Race Of The Heart [COMP.]

By heliostellar

82.8K 10.7K 3.2K

Entah takdir apa yang digariskan langit untuk Mark, tidak mungkin takdir yang lurus-lurus saja. Karena terlib... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Epilog 1 : Aftermath
The Cousins

Chapter 5

3.6K 491 180
By heliostellar

"Kau tampak luar biasa, kawan."

Mark mendengus mendengar ejekan berkedok pujian yang dilayangkan Lucas begitu pemuda itu memasuki pintu mahoni berwarna coklat kemerahan. Dari binar matanya, Mark tahu pemuda kelahiran Hong Kong itu masih menyimpan banyak cemoohan untuknya.

"Shut up."

Mark gatal ingin menghapus cengiran bodoh di wajah Lucas dengan kepalan tangannya. Kalau dipikir-pikir ia memang berhutang tendangan dan mungkin pukulan pada pemuda Wong itu.

Tapi berharap apa dia terhadap Lucas? Alih-alih diam ia malah tertawa lepas. Mark merasa seperti badut yang sedang menghibur Lucas walaupun yang ia lakukan adalah mendesis ketus padanya. Mungkin bukan hanya Mark yang gila di sini.

"'Kan sudah kubilang, jangan macam-macam dengan Renjun. Penjaganya banyak," ujar Lucas tersenggal-senggal berusaha mengatur nafas yang habis karena tertawa.

"Aku tidak macam-macam dengannya. Kenapa orang-orang bertingkah seolah aku akan mencelakainya, sih?" sahut Mark tidak terima.

Kenyataan bahwa dirinya menerima kepalan tinju Jaemin, dua kali, tanpa provokasi, demi apapun membuatnya getir bukan main. Rahangnya masih berdenyut ngeri mengingat pukulan yang mendarat bukan tinjuan amatir. Bagaimana bisa dia lupa Jaemin itu atlet bela diri?

"Memang apa yang coba kau lakukan, sih?" celetuk Lucas setelah beberapa menit menetralkan deru nafasnya.

"Aku tidak mencoba melakukan apapun," desis Mark disertai picingan mata.

Dia mengantisipasi tawa mengejek Lucas kali ini. Namun yang didapatkannya adalah sepasang mata yang balik menatapnya tak kalah tajam. Wajah Lucas yang biasanya santai dan ringan berubah serius dan kalem setenang telaga, nyaris tanpa ekspresi.

"Tidak terdengar seperti orang yang pantas menerima bogem mentah dua kali dari atlet Taekwondo," Lucas berujar teratur, masih memasang wajah seriusnya. Entah kenapa Mark jengah dibuatnya.

"Aku tidak tahu apa yang kau implikasikan―"

"Apapun itu yang ada di otak jeniusmu, kalau itu akan menyakiti Renjun, buang saja jauh-jauh," sela Lucas tanpa ragu, sedikit banyak membuat Mark tertegun.

"Kalian, seperti yang kukatakan tadi, benar-benar menganggapku sebagai psiko bukan? Bahkan kau? Memang apa yang akan kulakukan pada bocah itu?"

Lucas mengedikkan bahu acuh tak acuh. Alis Mark terangkat sebelah menunggu elaborasi maklumat yang dilontarkan Lucas. Keseluruhan konsep dimana orang-orang berpikir ia akan mencelakai Renjun terlalu absurd baginya. Mark butuh pencerahan, bukan tatapan datar Lucas yang terarah padanya.

"I know what you are capable of. Yang kucoba garis bawahi adalah, Renjun sudah cukup tersakiti. Dia tidak butuh jatuh dalam jeratan roman picisan yang akan melukainya lagi," ujar Lucas gamblang dan lugas, Mark hampir tidak percaya laki-laki yang berbicara padanya adalah orang yang sama yang melemparkan tanggung jawab untuk mengantar anak manusia yang diculiknya untuk pulang dengan dalih ia punya janji lain. Dalam artian; berkencan.

