Backpacker In Love (COMPLETED)

By rahmifitria_

10.4K 607 14

Karin yang patah hati nekad pergi berlibur ala backpacker ke NTT. Sepanjang perjalanannya, Karin kerap menemu... More

Prolog
Lelaki & Komodo
Tiba-Tiba Liburan!
Perseteruan
Terjebak (1)
GERD
Bemo Lampu Sepuluh
Gagal Berangkat
Terjebak (2)
Kesepakatan
Pengagum Rahasia
Cemburu
Kelimutu
Lagi-lagi, Teledor!
Cecilia
Amanat Palsu
Rekonsiliasi
Menikung dari Belakang
Gundah-Gulana
Secangkir Kopi Bajawa
Gua Batu Cermin
Malaikat Pelindung
Sepucuk Surat
Cinta yang Baru
Bukan Cinta Lokasi
Epilog

Kenangan Mantan

323 23 0
By rahmifitria_

Alarm tubuh membangunkan Karin namun udara dingin yang menyergap membuatnya kembali bergelung masuk ke dalam selimut. Sepertinya hari masih terlampau pagi. Namun tiba-tiba Karin tersadar kalau ia harus berangkat pagi-pagi untuk melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo. Ia pun melempar selimut dan bangun kemudian dibukanya jendela kamar lebar-lebar. Di luar langit masih gelap dan udara teramat dingin. Sementara Shean tampak masih terbaring di tempat tidur meski sudah terjaga.

"Gimana keadaanmu?"

"Jauh lebih baik," jawab Shean. "Apa kamu dan Evan jadi berangkat ke Labuan Bajo?"

"Iya, tapi kami mau mampir dulu ke Kampung Bena."

"Gimana hubungan kalian sekarang?"

"Kami udah berdamai," jawab Karin tersenyum lebar. "Ternyata betul kata kamu, dia itu sebenarnya baik," imbuh Karin, masih tersenyum.

"Kamu suka sama Evan?"

"Heh?" Karin tertegun mendengar pertanyaan Shean. Aku menyukai Evan? Yang benar aja!

"Rin?"

Suara Shean membuyarkan lamunannya. "Aku nggak tahu, Shean," jawab Karin akhirnya.

"Coba jujur sama perasaanmu sendiri."

Karin terdiam sejenak lalu menjawab, "Mungkin iya."

"Tapi gimana dengan mantanmu itu? Dia ngajak balik, kan? Sepertinya kamu pun masih menyukainya."

Karin mendesah. Mengingat Arya membuat hatinya gundah.

"Urusan hati jangan gegabah memutuskan, lho, nanti nyesel."

"Menurutmu sebaiknya aku gimana?"

"Memangnya Evan udah nembak kamu?"

Karin tersipu malu. "Belum, sih."

"Kalau ambil keputusan jangan pakai asumsi. Kalau nggak yakin, mending jangan."

"Maksudmu aku sebaiknya memilih mantanku yang udah pasti?"

"Logikanya, sih, gitu. Kamu masih sayang, kan, sama dia?"

"Nggak tahu, tapi setiap kali memikirkan dia aku merasa sedih."

"Berarti kamu masih punya perasaan sama dia."

Karin termenung mencerna perkataan Shean. Apa iya aku masih mencintai Arya?

***

Karin tiba di lobby hotel lebih dulu bersama Shean, sementara para lelaki baru datang kemudian. Pagi ini mereka akan melanjutkan perjalanan masing-masing. Karin dan Evan menuju Labuan Bajo, sementara Dewo, Jaya dan Shean menuju Riung.

"Kalian akan mampir ke Mangeruda, kan?" tanya Karin pada Jaya.

"Belum tahu."

"Sebaiknya kalian mampir, kurasa itu bagus untuk mengobati kaki Shean."

Jaya terlihat mengangguk. Tiba-tiba ia mendekatkan wajahnya pada Karin dan berbisik, "Kalian berdua rukun-rukun, ya, seperti kemarin itu udah bagus," kata Jaya, mengedipkan sebelah matanya.

Karin cuma mencibir lalu meneruskan langkahnya tapi tiba-tiba tangannya ditarik dari belakang.

