Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.3M 265K 44.9K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 24 •

40K 5.2K 812
By AM_Sel

El belum bangun juga.

Alvano melipat kedua tangannya di samping kepala El, dan menatap wajah pucat itu dengan lekat.

Tak jauh darinya, Bara yang tengah duduk di dekat jendela, mendengus, "Mau lo pelototin sampe mata lo keluar pun, dia gabakal bangun, bego. Mending lo ajak dia ngomong daripada lo tatap aja," gerutu pemuda itu.

Vano mendelik, "Mau lo ngelamun sampe otak lo berdebu pun, lo gabakal dapet sekolah yang mau nerima lo. Mending lo rayu Om Raka dan minta home schooling."

Ya. Akhinya, SMA Bina Mulia ditutup. Maka dari itu, Bara kelimpungan mencari sekolah baru agar jalannya untuk mencapai cita-cita tercapai. Tapi, masalahnya, tidak ada sekolah yang mau menerima siswa dari Bina Mulia. Mereka sudah dipandang jelek terlebih dahulu karena reputasi sekolah mereka.

"Gue ngga mau home schooling," decak Bara.

"Daripada lo ngga sekolah? Pilih mana?"

Bara menghela napas, dan mengalihkan tatapannya ke luar jendela. Hujan turun. Ia kembali meratapi nasibnya yang tak secerah milik Alvano. Ah, tidak boleh! Dia tetap harus bersyukur karena setidaknya, nasibnya tidak sekelam milik....

..Daniel.

"Om Raka kapan mau kemari?" tanya Vano. Jemarinya memain-mainkan helaian rambut cokelat itu dengan pelan. Lalu, memperhatikan kulit El yang semakin pucat. Atau menyadari bulu mata El yang lumayan panjang.

"Gatau. Dia diem doang pas gue tanya."

Vano mengangguk. Ia berdiri, kakinya pegal karena terus bertumpu pada lututnya sedari tadi. Lalu, mulai merenggangkan tubuhnya.

"Kalo aja.."

Vano menoleh, menatap Bara yang bergumam.

"..El ngga bangun-bangun, gimana?" tanya pemuda itu.

"Gue bangunin paksa."

Bara mendengus, "Mana bisa, bego," gerutunya sambil menatap Vano.

Ekspresi pemuda tinggi itu berubah. Tak senang dengan pertanyaan Bara. Vano tau, semakin lama koma berlangsung, maka peluang sadar bagi penderitanya juga semakin tipis.

Bara menelan ludah, "Lo.. ngga tau lagu kesukaan El? Kalo ngga salah, gue pernah denger ada pasien yang bagun dari koma karena denger lagu kesukaannya."

Alvano menggeleng, "Ngga tau."

Dia mendudukkan dirinya dipinggir ranjang El. Menggenggam tangan kiri itu, dan mengusap punggung tangannya pelan.

Dia tak sabar untuk melihat kedua mata itu membuka. Vano rindu pada mata biru yang cantik itu, atau pada dengusan sinisnya, dan pada ucapan-ucapan kasarnya yang kadang membuat Vano tersinggung.

Bara beranjak dari duduknya, "Gue pulang duluan, deh."

Vano ikut berdiri, "Gue anter sampe depan."

Ujung jari Vano menggesek pelan pada permukaan tangan El.

"Gue anter si Bara dulu," pamit Vano. barulah ia mengikuti Bara yang sudah keluar dari ruangan itu terlebih dahulu. Dan matanya tak melihat kerutan pelan di dahi El, atau tangan El yang menggeser sedikit.

"Gue serius, lo harus home schooling," ujar Vano.

"Bawel."

"Emang lo ada rencana?"

Bara melotot, "Lo ngga bisa diem ya? Gue pandai nyari idup sendiri."

Vano berdecak, "Hidup kok dicari."

Pemuda mohawk itu menggerutu. Begitu sampai di pintu masuk rumah sakit, mereka berhenti. Hujan semakin menderas. Bara mengingat-ingat, apa dia bawa jas hujan atau tidak.

"Hati-hati bawa motornya. Atau lo pulangnya nanti aja, tunggu reda," ujar Vano.

"Hujan tuh kalo ditunggu, biasanya ngga reda-reda. Mending gue nerobos daripada ngga balik-balik."

"Hati-hati, Bar. Jalannya licin."

"Iya, tau gue."

Lalu, saat Bara melangkahkan kakinya, sebuah ambulans masuk ke halaman rumah sakit, dan berhenti di depan IGD. Kedua alis Bara naik ke atas.

"Apa tuh?" tanyanya.

Dahi Vano mengerut, "Ambulans."

"Ya, itu gue juga tau! Maksudnya-"

"Kecelakaan kali."

Mereka terdiam menatap para perawat yang mulai bergerak untuk mengeluarkan tubuh korban. Vano bersedekap dada, dan menatap Bara.

"Hati-hati. Jangan sampai, ada ambulans lagi masuk kemari, dan lo yang ada di dalamnya."

