5.

14.9K 1.3K 67
                                    



“Tidak!”

Matanya melirik ke berbagai arah. Tubuhnya tampak gusar. Kemudian Iqbal kembali menatap Nayla.

“Okay, bisa kamu duduk lagi? Mari kita bicarakan ini baik-baik.”

Nayla melempar pandangannya ke sepenjuru ruang. Dan ketika ia tahu ada banyak sekali pasang mata yang sedang memperhatikan mereka, Nayla tersadar untuk segera beristighfar dan kembali duduk dengan wajah yang sudah merah padam menahan malu.

Bagaimana bisa ia lepas kendali begini dan membiarkan emosi jadi menguasai dirinya? Sampai-sampai dengan bodohnya ia membentak sosok di depannya ini di tempat umum! Sangat tidak mencerminkan attitude seorang muslimah.

Memalukan!

Syukurnya, para tamu di cafetaria tidak memperburuk keadaan dengan terus menjadikan mereka berdua obyek. Beberapa detik usai Nayla duduk, mereka kembali sibuk akan aktivitasnya masing-masing. Nayla menarik napas lega. Tetapi Nayla tidak sepenuhnya merasa bersalah. Kalau saja mereka tahu alasan ia marah, Nayla yakin siapa pun pasti memakluminya.

Semuanya berawal ketika Nayla sepulang sekolah. Nayla pikir Riki yang akan menjemput. Tetapi rupanya ia salah. Mobil yang dipakai memang sama. Namun pengemudinya jelas berbeda. Dengan dalih ingin menagih janji yang semalam untuk berbincang berdua, Iqbal menggantikan posisi Riki sebagai sopir. Kemudian ia membawa Nayla pergi ke sini. Ke sebuah cafeteria yang tidak jauh dari rumahnya.

Setelah memesan dua piring pancake dan dua cangkir kopi untuk dinikmati bersama, Iqbal memulai percakapan dengan sedikit berbasa-basi. Menanyakan kabar Nayla dan Ummi, menanyakan kegiatan apa saja yang Nayla lakukan selama di sekolah, hingga akhirnya pertanyaan itu pun lari ke kondisi Siska.

Iqbal meminta Nayla bercerita apa saja yang sudah gadis itu kerjakan selama dua hari belakangan ini?
Nayla mengatakan bahwa ia sudah terbiasa merawat Siska entah itu mulai dari menyiapkan air hangat untuk dipakainya mandi, atau pun membantu Siska menyiapkan pakaian, membawakan makan, mengajaknya mengelilingi rumah agar mengusir rasa bosan dan menghabiskan waktu bersama. Lalu tiba-tiba saja Iqbal tersenyum dan memotong ucapannya,

“Baiklah, saya sudah yakin bahwa kamu memang benar-benar menjalankan tugasmu dengan baik. Karenanya, saya ingin mengajukan satu permintaan serius sama kamu.”

“Permintaan?”

“Beberapa hari ke depan saya tidak bisa sepenuhnya menjaga Adik saya setelah jam kerja kamu habis. Ada urusan yang harus saya selesaikan di kantor. Sebab itulah saya ingin kamu bersedia untuk menggantikan saya. Kamu mau'kan kalau saya pinta untuk tinggal lebih lama di rumah saya?”

“Saya juga punya tugas lain yang harus dikerjakan. Jadi saya minta maaf karena saya gak bisa, Mas.”
Iqbal terdiam sesaat.

“Atau begini saja. Bagaimana kalau kamu tinggal di rumah saya untuk dua minggu kedepan? Riki yang akan antar-jemput kamu setiap harinya.”

“Dan usul Mas itu bisa saja menimbulkan fitnah. Kita bukan mahram, gak seharusnya tinggal seatap sekali pun Mas punya adik perempuan.”

“Kalau gitu kamu juga boleh bawa Ibu kamu untuk tinggal di rumah saya.”

“Saya menolak, Mas. Tetap aja usul kamu masih salah.”

Iqbal menghela napasnya.

“Okay, begini saja. Di dalam agama kamu, saya paham betul bahwa kita bukan mahram seperti yang kamu bilang. Karena itu, bilamana satu-satunya jalan agar kamu mau untuk tinggal di rumah kami dan merawat adik saya seperti keinginan saya, maka saya akan mengajukan satu lagi permintaan yang serius ke kamu.”

Iqbal menatap Nayla. Nayla yang tidak ingin berzina mata, menundukkan pandangan. Tetapi tidak lama setelah itu, ia dipaksakan untuk mendongak lagi ketika lelaki di depannya berkata,

“Nayla, menikahlah dengan saya.”

“Apa!” seru Nayla tak percaya. Iqbal menganggukkan kepalanya. Tidak ada sirat main-main saat ia bilang begitu.

“Benar, saya ingin kita menikah saja. Bila itu bisa membuat kamu menyanggupi apa yang saya inginkan, saya tidak keberatan untuk meminang kamu.”

Dan sebab itulah Nayla refleks bangun dari duduk dan menolak Iqbal penuh amarah. Bisa-bisanya Iqbal membicarakan topik sakral seperti pernikahan dengan alasan yang tak masuk akal baginya. Nayla tahu tujuan Iqbal memang baik. Tetapi jelas itu salah di mata agama.

Love You Till Jannah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang