Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.4M 268K 45.1K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 26 •

43.7K 5.7K 1.4K
By AM_Sel

"Nama saya Lara. Saya teman Zhri-Orly. Nama kamu siapa?"

El menatap Vano yang duduk di kursi di dekatnya dalam diam. Sebelah alis Vano terangkat.

"Mau minum," ujar El pada pemuda besar itu. Vano mengerjap, lalu melirik wanita yang berbicara di dekatnya tadi. El benar-benar mengabaikan wanita itu.

Ia berdecak pelan dalam hati dan mengambilkan air putih untuk El terlebih dahulu, lalu setelah dirasa El memegang gelasnya dengan benar, Vano mengulurkan tangannya ke Lara.

"Saya Alvano," ujarnya memperkenalkan diri.

"Ah, saya Lara."

Dahi El mengerut. Ia menyesap air bening itu dalam diam. Setelah itu, mengulurkan gelas tadi ke Vano lagi.

Pemuda itu melepaskan tautan tangannya dengan Lara, dan mengambil gelas yang diulurkan oleh El.

"Ada yang bisa saya ban-"

"Gue mau liat novel yang lo bawa."

Ucapan Vano yang tertuju untuk Lara, dipotong oleh El. Vano mengerjap, lalu mengambil novelnya yang berada di atas meja, dan memberikannya ke El.

"Jadi, ada yang bisa saya ban-"

"Nih, ngga jadi. Ngga menarik."

Omongannya dipotong. Lagi. Dan demi apapun, El baru memegang buku itu. Vano yakin sekali, pemuda kecil itu bahkan tidak membaca judul bukunya.

"Seru kok. Coba aja baca."

"Ga mau."

Vano terdiam sejenak, lalu mengangguk, dan mengambil bukunya itu. Ia menatap Lara, dan tersenyum meminta maaf. Lara hanya menanggapinya dengan senyum kecil, seolah memahami keadaan yang sedang terjadi.

"Kalau saya boleh tau-"

Lengan bajunya ditarik pelan, "Ternyata langit-langit kamar ini bagus juga ya, Van."

Vano menatap bingung ke arah El yang sedang mendongak melihat langit-langit. Tidak ada yang menarik dari langit-langit itu. Catnya putih polos. Tidak ada apapun di sana. Jadi, apanya yang bagus?

"Iya, bagus," Tapi, ya tetap saja, Vano akan mengiyakan perkataan pemuda kecil itu.

Lara menggaruk lehernya sekali. Sangat paham, bahwa pemuda yang tengah menyandar di atas ranjang rumah sakit itu, tak menginginkan keberadaannya. Lara mengaku, dia memang bukanlah seorang psikolog yang handal. Dia baru memasuki dunia itu. Masih newbie. Tapi, ini semua untuk Orly. Lara tidak mau dicincang habis oleh pria itu hanya karena ia menolak untuk 'menyembuhkan' anak angkatnya.

Tidak, terima kasih.

Dia masih ingin hidup. Dia belum menikah dan punya anak.

"Sepertinya, saya datang disaat yang ngga tepat?" ujar Lara.

Vano menatapnya dengan tak enak hati, "Ah, enggak kok, El cuma-"

"Vano," si kecil itu menatapnya, "Dorabita atau Piglet the Pooh?"

Hah? Oke. El mulai konyol. Tapi, Vano senang, sih. Maksudnya, kapan lagi kan dia bertingkah seperti ini. Jadi, ya, nikmati saja.

"Pooh," jawab Vano sambil tersenyum kecil.

El mengangguk, "Pooh memang lucu dan menggemaskan, sih," gumamnya pelan.

Lo lebih menggemaskan, Alvano mengucapkan itu di dalam hati tentu saja.

Lara kembali menggaruk lehernya. Kenapa Orly memilihnya untuk melakukan ini, sih? Kenapa bukan psikolog berpengalaman yang pernah menangani El dulu? Kenapa harus dia yang newbie?

Dan juga, kenapa pula dia seperti melihat ada lope-lope beterbangan di antara kedua pemuda ini?!

Oke. Lara rasa, dia yang gila di sini. Sepertinya, dia memerlukan petuah-petuah dari Orly terlebih dahulu, baru bisa menghadapi pemuda kecil ini.

"Err.. saya harus pergi dulu," matanya melirik ke kanan, "Ada yang harus saya lakuin. Maaf, udah ganggu kalian," ujarnya.

Vano berdiri, "Ah, enggak. Kami yang harusnya minta maaf."

Lara tersenyum kikuk, "Permisi, dan ah! Saya rasa, saya akan datang lagi besok."

Tangan El kembali menarik-narik pelan ujung baju Alvano, "Van, bilangin suster yang jaga, besok gue ngga mau diganggu orang."