"Tunggu, Rin! Kamu mau aku kasih tahu satu rahasia?" tanya Jaya, wajahnya terlihat serius.

Karin menatap Jaya curiga. Apa lagi tipu muslihatnya sekarang? Karin sedang malas meladeni keisengan Jaya, sementara ketiga temannya yang lain dilihatnya sudah berjalan menuju jalan raya.

"Menurut analisaku, Evan naksir kamu."

Meski amat terkejut, Karin cepat menguasai diri dan berusaha terlihat tenang. "Kamu tahu dari mana?"

"Percaya sajalah kau pada Abang!" ujar Jaya tertawa keras. "Cinta itu nggak musti datang dari kutub yang sama, Rin. Asalkan ada perekatnya, dua kutub yang berbeda pun bisa menyatu."

Karin menatap Jaya dengan heran. "Barusan itu kamu yang ngomong?"

"Hahaha... Itu spirit perjuangan cintaku, Rin."

"Memangnya kamu lagi suka sama perempuan beda kutub?"

Jaya cuma nyengir lalu mengusap-usap kepalanya yang plontos. Alih-alih menjawab ia malah menggandeng lengan Karin menyusul teman-temannya yang lain. Di tepi jalan raya mereka pun berpisah.

"Kalian berdua hati-hati, ya! Jangan sering berantem, sing rukun," pesan Jaya.

"Siap!" Jawab Evan.

"Sampai jumpa, Rin, semoga lain waktu kita bisa backpackeran bareng lagi," kata Dewo menyalami Karin kemudian Evan. "Hati-hati, Bro."

"Kalian juga, ya." Evan merangkul Dewo lalu melambai ke arah Jaya dan Shean.

"Hati-hati, ya!" seru Shean, melambaikan tangannya.

Shean, Jaya dan Dewo rupanya mendapat angkutan lebih dulu. Dari kejauhan, Karin melihat Jaya menggandeng tangan Shean namun sedetik kemudian langsung ditepiskan. Apa perempuan beda kutub itu Shean?

Sepeninggal teman-temannya, Karin memikirkan kembali perkataan Jaya. Gimana dia bisa tahu? Jangan-jangan Evan sendiri yang bilang, tapi bisa jadi Jaya cuma ngarang.

Karin tersentak ketika tangannya tiba-tiba ditarik oleh Evan.

"Rin, ayo, itu angkutan kita!"

Karin terkejut melihat mobil angkutan yang akan mereka tumpangi. Ini, sih, bukan angkot tapi truk!

"Van, yakin kita mau naik angkutan barang? Memangnya di sini nggak ada angkot, ya?"

"Ini angkotnya, Rin, namanya oto. Ayo, cepat naik!"

Karin harus memanjat naik untuk bisa masuk ke dalam oto. Ia tersenyum kecut ketika mendengar suara musik berdentum-dentum dari dalam mobil. Persis seperti pengalamannya naik bemo di Kupang. Tapi berbeda dengan bemo, interior di dalam mobil angkutan ini hanya ditata sekedarnya. Modifikasi hanya dilakukan pada bagian atap dan tambahan tempat duduk penumpang di bagian belakang, berupa kayu panjang yang ditaruh berhadapan.

Karin menikmati perjalanannya melintasi Bajawa, menyusuri lereng Gunung Inerie yang rimbun dengan pepohonan di sisi barat dan berhektar-hektar perkebunan kopi di sisi selatan. Ia spontan merapatkan jaketnya ketika udara dingin Bajawa yang bercampur dengan angin pegunungan bertiup kencang. Diliriknya sopir di depan yang tampak tak terganggu, padahal kaca jendela mobil terbuka lebar dan ia hanya mengenakan sehelai kaus tipis tanpa lengan.

Ketika mereka sampai pada sebuah jalan menurun, dari balik tebing, munculah pemandangan Kampung Bena dari ketinggian. Deretan rumah beratap ilalang tampak tertata rapi membentuk formasi memanjang dengan pepohonan rimbun yang memagarinya.

"Lihat, itu Bena!"

Karin menjulurkan kepalanya ke luar dan menatap pemandangan di hadapannya nyaris tak berkedip. Ia tak mau kehilangan momen berharga ini. Ia menoleh pada Evan untuk melihat reaksinya tapi ia malah mendapati lelaki itu sedang memandanginya.

"Bagus banget, ya?"

Evan tampak tersenyum dan mengangguk lalu ikut melempar pandangan ke arah Kampung Bena di kejauhan. Pada sebuah lereng, mobil truk yang mereka tumpangi menikung ke kiri dan pemandangan Kampung Bena pun menghilang dari pandangan.

Kini Karin sudah kembali duduk manis. Ia tersenyum dan menyimpan rekaman pemandangan tadi di otaknya. Kampung Bena yang eksotik dan tatapan Evan. Hei, kenapa tiba-tiba wajah Evan muncul di kepalaku? Tapi tatapan Evan tadi baru kali ini ia lihat. Tatapannya hangat, bukan dingin dan tak acuh. Ia menatap Evan, sebidang wajah dengan rahang yang kokoh dan hidung yang meruncing naik. Ada kerutan di dahinya, mungkin karena ia terlalu sering khawatir. Tak mau tertangkap basah, Karin pun buru-buru mengalihkan pandangannya.

"Rin, nanti kita nggak bisa lama-lama di sini. Jam sembilan kita udah harus berangkat lagi."

"Memangnya berapa lama perjalanan ke Labuan Bajo?"

"Sekitar delapan jam, kalau lancar."

Karin merasakan laju oto melambat. Ia melihat ke luar, rupanya mereka sudah sampai Kampung Bena. Keduanya kemudian melompat turun. Setelah membayar ongkos angkutan mereka mulai mendaki undakan anak tangga menuju Kampung Bena. Kampung adat ini letaknya lebih tinggi dari permukaan jalan, dikelilingi dinding batu yang sekaligus berfungsi sebagai pondasi.

Karin dan Evan kemudian berjalan menuju pos penjagaan dan mengisi buku tamu. Karin melihat nama-nama yang tertulis di sana, kebanyakan turis mancanegara yang berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Dilihatnya Evan memasukkan selembar uang berwarna merah ke dalam kotak kayu di atas meja. Ketika Karin ingin mengikuti, Evan mencegahnya.

"Itu tadi udah buat aku dan kamu."

"Biaya masuknya lima puluh ribu seorang, ya?"

"Bukan, ini donasi sukarela."

"Oh gitu. Thanks, ya!"

Keduanya kemudian melangkah memasuki perkampungan. Perasaan takjub langsung datang menyergap. Rasanya seperti dibawa mesin waktu memasuki zaman megalitikum! Di setiap penjuru, terlihat aneka perkakas dan bangunan dari batu, mulai dari yang berukuran kecil hingga luar biasa besar. Ada pula sejumlah kuburan batu alias dolmen dan menhir dalam berbagai bentuk dan ukuran yang terletak persis di tengah kampung. Karin dan Evan terus melangkah masuk. Sesekali mereka berpapasan dengan sejumlah warga yang tampak tersenyum dan menyapa dengan ramah. Ketika melewati sebuah rumah yang berandanya tampak ramai dengan aneka kain ikat warna-warni, Karin memutuskan mampir sedangkan Evan memilih menjelajahi area perkampungan.

Karin sedang mengobrol dengan ibu tua pemilik rumah ketika Evan datang menghampirinya.

"Kebetulan kamu datang. Fotoin aku dengan Mamak Irene, ya?" kata Karin sembari merangkul wanita tua di sebelahnya.

Evan tampak menjepretkan kameranya ke arah mereka beberapa kali dalam beberapa pose. Karin beranjak menghampiri Evan, penasaran ingin melihat hasilnya. Ia suka sekali melihat gambar Mamak Irene yang tersenyum lebar menampakkan deretan giginya yang kemerahan karena mengunyah sirih pinang.

"Kamu mau difoto juga, nggak?"

"Boleh."

Karin mengambil kamera dari tangan Evan dan memintanya berdiri di samping lembaran-lembaran kain ikat yang tersampir pada bilah batang bambu di beranda. Ia lantas menjepretkan kameranya beberapa kali sembari meminta Evan berganti posisi. Namun ia merasa ada yang kurang. Kemudian disambarnya sebuah syal berwarna biru dari tiang bambu lalu memasangkannya di leher Evan.

"Nah, ini baru keren!" ujar Karin sambil mematut-matut letak syal di leher Evan.

Ia mundur beberapa langkah kemudian menjepretkan kamera ke arah Evan yang tersenyum lebar.

"Gimana, Pak Fotografer?" tanya Karin sambil mengembalikan kamera pada Evan.

Evan tampak mengamati dengan serius foto-foto yang diambil Karin lalu mengangguk-angguk sambil tersenyum.

"Kenapa? Jelek, ya?"

"Nggak, justru bagus. Kamu ada bakat fotografi juga rupanya."

"Menurutmu mana yang paling bagus?" tanya Karin. Ia berdiri di samping Evan yang masih tampak serius mengamati foto hasil jepretannya.

"Aku suka semuanya."

"Kalau aku suka yang ini!" ujar Karin, menunjuk gambar Evan yang sedang tersenyum lebar mengenakan syal tenun ikat biru di lehernya.

"Iya, ini aku juga suka."

"Kamu kelihatan gembira banget di sini."

Karin baru menyadari betapa lepas senyum Evan dan betapa tampannya ia di foto itu.

Evan tertawa. "Aku jalan dulu, ya. Nanti kita ketemu lagi di pintu masuk jam sembilan. Oke?"

"Sip!"

Karin akhirnya berhasil menemukan kain ikat yang menurutnya cocok untuk Upi. Cocok di kantung dan cocok di hati. Ia juga membeli beberapa helai syal untuk oleh-oleh, termasuk syal berwarna biru yang tadi dipakai Evan. Sesudah itu, ia pun kembali meneruskan penjelajahannya.

Karin mengagumi rumah-rumah tradisional khas Flores yang berderet rapi di sepanjang jalan yang dilewatinya. Banyak ornamen dan benda unik yang dipasang di bagian depan rumah-rumah panggung beratap ilalang itu, salah satunya tengkorak-tengkorak kerbau yang diikat dan disusun bertumpuk pada dua bilah batang bambu.

Karin terus melangkah, mendaki jalanan berundak yang semakin ke belakang semakin naik. Ia melambaikan tangan pada segerombolan bocah yang sedang asyik bermain di atas bangunan kuburan di halaman depan sebuah rumah. Wajah mereka belepotan tanah. Anak-anak kecil itu tampak tertawa-tawa lalu balas melambai kepadanya. Ia terus berjalan hingga sampailah dia di sebuah pelataran yang cukup luas. Di sana terdapat dua bangunan kayu yang bentuknya menyerupai jamur. Bagian tudung alias atapnya terbuat dari ilalang dengan sebatang kayu penyangga di bagian tengah. Ia berjalan menuju salah satu bangunan tersebut namun bau anyir yang menyergap hidungnya membuatnya urung melangkah. Ia melihat ke sekeliling mencari sumber bau. Pada batang kayu penyangga bangunan tampak bekas darah segar yang menempel. Bau anyir semakin menusuk hidung dan membuatnya mual sehingga ia pun mundur pelan-pelan ke arah luar.

"Aaahhhh!" jerit Karin.

Tahu-tahu tubuhnya menabrak seseorang yang berdiri di belakangnya. Ia pun buru-buru membalikkan badan seraya meminta maaf. Nyalinya sedikit ciut melihat pemuda berperawakan tinggi besar di hadapannya kini.

"Selamat pagi. Saya Karin." Karin tersenyum, mengajak bersalaman. Dilihatnya pemuda gempal ini mengangguk lalu menyambut uluran tangannya.

"Tobias."

"Ini tempat apa? Kenapa ada bau tak enak di sekitar sini?" tanya Karin.

Pemuda itu tak menjawab cuma tersenyum sambil menatap Karin. Karin balas tersenyum sambil memandangi Tobias, menunggu jawaban. Tapi pemuda itu tetap diam. Jangan-jangan dia nggak ngerti Bahasa Indonesia.

