Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.3M 265K 44.9K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 27 •

42.8K 5.2K 551
By AM_Sel

Vano melirik kedua orang yang berada tak jauh darinya duduk, dengan lekat. Suasana di antara mereka sedikit... tidak enak. Lara duduk di sebelah ranjang El, dengan punggung yang menyandar rileks, sementara El menatap wanita itu dengan sinis.

Setelah Vano merecokinya tadi, El akhirnya mau menerima 'tamu' yang ia usir secara 'halus' kemarin. Tangan kiri El menggenggam sebuah pulpen, di atas kedua pahanya ada sebuah buku. Dua benda itu, Lara yang memberikan tadi.

Saat El balas meliriknya, Vano langsung mengalihkan tatapannya ke novel yang sedang ia pangku. Ia sengaja duduk di dekat jendela untuk memberikan ruang pada kedua orang itu.

"Saya ngga bisa nulis pake tangan kiri," ujar El sambil mengalihkan tatapannya kembali ke Lara.

Lara menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Tersenyum tipis.

"Orly bilang kamu-"

"Tsk!" El berdecak. Memotong ucapan itu. Dalam hati ia menggerutu. Kedua manik birunya tetap mendelik sinis. Kenapa Orly malah memberitahunya?

"Jadi, ini tujuannya apa?" tanyanya dengan nada tak bersahabat.

Lara mengulum senyum, dan menegakkan tubuhnya. Ia menunjuk buku yang berada di paha El itu, "Ini, namanya buku kehidupan."

Dahi El mengerut. Buku kehidupan? Keterbalikan dari Death book kah? Apa wanita ini malaikat juga? Seperti Ryuu. Ah, tapi, Vano bisa melihatnya kok. Berarti dia beda spesies dari Ryuu.

"Untuk ngebuat buku ini 'bekerja', kamu harus nulis semua hal yang membuat kamu bahagia di buku ini. Ceritakan semuanya di sini," ujar Lara.

Hal yang... membuatnya bahagia?

El terdiam. Ia menatap Lara, lalu menatap buku bersampul putih polos itu. Dahinya mengerut. Hal bahagia seperti apa?

Pemuda itu beralih menatap Alvano, "Van!" panggilnya.

Alvano menoleh.

"Bantuin gue-"

"Ckckck," Lara menggerakkan telunjuknya ke kanan dan ke kiri, "Dia ngga bisa bantuin kamu."

"Kenapa?"

"Ini kebahagiaan kamu, Daniel. Hanya kamu yang tau, bagian mana aja yang ngebuat kamu bahagia. Saat-saat seperti apa, yang membuat kamu senang," ujar Lara.

"Kalo gitu, saya ngga bisa nulis apa-apa, karena saya ngga tau."

Lara tersenyum kecil, "Kamu tau. Kamu hanya harus sadar pada sekitar kamu. Ingat-ingat lagi, kejadian apa yang membuat hidup kamu menjadi lebih baik. Apa yang membuat kamu tersenyum. Renungkan, lalu tulis."

El tak membalas. Ia tetap menatap buku itu dengan dahi mengerut, "Seandainya, saya sudah menulis sesuatu di buku ini, lalu, gunanya untuk apa?"

Lara menatapnya lembut, lalu menggenggam tangan kiri El yang masih memegang pulpen, "Itu bagian terpentingnya. Suatu saat nanti, di saat kamu merasa bahwa kamu berada di titik paling bawah. Di saat kamu kehabisan alasan untuk berjuang menjalani hidup, baca buku ini."

El menatap wanita itu.

"..dan kamu akan temukan kembali alasanmu."

Manik sebiru langit cerah tanpa awan itu melebar. Sungguh, kah? Ia kembali menatap buku itu. Lara membuka sampulnya. Memperlihatkan halaman kosong yang siap untuk diisi.

"Renungkan, Daniel. Cari kebahagiaanmu, di dalam ingatanmu itu."

"Tapi, saya.."

"Kamu mungkin memiliki masa lalu yang sangat kelam. Tapi, diatas semua itu, pasti ada sesuatu yang membuat kamu bertahan sampai sekarang. Sesuatu yang tidak kamu sadari, dan kamu harus cari tau apa itu."