Walau demikian, meski dalam hati ia mengeluarkan kalimat penyangkalan pada Lucas―dan otaknya masih berpikir bahwa perlakuan tidak bersahabat yang diterimanya tidak masuk akal―dia mulai mengerti kemana arah pembicaraan Lucas. Oh, dia sangat mengerti implikasi di balik kata-kata yang diucapkan dengan dingin oleh pemuda itu.

Kalaupun ada satu hal benar yang Mark selalu ingat dari Lucas, dia menjaga orang yang disayanginya dengan baik. Terlalu baik. Sampai pada batasan dimana Lucas tidak akan segan menghabisi Mark jika melukai Renjun sedikit saja. Mengesampingkan sifatnya yang bertolak belakang, hubungan Lucas dan Renjun layaknya saudara kandung. Hal itu menjamin kemungkinan Lucas mengetahui apa saja yang dilalui Renjun selama hidup di negeri gingseng ini.

Mark mendengus. Apa dia sebegitu tidak bisa dipercayai? Karena hal yang bahkan bukan kesalahannya? Itu tidak adil.

"I am, capable of many things," Mark mengakui tanpa sungkan. Seolah mengatakannya adalah sebuah katarsis tersendiri. Namun bagi Lucas mungkin itu adalah awal dari persekusi seorang Mark Lee.

"Tapi aku bukan Jeno. Dan aku tidak memandang Renjun dalam konteks itu."

Lucas mengernyitkan alis. Tidak yakin. Bagaimanapun tindakan Mark kerap kali berkontradiksi dengan kata-katanya. Dan Lucas jelas khawatir.

π

"Kau tidak berpikir sikapmu keterlaluan terhadap Mark hyung?" ungkap Renjun hati-hati. Sebenarnya ia enggan memecah ketenangan senja di taman belakang rumah namun ia tidak tahan untuk menanyakan sikap Jaemin yang akhir-akhir ini dirasa berlebihan.

"Tidak," sahut laki-laki bermarga Na itu pendek dan tajam. Renjun mengernyit.

"Kau yakin?"

"Aku yakin pukulan itu tidak ada artinya bagi Mark. Kau tahu bukan hanya aku yang atlet Taekwondo," jawab Jaemin malas. Dia memutar bola matanya melihat Renjun hendak membuka mulut.

"Hell, dia bahkan mungkin menguasai Judo dan Kung Fu dan kau tidak akan pernah tahu hanya karena dia membiarkanku memukulnya," gerutu Jaemin.

Laki-laki yang mengenakan sweater hitam itu hanya mengerjap singkat. Ia tampak berpikir menimang kata-kata Jaemin.

"Itu tidak memberimu izin untuk memukulnya seenaknya." 

"Kau membela Mark?"

"Tidak."

Jaemin menatap Renjun sangsi. Tangannya ia silangkan di depan dada dengan tatapan mata datar yang mengatakan 'kau-bodoh-kalau-kau-pikir-aku-mempercayainya'. Renjun menghela nafas panjang sambil memalingkan wajahnya. Daripada melihat wajah menyebalkan Jaemin, ia lebih memilih memandangi hamparan terompet indigo bunga hyacinth. Renjun berniat mengabaikan Jaemin, lambat laun ia jengah juga dengan keheningan yang canggung dan tatapan tajam Jaemin serasa melubangi kepalanya.

"Tidak. Aku hanya tidak mau kau terlibat masalah." Dan aku tidak mau berhutang rasa bersalah pada Mark hyung. Jaemin tertawa sarkastis.

"Mark bukan orang yang suka membesar-besarkan masalah seperti itu. Kalaupun iya dia akan mengungkit masalah ini, dia yang akan mendapat dampak lebih parah," Jaemin tersenyum miring.

Renjun tertegun mendengarnya. Mungkin sesaat yang lalu ia lupa siapa Mark, bagaimana latar belakangnya dan posisi yang didudukinya saat ini. Walaupun ia tahu Mark tidak akan sekekanakan itu hingga menuntut Jaemin, Renjun tetap tidak bisa membiarkan Jaemin seenaknya melayangkan tangannya ke kepala Mark kapanpun ia suka.