"Apa Tobias bisa bicara Bahasa Indonesia?"

Pemuda itu lagi-lagi cuma tersenyum, mengangguk sopan pada Karin lalu melangkah pergi.

"Sampai jumpa, Tobias!" seru Karin, melambaikan tangan.

Pemuda itu tampak membalikkan badannya lalu balas melambaikan tangan. Kini Karin kembali sendirian. Ia masih penasaran tentang tempat ini tapi tak ada seorang pun tempat bertanya. Sampai ia melihat seorang pemuda datang menghampirinya.

"Halo," sapa Karin.

"Halo," jawab si pemuda ramah. "Lagi backpacker-an juga?"

Karin mengangguk. "Kamu tahu nggak ini tempat apa? Kok, ada bau anyir di sini?"

"Ini Nga'dhu, tempat mengikat kerbau pada saat upacara adat."

"Jadi itu bekas darah kerbau?" tanya Karin menunjuk bekas darah pada batang kayu.

Pemuda itu mengangguk. "Dua hari lalu ada pesta adat, warga di sini memotong dua ekor kerbau dan beberapa ekor babi. Batang kayu itu konon dulunya berwarna putih tapi berubah menghitam karena darah hewan kurban."

"Kalau batu-batu besar di sana untuk apa?"

"Itu untuk upacara adat juga. Menurut keyakinan penduduk setempat, kampung ini dibangun oleh seorang yang sakti. Dia yang membawa batu-batu besar itu ke sini."

"Eh, ngomong-ngomong nama kamu siapa?"

"Bagas."

"Karin."

"Kamu mau ikut aku melihat sumber air panas? Tempatnya nggak jauh dari sini."

"Boleh!" jawab Karin bersemangat. Namun mendadak ia teringat pesan Evan agar mereka berangkat pukul sembilan tepat. Karin melihat jam tangannya, sepertinya akan berisiko jika ia mampir ke sana. Akhirnya dengan berat hati ia pun mengurungkan niatnya.

"Kalau waktu kamu nggak banyak, setidaknya kamu harus melihat pemandangan di sisi selatan. Itu bagus banget!" Bagas menunjuk ke arah gugusan bukit nun jauh di sana.

"Oke. Aku pasti ke sana."

Keduanya kemudian berpisah dan melanjutkan perjalanan masing-masing.

Di dekat sebuah rumah adat, Karin menemukan Evan yang sedang asyik memotret. Lantaran tak mau mengganggu, ia duduk di sebuah batu besar sambil menunggu. Dipandanginya Evan dari kejauhan. Tiba-tiba Karin merasakan desiran halus dalam dadanya.

"Rin, sini!" seru Evan.

"Ada apa?" tanya Karin, ia pun menghampiri Evan.

"Coba kamu berdiri di sana."

"Kamu mau foto aku? Nggak mau, ah!"

"Udah sana, Rin!"

Akhirnya Karin pun menurut, berdiri persis di depan rumah adat. Beberapa saat kemudian, dilihatnya Evan tergopoh-gopoh berlari menghampirinya lalu berdiri di sampingnya.

"Senyum, Rin!" ujar Evan, melingkarkan tangannya ke pundak Karin.

Alih-alih tersenyum, Karin malah terbelalak karena kaget. "Evan!"

"Kita, kan, belum pernah foto bareng," ujar Evan santai sambil melihat hasil jepretan kameranya. "Hahaha... Ekspresi kamu lucu banget!"

Karin pun serta-merta menghambur ke arah Evan, "Mana? Coba aku lihat."

"Aduh, aku jelek banget!"

"Nggak. Cantik, kok." Evan nyengir. "Kamu lucu."

Karin merasakan wajahnya panas, ia bahkan tak sanggup memandang wajah Evan.

"Sekarang kita mau ke mana, nih?"

"Kamu masih mau cari sesuatu?"

"Nggak."

"Kalau gitu sebaiknya kita pergi sekarang."

"Eh, sebentar! Masih ada satu tempat lagi yang harus kita lihat."

"Ke mana?"