El tak membalas. Lara tersenyum kecil, lalu menepuk pelan pundaknya.

"Pelan-pelan saja, El. Tidak perlu terburu-buru. Kita memiliki banyak waktu."

El tetap tak membalas. Lara beranjak dari duduknya, lalu pamit undur diri. Vano ikut beranjak dari tempatnya tadi, dan mendekat ke mereka. Ia mewakili El untuk berterima kasih pada wanita itu, karena El tampaknya tidak akan mengucapkan hal tersebut.

Setelah meminta Lara untuk berhati-hati di jalan, dan wanita itu pun pergi, Vano mendudukkan dirinya di sebelah ranjang El. Bacaan barunya, ia tutup dan ia letakkan di atas meja. Piring yang berisikan potongan apel yang masih utuh, ia ambil.

"Apelnya dimakan, nih," ujar Vano menyodorkan piring tersebut.

El mengembuskan napasnya pelan. Ia menutup sampul buku itu dan meletakkannya beserta pulpen tadi di atas meja yang berada di samping ranjang. Lalu, mengambil sepotong apel.

Ia menatap potongan rapi itu.

"Van.." ia bergumam pelan.

"Ya?"

"Bahagia itu.. apa?"

Ah, dia baru sadar. Sejak dulu dia berkata bahwa ia tidak bahagia. Lalu, dia ingin merasa bahagia. Setelah itu, Vano bilang, dia akan membuatnya bahagia.

Tapi, El baru sadar. Dia sendiri bahkan tidak tau, bahagia itu apa? Definisinya seperti apa? Situasinya bagaimana?

Vano mengambil sepotong apel, dan menggigitnya. Dahi pemuda itu berkerut. Arti bahagia?

"Hmmm... Bahagia itu.. banyak artinya sebenernya," ujar Vano. Punggungnya menyandar. Dahi pemuda itu masih berkerut.

"Bahkan, mungkin, bagi tiap orang, definisi bahagia itu beda-beda."

El menatapnya, "Lalu, bahagia menurut lo itu apa?"

Vano tersenyum, "Banyak artinya, sih," ujarnya sambil tertawa pelan, "Menurut gue, bahagia adalah dimana gue bisa ngebanggain kedua orang tua gue. Bahagia adalah dimana gue bisa berada di dekat orang-orang yang gue sayangi. Bahagia adalah dimana gue, bisa ketemu sama lo. Bahagia adalah, dimana lo bisa bangun lagi dan ngobrol sama gue kek sekarang. Dan masih banyak definisi lagi."

El menggigit apelnya. Dia tidak mengerti. Apa ini artinya, dia harus memiliki definisi sendiri? Tapi, apa? Kenapa rumit sekali?

"Menurut lo... bahagia gue ini.. apa?" tanya El.

"Hmm... dari dasar aja. Gimana perasaan lo saat pertama kali ketemu sama Orly?"

Dahi El mengerut. Saat ketemu Orly? Gimana, ya?

"Orly sendiri, menurut lo gimana orangnya?" tanya Vano lagi.

"Orly? Dia.. baik. Dia mau mempekerjakan gue, dia mau nampung gue, dia mau ngegaji gue, dia mau bayarin gue sekolah.."

"Dan yang lo rasain?"

El menatap Vano dengan dahi yang masih mengerut.

"Gue... bahagia..?" tanyanya tak yakin.

Vano tersenyum tipis, "Bahagia itu ngga perlu sesuatu yang 'wah' atau yang bagaimana. Bahagia itu simpel. Sederhana. Hanya bertemu dengan seseorang aja bisa ngebuat kita bahagia loh, El. Asalkan lo tau perasaan lo sendiri. Lo ngerti pada apa yang lo rasain. Dan yang paling penting dari bahagia adalah.."

Vano menggenggam pergelangan tangan El. Ia memajukan tubuhnya, "...lo harus bisa bersyukur. Kalo lo udah bisa ngelakuin itu, hal-hal terkecil sekali pun, bisa ngebuat lo bahagia."

Vano tersenyum lembut. Jantung El berdegup kencang. Ia mengerjap dan mengalihkan tatapannya.

Bersyukur? Dia harus mensyukuri apa? Bersyukur bahwa tangannya tinggal satu? Atau bersyukur karena hidupnya berantakan?