"Katakanlah seperti itu, tapi jangan bersikap berlebihan seperti itu lagi, oke? Bagaimanapun dia sahabatmu dari kecil Jaemin," tegur Renjun, dia ingin mengakhiri pembicaraan yang disesalinya untuk dimulai dari pertama kali.

"Itu tidak berlebihan. Dia tidak punya hak menyentuhmu seperti itu."

Kini giliran Jaemin yang menuntut perhatian penuh dari Renjun. Melihat perubahan nada bicara dan gerak-geriknya, Jaemin juga memiliki sesuatu yang perlu―harus―Renjun dengar. Biasanya, kalau Jaemin sudah dalam mode serius semi galak seperti ini, Renjun tidak akan menyukai apa yang akan disampaikan Jaemin.

"Sebagai klarifikasi, Mark tidak menyentuhku," ujar Renjun penuh penekanan pada kata tidak. Yang jelas-jelas dianggap sebagai angin lalu oleh Jaemin yang kini mengunyah kue kering buatan Kun dan menenggak rakus earl grey hangat yang beberapa saat lalu ia seduh.

"Jangan berurusan dengan Mark, Renjun."

Déjà vu seolah menerpa Renjun. Oke cukup.

"Bukankah kau harus mengerjakan laporan bersama Jeno?"

"Aku serius. Jangan mengalihkan pembicaraan," sahut Jaemin tanpa jeda, dia memandang Renjun layaknya guru konseling yang memandang murid bermasalah. "Dan kalau kau ingin tahu, Jeno sedang sibuk mengurus sesuatu untuk makan malam bersama siapalah-itu aku tidak peduli."

"Urusan kalangan konglomerat memang rumit, ya. Kau ingat waktu―"

"Renjun," hardik Jaemin, nada bicaranya lebih rendah dari biasanya.

Erangan kesal sekaligus frustasi sudah berada di pangkal tenggorokannya kalau Jaemin tidak menatapnya lebih tajam. Mungkin seharusnya ia mengiyakan ucapan Jaemin saja dan ia akan terlepas dari pembicaraan ini. Namun sikap orang-orang yang memandangnya sangsi dan tidak setuju saat melihatnya bersama Mark membuatnya jengah juga. Dia bukannya ingin meledakkan Blue House atau bagaimana bersama Mark, tapi reaksi orang-orang membuatnya berpikir sebaliknya. Seolah itu tindakan kriminal. Padahal pada kenyataannya, semua pertemuannya dengan Mark tidak direncanakan. Demi Tuhan, dia bahkan pertemuannya bisa dihitung dengan satu tangan.

Seolah membaca konflik batin di keterdiaman Renjun, sorot mata Jaemin agak melembut, begitu juga dengan nada bicaranya. "Aku tidak ingin kau terluka lagi, Injun."

Tapi bisa apa dia kalau sahabatnya memandangnya penuh kesungguhan dan empati seperti itu? Tentunya Renjun tidak sampai hati untuk menyangkal kata-kata Jaemin.

"Sepertinya kalian salah paham Jaemin. Aku tidak tahu kalian mendapat ide darimana tapi, tapi aku tidak ada hubungan apapun dengan Mark hyung."

Sebuah resolusi tampak berkilat di mata secoklat the itu saat Jemin menghadapkan tubuhnya penuh pada Renjun.

"Kau yakin bisa mempertahankannya seperti itu?"

"Ya."

Bohong.

Л

"Bukannya aku ingin mengusirmu―"

"Kau sedang mengusirku sekarang."

Laki-laki bermata rusa itu berdecak. "―tapi bukankah harusnya kau sibuk saat ini?"

