinan bahwa ia masih saja mencemaskan Nayla.

“Hallo, Ki?”

Tuan, Nyonya meminta untuk dibelikan rujak,” ujar Riki di seberang sana.

“Ya sudah, belikan saja Ki.”

“Anu, Tuan. Masalahnya, Nyonya tidak mau kalau saya yang membelikannya.”

“Terus?”

Nyonya mau Tuan yang membelikan.

“Tapi saya sedang meeting, Ki. Eum, gini saja deh, tolong bilang ke dia, pulang nanti saya bakal beliin,” kata Iqbal.

“Nyonya maunya sekarang, Tuan.”

“Kalau begitu, kamu pura-pura izin pergi ke mana dulu, terus belikan rujaknya dan bilang kalau rujak itu saya yang bawa. Cuma, saya harus kembali ke kantor karena masih banyak urusan.” Iqbal mengerutkan dahi karena tak mendapat jawaban.

"Ki? Hallo? Riki?”

Mas pulang ya? Aku mau rujak.”

Wajah Iqbal berubah pias.

“Duh, sayang. Mas lagi meet---”

Mas gak sayang dedeknya ya?”

Astagfirullah, Iqbal beristighfar dalam batinnya.

“Kamu mau rujak apa?”

Buah, tapi banyakin mangganya.

Oke,” jawab Iqbal.

“Mas bakal pulangkan?”

“Iya, sayang. Sudah dulu ya. Mas mau siap-siap,” ucap Iqbal dengan pasrah.

Hah ... Kenapa juga Riki memberikan ponselnya ke Sang istri?  Iqbal mematikan telepon dan kembali menghadap para karyawan dengan sorot tak enak hati.

“Semuanya, mohon maaf. Saya harus pergi sekarang. Ada urusan lain yang tidak bisa saya tinggalkan. Dan kamu Fer, tolong gantikan saya ya.”

Ferdi mengangguk heran.

“Baik.”

***

Iqbal menahan jengkel. Bagaimana tidak? Dia sudah mengorbankan diri untuk pergi sebelum meeting selesai hanya untuk menuruti ngidam Sang istri, tetapi setelah rujaknya dibeli, Nayla hanya memakan sepotong mangga saja. Setelahnya, ia berkata,

“Udah gak nafsu, Mas.”

Sabar, Bal. Sabar!

“Mubazir loh kalau gak dihabiskan.”

Nayla menggeleng.

“Mas yang makan saja. Kalau gak mau, kasih ke Siska, Mbak Cecilia atau Mas Riki.”

Iqbal mengulum senyum terpaksa. Kalau saja Nayla laki-laki dan bukan istrinya, Iqbal pastikan dia sudah menabok sosok yang saat ini sedang duduk manja di pangkuannya itu.

“Iya, nanti Mas kasih ke mereka.”

Diam-diam Iqbal mendengus. Laki-laki itu menonton tayangan di televisi. Kamar yang biasanya sunyi pun sudah berubah agak bising karena kebiasaan Nayla yang semenjak berbadan dua, hobi menyetel televisi. Nayla menyandarkan kepalanya pada bahu Iqbal.

“Mas,” panggilnya. Ia melingkarkan tangan di leher Sang suami.

“Besok kita ke rumah Ummi lagi ya? Aku kangen.”

“Loh, kan dua hari lalu kita baru saja mampir ke sana,” jawab Iqbal.

“Dedeknya yang mau ketemu Ummi.”

“Insya Allah ya sayang, Mas lagi sibuk banget di kantor. Mas mau buat saham baru,” kata Iqbal dengan tatapan penuh harap agar Nayla tidak memaksanya untuk kali ini.

“Lagian, besok kamu kan sudah mulai sekolah lagi. Takut capek.”

“Mas gak mau?”

“Bukannya gak mau---”

“Gak sayang dedek ya?”

Astagfirullah, Iqbal menduga dosanya selama ini besar sekali sampai-sampai Nayla yang biasanya tidak suka mengancam, jadi berubah. Mana ancamannya halus pula. Iqbal menarik wajah Nayla dan menciumi pipi istrinya dengan gemas.

