Rotasi dan Revolusi

De Crowdstroia

2.6M 326K 35.7K

[TELAH TERBIT] Arraf Abizard Rauf adalah raja tanpa mahkota Universitas Sapta Husada. Semua orang sering meny... Mais

prakata
playlist + characters' aesthetics
1 || Skripsi
2 || Maskulin
3 || Jazz
4 || Byssus
5 || Chat
6 || Balasan
7 || Amnesia
8 || Analisis
9 || Standar
10 || Kesempatan
11 || Kencan
12 || Selingkuh
13 || Ambisi
14 || Pengertian
15 || Baper
16 || Arogan
17 || Keluarga
18 || Nafsu
19 || Lengkap
20 || Bintang
21 || Raja
22 || Cemburu
24 || Degup
25 || Tes
26 || Cheesy
27 || Danau
28 || Matahari
29 || Eternity
30 || Publikasi
31 || Toleransi
32 || Magis
Rencana Penerbitan
Pre-Order
URAIAN SEMUA SERI CERITA CROWDSTROIA

23 || Brutus

58.4K 8.2K 997
De Crowdstroia


A/N

3k words. thank me later.


========

23

b r u t u s

========




Sekotak Beng-Beng kini berada di tangan Riv. Kotak itu sedikit dihias dengan pita dan sebuah amplop kecil yang tertempel di depannya.

"Aku nggak baca isi surat di amplop itu, kok," ujar Nirvana yang baru saja memberikan dus Beng-Beng titipan Arraf untuk Riv. Dia dan Riv kini berada di ruang tamu dengan TV yang menampilkan kartun pagi. Nirvana mengikuti Riv untuk duduk di sofa ganda sambil menonton. "Bang Arraf nitip ke aku. Katanya buat hadiah kejutanmu, Riv."

"Dia datengin kamu di FMIPA?" tanya Riv, agak waswas. Dia masih belum siap jadi manusia yang tersorot seperti Arraf hanya karena statusnya adalah 'gebetan Arraf'.

"Enggak, sih. Tadi malam tuh, aku ada kumpul makan bareng sama anak-anak organisasi aku. Kebetulan kami makan di tempat makan dekat rumah dia. Dia hubungin aku udah dari minggu lalu, sih, tapi baru terealisasi sekarang buat kasih hadiah ke kamu." Nirvana melirik ke arah Beng-Beng di pangkuan Riv. "Kamu yang kasih tahu ya, minta dihadiahin Beng-Beng?"

"Iya. Tapi, bentar dulu," sela Riv, menyadari sesuatu. "Kamu sama teman-teman organisasimu? Anak BEM?"

"Bukan, kok. Kayak himpunan mahasiswa satu daerah. Yah, pada kenal Bang Arraf semua, sih. Tenang, kok. Mereka nggak ngelihat Bang Arraf. Orang aku ketemu dia setelah pulang dari kumpul-kumpul itu."

Riv seketika menghela napas lega. Beginilah risiko jadi gebetan artis kampus. Kalau pun bisa, ingin rasanya Riv hanya berteman dengan Arraf saja. Cuma, Arraf sudah jelas-jelas menyatakan bahwa dia ingin kencan untuk konteks pacaran, bukan pertemanan. "Ya udah kalau gitu, Nir," ujar Riv, mengangkat sekotak kecil Beng-Beng pemberian Arraf. "Makasih ya udah mau dititipin."

"Sama-sama," ujar Nirvana. "Aku balik ke kamar dulu, ya."

Mengangguk, Riv menatap kepergian Nirvana ke belokan menuju kamar di indekos mereka, lalu kembali menatap sekotak Beng-Beng di pangkuannya. Riv menghela napas, lalu menarik kertas terlipat di dalam amplop mini yang tertempel pada kotak Beng-Beng-nya. Riv berdoa dalam hati semoga surat dari Arraf tak terdengar cheesy atau menggelikan.



Untuk: Trivia calon pacar Arraf

Dari: Arraf Abizard Rauf


Gue nggak pinter puisi-puisi gitu sih. Nggak bisa jadi Rangga-nya Cinta. Bisanya jadi Arraf-nya Riv. Nggak usah putar bola mata baca kalimat barusan. Gue yakin kalau udah jadi pacar gue, lo pasti bakal seneng dikasih gombal receh begitu.

Sebelumnya gue mau ngingetin bahwa surat ini bakal panjang.

I'm gonna tell you one thing about me: gue orangnya kalau mau melakukan sesuatu selalu totalitas. Mending nggak usah dikerjain sama sekali kalau gue cuma bisa setengah-setengah ngerjainnya. Yes, I am definitely goals-oriented and you descibed that so well. Ini juga termasuk totalitas dalam jalin hubungan, Riv. Gue nggak suka setengah-setengah. Kalau gue jadi pacar, I'll give my 100% to my girlfriend, Riv. Enggak, bukan berarti gue kasih segala keputusan hidup gue di tangan pacar gue, bukan. Tapi gue bakal ngelakuin berbagai hal secara totalitas buat bangun hubungan sama dia, buat bahagiain dia, buat mempertahankan hubungan itu sampai nikah. This will be tricky, that's why I need a smart woman to stay at my side. Gue hanya akan menyerah pada hubungan kalau memang gue merasa si cewek nggak bisa gue ajak kerja sama.