Ada dua alasan mengapa Lucas gatal ingin menendang Mark keluar dari kantornya. Pertama, ia bosan melihat tampangnya yang sudah bercokol di atas sofa coklat di tengah ruangannya sejak siang tadi. Yang kedua, seharusnya makhluk berkepribadian es itu bersiap untuk acara makan malam bersama keluarganya. Acara yang cukup prestisius dan penting kalau boleh dibilang. Yang mana jika temannya itu tidak hadir, bisa dipastikan kakeknya tidak akan segan mengirim kepalanya ke kutub utara.

"Kau bersikap seolah-olah hanya aku yang wajib datang ke acara sialan itu," jawab Mark santai.

"Setidaknya bukan aku yang harus membawa pasangan ke meja jamuan nanti," sindir Lucas sambil menaikkan satu alisnya. Hal itu menarik sedikit perhatian Mark. Sedikit.

"Bukan pasangan. Teman."

"Yeah, well, same difference."

"Lalu?"

Mark ingat persis bagaimana rupa ibunya kemarin malam di ruang keluarga saat sedang mewanti-wantinya untuk membawa teman. Merepotkan. Walau saat itu ibunya hampir menyerupai maleficent, dia tidak bisa menampik rasa benci pada ide tersebut. Jangankan membawa pasangan, membayangkan berada di jamuan makan malam itu membuat Mark mual dan jijik. Dia benci formalitas dan pencitraan.

"Mau kukenalkan dengan beberapa orang?" senyum jahil terkembang di wajah Lucas saat mengatakannya.

"Tidak terima kasih," tolak Mark ketus tanpa berpikir dua kali. Ia tidak akan pernah mempercayakan hal seperti ini pada Lucas.

"Ibumu akan membunuhmu," ujar Lucas mencoba menakut-nakuti. Sebenarnya ia agak tersinggung mendengar penolakan Mark yang tanpa ragu-ragu. Ayolah, orang-orangnya tidak seburuk itu.

Mark tersenyum remeh. Kalaupun ia akan terbunuh itu karena dirinya sendiri―atau kakeknya, tapi bagi Mark pria tua itu sudah berulang kali membunuhnya dengan segala peraturan yang diciptakannya, jadi ia tidak dihitung. Lagipula saat ini ia punya hal lain untuk dipusingkan.

"Dia tidak akan melakukannya," gumam Mark ambigu.

Kalau Mark tidak hati-hati malam ini, akan ada orang lain yang memburu kepalanya.

Л

Bohong.

Kata itu berputar-putar di kepala Renjun seiring rantaian permintaan maaf pada Jaemin yang Renjun rapalkan dalam hati terus-menerus sejak kepergian pemuda itu dari rumahnya―rumah bibinya, tapi bukan itu masalahnya sekarang.

Bohong.

Renjun nyaris menjambak surai coklat pirangnya yang sudah susah payah ia tata rapi selama setengah jam terakhir. Ia memandang miris pantulan dirinya di cermin yang seolah sedang mengejeknya, mencemoohnya dengan kata-kata menusuk hati dan pandangan mencela.

Apakah ini menjadikannya sebagai pengkhianat? Tapi bagaimanapun ia tidak bisa melepas tuksedo hitam yang melekat di tubuhnya dan beranjak tidur seingin apapun Renjun untuk melaukannya.

Janji tetaplah janji. Sejak kecil orang tuanya selalu mengajari Renjun untuk menepati janji. Renjun berusaha meyakinkan dirinya dengan pemikiran itu seiring langkahnya mengikis jarak dengan pintu depan saat bel rumah berdenting-denting. Dalam hati ia bersyukur Kun dan Sicheng sedang lembur. Janji tetap janji, Renjun (Yah, walaupun sebenarnya ini lebih mirip kompensasi tapi mau bagaimana lagi?)

Dilema dan kebimbangan tetap bersemayam di hati Renjun bahkan saat pantatnya sudah duduk manis di kursi penumpang yang empuk. Aroma lavender menyeruak memasuki indra penciumannya. Temperatur mobil yang dingin mulai merayap di permukaan kulitnya, membuatnya tubuhnya bergetar sedikit secara tidak sadar.

"Dingin?" seseorang disampingnya bertanya sembari mengulurkan tangannya untuk menaikkan temperature heater mobil.