Vano melotot gemas pada El, "Apa sih, El!" serunya pelan. Lalu, tersenyum paksa ke Lara, "Iya, datang aja, gapapa."

El merengut.

Lara tertawa paksa, lalu undur diri, dan segera keluar sambil menghela napas. Orly yang memang sengaja menunggunya di luar, mengulum senyum.

"Gimana?" tanya Orly.

"Dia ngga ngomong sama gue, dia ngga ngeliat gue, dia ngga ngelirik gue. Gue dikacangin," ujar Lara.

Orly tergelak, "Dulu juga dia begitu. Lama-lama juga bakalan dinotis kok. Tenang aja."

"Oh iya!" Lara menatap Orly, "Ngomong-ngomong, Daniel nulis pake tangan apa?"

Dahi Orly mengerut, "Dia bisa pake dua-duanya. Jadi, kalo dia mau pake kiri, ya kiri. Kalo pengennya kanan, ya kanan."

Lara mengangguk paham. Keduanya berjalan menjauhi pintu kamar itu sambil sesekali berbicara mengenai El. Wanita itu harus menggali lebih dalam tentang pasien barunya tersebut.

"Lo ngga boleh gitu, El," ujar Vano pelan, "Jangan gitu lagi, ya."

"Gue ngga suka."

Vano menghela napas, "Ngga suka kenapa?"

"Dia psikolog."

"Terus?"

El menatap pemuda tinggi itu, "Gue ngga sakit."

Vano terdiam sejenak. Paham maksud El itu apa. Ia menggenggam tangan kiri itu, lalu tersenyum pelan, "Ngga semua orang yang dateng atau didatengin psikolog itu sakit, El," ujarnya mencoba untuk memberi pengertian.

"Gue ngga sakit," El seolah menegaskannya lagi.

"Iya, lo ngga sakit."

"Gue ngga suka."

"Iya."

Vano mengusap punggung tangan itu dengan sabar.

"Kenapa lo jatuh cinta ke gue?"

Pertanyaan itu muncul lagi. Vano mengangkat sebelah alisnya. Lalu, mengingat sesuatu.

"Nah, gue mau ngutip kalimat-kalimat dari buku yang lo bilang ngga menarik itu," Vano tersenyum, "Jika kita mengerti bahasa universal, bahasa Dunia, maka mudah bagi kita untuk memahami bahwa ada seseorang di dunia ini yang menanti-nantimu, entah di tengah padang gurun atau di kota besar. Dan saat dua orang ini bertemu dan mata mereka beradu pandang, masa lalu dan masa depan tidak lagi penting. Yang ada hanyalah saat ini, serta keyakinan yang amat sangat bahwa segala sesuatu di bawah matahari ini digoreskan oleh satu tangan yang sama. Tangan yang telah membangkitkan rasa cinta, menciptakan kembaran jiwa untuk setiap orang di dunia*."

El mengerjap. Sedikit takjub karena Vano hafal kalimat-kalimat panjang yang tak penting menurutnya itu.

"Intinya?"

Kedua mata Alvano memutar bosan, "Gue rasa lo takdir gue, El."

Sekarang, El yang memutar kedua matanya, "Sok tau."

Vano mengabaikan, "Pas pertama kalinya gue ngeliat lo, gue tau, lo itu... spesial. Lo bakalan jadi 'sesuatu' di hidup gue."

"Kalimat yang lo bilang tadi, 'saat dua orang ini bertemu dan mata mereka beradu pandang', tapi kita ngga beradu pandang, Van."

"Ya gue ngga peduli, yang penting gue ngerasa begitu."

El meliriknya sinis, lalu mencibirnya.

"Kalo lo ngga keberatan, gue lebih suka lo bertingkah kayak begini, El," ujar Vano.

Dahi El mengerut, "Maksudnya?"

Kedua tangan Vano beralih menangkup pipi tirus itu. Lalu, mendekatkan wajah mereka, "Lo ngga perlu mikirin hal-hal buruk yang terjadi di masa lalu. Kalo pun mau mikirin, jangan sampe masuk ke dalam hati. Mending mikirin gue aja," bisik Vano pelan, sambil tersenyum.

Wajah El refleks memanas. Vano terbengong saat melihat merah di wajah manis itu. Dengan segera, El mendorong tubuh itu, namun tubuhnya yang malah bergerak jatuh ke kanan. Vano dengan sigap menahannya.

"Jangan banyak gerak."

"Lo, sih!"

"Kok gue?"

"Jangan sentuh-sentuh!" El menepis tangan Vano.

Kedua alis Vano naik, "Lo mau dipeluk?"

El kan ngga suka disentuh. Sukanya dipeluk.