Bara mendelik sebal, "Kok lo makin kampret sih?! Doain gue selamat kek!"

"Kan gue bilang, lo yang ada di dalamnya, bukan lo yang jadi korban, eek," gerutu Vano.

Bara mencebik.

"Ya udah, sana! Gue mau nemenin El lagi."

Vano kembali melangkah masuk, meninggalkan Bara yang sedang misuh-misuh di luar.

Langkahnya pelan. Lalu, saat sampai, Vano segera masuk ke dalam dan menutup pintu ruang inap El. Ia menatap pemuda kecil yang asik tertidur itu dengan lembut. Kakinya melangkah mendekat, lalu menaikkan selimutnya. Di luar sana sedang hujan. Dia tidak ingin pemuda kecil ini kedinginan.

Setelah itu, Vano mengambil kursi yang tadi digunakan oleh Bara di dekat jendela, dan membawanya ke dekat ranjang. Ia mengambil buku yang belum selesai ia baca, dan duduk di kursi.

Sang Alkemis. Buku itu yang tengah Vano baca. Kaki kanannya menyilang di atas kaki kiri. Punggungnya menyandar dengan rileks. Kepalanya menunduk karena buku itu ia letakkan di atas pahanya.

Sesekali, bibir Vano menyungging seulas senyum tipis saat ditemukannya kalimat-kalimat yang penuh akan makna hidup.

Lalu, gerakan pelan dari jemari pemuda kecil yang berbaring di atas ranjang itu, langsung membuat perhatian Vano teralihkan.

Jantung Vano berdebar kencang. Kaki kanannya ia turunkan. Punggungnya menegak.

"El..?"

Buku itu ia tutup, dan ia letakkan di atas meja kecil yang berada di samping ranjang. Kedua matanya fokus menatap tubuh kurus di depannya itu. Namun, tak ada gerakan lagi.

Vano kecewa.

Ia mengambil tangan kiri itu, dan menggenggamnya lembut. Lalu, mengecup punggungnya pelan. Tangan kanan Vano beralih mengelus rambut itu. Bibirnya ia dekatkan ke telinga El.

"El.. lo denger gue?" bisiknya pelan, "Daniel, ini Alvano."

Tangan yang masih ia genggam itu, bergerak pelan. Merespon panggilannya. Tak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan ini, untuk Vano.

"El, ayo, bangun," ujarnya lagi. Mengelus rambut itu dengan lembut. Tangannya digenggam. El menggenggamnya.

"Daniel.." panggil Vano lagi, "..gue kangen."

Dan kedua kelopak mata itu, perlahan membuka.

Vano tersenyum bahagia. Ia mengambil napas dalam, dan segera menekan tombol nurse call yang berada di sisi ranjang. Keadaan El harus diperiksa.

Ia balas menggenggam lembut tangan itu, dan mengulum senyum bahagianya. Menatap manik yang sewarna dengan langit biru tanpa awan itu dengan penuh harap.

"...Kenapa.." suara seraknya terdengar lirih.

"Ya?" saut Vano penuh semangat.

Perlahan, manik biru itu bergulir ke arah Vano. Setetes air mata, turun dari ujung matanya.

"...Kenapa gue hidup?"

Senyuman Vano menghilang dalam sekejap. Hatinya seolah dicubit kuat oleh kalimat itu. Apalagi saat air mata El kembali turun.

Kenapa... dia hidup?

Tentu saja dia harus hidup!! Jika dia mati, Vano bagaimana?! Apalagi El bunuh diri di depan matanya sendiri! Apa pemuda itu juga ingin Vano menyusulnya?!

"El.. maksud lo.."

"Alvano... kenapa..?"

Tanpa dapat dicegah, setetes air mata ikut turun ke pipi Vano. Bibirnya bergetar pelan.

"..maafin gue. Gue tau, apa yang gue lakuin ini egois," bisik Vano pelan. Ia menelan ludah, dan menarik napas dengan menyakitkan, "Gue tau, lo ngga bahagia. Tapi, lo masih punya gue, El. Masih ada gue."

El seolah tak mendengarnya, karena ia tetap bertanya..

"...Kenapa?.."

Mempertanyakan kehidupannya. Mempertanyakan arti hidup yang telah diselamatkan ini.

"Daniel.." Vano melepaskan genggaman tangannya. Ia menyentuh pelan, pipi yang semakin tirus itu, "Untuk kali ini gue mohon sama lo. Kalo menurut lo, lo udah ngga ada artinya di dunia ini. Kalo menurut lo, lo ngga punya alasan untuk hidup lagi.."

Vano bisa mendengar derap langkah yang menuju ke arah ruang inap El.

"Untuk kesempatan kedua ini, jadiin gue sebagai alasan lo. Gue mohon. Demi gue, El, lo harus hidup."