"Lo bersyukur ngga, karena udah ketemu sama Orly?" tanya Vano.

El menatapnya, "...bersyukur?" jawabnya tak yakin.

"Lo bersyukur ngga karena udah ketemu temen-temen kerja lo yang baik-baik?"

"Lo bersyukur ngga, bisa ketemu sama Poppy dan akhirnya dia jadi temen di apartemen lo?"

"Lo bersyukur ngga ketemu sama Bara?"

"Lo bersyukur ngga, bisa hidup sampe sekarang?"

"Lo bersyukur ngga, bisa ketemu sama gue?"

"Lo ber-"

El menutup mulut itu dengan tangan kirinya, "Stop."

Vano memegang tangan itu dan menjauhkannya dari bibirnya, "Masih banyak hal yang harus lo syukuri kan, El?"

El terdiam.

"Kuncinya hanya itu. Kalo lo udah bisa bersyukur, lo bisa bahagia."

Bersyukur? Apa iya? El mengambil sepotong apel lagi, dan menggigitnya.

Vano mengusap rambut kecokelatan itu dengan lembut dan menyodorkan piring berisi potongan apel tadi, "Makan yang banyak."

"Mau pulang," ujar El pelan.

"Iya, ntar gue tanyain ya, lo bisa pulangnya kapan."

"Apartemen gue siapa yang beresin selama gue ngga ada?"

Vano mengerjap, "Eerrr.. Orly..."

"....mungkin," bisiknya melanjutkan.

Vano tidak pernah ke apartemen El lagi semenjak kejadian itu. Terakhir kali ke sana, saat dia mau mengambil Poppy. Setelah itu, tidak pernah lagi.

El mengambil potongan apel lagi, dan memakannya.

Vano mengambil ponselnya yang bergetar. Ibunya menelepon.

"Iya, bu?" ujar Vano begitu menerima telepon tersebut.

'Kamu di mana?'

"Di rumah sakit."

Vano mengulum senyum, saat melihat El yang kembali memasukkan potongan apel itu ke mulutnya. Membuat pipi pemuda itu menggembung karena penuh.

'Bagus. Ibu juga di rumah sakit. Niatnya mau jenguk temen kamu itu loh. Udah sadar kan dia?'

Dahi Vano mengerut bingung, "Udah."

'Jemput Ibu ke sini, gih. Ibu ngga tau kamarnya di mana.'

"Ibu di mana?"

'Di lobby.'

"Oke. Vano ke sana."

Sambungan itu pun ia putuskan. Ia menepuk pelan punggung El yang terbatuk karena tersedak. Lalu, memberikan air putih ke pemuda itu.

"Pelan-pelan makannya. Masih banyak kok. Tinggal dipotong aja," ujar Vano sambil mengusap punggung kurus itu.

El tak menanggapi. Sibuk meminum air putih yang diberi padanya. Wajahnya memerah dengan mata yang sedikit mengeluarkan air.

"Ngomong-ngomong, nyokap gue dateng buat jenguk lo."

"Uhuk! Uhuk!"

"Kan gue udah bilang, pelan-pelan," gerutu Vano. Terus mengusap punggung itu.

El memberikan gelas yang isinya masih setengah ke Vano. Lalu, berdehem.

"Nyokap lo? Ngapain?" tanya El dengan dahi mengerut.

"Ya ngejenguk."

"Maksud gue, kami bahkan ngga saling kenal. Pernah ketemu aja enggak. Nanyain kabar pun engga juga."

"Ya terus? Emang salah, kalo nyokap gue mau jenguk lo?" tanya Vano.

El diam sejenak, "Ya.. ya enggak sih.."

"Ya udah. Gue jemput nyokap dulu, ya. Udah di lobby, sih. Jadi, ngga bakal lama," ujar Vano. Ia menyempatkan diri untuk mengusap rambut cokelat itu sebentar, baru pergi dari sana.

El mengerjap. Jantungnya berdebar. Nyokap Vano mau datang. Ibunya. Ibu.

Ibunya Vano seperti apa orangnya? Seperti... Gyatri, kah? Atau seperti... Mama?