“Kita ke rumah Ummi besok. Mas gak masuk kantor dulu, sekalian antar-jemput kamu ke sekolah saja. Omong-omong, besok Mas juga mau ketemu Bella. Kita jelasin yang sebenarnya terjadi. Dikit lagi kita adakan resepsi kedua. Kamu juga, jangan makan sembarangan ya selama di sekolah. Jaga dedek baik-baik. Mas sayang banget sama kalian berdua.”

"Iya, Mas.”

Nayla tersenyum lebar hingga giginya terlihat. Wanita itu mengecup singkat pipi Iqbal, membuat hati Sang suami yang sempat panas akibat efek mengidamnya, seketika menjadi teduh.

 

***

“Apa?!!” teriak Bella.

Iqbal menutup kedua telinganya. Ia melirik Nayla yang tampak tak terganggu. Istrinya sibuk memakan ice cream. Mereka bertiga tengah berada di dalam mobil Iqbal.

“Bella, maaf kalau kami sudah berbohong selama ini,” ucap Iqbal.

“Aku pikir kalian benaran sepupu!”

“Nyatanya kami adalah suami-istri. Tapi saya minta tolong banget sama kamu, jangan sampai ada yang tahu ya? Saya gak mau istri saya kenapa-kenapa. Cukup kamu saja yang menyimpan rahasia ini. Omong-omong kami akan mengadakan resepsi yang kedua. Namun saya tidak berniat untuk mengundang teman-teman kelasnya atau pun gurunya. Cukup orang-orang terdekat kami saja. Dan saya sungguh gak menyangka bahwa teman terdekat istri saya ternyata cuma kamu.”

“Jelas!” sungut Bella, sejenak ia lupa pada keterkejutannya. “Kita kan best friend dari SMP!”

Iqbal mengerutkan dahi.

“Saya gak tanya soal itu. Mau kamu berteman dengannya semenjak kalian berdua masih pakai popok, saya gak peduli.”

“Oh.”

“Bella,” panggil Iqbal. “Saya juga mau minta tolong, kamu jangan bawa Ari ke acara kami ya.”

“Enak saja! Pokoknya Kak Ari juga harus tahu!” bentak Bella.

"Kok kamu nyolot sih?” protes Iqbal. Ia memandang Bella tak suka. “Kan yang punya acara saya, jadi bebas dong saya mau mengundang siapa saja?”

“Terus maksud kamu, Kak Ari gak boleh tahu pernikahan kalian, gitu?”

“Bukan,” kata Iqbal. “Kamu tetap harus kabarin dia, tapi bilangnya nanti kalau acaranya udah dekat. Supaya dia gak bisa hadir karena dadakan.”

“Duh, kasihan Kak Ari! Seharusnya aku suruh dia berdoa tanpa henti. Ah, jadi ke tikung sama Om-omkan! My best friend, sabar ya karena jodoh kamu ternyata Om-Om gini. Untung ganteng, kalau enggak mah aku bakal menangis karena kamu sampai tujuh turunan.” Bella meringis sedih.

 “Kak Ari padahal lebih muda. Cocok sama kamu. Kalau kalian nikah, bakal jadi best couple deh. Dijamin viral kalau pakai IG, dapet julukan Mamah Papah muda yang unch-unch.”

“Iya Bell, untung cakep ya,” respon Nayla sambil melirik Sang sahabat dari kaca tengah. Ia kembali sibuk memandangi jalanan.

“Kita pulang sekarang,” ucap Iqbal.

“Kita?” tanya Bella meledek.

“Kalian saja kali! Aku mah bawa motor sih.”

“Ya sudah, keluar sana!” usir Iqbal.

 

***

Ari bisa melihat dengan jelas senyum merekah dua insan yang tengah duduk di depan sana dengan jarak tidak jauh darinya, di singgasana pengantin. Ari menarik napas. Pada waktu yang bersamaan, sosok yang duduk di sampingnya bertanya meledek,

“Kamu kapan toh Ri kayak gitu? Memangnya kamu gak ada niat mau menyusulku dan Zain? Hm?”

