Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.3M 265K 44.9K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 23 •

40.5K 5.1K 1K
By AM_Sel

Alvano mulai sekolah lagi semenjak ia pulang ke rumah. Ulangan Akhir Semester sudah menantinya. Jadi, dia harus mengejar tugas-tugasnya yang tertinggal karena lama tak sekolah.

Sekarang dia punya aktivitas baru. Sepulang sekolah, dia akan mampir ke rumah sakit untuk menemani El hingga menjelang maghrib. Apa saja ia lakukan di sana. Entah sekalian mengerjakan pr, atau hanya sekedar duduk sambil menatap El yang masih setia tidur, atau menghafal sesuatu.

Otaknya tak bisa ia ajak istirahat.

Dengan masih terbalutkan baju sekolahnya, Vano kembali menjenguk El. Biarpun belum ada tanda-tanda bahwa pemuda manis itu akan bangun, Vano tetap menunggunya dengan setia.

Ia mendudukkan dirinya di pinggir ranjang El. Kedua matanya menatap raut damai itu dengan lembut. Ia menggenggam pelan tangan kiri El. Mengusap punggung tangannya dengan sayang.

"Hari ini gue UAS, El," ujar Vano pelan, "berhubung gue pintar, jadi gue bisa ngerjain semuanya," lalu, Vano tertawa pelan, "kalo aja lo bangun, lo pasti sinisin gue karena ucapan narsis gue tadi."

Genggamannya ia lepas, lalu menyentuh pipi tirus itu, "cepet bangun. Lo ngga kangen galakin gue?"

Hanya hembusan napas teratur yang terdengar. Kedua mata itu masih setia tertutup entah sampai kapan. Alvano tersenyum miris.

"Kalo lo cepet bangun, bakal gue peluk sepuas lo. Gimana?"

Ia menyisir pelan poni El ke belakang. Lalu, membenarkan selimutnya. Setelah itu, menepuk-nepuk pelan perutnya. Ia tetap menatap El dengan penuh sayang. Lalu, merunduk dan mengecup keningnya dengan lembut.

"Gue sayang lo," bisiknya dan menatap El penuh cinta.

Tak sadar, bahwa kedua orang tuanya menatap perlakuannya itu sedari tadi lewat kaca yang berada di pintu.

Ayah menggenggam pelan tangan si Ibu. Menoleh untuk menatapnya lembut dan memaksakan sebuah senyuman.

"Kalo Alvano serius, dan sampai ke tahap lebih lanjut, kayaknya kita bakal sibuk untuk pulang-pergi luar negeri, ya?" ujar Sang Ayah dengan tawa pelan diujungnya. Tawa yang sama paksanya dengan senyuman yang ia buat.

Si Ibu menggigit bibir bawahnya. Menatap suaminya itu dengan berkaca-kaca. Lalu, membiarkan tetesan air matanya turun begitu saja.

"Sejak kapan?" tanyanya dengan suara bergetar.

Ayah menggeleng tanda tak tau. Tangannya melepas genggaman mereka, lalu merangkul bahu wanita yang mulai terisak itu. Mustahil mereka tidak kecewa.

Mustahil.

*****

Vano memasukkan motornya ke dalam garasi, lalu masuk ke rumah. Poppy menyambutnya di dekat pintu. Sama seperti yang ia lakukan saat di apartemen El. Vano segera menggendong kucing itu.

"Ah, udah pulang? Gimana ulangannya?" tanya Ibu yang langsung menyambut kedatangan Alvano.

"Baik," jawab Vano singkat. Dahinya mengerut melihat mata sembap wanita itu, "Ibu habis nangis? Kenapa?" tanyanya.

"Ah, ini, Ibu abis nonton film. Sedih deh filmnya, Mas," ujar Ibu berdusta.

"Film apa? Barat?"

"India."

Vano mendengus, "film India emang kalo sedih ngga tanggung tanggung, Bu."

"Iya kan? Sedih ibu tuh."

"Cuma film kok. Vano ke kamar dulu ya," ujar Vano.

"Iya, jangan lupa makan. Makanannya udah Ibu siapin di atas meja makan."

Vano hanya menyaut 'oke!' dan segera masuk ke kamarnya yang berada di dekat ruang makan.

Ibu menatap punggung tegap anaknya itu dalam diam. Merasa sesak di dadanya, namun tak melakukan apapun.

Alvano tetap mengunjungi El biarpun sedang musim ulangan. Ulangan tidak menjadi alasan bagi Vano untuk berhenti mengunjungi pemuda itu sejenak. Ia malah semakin lama berada di rumah sakit karena pulang awal.