"Tidak." Mungkin aku hanya gugup saja.

Renjun tersenyum kecil berusaha menutupi kegugupannya. Namun usahanya tidak berbuah manis karena kegugupannya seolah menguar di dalam mobil. Membuat orang di sampingnya menyeringai kecil.

"Kau bertingkah seolah mereka akan mengulitimu."

Mendengar kalimat tersebut, Renjun memutar manik kembarnya malas. Diam-diam ia menahan malu karena ketahuan gugup, yang mana membuatnya makin panik. Aku menyesal.

"Just drive, Mark hyung." Renjun menyahut pendek dan ketus yang hanya dibalas seringaian oleh yang bersangkutan.

Л

"Wow."

Hanya itu yang bisa Renjun katakan. Menelaah ballroom mansion keluarga Jung yang bernuansa Medieval diterangi cahaya keemasan dari lampu gantung yang berpendar dari langit-langit. Detik pertama ia menjejakkan kakinya di lantai pualam ini Renjun sudah memutuskan ia tidak menyukainya.

"Menyeramkan bukan?" ujar Mark menangkap ekspresi Renjun. Kalau Mark berbicara mengenai interior ruangan ini, Renjun tidak akan setuju dan menganggapnya ironis. Tapi mempertimbangkan keadaan mentalnya, Renjun sangat setuju dengan pernyataan tadi.

"Ya. Sangat," gumam Renjun lirih, matanya tidak lepas dari manusia berbalut tuksedo dan gaun satin yang melenggak-lenggok elegan tersebar di penjuru ruangan. "Sangat. Bisakah aku merevisi kompensasinya?"

Mark menatap datar pada Renjun yang kini memasang tampang memelas. Dengan mata yang mengingatkannya pada anak kucing entah Renjun sadari atau tidak. Mengingat kepribadian Renjun, sepertinya sih tidak.

"Tidak."

"Oke."

Dengusan geli terdengar dari sampingnya. Mulut Renjun nyaris ternganga konyol kalau saja ia tidak sedang berada di acara formal ini. Karena yang dilihatnya sekarang adalah Mark―Mark Lee, yang sedang tertawa kecil. Walapun singkat, setidaknya Mark tidak terlihat seperti Iblis kalau begini.

"Jangan khawatir. Mereka hanya perlu melihatmu bersamaku dan kita akan keluar dari tempat terkutuk ini. Dan juga..."

Mark menggantungkan kalimatnya sejenak sebelum melanjutkan. "Aku akan berusaha agar kau tidak bertemu Jeno."

Mendengar itu Renjun tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menolehkan kepala dengan cepat. Tampak konyol sebenarnya, kecuali rasa terkejut dan horror di mata gelap itu mengatakan sebaliknya.

"Mark hyung apa―"

"Minhyung."

Renjun tidak yakin apakah karena pencahayaan ballroom yang agak temaram atau ia memang melihat tubuh Mark menegang seketika begitu sebuah suara serak seorang laki-laki yang Renjun duga sudah berumur memanggil namanya. Ia dapat melihat garis rahang Mark mengeras dengan jelas, wajahnya berubah datar. Membuatnya berpikir Mark lima detik yang lalu adalah orang berbeda dengan yang sekarang berdiri memandang tajam ke arah belakang Renjun.

"Kakek."

Otomatis Renjun memutar badannya dan tanpa pikir panjang membungkukkan badanya sedikit pada tetua keluarga Lee tersebut. Ia agak menyesal ketika menegakkan kembali tubuhnya dan mendapati sepasang mata amber yang menatap menelisik padanya. Renjun merasa seperti seorang kriminal yang sedang dihakimi.

"Tidak sepertimu, pemuda ini punya sopan santun yang baik," ujar pria itu tanpa menutupi sindiran terhadap Mark.

Permainan lama. Mark sudah kebal dengan omongan pedas orang-orang terhadapnya. Sekalipun itu dari kakeknya, tidak lantas ia akan langsung bersujud mencium kakinya yang dibalut sepatu mengkilau.

