Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.4M 268K 45.1K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 18 •

40.5K 5.3K 802
By AM_Sel

Bara berdiri di depannya. Menatap baju berlumur darah kering itu dengan tangan mengepal.

"Jadi, lo mau gimana?" tanya Bara.

Alvano menatapnya datar, "apanya?"

"Si Cakra. Mau diapain enaknya?"

Vano beralih menatap lantai. Hatinya panas begitu mendengar nama itu.

"Gue culik, terus gue aniaya sampe mati. Selesai."

Kepalanya sontak digeplak oleh Bara, "serius kampret! Yang ada lo masuk penjara, anjing!"

"E babi! Gue serius-" ucapan Vano terhenti sejenak, "ah, atau gue sewa orang untuk nyodomi dia dulu, baru deh gue aniaya. Hmm.. kedengaran bagus."

"Kalo lo ngelakuin itu, lo ngga ada bedanya dari si Cakra."

Kini, Vano yang mengepalkan kedua tangannya, "dia harus ngerasain gimana perasaan El yang dia gituin."

Bara menghela napas, lalu mendudukkan dirinya di samping Alvano. Punggung itu bersender di dinding. Ia mendongak menatap langit-langit ruang tunggu.

"Maksud lo ngomong kata 'lagi' ditelpon tadi itu apa?" tanya Vano.

Bara meliriknya sebentar, dan kembali menatap langit-langit, "dulu El juga pernah mau loncat. Malah dari atap rumah sakit, tapi keburu gue tarik. Ngamuk deh dia, karena gagal."

Vano menatap sepupunya itu dengan serius, "lo tau masa lalu El?"

Bara memejamkan kedua matanya. Bau obat-obatan, menusuk hidungnya dengan tajam. Otaknya refleks memutar ingatan saat pertama kali ia bertemu dengan El.

Di siang hari yang cerah. Bau yang sama pula menusuk hidungnya. Di sebuah kamar khusus. Sesosok pemuda kecil yang begitu kurus, dengan kantung mata yang menghitam samar. Terduduk diam di atas ranjang. Auranya tak bersahabat. Tidak ada infus di sampingnya. Mata birunya mati. Gelap. Tak ada harapan. Kulitnya putih pucat. Beberapa bagian tubuhnya diperban.

Saat melihat kondisi El, Bara sontak bersyukur karena telah diberikan hidup tenang yang menyenangkan.

"Bar?"

Kedua mata Bara mengerjap, lalu balas menatap Vano, "gue ngga tau secara rinci. Tapi, bokap gue bilang, semua itu berawal karena," kedua mata Bara mengedar ke sekeliling mereka sejenak, barulah kembali menatap Vano dengan serius, "El dijual sama nyokapnya."

Dahi Vano mengerut, balas menatap Bara tak kalah serius, "dijual?"

"Maksud gue, bukan dijual kayak dipelelangan gitu. Bukan yang kayak di pasar-pasar gelap itu. Dijual," Bara mendekatkan wajah mereka, "dijadiin 'kupu-kupu'," bisiknya.

Vano terperangah, "lo gila. Ngga mungkin."

Sepupunya itu mendesah pelan, "bukan gue yang gila. Nyokapnya. Lo bayangin aja, anak umur sembilan tahun digituin," Bara seolah tersadar, dan menggelengkan kepalanya, "ngga, ngga. Bahkan, gue ngga tau, El udah jadi 'itu' sejak umur berapa."

Vano tak membalas. Tak tau mau berkomentar apa. Terlalu.. mengejutkan. Ia mengalihkan tatapannya ke arah dinding yang berada di depannya. Kerutan samar masih bisa terlihat di dahinya.

Hati Vano berdenyut sakit. Kenapa harus El? Kenapa bukan orang lain saja? Dan Ibu macam apa yang tega menjadikan anaknya sendiri sebagai alat pemuas nafsu?

Vano memijit pelan pangkal hidungnya. Kepalanya pusing. Dia belum tidur. Baru kali ini dia tidak tidur sama sekali.

Bara melirik tangan Vano, "lo ngga mau cuci tangan? Atau pulang dulu gitu, mandi sekalian."

