Love You Till Jannah

By Dilla_Kaneki

938K 78.6K 8.8K

Pertemuan mereka kerap di warnai perdebatan. Iqbal Alfakhri merupakan seseorang yang menjadikan sains sebagai... More

Prolog
--
Cuap-cuap
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
-
23
Special Part : Nikmat Yang Tak Kudustakan
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
34.
35.
Epilog
Q & A
B.L.U.R.B
(S2) Prolog
(S2) 1. Mufia Safa
(S2) 2. Letak Ukur Bahagia
(S2) 3. Punuk Unta
(S2) 4. Ikatan Rahasia
(S2) 5. Berkhianat
(S2) 6. Gusar
(S2) 7. Cinta (tak) Halal
(S2) 8. Riba!
(S2) 9. Dia Kembali
(S2) 10. Pengakuan
(S2) 11. Kebongkar
(S2) 12. Sang Pejuang Doa
(S2) 13. Pertimbangan
Konsekuensi Talak
(S2) 14. Perceraian
(S2) 15. Keraguan
(S2) 16. Rujuk?
(S2) 17. Keputusan
(S2) 18. Sabar
(S2) Epilog
Extra Part - Welcome
Cerita Baru
Info Penerbitan
Open PO

33.

15.4K 1.3K 168
By Dilla_Kaneki

"Kenapa baru sekarang, hah?!!" Iqbal menggebrak meja dengan dada yang menggebu. Laki-laki itu sontak bangkit dari duduknya dan menatap nyalang seorang pria yang lebih muda darinya.

"Boss, saya 'kan sudah bilang, pihak hotel---"

"Ferdi!"

Pemilik nama Ferdi yang berdiri di dekat pintu segera mendekat ke arah Iqbal. Ferdi menundukkan kepala dan merespons, "Ya, Boss?"

"Seret dia keluar!" titah Iqbal sambil mengacungkan tangan ke arah Si pemuda.

"Baik, Boss."

Ferdi yang memang memiliki tubuh lebih besar, dengan mudahnya berhasil menyeret paksa pemuda yang Iqbal maksudkan. Pemuda itu pun tiada henti-hentinya meminta maaf.

"Boss! Saya mohon ... berikan saya kesempatan lagi!" teriak Si pemuda. Lalu melanjutkan, "saya tidak akan lalai lagi! Seharusnya saya memang mengancam pihak hotel agar lebih cepat memberikan rekaman cctv-nya!"

Iqbal tidak mendengarkan. Laki-laki itu berjalan menuju koridor. Tangan Iqbal yang terkepal, ia tinjukan ke besi pembatas. Tak peduli akan rasa sakitnya, Iqbal justru memandangi gedung-gedung pencakar langit yang berdiri kokoh di depannya dengan tidak santai. Napasnya yang memburu cukup menggambarkan bahwa dirinya sedang marah besar.

Semua ini terjadi karena asistennya yang bodoh baru saja menyerahkan rekaman CCTV yang menjadi jawaban Iqbal atas masalah di dalam rumah tangganya. Nayla benar. Apa yang terjadi satu minggu lalu, hanya fitnahan belaka. Aldi lah yang sudah merencanakan semua ini!

Kalau Nayla menyerahkan harga dirinya dengan senang hati demi suatu informasi masa lalunya, Sang istri tidak mungkin bertandang ke hotel dalam keadaan tak sadar dan digendong Aldi! Dengan itu saja Iqbal bisa menyimpulkan bahwa Nayla merupakan korban pelecehan. Sayangnya, kenapa baru sekarang ia mengetahui kebenaran itu?

Tepatnya setelah dia banyak menyakiti hati Sang istri? Setelah semuanya makin kacau?

"Arrgghh!" dengan kesal, Iqbal pun menjambak rambutnya. Kemudian laki-laki itu menendangi bangku-bangku yang terdapat di sekitarnya. Siapa saja yang melihat keadaannya saat ini, pasti sudah bisa menebak bahwa Iqbal tengah mengalami stress akut.

"Lihat!" Iqbal bermonolog.

"Kamu sendiri yang sudah mengacaukan semuanya, Bal! Kalau saja kamu mau mendengarkan penjelasannya, kamu tidak akan seperti ini!"

Iqbal tertawa miris.

"Dasar bodoh. Dan sekarang sudah terlambat untuk memperbaiki semuanya, kan?"