"Entahlah, aku bisa saja berlutut padamu dan kau akan tetap mengatakan hal yang sama," kendatipun nadanya yang tenang, Mark mengujarkannya sarat akan kemuakan dan sinisme.

Renjun mengamati dengan was-was ketika pria tua itu memicingkan matanya pada Mark penuh ketidaksetujuan. Kedua tangannya menumpu pada ujung tongkat yang dilapisi platina. Di belakangnya, Renjun dapat melihat perempuan paruh baya yang Renjun tengarai sebagai ibu Jeno--dan Mark. Mereka kini tengah memandang Mark dengan sorot yang tidak jauh beda dengan pria yang walaupun sudah berumur namun tetap terlihat berwibawa.

Walaupun samar, sepintas Renjun memahami mengapa Mark terlihat membenci acara makan malam ini.

π

Mrs. Lee sejauh yang Renjun tahu adalah wanita yang anggun dan elegan. Mungkin beliau adalah wanita paling elegan yang Renjun pernah temui. Dan dalam beberapa pertemuannya dengan wanita paruh baya itu bertahun-tahun lalu, Renjun tidak bodoh untuk tidak mengetahui perilaku dan statur elegan itu dilingkupi tetek bengek menjaga martabat dan citra keluarga Lee. Mengesampingkan itu semua, sebenarnya beliau orang yang baik. Menurut Renjun. Mempertimbangkan pendapat itu, Renjun merasa konyol saat dirinya dilanda kecanggungan dan keseganan luar biasa saat duduk di sebrang wanita yang mengenakan gaun indigo itu.

Tapi dengan segala pandangan tajam-menelisik-ingin-tahu yang diterimanya dari beberapa orang, sikap Renjun mungkin bisa dimaklumi.

"Sudah lama aku tidak melihatmu, Renjun," ujar Mrs. Lee. Suaranya netral namun rasa penasaran yang asing terselip di antaranya. "Bagaimana kabarmu?"

"Saya baik-baik saja, Mrs. Lee. Saya harap anda juga baik-baik saja," balas Renjun sopan.

Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Di bawah meja, ia sudah memilin ujung kemejanya gugup bukan main. Sedangkan wanita itu hanya tersenyum setengah terpaksa. Matanya mengerling menuntut penjelasan dari laki-laki yang masih betah menyetel wajah dingin sedari tadi. Merasa aura menuntut ibunya, Mark hanya berdecak.

"Ibu sudah lihat. Boleh aku pergi sekarang?"

Renjun yakin bila ia berkata dengan sikap demikian pada ibunya, dia hanya akan tinggal nama di kemudian hari. Orang ini, gila ya?

"Acara intinya bahkan belum mulai," Mrs. Lee menyahut, ia berusaha menekan emosi yang menggelitik hatinya.

"Tinggalah dulu sebentar," bujuk seorang laki-laki dengan tuksedo abu-abu yang terlihat relatif muda.

"Entah. Sepertinya perutku bermasalah, Jaehyun hyung. Aku akan bergabung untuk makan malam lain kali," balas Mark, matanya kini beralih pada Jaehyun.

"Minhyung..."

Renjun nyaris berjengit mendengar nada putus asa yang sesaat terdengar di panggilan itu. Kalau Renjun orang yang bernyali--dan nekat--mungkin dia akan mengelem bokong Mark di kursi hitam ini. Tapi dia tidak berada pada posisi dimana ia bisa melakukan hal tersebut.

"Renjun harus menghadiri kelas pagi besok. Aku akan mengantarnya pulang," Mark beranjak dari duduknya sambil merapikan jas hitamnya. Matanya masih terpaku pada Jaehyun, jelas-jelas mengabaikan orang yang sedari tadi meminta perhatiannya. "Sampaikan salamku untuk paman Jung dan Taeyong. Aku pergi dulu."