"Kamu ikut aja, deh!"

"Dijamin nggak nyasar?"

"Kalau itu aku belum tahu, tapi dijamin menyenangkan," kata Karin tertawa. "Ayo!"

Berbekal petunjuk dari Bagas, Karin berjalan memimpin menuju ke arah selatan, bagian paling ujung Kampung Bena. Ia mendongak. Dari tempatnya berdiri saat ini, daerah yang ia tuju tampak seperti bukit kecil. Karin pun makin penasaran dan mempercepat langkahnya naik.

"Ayo, Van!" seru Karin, melambaikan tangannya.

Keduanya lantas berjalan melewati sebatang pohon beringin yang rimbun kemudian menaiki undakan setinggi dua meter untuk sampai ke atas. Benar kata Bagas, pemandangan di atas sini memang mengagumkan!

"Karin! Hati-hati!"

Suara Evan mengejutkannya, membuat langkahnya terhenti. Karin baru menyadari kalau saat ini ia sedang berdiri di bibir tebing yang amat curam.

"Van, sini! Ini bagus banget!"

"Jangan berdiri terlalu ke pinggir nanti kamu jatuh!"

"Makanya kamu ke sini, jagain aku."

Karin tersenyum geli melihat Evan yang tampak setengah hati melangkah menghampirinya.

"Gimana? Kalau di sini masih aman, kan?" goda Karin.

Namun senyum Karin seketika menguap ketika tahu-tahu Evan meraih tangannya dan menggenggamnya amat erat. Mendadak Karin merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia bahkan tak lagi sepenuhnya bisa menikmati keindahan pemandangan alam di depannya kini.

"Gila! Ini memang keren!" seru Evan bersemangat. "Sebentar, Rin. Aku ambil gambar dulu, ya?"

Karin cuma mengangguk, jantungnya masih berdegup kencang lantaran genggaman tangan Evan yang walau cuma sekejap tapi masih menyisakan kehangatan di hatinya. Sepeninggal Evan, Karin baru benar-benar bisa menikmati keindahan panorama alam di ujung Kampung Bena ini. Laut lepas tampak terhampar membiru di sisi depan, gunung tinggi menjulang di sisi kanan dan deretan perbukitan menghijau terbentang di sisi kiri.

"Itu namanya Gunung Inerie," kata Evan menunjuk gunung di sisi kanan Karin. "Thanks, ya, Rin, udah ajak aku ke sini."

"Sama-sama," ujar Karin. "Ini bagus, kan, untuk nambah koleksi foto landscape kamu?"

"Tapi aku belum dapat foto sunrise dan sunset, nih," ujar Evan murung. "Niatnya waktu di Kelimutu dan Kupang tapi gagal."

"Mudah-mudahan di Labuan Bajo bisa dapat, ya," hibur Karin. Ia merapatkan jaketnya ketika hembusan angin pagi membuatnya sedikit menggigil.

"Kamu kedinginan?"

"Eh... Iya."

"Sayang kamu nggak boleh ngopi." Evan mengeluarkan termos dari tasnya lalu menuangkan isinya ke dalam tutup termos itu. "Coba aja sedikit, lumayan buat ngangetin badan."

Karin mengambil tutup termos berisi kopi panas dari tangan Evan lalu menyeruputnya perlahan.

"Gimana? Lebih enak?"

Karin mengangguk lalu bermaksud untuk menghabiskan semuanya.

"Eh, jangan banyak-banyak nanti penyakit kamu kambuh lagi!" Raut wajah Evan terlihat khawatir.

"Nggak, kok. Sepertinya lambungku tahu ini kopi enak, jadi dia nggak protes."

Evan tertawa lalu meminum beberapa teguk kopi langsung dari termos. Keduanya terdiam beberapa saat. Karin mengangsurkan tutup botol termos yang sudah kosong ke tangan Evan. "Nih, makasih, ya."

"Mau tambah?" Karin menggeleng. "Nggak berani."

"Bagus, kontrol diri itu penting." Evan tampak mengangguk-angguk setuju.

"Eh, udah hampir jam sembilan, nih!" seru Karin kaget. "Kita berangkat sekarang?"