Iqbal jatuh bersimpuh, ia menatap nanar lantai balkon. Beberapa hari sudah ia menghabiskan waktunya di sini, tanpa Nayla. Tinggal di ruang kerjanya yang selalu diselimuti hening, di sebuah gedung yang menjadi salah satu cabang perusahaan Sang ayah dengan posisinya sebagai CEO.

Iqbal menarik napas. Ia bingung harus melakukan apalagi setelah ini. Apa dia harus pulang ke rumah dan meminta maaf pada Sang istri? Atau tetap di sini sampai nanti Nayla yang memintanya untuk kembali? Tapi, bagaimana kalau ternyata Nayla lebih suka dirinya tak muncul lagi? Mengingat ia sudah menyakiti hati Nayla lewat perlakuan buruknya.

Di hari ketiga dirinya pisah ranjang dengan Sang istri, Nayla datang memohon padanya agar dia balik ke kamar. Tapi Iqbal menolak dengan kasar. Dan setelah kejadian itu, ia pun memutuskan untuk menetap di sini. Iqbal bahkan sudah menyerahkan tanggung jawabnya mengantar-jemput Nayla ke sekolah pada Riki.

Usai lama bergeming, dengan susah payah, Iqbal bangkit dari jatuhnya. Ia berjalan lunglai ke dalam ruang kerjanya, melangkahkan kaki menuju dapur minimalis yang tersedia di sana.

Membuka refrigerator, Iqbal pun mengambil sebotol wine serta satu sloki dan dibawanya ke meja kerja. Iqbal duduk di kursi kebesarannya, lantas menuangkan minuman itu ke sloki, meminumnya berkali-kali. Dia begini karena butuh pelampiasan. Jangan salahkan dirinya yang tergoda pada minuman haram itu. Iqbal tak mau menodai dirinya untuk kembali seperti dulu yang hobi bermain wanita.

Cukup minuman ini saja!

Ketika wine itu sudah habis setengah botol, Iqbal mencengkeram slokinya kuat-kuat. Ia menarik napas panjang, matanya memerah. Tubuh Iqbal mendadak bergetar, hatinya berteriak agar dirinya segera berhenti minum.

Pada akhirnya, dengan berat hati, Iqbal pun melempar sloki beserta wine tersebut, membuat dua benda kaca itu jatuh dan pecah. Sisa wine tak ayalnya lagi tumpah mengotori lantai. Iqbal menyandarkan punggungnya ke kursi, ia memijati pelipisnya dengan mata terpejam, berusaha merilekskan diri dari pikiran yang berkecamuk.

Di waktu yang bersamaan, ponselnya berdering. Tanpa minat, ia merogoh benda pipihnya yang tergeletak di atas meja. Nama Riki tertera di layar. Iqbal menekan tombol hijau. Lantas menyalakan speaker karena malas mendekatkan ponsel ke telinganya.

"Selamat sore, Tuan?"

"Ya?"

"Tuan sedang sibuk atau tidak?"

"Ada apa, Ki?"

"Anu, Tuan. Nyonya Nayla baru saja masuk rumah sakit. Beliau---"

"Rumah sakit?!!" Iqbal sontak bangkit. Jantungnya berpacu cepat. Ia menahan napas tatkala Riki membenarkan.

"Ya, Tuan. Nyonya Nayla ditemukan pingsan di dalam kamarnya oleh Nona Siska."

"Kirim alamatnya ke saya, sekarang!"

***

Ia berlari melintasi lorong dengan tidak sabaran. Bahkan Iqbal tak peduli saat dirinya menabraki orang-orang yang berjalan berlawanan arah dengannya. Iqbal kerap mendapatkan sumpah-serapah para korban yang ditabraknya, namun sekali lagi, ia mengabaikan itu semua. Sebab yang memenuhi pikirannya saat ini hannyalah Nayla dan Nayla, istrinya!

Syukurlah, rumah sakit ini tidak terlalu jauh dari tempat kerjanya sehingga cukup bermanuver sebentar, ia berhasil tiba di sini meski di jalan tadi hampir saja membuat beberapa pengendara motor celaka. Iqbal mencari-cari nomor kamar yang tadi Riki kirimkan lewat pesan. Tidak butuh waktu lama, akhirnya ia menemukan juga. Di luar, terlihatlah Riki yang tengah berdiri dan Siska yang duduk di kursi rodanya dengan raut cemas. Iqbal mendekati mereka.