Tapi, pemuda kecil itu memelototinya dengan tidak setuju. Namun, Vano tak peduli. Keras kepalanya ini yang berhasil menuntunnya mendekati pemuda tersebut. Ia beranjak dan melingkarkan kedua tangannya pada tubuh kurus itu. Vano meringis pelan saat merasakan tonjolan tulang secara samar.

"Lo harus makan banyak, El. Gue ngga bohong," ujar Vano. Di kepalanya, ia mulai mencatat makanan apa saja yang akan ia jejalkan pada pemuda kecil ini. Oh, dia harus meminta vitamin juga di apotek ibunya.

El tak membalas. Hanya menyamankan kepalanya di bahu tegap itu. Tangan kirinya balas merengkuh.

"Berapa lama gue tidur?" tanyanya pelan.

"Sebulan lebih. Dari gue belum ulangan, terus ulangan, terus classmeeting, terus bagi rapor, dan sekarang liburan. Kebo emang lo, dasar."

El kembali diam. Ia memejamkan kedua matanya, dan mencium bau Alvano.

"Kenapa lo baik, Van?"

Vano mengulum senyum dan mengelus pelan belakang kepala itu, "Gue ngga baik. Gue juga bisa jahat."

"Kenapa ngga jahat ke gue?"

"Kenapa gue harus jahat ke lo?"

El mengangkat wajahnya dan menatap mata itu, "Karena gue menjijikan?"

"Kalo lo menjijikan, berarti gue lebih menjijikan."

El terdiam sejenak, lalu kembali bertanya, "Kenapa lo ngerendahin diri?"

"Gue enggak. Itu kenyataannya."

El menatap Vano dengan lekat. Menatap kedua matanya, berpindah ke hidungnya, lalu ke bibirnya. Setelah itu, kembali ke mata.

Di dalam mimpinya sekali pun, El tak pernah berharap bisa mendapatkan seseorang seperti ini. Terlalu mustahil, dan dia juga tidak suka berharap yang muluk-muluk.

"Gue mau pulang," gumam El pelan.

"Kalo lo udah stabil, lo baru boleh pulang."

"Jangan tinggalin gue?"

Pertanyaan itu lagi.

"Ngga akan."

Dan jawabannya tak akan berubah.

"Jangan pergi."

Vano tertawa pelan, "Gue mau pergi ke mana memangnya? Gue udah terlalu nyaman di sini. Di samping lo. Rumah gue."

El tak mengerti. Mengapa jantungnya berdebar kencang mendengar kata-kata itu. Seperti ada sesuatu yang membuncah di dadanya. Tangan kirinya menarik tengkuk Vano. Lalu, tanpa sadar, menyatukan bibir keduanya.

Waktu seolah berhenti.

Vano melebarkan kedua matanya. Kaget. Lalu, saat bibir mereka terpisah, setetes air mata menuruni pipi El.

"Apa gue boleh bahagia?"

Vano menatap kedua mata itu dengan lekat, "Boleh."

"Buat gue bahagia?"

Kepala itu mengangguk, "Ya. Gue akan."

Tbc.

*Sang Alkemis (Paulo Coelho) : halaman 122-123

Hei kaliaaaaaann!!

Saya mau pamer nih.
Saya dikirim fanart sama salah satu dari kalian. Dari @RikeSouwandi

Dia gambarin si El masa :') baper saya tuh

Nih! Nih! Liat!

Bagus banget, ya Tuhan :')

Terharu saya tuh :')

Jadi, berasa kayak author-author beken di luar sana itu loh.. yang dapet fanart dari readers nyaaa... Wkwkwk

Ya ampun, terima kasih banget loh kamuuu ❤

Saya suka! Saya suka!

Wkwkwk.

Mau pamer itu aja. Makasih 😋

Continue Reading

You'll Also Like

KAPTEN ✔ By EL

Teen Fiction

1M 81.6K 34
[ Squel Sohib ] [GEN 2] N. Bisa baca sohib dulu. ⚠️Mpreg Belum Revisi! Tidak bertemu selama 14 tahun lamanya membuat Samudra canggung. Angkasa Ghav...
1.3M 108K 51
Ini sepenggal kisah tentang Owen dan Raksa yang dulunya adalah musuh lalu sekarang malah menjadi? _____________________________ HOMO♨️ LOKAL♨️ NON-BA...
3.8K 338 33
Freyandra Gerald sandova seorang anak SMA yang nakal serta mempunyai gelar ketua mafia dan dipertemukan dengan gadis SMA yang baik dan cantik, hal i...
213K 23.8K 20
"Di sini kost khusus putra, kan? Kok lu ..." Wirga natap Nanjan dari ujung rambut sampai ke paha. Sampai ke paha aja karna abis itu Wirga buang muka...