Tak menyerah untuk mengajak pemuda kecil itu bicara. Terus setia menunggunya. Bahkan, saat class meeting ia pernah beberapa kali bolos untuk menemani El seharian. Padahal dia masih menjabat sebagai Ketua OSIS, dan saat class meeting itu, sekolah mereka mengadakan lomba-lomba.

Lalu, tak terasa, hari pembagian rapor tiba. Alvano datang bersama Ibunya, tapi mereka beda kendaraan karena sang Ibu setelah ini harus langsung pergi ke tempat kerjanya.

Wali kelas bercuap-cuap sejenak. Lagipula, ia tak perlu menunggu lama, karena namanya berada di urutan awal. Hanya harus menunggu tiga orang teman sekelasnya terlebih dahulu, baru namanya yang dipanggil.

Sang Ibu segera maju ke depan. Tersenyum tipis pada wali kelasnya itu. Berbicara sebentar hanya untuk sekadar bertanya perihal bagaimana sikap Alvano di sekolah, apakah ia bersosialisasi dengan baik, dan sebagainya. Lalu, menandatangani sesuatu sejenak, barulah keluar dari ruang kelas sambil melihat isi rapornya.

Senyuman lembut ia terima begitu sang Ibu berhenti tepat di depannya.

"Mau lihat?" tanya Ibu sambil menyodorkan buku nilai itu.

Alvano mengambilnya. Membuka buku tersebut dan membalik halamannya ke semester yang sekarang. Bibirnya ia tutup rapat. Berusaha untuk tidak berdecak saat melihat angka delapan puluh tiga untuk pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Pas KKM. Dan itu menyebalkan bagi Alvano.

Ia tidak mempedulikan angka satu yang tertulis di lembar sebelahnya untuk menunjukan peringkat. Itu tak berarti apa-apa bagi Vano, jika nilainya ada yang tidak sesuai keinginan. Sebut dia tidak bersyukur. Vano tak peduli. Untuk masalah pendidikan, ia ingin menjadi yang terbaik dari yang terbaik.

Biarpun dia sempat membolos selama beberapa hari-atau semingguan?-kemarin, tapi dia yakin bisa mengejar pelajaran yang tertinggal dengan otaknya ini.

"Kamu udah ngelakuin hal bagus, Nak," ujar Ibunya bangga.

Vano hanya menarik sudut bibirnya sedikit. Membentuk sebuah senyum tak ikhlas, dan memasukkan buku nilai tadi ke dalam tas yang ia bawa. Lihat saja nanti di semester depan! Dia akan balas dendam dengan pelajaran itu!

Mereka berjalan keluar dari bangunan bernama sekolah itu beriringan.

"Kamu mau langsung pulang?" tanya Ibu.

Vano menggeleng, "mau ke rumah sakit dulu."

Wanita itu hanya bisa menyaut canggung. Setelah sampai di parkiran, mereka berpisah. Ibunya pergi bekerja dengan mobil. Sementara Vano, akan ke rumah sakit dengan motornya. Arahnya pun berlawanan.

Alvano memutuskan untuk memotong jalan, dan jalan yang akan ia lalui ini berdekatan dengan sekolahnya El. Lalu, dia melihatnya.

Si berengsek Cakra.

Tengah berjalan seorang diri.

Motornya melambat. Genggaman tangan Vano pada stang motor mengerat. Apa dia tabrak saja pemuda itu? Lagipula, di sini sedang sepi. Kesempatanya.

Baru saja Vano ingin menaikan kecepatannya, sebuah mobil berwarna hitam, melewatinya dan menghalangi jalan Cakra. Dari dalam sana, dua orang pria bertubuh besar keluar dan menarik pemuda itu dengan kasar. Cakra memberontak tentu saja. Namun, ia tetap kalah. Kalah jumlah, dan kalah tenaga. Ia dimasukkan paksa ke dalam mobil, dan mobil itu segera melaju lagi.

Tunggu. Apa Cakra sedang diculik?!

Tanpa basa-basi, Vano langsung mengikuti mobil itu dari belakang.

Hah, si Cakar ayam itu banyak musuhnya ternyata!

Mobil itu melaju ke sebuah daerah pelosok. Sisi kiri dan kanan jalan adalah pohon-pohon. Jalannya juga jelek. Belum diaspal rapi.