Tanpa aba-aba pemuda bermarga Lee itu sudah menarik Renjun untuk berdiri. Pikirannya setengah kosong saat ia membungkukkan tubuhnya, memberi hormat seperti robot sebelum tubuhnya diseret keluar dari ballroom seperti boneka. Nuraninya digerogoti perasaan tidak enak melihat pandangan tidak setuju dan kecewa yang sempat dilihatnya.

Renjun terlalu sibuk mencerna situasi dan berusaha mengimbangi langkah Mark yang lebar dan tergesa. Hingga ia melewatkan sepasang iris hitam yang memicing ke arahnya.

"Renjun?"

π

Satu hal yang Renjun ketahui dari Mark. Kata-katanya sering berkontradiksi dengan tindakannya.

Terbukti saat kini dirinya tengah duduk manis di jok belakang motor hitam yang akhir-akhir ini sangat dikenalinya.

("Sebenarnya motor itu milik siapa?"

Renjun bertanya memandangi badan motor yang berkilat memantulkan cahaya neon di garasi raksasa itu--entah milik siapa, Renjun sudah bertanya-tanya sejak Mark menghentikan mobilnya di depan bangunan yang mirip bengkel.

Mark juga tidak mebjawabnya--berharap apa Renjun pada pria dingin itu. Yang Renjun ingat hanya gumaman "terima kasih Jiwon" yang Mark lontarkan pada pria bermasker hitam yang membuka pintu garasi.)

Tempat apa yang Mark tuju setelah menukar mobil dengan motor dan dua helm, Renjun sama sekali tidak punya petunjuk. Namun ia tahu benar sekarang ini mereka tengah mengarah ke pinggiran kota. Menilik kontur jalan yang menanjak, sepertinya sebuah kaki pegunungan.

Dia tidak akan membuangku ke hutan kan?

Untungnya prasangka itu tidak terjadi--atau belum--saat mesin motor berhenti di kaki sebuah bukit.

"Dimana ini?"

Lagi. Tidak ada jawaban. Apa dia mendadak bisu? Gerutu Renjun dalam hati sambil buru-buru mengikuti Mark yang mulai menjejaki jalan setapak menuju puncak bukit. Jaket kulitnya sesekali melambai di terpa angin.

Mungkin ini efek angin malam. Atau tubuhnya memang lemah. Yang mana dari keduanya, Renjun tidak ambil pusing. Ia akan tetap mengutuk jalan menanjak ini begitu nafasnya mulai habis di tengah perjalanan. Secara harafiah.

"Hah..." kakinya loyo, hampir menyentuh tanah jika ia tidak menumpu pada satu pohon oak di atas bukit.

"Kau tidak berubah, masih payah seperti dulu," Mark berujar tanpa dosa. Jika tidak sedang kehabisan nafas (dan bernyali besar), Renjun akan mencekiknya.

"Hosh-aku, tidak--tidak payah," balas Renjun tersendat. Mark mendengus melihat Renjun berusaha menetralkan nafas.

"Apa yang hyung cari di tempat ini, sih?"

Kali ini, Renjun benar-benar terduduk di rerumputan. Masa bodoh dengan rasa dingin yang menjalari pantatnya.

"Kenapa tidak kau cari tahu sendiri?"

Renjun mengernyit, otaknya sedang lamban akhir-akhir ini. Namun ketika Mark mengarahkan dagunya ke depan, kesadaran menghinggapinya.

City light.

Membentang luas di hadapannya. Cahaya emas, biru, dan neon berkedip-kedip. Bagai refleksi langit musim panas yang dipenuhi bintang. Mengingatkan Renjun akan liburannya yang dulu ia isi memandangi rasi bintang bersama seseorang.

Renjun termangu menatap titik-titik emas yang bergerak merayap di jalan utama. Sampai seseorang memecah konsentrasinya.

"Kalau kau kemari saat musim semi dan musim panas, kau bisa melihat bintang yang sesungguhnya."

Ia memutar kepalanya ke samping, menemukan manik amber yang tampak bercahaya di malam awal musim dingin.

"Untuk saat ini, hanya ini yang bisa kuberikan sebagai imbalan kompensasimu."