"Ya, ampun! Aku sampai lupa waktu!"

"Aduh, bukan Evan banget, deh!"

"Bukan Karin banget juga!"

Keduanya tertawa kemudian bergegas turun untuk melanjutkan perjalanan menuju Labuan Bajo. Mereka sepakat menumpang mobil travel agar bisa sampai di Labuan Bajo sebelum malam. Naasnya, mobil travel yang mereka tumpangi ngetem cukup lama untuk menunggu penumpang.

"Gimana, nih?" tanya Karin.

"Kalau telat gini kita bisa-bisa sampai jam delapan atau sembilan malam."

"Nggak apa-apa, kan? Bukannya kita berangkat ke Pulau Komodo besok pagi?"

"Iya, cuma kita seharusnya booking kapal dulu hari ini. Apa boleh buat, ini saatnya kita mengandalkan keberuntungan kamu." Evan tersenyum, menjawil ujung hidung Karin.

Karin terkejut melihat perilaku Evan. Lelaki ini betul-betul berubah. Belakangan ia jadi mudah tersenyum dan tertawa, sekarang malah sudah mulai jahil.

"Kacau, udah lebih dari sejam, nih!"

Tiba-tiba dilihatnya Evan bangkit dari tempat duduknya dan bergegas turun meninggalkan Karin.

Karin menerka-nerka apa yang diperbuat Evan di dalam kantor agen perjalanan itu. Beberapa menit berselang, dilihatnya Evan kembali dengan muka tegang bersama seorang laki-laki paruh baya dan diikuti beberapa penumpang lain. Evan kini sudah duduk di sebelahnya, sementara lelaki paruh baya yang rupanya si sopir mobil travel tampak bersiap di depan kemudi.

"Kamu apain tadi sopirnya?"

"Aku nasehatin."

"Nasehatinnya sambil gebrak meja, ya?"

Dilihatnya Evan cuma nyengir.

Mobil mereka melaju, lumayan ngebut, melewati jalan beraspal yang cukup lebar dan mulus. Namun di tengah perjalanan, Karin merasakan guncangan dan mobil pun melambat. Rupanya ada bekas longsor. Sepertinya belum lama karena ia melihat masih banyak sisa tanah dan bebatuan yang berserakan di pinggir jalan. Mobil kembali melaju melanjutkan setengah sisa perjalanan mereka. Karin merasakan matanya mulai berat dan ia pun tertidur.

Ia baru terbangun ketika Evan mengguncang-guncang tubuhnya saat mereka memasuki Ruteng untuk beristirahat dan makan siang. Dengan bersemangat Karin melompat turun dari mobil. Setelah perut kenyang terisi, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Evan mengingatkannya untuk membeli roti atau biskuit untuk perbekalan di jalan karena mereka akan berjalan non-stop selama beberapa jam menuju Labuan Bajo.

Dengan perut yang telah terisi, Karin merasakan badannya lebih segar. Dilihatnya para penumpang lain yang sudah tertidur pulas. Begitu pun Evan yang duduk di sebelahnya. Ia menengok ke luar jendela, pemandangan hamparan hutan, pegunungan, persawahan dan lautan muncul silih berganti. Sementara matahari terlihat mulai kembali ke peraduannya, membiaskan sinar berwarna jingga dari balik pepohonan. Ketika hari semakin gelap, ia pun akhirnya tertidur.

"Rin, bangun. Kita hampir sampai."

Karin terbangun. "Ini Labuan Bajo?"

"Iya. Kita langsung ke penginapan aja, besok baru cari kapal."

Mereka pun meminta diturunkan di hotel yang tak jauh dari Pantai Pede, Labuan Bajo. Dalam keadaan setengah mengantuk, Karin menurunkan barang-barangnya lalu mengikuti Evan masuk ke dalam hotel. Selesai urusan administrasi, mereka pun menuju ke kamar masing-masing dan janji bertemu pukul setengah enam besok pagi.

Continue Reading

You'll Also Like

5.5M 291K 56
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
464K 3K 19
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
2M 152K 31
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
245K 757 9
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...