Yang mana? Atau jangan-jangan, dia bertingkah baik di depan Vano, tapi saat pemuda itu tidak ada, El akan dijahati?

Ah, tidak! Tidak! Tidak mungkin! Vano kan baik, pasti Ibunya baik juga. Bahkan, beliau menyempatkan diri untuk menjenguknya.

Lalu, El harus bersikap seperti apa? Diam saja, kah? Tersenyum terus seperti orang bodoh, kah? Atau bagaimana?

Kenapa pula wanita itu harus menjenguknya?

El mengambil potongan apel terakhir, dan menggigitnya dengan khawatir.

Bagaimana ini? Dia tidak pernah berurusan lagi dengan wanita berstatus seorang 'Ibu' sejak lama. Apa yang harus dia lakukan?

Dan kepergian Vano sungguh tidak lama. Beberapa menit kemudian, pemuda itu sudah kembali. Membawa seorang wanita paruh baya dengan rambut sebahu dan wajah yang segar.

"Permisi," ujar wanita itu.

El sungguh tidak tau harus apa. Ia menelan ludah. Vano tersenyum.

"Ah, lo mau apel lagi?" tanya Vano saat melihat piring yang berisi potongan apel tadi sudah kosong.

El mengangguk. Ia mengalihkan tatapannya ke arah wanita yang tengah menatapnya itu.

"Kamu kurus sekali," ujar wanita itu khawatir. Lalu, ia menatap Alvano, "Temen kamu ini ngga makan dengan bener ya?"

"Tapi, kamu makan obat dengan teratur, kan?" tanya wanita itu lagi.

El mengerjap, "Erm.."

"Dia ngga makan obat," jawab Vano. Kedua tangannya sibuk memotong apel merah untuk El tak jauh dari mereka.

"Loh, kenapa?!"

"Dia baru bangun, Bu. Masih rewel sama begituan."

El mendelik. Memangnya dia anak kecil pakai rewel segala?!

"Kalo kamu ngga makan obat, ntar ngga sembuh-sembuh, loh. Nanti susah keluar rumah sakit. Kamu juga ngga diinfus? Kenapa?"

El mengusap tengkuknya, "Erm.."

Kalo saja, ini Vano yang bicara, pasti sudah El suruh diam karena terlalu kepo.

"Nanti obatnya dimakan ya, Nak."

Dada El terasa menghangat. Nak? Dan ia mengangguk secara refleks.

"Kamu tinggal sama siapa?"

"Saya tinggal sendiri, Tante."

Tangan lembut wanita itu, menyentuh rambut kecokelatannya.

"Kalo kamu udah keluar dari rumah sakit, kamu tinggal sama kami aja, mau?"

Dan El sama sekali tidak menyangka akan diberi pertanyaan seperti itu.

Tbc.

Heeiii!! Saya dapet fanart lagiiiii!!

Bahagianya saya :')

Kalian mau buang-buang waktu untuk gambarin karakter dari cerita ini:')

Terima kasih banyak ya!!

Kali ini dari pacar baru saya;) @meaniecouple057

Kenapa kalian pada bisa gambar sih?:')

Kenapa saya ngga bisa? KENAPA?!

Ya sudah lah 😔

Terima kasih banyak, ya, pacar! 💞💞💞😘

Saya terharu:')

Btw, saya hampir ditinggal pesawat karena ngetik chap ini masa:")*curhat

Continue Reading

You'll Also Like

542 521 13
Disebuah desa, lebih tepatnya desa Sariwangi. Hiduplah seorang gadis cantik bernama Bianca Madeline. Bianca hidup bersama sang Nenek yang sudah renta...
615K 52K 23
Sequel : SINFUL Roda kehidupan semua makhluk hidup terus berputar, tidak terkecuali Gilbert dan An-Hee. Meski roda kehidupan berputar, dosa mereka ti...
964K 80.1K 43
Yesa yang memiliki kesabaran setipis tisu dan rega yang senang memancing amarah, 2 orang yang memiliki kepribadian yang saling bertentangan disatukan...
1.7M 78.9K 32
WARNING! 1. Cerita ini beralur manxman 2. PG[13] dan tak ada konten fisik yang terlalu eksplisit seperti ILUMRG 3. HOMOPHOBIC, MENJAUHLAH! 4. Bila An...