Renjun berpikir ia tidak sepenuhnya menyesali kompensasi yang dibuatnya.

π

Renjun memekik tertahan melihat Jaemin yang sudah berdiri di depannya. Hidungnya kembang kempis menahan amarah. Rautnya gusar.

"Sudah kubilang jangan macam-macam!"

Mark tertawa hambar. Deja vu seperti melandanya saat dirinya menyeka darah di sudut bibirnya.

"Jaemin," panggil Renjun lirih. Ia menatap bingung sekaligus panik adegan di hadapannya.

"Kau memang minta kuhabisi ya?"

Renjun tahu benar kalimat itu tidak ditujukan padanya namun tubuhnya tetap merinding mendengarnya.

"Entahlah, Jaemin."

Nada mencemooh itu jelas menyulut amarah Jaemin. Berikutnya yang Renjun lihat adalah Mark yang menahan kepalan tangan Jaemin sekaligus mengunci pergerakannya. Keduanya sama-sama menatap tajam satu sama lain.

"Enyahlah," Jaemin mendesis seiring sikunya yang mengenai rahang Mark. Atau Mark memang membiarkannya.

"Jaemin hentikan!"

Renjun melompat di antara dua onggok manusia itu. Merentangkan tangannya, menghadap Jaemin yang hendak maju meraih kerah flannel Mark.

"Hentikan," ujar Renjun, dua tangannya membungkus kepalan tinju yang mrlayang di udara lembut. Jaemin membuang nafasnya kasar dan mengusap wajahnya.

"Maaf--"

"Tidak perlu," potong Mark pendek. Renjun meringis mendengarnya.

"Tapi..." tapi apa? Renjun juga tidak tahu.

"Lupakan saja, Renjun," putus Mark sepihak. Matanya terpejam merasakan dinginnya kompres yang menyapu garis rahangnya.

"Aku tetap minta maaf," Renjun bersikeras.

Mark mendengus. "Lalu kau mau apa? Itu tidak merubah apapun."

"Aku bisa memberimu kompensasi."

Dia melotot mendengar kata-katanya sendiri. Renjun mulai ngawur.

"Kompensasi ya..." Mark tampak berpikir. Kemudian ia melempar Renjun dengan tatapan menantang, ia sampai kesulitan menelan ludah.

"Baiklah."

Apa yang sudah ia perbuat?"

π

A/N: akhirnya up juga :" 😂
Agak panjang chapter ini, semoga betah ya. 👀👀
Makasih buat yang sudah mampir, vote, maupun komen :'' 💕🙆
Mohon kritik dan sarannya ya heheh
See you next chapter 💕💕👌💨

P.s: SEBENERNYA KALAU MAU GAMPANG PROYEKSIIN VISUAL MARK, ADA DI MV CHAIN :" RAMBUT MERAH PAKE BAJU ANAK MOTOR GITU HUHUHU... -,,- KALO GAK PAS DIA MAENAN API ITU :" *alay* terus KALAU Renjun yang di WE YOUNG. Kebayang nggak bedanya kek gimana mereka 😂










Continue Reading

You'll Also Like

1M 54.9K 35
It's the 2nd season of " My Heaven's Flower " The most thrilling love triangle story in which Mohammad Abdullah ( Jeon Junghoon's ) daughter Mishel...
295K 27.6K 64
Third book of idol love series... Devotion- "Strongest form of love" All the characters are fictional. There is no connection with the real place or...
1M 33.6K 60
π’π“π€π‘π†πˆπ‘π‹ ──── ❝i just wanna see you shine, 'cause i know you are a stargirl!❞ 𝐈𝐍 π–π‡πˆπ‚π‡ jude bellingham finally manages to shoot...
136K 4.2K 45
matilda styles, will you be my valentine? (please reject me so i can move on) ⋆ Λšο½‘β‹†ΰ­¨πŸ’Œΰ­§β‹† Λšο½‘β‹† IN WHICH christopher sturniolo falls for nepo baby or...