"Dia di dalam?" tanya Iqbal gelisah.

Siska yang mendengar suara Iqbal, langsung menoleh. Wajah Siska berubah garang.

"Ngapain Kakak ke sini, hah? Pergi sana! Nay gak butuh laki-laki bajingan kayak Kakak lagi!"

"Nona---" Riki berusaha mencegah terjadinya peperangan. Ia menahan Siska saat Nona mudanya itu hendak mendekati Iqbal guna memberinya pukulan bertubi-tubi. Akan tetapi, Siska yang sudah dibutakan emosi, malah membentaknya.

"Diam kamu!"

Beberapa orang yang berada di dekat mereka, menjadikan ketiganya obyek tontonan. Iqbal yang enggan ribut, memilih Mengabaikan Siska. Ia menatap Riki.

"Istri saya di dalamkan, Ki?"

"Iya, Tuan."

Tanpa banyak bicara lagi, Iqbal langsung berlalu ke dalam. Ia tak pedulikan teriakan Siska di luar sana yang memprotes,

"Seharusnya kamu cegah dia, Ki!"

Iqbal menutup pintu dan masuk lebih dalam. Ia menahan napas saat matanya mendapati sosok istrinya yang tengah terbaring lemah di atas ranjang dengan tangan yang tengah disuntik seorang perawat perempuan. Nayla dalam kondisi sadar. Tetapi, wajahnya terlalu pucat untuk dikatakan baik-baik saja.

"Setelah ini, jangan lupa untuk makan, ya? Kamu harus selalu sehat, oke?"

"Baik, Dok. Terima kasih."

"Kalau begitu kami permisi. Selamat beristirahat," ucap Sang Dokter. Lantas membalikkan tubuh, berniat hengkang dari kamar pasiennya. Akan tetapi ia terhenti saat mendengar pertanyaan Iqbal.

"Apa yang terjadi pada istri saya, Dok?"

Nayla lantas tercengang ketika mengetahui kehadiran Iqbal. Desiran itu terasa di lubuk hatinya.

"Mas?" panggilnya dengan suara serak.

Iqbal sempat meliriknya sekilas sebelum menatap kembali sosok Dokter di depannya.

"Anda suaminya?"

"Ya, Dok."

"Beliau hanya mengalami kelelahan karena jarang mendapatkan asupan gizi. Istri Anda bilang, itu karena akhir-akhir ini nafsu makannya hilang akibat mual," ucap Sang Dokter sambil tersenyum. Kemudian ia melanjutkan,

"Selamat, Pak! Istri Anda hamil dan saat ini usia kandungannya baru jalan seminggu lebih. Dan saya sarankan pada Bapak untuk memeriksakan kehamilan istri Anda sebulan sekali."

Deg!

Iqbal bergeming. Di detik itu juga ia merasa waktu seolah berhenti berjalan.

"Istrinya tolong diperhatikan lebih teliti lagi ya Pak, kalau begitu saya permisi."

Iqbal bergeming. Dokter berserta perawat yang mendampinginya pun hengkang dari ruangan. Nayla menahan napas tatkala netranya saling bertemu dengan manik Iqbal. Sosok yang sudah lama ia rindukan kehadirannya. Nayla menatap Iqbal sendu. Ia memanggil lirih Sang suami.

"Mas ..."

Seperti ada magnet yang menariknya, Iqbal melangkah cepat mendekati Nayla. Laki-laki itu meraih tangan istrinya, menggenggamnya erat seolah tak ingin Nayla pergi. Seakan-akan dirinya juga ingin memastikan bahwa ini kenyataan! Bukan sekedar mimpi.

"Mas tahu aku di sini dari si---"

"Apa itu benar?" tanya Iqbal penuh harap. Bahkan suaranya bergetar. Nayla mengerutkan dahi. Ia bertanya dengan polosnya,

"Apanya yang benar, Mas?"

Iqbal memandangi Nayla nanar.

"Kamu ... hamil?"

Hening. Iqbal menunggu dengan gelisah. Laki-laki itu memejamkan matanya saat Nayla menjawab lewat anggukan dan satu kata,

"Iya."

Iqbal sontak menarik Nayla ke dalam pelukannya dan langsung melafalkan permohonan maaf dengan lirih dan penuh penyesalan di dalam nadanya.