Air mata itu, Vano usap. Bersamaan dengan terbukanya pintu ruang inap El. Vano berdiri dan memberi jarak agar Ayahnya-selaku Dokter yang bertanggung jawab-bisa memeriksa keadaan pemuda itu tanpa kendala.

El masih menatap Vano dengan lekat, lalu mengalihkan tatapannya ke arah si Dokter. Pria paruh baya itu mencoba tersenyum. Tangannya terulur untuk menyentuh kulit pucat itu. El melengos dan berniat menepis. Tapi, tangan kanannya tidak bergerak, sehingga Dokter itu bisa menyentuhnya.

El mengerjap. Mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya ke atas.

Si Dokter melirik Vano. Seolah memberi sinyal, bahwa El mulai sadar akan kondisi tubuhnya yang sudah tak sempurna.

El tercenung. Tangan kirinya meraba sisi kanan tubuhnya. Tak menemukan apapun. Lalu, saat bergerak semakin ke atas, ia hanya bisa menemukan lengannya yang tinggal separuh.

Napas El mulai tak teratur. Ini pasti hanya halusinasi. Ini pasti karena benturan di kepalanya. Tangannya masih lengkap. Ini hanya halusinasi. Tidak mungkin tangan kanannya buntung.

Vano mendekat, "El-"

Tidak mungkin. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Ini semua pasti kesalahan! Ini tidak mungkin terjadi!

El menatap Vano dengan takut. Tangan kirinya mencengkram sisa lengannya itu. Seolah mempertanyakan apa yang terjadi.

Vano menatapnya dengan begitu menyesal, "I'm sorry."

Maaf.

El mengerti maksudnya.

Ini nyata.

Dia cacat.

Dan pemuda bertubuh kecil itu berteriak. Ia menangis.

Vano mengetatkan rahang bawahnya.

Para perawat mulai menahan tubuh itu yang meliar. Salah satu dari mereka mengambil suntikan berisi obat penenang. El semakin menggila. Dia tidak mau disuntik.

Alvano tak tega.

"Ayah, jangan," bisik Vano pelan. Tangannya mengusap wajahnya kasar, lalu menarik perawat laki-laki yang berada di depannya agar melepaskan El.

Sang Dokter, segera memberi isyarat untuk tidak melakukan penyuntikan.

Vano memegang tubuh kecil itu. El memberontak. Tak peduli walaupun tubuhnya tak seimbang.

Vano cukup mengerti apa yang El butuhkan saat ini. El akan selalu menenang, jika Vano memeluknya. Jadi, kedua tangan Vano segera melingkari tubuh itu. Tak peduli biarpun tangan kiri El mencakarnya.

"Maafin gue," bisik Vano pelan. Ia sakit melihat El seperti ini.

Pemuda kecil itu tak memberontak seperti tadi. Tapi, tangisannya mengencang.

Vano bilang, jadikan dirinya sebagai alasan untuk hidup. Oke, El mungkin bisa melakukannya. Tapi, begitu sadar akan kondisi tubuhnya, pemuda ini ragu. Setidaknya, El ingin bersanding dengan Vano dalam keadaan pantas. Dengan fisik yang sempurna. Jika dia cacat seperti ini, bukankah hanya akan membuat Vano malu dan kesusahan?

Pemuda baik seperti Alvano pantas mendapatkan yang lebih dari dirinya.

Karena itulah tangisan El mengencang. Karena dia menangisi dirinya sendiri. Menangisi nasib yang begitu tak berpihak kepadanya.

Apakah ini bayaran agar dia mendapatkan kesempatan kedua?

Tangan kanannya harus dikorbankan agar ia tetap hidup.

Itukah harga yang harus ia beri?

"Maafin gue, El."

Semua ini salah dirinya sendiri. Bukan salah Vano. Ini salah El. Ini salahnya. Vano tak pantas untuk minta maaf.

El ingin sekali mengatakan itu. Namun, bibirnya seolah tak mau diajak berkompromi. Bibirnya hanya membuka untuk mengeluarkan suara tangis menyedihkan yang semakin membuat Vano sakit.

"Maafin gue."

Tbc.

Continue Reading

You'll Also Like

981K 74.7K 45
[TERBIT] [BAB MASIH LENGKAP] Axel dan Zio. Zio yang menjadi bahan bully oleh semua murid di sekolahnya terutama remaja lelaki bernama Axel. Dan Zio t...
10.1K 134 5
Warning 21+ Adult + Romantis Setelah ayahnya meninggal bertahun-tahun yang lalu, ibunya Alina menikah lagi dengan pria kaya raya membuat kehidupan Al...
475K 51.5K 17
Renaro Bramansyah kena dare buat naklukin cowok aseksual super cuek yang ngebetein abis di kelasnya. Yah, lantaran kalo dia kalah predikat playboynya...
61.7K 7.1K 38
Ketika kita sadar bahwa kita hanyalah serpihan kecil di antara semesta. Namun pertemuan dengan jiwa-jiwa yang saling mencari sembuh, membuat sadar ak...