Sejauh ini, Vano belum melihat satu pun rumah penduduk. Lalu, ia dituntun masuk lebih dalam. Di sana ada sebuah rumah. Hanya rumah kecil. Mobil itu berhenti di sana. Vano menghentikan motornya. Masih menjaga jarak di antara mereka.

Pintu mobil terbuka. Kedua pria tadi turun, dengan tubuh Cakra yang dipanggul. Dia tak bergerak. Setelah itu, hal yang tak Vano sangka adalah, Orly ikut turun dari mobil hitam tadi.

Apa-apaan?!

Pria berambut panjang itu memasukkan kedua tangannya di saku jaket. Kepalanya menoleh ke arah Vano, yang langsung membuat pemuda itu tersentak. Orly memberi isyarat. Vano mengerti, dan menghampiri pria itu. Ia menstandarkan motornya dan turun. Lalu, melepas helm.

"Kok tau kalo saya-"

"Saya kan tadi ngelewatin kamu. Terus, pas mobil saya berhenti juga saya ada liat kamu di situ. Ngikutin ternyata," ujar Orly, "ayo, masuk."

Vano mengangguk dan meletakkan helmnya di atas motor, lalu mengekori Orly. Hari ini, pria itu berbeda. Auranya lebih mencekam.

Isi rumah itu tidak ada kamar. Hanya sepetak ruangan saja. Seperti gudang. Dipenuhi banyak barang-barang juga. Lalu, Cakra duduk di tengahnya. Setengah berbaring, sebenarnya. Mata pemuda itu tak fokus. Kedua tangannya diikat. Sementara, pria-pria berbadan besar itu, berdiri di sudut ruangan.

Hanya dengan melihat pemuda itu, emosi Vano sudah tersulut. Dia tidak tau apa yang sudah Orly lakukan pada pemuda itu di dalam mobil tadi. Dia juga tidak peduli.

Orly meliriknya. Kedua tangan Vano mengepal.

"Saya kasi kamu kehormatan deh, Van!" ujar Orly santai. Ia berjalan menuju sebuah kotak kayu berukuran sedang, dan duduk di sana.

Kehormatan? Vano menatapnya tak mengerti.

"Kalo mau, pukul aja dia. Keluarin emosimu," ujar Orly lagi.

Vano menelan ludah. Boleh?

Orly menatapnya lurus, seolah mengijinkan.

Tanpa disuruh dua kali, Vano melepas tas yang sedari tadi ia panggul. Kaki panjangnya melangkah lebar menuju Cakra. Ia menarik kerah baju Cakra kasar.

Dia tidak peduli, jika pun orang akan mengatakannya pengecut karena menghajar orang lain yang sedang tak bisa bergerak. Orang ini jauh lebih pengecut lagi. Dia melukai Elnya. Memukulnya berulang kali. Menjatuhkan harga diri pemuda kecil itu. Membuatnya kehilangan lengan kanan. Cakra hampir membunuh El.

CAKRA HAMPIR MEMBUNUHNYA!

Vano segera melayangkan pukulannya pada pemuda itu. Bertubi-tubi. Sekuat tenaganya.

Dia melupakan gelar yang disematkan padanya sebagai 'anak baik-baik' di sekolah. Murid pintar, tak banyak tingkah, dan sopan. Persetan!

Alvano bahkan bisa lebih bar-bar daripada Damian yang katanya iblis sekolah mereka. Alvano bisa jauh lebih mengerikan dari adik kelasnya itu.

Cakra babak belur. Wajahnya membiru dan berdarah. Jemari-jemari Vano juga mulai memerah dan luka. Ia melempar tubuh itu ke dinding dengan kuat.

"Brengsek," bisiknya pelan dengan geram. Ia menarik ikatan tangan Cakra. Melepaskannya. Lalu, memijak lengan kanan pemuda itu. El kehilangan lengan kanannya. Maka, pemuda ini juga harus kehilangan bagian yang sama juga.

Orly hanya menatap dalam diam. Dia sadar sekali. Alvano murka. Pemuda baik hati itu buta akan amarah. Emosi yang sudah ia pendam sejak berminggu-minggu lalu, ia keluarkan sekarang.

Ah, bahaya sekali.

Orly segera berdiri. Menarik kerah baju bagian belakang Alvano dan menariknya kuat hingga pemuda itu terduduk. Lengan Cakra hampir hancur. Hampir.

Vano menatapnya penuh akan emosi. Tak terima dihentikan begitu saja. Dia harus membunuh bajingan itu. Dia harus memastikan tidak ada yang akan melukai Elnya lagi.