Alvano menatap tangannya sendiri. Wajah El yang pucat, kembali terbayang di kepalanya. Ia mendesah pelan, lalu beranjak dan pergi ke toilet dengan langkah lunglai.

Vano segera menghidupkan keran di wastafel dan menggosok kedua tangannya agar darah kering yang menempel hilang. Ia melirik bayangannya sendiri di kaca di depannya. Kedua mata Vano masih terlihat sembap. Sangat tidak cocok pada wajah tegasnya.

Ia menggosok pelan darah yang menempel pada pipinya, karena Vano sempat mengusap pipinya tadi. Darah yang terselip di kuku jari, sedikit susah untuk dibersihkan. Menyerah, ia lebih memilih untuk membasuh seluruh wajahnya dan mematikan keran air, lalu keluar.

Beberapa perawat yang melewatinya, bertanya dengan khawatir, karena melihat darah dibajunya. Vano hanya membalas seadanya sambil tersenyum tipis. Rumah sakit ini adalah tempatnya bermain sedari kecil. Jadi, tak heran kalau banyak perawat atau Dokter yang mengenalinya. Lagi pula, bangunan besar ini milik keluarganya. Semua yang bekerja di sini pun tau, bahwa Alvano adalah orang yang suatu saat nanti memegang kendali atas rumah sakit ini.

Vano kembali mendudukkan dirinya di samping Bara.

Seluruh keluarganya juga bekerja dibidang kesehatan. Ayahnya adalah Dokter Spesialis Saraf, sama seperti Kakeknya yang sudah meninggal. Ibunya, Apoteker. Omnya-Ayah Bara-adalah Dokter Umum. Tantenya-Ibu Bara-perawat. Neneknya dulu adalah Psikiater, sayangnya sudah meninggal juga menyusul Kakeknya. Cita-cita Vano adalah menjadi Dokter jantung. Adiknya ingin menjadi Ahli Gizi. Dan Bara, ingin menjadi Radiografer.

Terdengar gila, huh?

Vano mulai memejamkan kedua matanya. Lelah. Kepalanya sakit. Lalu, tanpa sadar, ia jatuh tertidur.

Vano tidak tau berapa lama ia tertidur di sana. Dia tersentak bangun saat Bara mengguncang bahunya.

"Operasi El udah selesai," ujar Bara. Membuat Vano sontak langsung berdiri, dan mengusap wajahnya pelan.

Beberapa perawat yang membantu jalannya operasi itu keluar. Dahi Vano mengerut saat melihat seorang Dokter Orthopedi yang ia asumsikan untuk mengurus fraktur terbuka di kaki kiri El, dan... Dokter Bedah?

Vano langsung menghampiri Ayahnya.

"Jadi, El gimana?" tanya Vano langsung.

Ayah menghela napas, "koma."

Vano berdecak dan mengacak rambutnya kasar, "terus? Ada yang parah?"

Sang Ayah mengalihkan tatapannya, "kamu pulang dulu, gih. Mandi, ganti baju. Pulang ke rumah, jangan ke tempat El."

Vano menghela napas, "El dipindahin ke kamar mana? Vano mau liat dulu, baru pulang."

Ayahnya menatapnya dalam diam, "....nanti aja."

Dahi Vano sontak berkerut, "kenapa?"

"Kamu tuh kotor. Banyak kumannya. Ayah ngga bakal ngijinin kamu masuk. Pulang dulu makanya."

"Tsk! Sebentar aja. Ngeliatnya dari luar deh, dari luar."

Vano hanya ingin melihat El yang masih bernapas dengan kedua matanya secara langsung. Setelah melihat kejadian terjun menerjun tadi, otaknya masih memerlukan bukti bahwa Elnya baik-baik saja.

Ayah menghela napas. Lalu, memberi isyarat untuk mengikutinya. Bara segera menyejajarkan langkahnya dengan Vano.

"Kalo misalnya, El bangun dari koma, terus dia amnesia gimana? Kan benturan di kepalanya lumayan tuh. Dari lantai tiga," ujar Bara.