"Maafkan saya. Maafkan Mas karena sudah menghilang. Maaf karena saya pergi di saat kamu justru membutuhkan saya. Maafkan Mas, sayang. Maaf---"

"Mas," potong Nayla. Ia balas mendekap Iqbal.

"Aku gak pernah marah sama Mas. Jangan lagi meminta maaf. Justru aku yang seharusnya bilang begitu. Aku sudah membuat Mas marah karena kecerobohan aku saat di hotel it---"

"Tidak!" sela Iqbal. Ia melepaskan pelukannya.

"Saya sudah mengetahuinya. Kamu sama sekali gak bersalah! Maaf karena saya sudah menuduh kamu yang tidak-tidak dan maaf karena gak ngasih kamu waktu untuk menjelaskan semuanya."

Mata Nayla berkaca-kaca. Jadi, semuanya sudah terbongkar? Kebohongan itu? Nayla terharu. Ia tiada henti mengucapkan rasa syukur di dalam hatinya. Akhirnya, saat-saat yang ia tunggu itu pun tiba.

"Alhamdulillah... Mas tahu dari mana? Jadi Mas sudah gak marah lagi sama aku, kan?"

Iqbal menggeleng. Ia menangkup wajah Nayla. Nayla tersenyum manis. Iqbal mengusapi pipi Nayla dengan jempolnya. Perlahan, Iqbal mendekatkan wajahnya ke Nayla. Ia hendak mencium bibir wanita itu, akan tetapi Nayla justru menahannya.

"Mas habis minum-minum lagi?"

Iqbal tertegun. Ia ingin menyangkal, tetapi Nayla lebih dulu bicara.

"Aku gak mau," kata Nayla. Ia mendorong pelan dada Iqbal agar menjauh. "Mas, di dalam Hadits Imam Syafi'i, dikatakan; 'ketika engkau sudah berada di jalan yang benar menuju Allah, maka berlarilah. Jika sulit bagimu, maka berlari kecillah. Jika kamu lelah, berjalanlah. Jika itu pun tidak mampu, merangkaklah. Namun, jangan pernah berbalik arah atau berhenti' ... tapi kenapa Mas malah berbalik lagi? Kenapa Mas?"

Iqbal tercekat.

"Sa-sayang ..."

"Mas," panggil Nayla. Air mata yang tidak dapat lagi dibendung, akhirnya menetes dari pelupuknya.

"Boleh aku bicara jujur saat ini mengenai Mas?"

Iqbal membisu. Nayla menarik napas.

"Mas... aku kecewa dengan kamu. Jadi aku mohon sama Mas. Untuk sekarang ini, tolong tinggalkan aku sendirian."

Iqbal membulatkan matanya.

"Pergi, Mas," ujar Nayla sembari membuang muka. Tangan Iqbal terkepal. Bukan karena ia emosi, melainkan karena dirinya berusaha menahan rasa sakit yang terasa menghunjam tepat di ulu hatinya.

Dia diusir? Oleh Nayla?

Iqbal baru ingin merespon bahwa dia sangat keberatan untuk mengiyakan permintaan Nayla. Akan tetapi, suara Siska yang terdengar, membuat ia mengubur niatnya dalam-dalam untuk tetap berada di samping Sang istri.

"Pergi, Kak! Aku sudah bilang, kan? Nay tidak butuh laki-laki seperti Kakak lagi!"


Continue Reading

You'll Also Like

21.7K 3.9K 3
[A DAN Z UNIVERSE] Dibaca berurutan: A dan Z, ATHARRAZKA, ATHARRAZKA 2: Aryan, ATHARRAZKA 3: Zyana. Zyana Falisha Atharrazka, anak perempuan semata w...
63K 2.9K 29
"Wanita itu suci, bagaikan sajadah. Karna, diatas wanita lah lelaki akan beribadah." Fatimah mengerutkan keningnya. "Maksudnya? Perempuan dijadikan s...
28.3K 169 13
Naya Intana Sofia, seorang wanita muda berusia 21 tahun, terjebak dalam pernikahan dengan seorang ceo terkenal dan tampan, Devano Aldebaran. Gadis it...
386K 21.9K 86
"Manusia saling bertemu bukan karena kebetulan, melainkan karena Allah lah yang mempertemukan." -Rashdan Zayyan Al-Fatih- "Hati yang memang ditakdirk...