"Lo mau bunuh dia?" tanya Orly dingin. Wajahnya datar. Ucapannya juga berbeda. Bukan saya-kamu lagi. Kaki kanannya menendang-nendang pelan pinggang Vano.

"Hoi, gue cuma nyuruh lo mukulin doang. Ngga lebih. Ah, tunggu, tunggu," kedua tangannya bertumpu pada lutut. Menunduk untuk menatap Vano lebih jelas, "beneran mau bunuh?" tanyanya.

Vano menelan ludah, "ya."

Orly mengangguk, "oh, silakan," ujarnya. Tubuhnya menegak kembali, "tapi, jangan harap gue bakal biarin lo deketin Daniel lagi."

Vano menatapnya tak terima. Apa-apaan itu?!

Bibir Orly tertarik dengan sinis, "anak gue ngga boleh deketan sama pembunuh!" serunya menusuk.

Vano menggertakkan giginya. Mengepalkan kedua tangannya lagi. Melirik Cakra dengan emosi, lalu ia mendesah gusar.

"Ya udah, sana! Bunuh aja tu orang!" ujar Orly.

Vano menggeleng. Ia berdiri. Menepuk-nepuk baju serta celananya yang kotor, dan mengambil tasnya.

Orly tersenyum tipis, "bagus," ia menepuk lumayan kuat punggung Vano. Lalu, melirik pria-pria bertubuh besar yang sedari tadi hanya diam.

"Urus dia," perintah Orly. Ia berjalan keluar. Vano mengikuti, namun pria itu berhenti lagi.

"Kalo kalian mau nyodomi dia juga gapapa. Terserah kalian, dianya mau diapain," ujar Orly.

Alvano menelan ludah. Pria ini menyeramkan.

Demi apapun juga. Demi Tuhan. Demi Neptunus. Demi terserahlah.

Sampai kapanpun, Alvano tak akan pernah mau berurusan dengan pria ini.

Begitu sudah di luar, Orly berbalik menatapnya. Lalu, tersenyum ramah. Yang mana malah membuat Vano berkeringat dingin.

"Langsung pulang, terus obatin tangan kamu. Oke?" ujarnya.

Vano mengangguk menuruti.

"Si Cakra apalah itu, jangan dipikirin lagi. Anggap aja kamu ngga pernah kenal atau berurusan sama orang yang namanya Cakra blablabla. Lupain aja."

Pemuda yang baru saja bagi rapor tadi pagiitu kembali mengangguk mengiyakan. Tak berani membantah.

"Hehe.. gini-gini, saya ini mantan anak jalanan loh! Bukan anak jalanan kek di tipi-tipi itu! Anak jalanan beneran! Gembel hahaha.."

Vano sungguh tak mengerti apa yang lucu.

"Saya juga pernah jadi pencopet. Nyoba-nyoba jadi begal juga pernah. Makanya, saya banyak kenal preman-preman sini. Untung Daniel ketemu saya, pas saya udah tobat!" ujar Orly penuh syukur.

Vano juga ikut bersyukur. Beruntungnya lo El, ujarnya dalam hati. Kalo si Orly belum tobatkan, dia ngga tau El bakalan diapain.

"Ya udah, pulang sana!" usir Orly dengan tangan mengibas.

"Saya pulang dulu," pamit Vano. Ia segera menghampiri motornya. Memakai helm dan naik ke atas motor itu, lalu segera melaju dari sana.

Ia tak tau dan tak mau tau apa yang akan orang-orang Orly lakukan pada Cakra.

Tbc.

Saya ngga mau ngebuat suami saya si Alvano jadi pembunuh.

Continue Reading

You'll Also Like

963K 80.1K 43
Yesa yang memiliki kesabaran setipis tisu dan rega yang senang memancing amarah, 2 orang yang memiliki kepribadian yang saling bertentangan disatukan...
6.8K 1.1K 7
Ilveara, remaja SMA yang terbiasa menjadi pusat perhatian dan suka membully murid di sekolahnya harus pindah ke sekolah lain akibat perbuatan ayahnya...
61.7K 7.1K 38
Ketika kita sadar bahwa kita hanyalah serpihan kecil di antara semesta. Namun pertemuan dengan jiwa-jiwa yang saling mencari sembuh, membuat sadar ak...
1.1M 100K 51
Ini sepenggal kisah tentang Owen dan Raksa yang dulunya adalah musuh lalu sekarang malah menjadi? _____________________________ HOMO♨️ LOKAL♨️ NON-BA...