Vano hanya melirik, "bagus kalo dia amnesia. Jadi, dia ngga perlu ngeinget masa lalunya lagi. Kalo dia ngga inget gue, kita tinggal kenalan, terus mulai dari awal."

Bara mengangguk mengerti. Benar juga kata Vano. Akan lebih baik jika El memang amnesia. Biarpun mereka akan dilupakan, itu bukanlah masalah besar. Mereka tidak akan pergi kemana pun, jadi mereka bisa memulai semuanya dari awal.

Ya. Bara akan lebih memilih opsi di atas. Dia lebih rela dilupakan dari pada diingat, tapi membuat El 'sakit'.

Ayahnya berhenti di depan sebuah pintu. Ia melirik Alvano sebentar, lalu membuka kenop pintu itu, memperlihatkan sebuah ruangan yang masih berisikan dua orang perawat yang sedang menjalankan tugasnya.

Vano maju beberapa langkah. Senyumnya hampir mengembang, saat melihat ranjang rumah sakit yang diisi oleh pemuda kecil kesayangannya, tengah bernapas dengan tenang.

Ada yang janggal dari tubuh El.

"Yah...?" Vano memanggil pelan. Matanya kembali memanas.

Sang Ayah merangkulnya pelan, "Nak, orang yang jatuh dari ketinggian yang ngga seberapa aja bisa matahin tulangnya. Apalagi dia yang jatuh dari lantai tiga. Salah posisi pun dia bisa meninggal. Tangan kanannya mendarat lebih dulu di tanah, lalu kemungkinan besar ditimpa oleh tubuhnya lagi. Pembuluh darahnya pecah. Jaringannya rusak permanen. Sirkulasi darahnya terhenti. Jadi, tangan kanannya tidak bisa menerima oksigen atau nutrisi. Dan, satu-satunya cara ya itu.."

Vano menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tampak tak tega pada kenyataan yang El dapatkan. Ia paham. Satu-satunya cara, saat jaringan tubuh mulai mati dan agar tidak terjadi infeksi, adalah..

"...amputasi," bisik Vano pelan.

****

Ibunya panik saat Vano pulang dalam keadaan seperti itu. Vano hanya berkata bahwa itu bukan darahnya, dan pergi ke kamar. Ia segera membersihkan diri. Kepalanya semakin pusing.

Kebanyakan, orang yang bagian tubuhnya diamputasi, mengalami tekanan batin setelah operasi itu. Tidak diamputasi pun, El sudah cukup mengalami tekanan batin. Apalagi, setelah diamputasi. Mungkin kewarasannya sungguh akan pergi dan tidak kembali lagi.

Vano akan ikut gila rasanya, Tuhan. Tapi, tidak. Dia tidak boleh. Vano harus kuat. Ini adalah badai mereka. Dia hanya harus menjalaninya, hingga badai itu reda dan langit cerah yang hangat terlihat. Setelah ini, kebahagiaan pasti akan membanjiri mereka. Vano percaya. Dia hanya perlu bersabar, dan terus menemani El untuk melewatinya.

Setelah berpakaian, ia keluar kamar sambil memanggul ransel. Ibunya yang ternyata tengah mondar-mandir di depan kamarnya, kembali menatapnya khawatir.

"Kamu beneran ngga apa-apa? Itu tadi darah siapa?" tanyanya.

"Gapapa kok, Bu. Itu tadi... punya temen," jawab Vano pelan, "Vano pergi dulu," pamitnya.

"Kamu mau ke mana lagi?" tanya Ibunya sedih.

"Temen Vano masuk rumah sakit. Vano lupa ngunci pintu apartemennya tadi karena panik. Sekalian mau ngambil kucingnya-kalo ngga kabur, sih-."

Ibunya mengangguk mengerti. Ingin bertanya lagi, apa yang terjadi pada temannya, tapi Alvano sudah keburu pergi duluan.

Dan sesuai dengan yang Vano perkirakan, pintu apartemen El masih terbuka lebar. Ia berjalan masuk. Poppy tidak lari. Kucing hitam itu tengah duduk di balkon sambil menatap ke atas, dengan ekor yang bergerak ke sana kemari. Seolah menanti, majikannya yang tadi melompat dari sana.