Ari menarik sudut bibir.

“Insya Allah secepatnya kok, Fan. Masih persiapan.”

Irfan -- teman sejawatnya yang juga santri di pondok, terkekeh.

“Duh, Ari--Ari, kamu tuh ya, suka sekali menunda-nunda. Gak takut kamu kalau jodohmu keburu dipatok orang lain?”

“Namanya jodoh mah gak akan tertukar Fan,” respon Ari dengan tenang.

“Iya juga sih,” kata Irfan. “Omong-omong Ri, kamu sudah punya calon?”

Ari mengangguk kalem.

“Sudah.”

“Sayang sekali, Ri,” ucap Irfan lalu menepuk pelan punggung Ari. “Kamu masih ingat Laksmi gak, Ri? Adikku?”

Ari mengiyakan.

“Masihlah Fan.”

“Tadinya aku mau menjodohkan kalian. Kebetulan Laksmi itu juga mantan santri. Insya Allah, Adikku itu wanita baik-baik. Tapi, berhubungan kamu sudah punya calon, ya mau bagaimana lagi? Jadi... kamu dan calonmu sudah ta'arufan?”

Ari menggeleng.

“Belum, Fan. Tadinya aku berniat melamar bulan ini, tetapi setelah menimbang-nimbang ulang, aku pikir nanti saja. Insya Allah tahun depan aku benar-benar akan datang melamarnya. Saat ini dia juga sedang sibuk dengan sekolahnya.”

“Oh begitu,” Irfan mengangguk paham lalu tersenyum. “mudah-mudahan dia memang jodohmu ya.”

“Aamiin.”

“Kamu menaksirnya dalam diam, Ri? Atau kalian sudah saling menyatakan?”

“Alhamdulillah, sejauh ini masih seperti halnya sayyidina Ali kepada Fatimah.”

Irfan menarik napas.

“Kalau begitu jangan sampai lalai berdoa agar Allah menjodohkan kalian ya Ri. Ingat loh, sayyidina Ali saja hampir ke tikung Abu Bakar dan Umar.”

Wajah Ari berubah pias. Irfan tersenyum.

“Jangan tegang. Kan sebelum janur kuning melengkung, kamu masih punya harapan Ri.”

Ari mengangguk kikuk.

“Bahkan,” Irfan kembali bicara, “Yang janur kuningnya sudah melengkung pun masih bisa diluruskan. Asal niat kamu untuk merebutnya dari laki-laki lain adalah karena Allah, aku rasa itu tidak masalah. Kamu pasti mengerti maksudkukan, Ri?”

Ari mengiyakan.

“Kalau dia memang lebih dulu dipinang laki-laki lain, aku mundur dulu, Fan. Namun, kalau dia ternyata tak bisa bahagia dengan laki-laki itu, aku akan merebutnya. Aku tidak akan membiarkan wanita yang kusukai disakiti oleh siapa pun.”

"Bagus,” kata Irfan. “semoga Allah meridhoi niat baikmu untuk selalu melindunginya. Siapa pun wanita itu, dia adalah orang beruntung karena dicintai laki-laki sebaik kamu.”

Continue Reading

You'll Also Like

277K 15.8K 38
Spin off: Imam untuk Ara cover by pinterest follow dulu sebelum membaca.... ** Hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan bagi orang banyak,namun...
6.9M 963K 52
[SEQUEL OF A DAN Z] Tumbuh dewasa tanpa kedua orang tua dan memiliki tanggung jawab yang sangat besar, terlebih harus menjadi sosok orang tua untuk k...
6.4M 504K 118
"Kenapa harus Ocha abi? Kenapa tidak kak Raisa aja?" Marissya Arlista "Saya jatuh cinta saat pertama bertemu denganmu dek" Fahri Alfreza
7M 494K 60
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...