Vano mulai memeriksa, apakah ada barang yang hilang di sana. Untungnya, tidak ada. Ia menghela napas, lalu mengambil mangkok serta makanan Poppy. Kucing itu belum makan dari pagi, ngomong-ngomong.

Mangkok berisi makanan itu ia letakkan di samping tubuh berbulu tersebut. Poppy beranjak. Menyundulkan kepalanya ke tangan Vano dengan sedih.

"Gapapa. El baik-baik aja," ujar Vano pelan sambil mengelus tubuh berbulu itu. Mangkok tadi ia dekatkan. Poppy memakannya dengan pelan. Lemah.

Vano menyandarkan punggungnya di ambang pintu dan menatap langit yang mulai keorenan. Duduk diam sembari menunggu Poppy menghabiskan makanannya.

"Erm.. permisi?"

Sebuah suara berat, mengusik ketenangan Alvano. Ia menoleh. Seorang pria dengan potongan rambut pendek, dan mata yang tajam berdiri di depan pintu yang terbuka. Tubuhnya dibaluti sebuah kemeja putih, dengan vest berwarna hitam, dan dasi berwarna senada.

Mata yang tajam itu, mengedar ke seluruh ruangan.

Vano berdiri, "ada yang bisa dibantu?" tanyanya.

"Ah, maaf, tapi bukannya ini," ia mendekat ke arah pintu dan melihat nomor yang tercetak di sana, lalu menatap Vano lagi, "apartemen milik Daniel?"

Vano menyipitkan matanya curiga, "ya. Anda siapa?"

Pria itu bersedekap dada, dan melangkah masuk, "saya yang harusnya bertanya. Kamu siapa?"

Sebuah derap langkah mendekati mereka. Lalu, seorang pria dengan rambut panjang yang diikat ekor kuda berlari masuk, dan mendorong tubuh pria tadi-yang dianggapnya menghalangi jalan-.

"Danieell!!" serunya. Senyum lebar yang mengembang itu, menyurut perlahan, "Daniel mana?" tanyanya pada pria tadi.

"Lo mau mati?" tanya pria itu kesal sambil membersihkan lengannya.

Dahi Vano mengerut. Merasa aneh dengan kehadiran kedua pria dewasa ini.

"Ah, ada orang rupanya! Kamu temannya Daniel?" tanya si pria berambut panjang itu semangat.

"Erm.. iya-"

"Wah!! Akhirnya Daniel kita punya temen!" seru pria itu lagi ke temannya, lalu ia mengulurkan tangannya ke Alvano, "nama saya Zhriauly. Saya walinya Daniel."

Wali? Vano baru tau El punya wali. Dan, namanya siapa tadi?

"Zhri-??"

Pria itu tertawa pelan, "Zhriauly. Daniel juga ngga bisa nyebut nama saya. Panggil Orly aja."

Vano mengangguk, "Alvano," ujarnya sambil menyambut uluran tangan itu.

"Jadi," Orly melepaskan tautan tangan mereka, "kalo saya boleh tau, anak saya si Daniel ada di mana?"

Dan itu, menjadi pertanyaan tersulit yang pernah Vano dengar.

Tbc.

Continue Reading

You'll Also Like

642K 2.7K 12
Hts dengan om-om? bukan hanya sekedar chatan pada malam hari, namun mereka sampai tinggal bersama tanpa ada hubungan yang jelas. 🔛🔝 my storys by m...
107K 7.8K 51
|part masih lengkap| Juara ke-2 event menulis bersama moon seed ... Mencintai seseorang yang sama sekali tidak mencintai dirinya, membuat Chris selal...
3.2M 230K 29
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
KAPTEN ✔ By EL

Teen Fiction

1M 81.3K 34
[ Squel Sohib ] [GEN 2] N. Bisa baca sohib dulu. ⚠️Mpreg Belum Revisi! Tidak bertemu selama 14 tahun lamanya membuat Samudra canggung. Angkasa Ghav...