I want to make the world a better place. So I hope my girlfriend or wife would also wants that.

And I hope you want that too.

Kalau iya, then let's work to make a world a better place together. Nggak harus langsung ke hal-hal besar. Tetapi bisa dimulai dari hal-hal kecil.


Tertanda,

Insyaallah calon pacar lo




Riv tertawa membaca kata-kata salam terakhir. Dia suka sekali dengan surat ini. Dari mana Arraf belajar nulis surat semanis ini? batin Riv sambil tersenyum membaca ulang surat itu.

Namun, senyumnya seketika luntur ketika Riv teringat dengan ayahnya.

Arraf kayaknya nggak akan bisa menerima kondisi Papa, pikir Riv sembari menyimpan lagi surat itu ke dalam amplop. Nanti deh di kencan selanjutnya gue cerita tentang Papa. Siapa tahu abis itu Arraf langsung mundur. Yah, dan walau Arraf potensial, gue nggak bisa pacaran sama cowok yang nggak bisa menerima kondisi keluarga gue.

Menarik napas, Riv mengambil satu bungkus Beng-Beng dan menonton kartun sambil makan.


***


Arraf selalu memiliki SOP untuk jangka waktu PDKT.

Waktu PDKT untuk Arraf tak boleh lebih dari dua bulan. Apabila sudah dua bulan PDKT, hubungan tak terasa akan beranjak ke jenjang pacaran, Arraf akan berhenti PDKT dengan perempuan itu dan beralih ke perempuan lain. Dan jika sudah dua kali kencan tak menemukan kecocokan juga, obrolan tidak nyambung dan semacamnya, maka Arraf juga akan jaga jarak dan beralih ke perempuan lain. Jika sudah tiga kali kencan dan makin merasa cocok, maka di kencan keempat atau kelima dia harus lebih mengarahkan dan memperjelas bahwa dia ingin memacari perempuan itu. Dia tak suka ada kesalahpahaman, sehingga lebih baik bicara terus terang daripada berkode-kodean.

Ini adalah kencan keempatnya bersama Riv. Berdasarkan SOP standar PDKT Arraf, harusnya sekarang dia kembali afirmasi untuk keinginan Riv mau jadi pacarnya atau tidak. Arraf yakin pasti ada kendala dari Riv yang belum Arraf ketahui. Arraf harus segera memperjelas itu sebelum memutuskan langkah selanjutnya.

"Yes! Akhirnya gue datang lebih duluan daripada lo," ujar Riv ketika Arraf baru saja muncul di sebuah taman kota. Hari masih pagi sehingga cuaca masih sejuk. Dua minggu berlalu tanpa bersua lagi dengan Arraf, dan kini Riv mendapati Arraf dengan potongan rambut baru. Gadis itu tersenyum santai. "Nice haircut."

Arraf menyisir rambutnya yang baru dipotong. Menyeringai, Arraf iseng bertanya, "Lo terpesona sama rambut baru gue?"

Riv tertawa. "Semacam itu. Lo kelihatan lebih ganteng habis potong rambut. Gue suka potongan rambut baru lo."

Cengiran kontan terbentuk di bibir Arraf. Ada rasa bahagia muncul karena Riv memujinya. "Thank you." Dia menatap Riv dari kepala hingga ujung kaki. Riv mengenakan celana jins hitam, kaus, dan kardigan abu-abu hari itu. Wajahnya tetap manis seperti biasa, lengkap dengan bibir ber-liptint sewarna red wine yang membuat Arraf ingin mabuk di bibir itu. Cengiran Arraf melebar. "You look yummy."

Riv mengerjap, bingung harus mengucapkan terima kasih atau menegur Arraf. Akhirnya, dia hanya membalas, "Apanya yang yummy? Bibir gue? Lo suka liptint-nya, ya?" Riv pun merogoh tas selempang kecilnya, lalu mengeluarkan liptint yang dia pakai. Wajahnya terlihat polos ketika berkata, "Nih, Raf, gue pinjemin."

Arraf spontan terbahak. Anjirlah gemesin amat! Kalau jadi pacar udah gue cium beneran nih cewek, batin Arraf dalam hati. Akhirnya, dia hanya mengacak rambut Riv gemas lantas berkata, "Udah simpan aja liptint lo. Maksud gue lo kelihatan cantik. Itu aja."

"Oh, thank you." Riv memberi salute. Lalu menyimpan kembali liptint-nya ke dalam tas. "So, Mr. Always Well-Planned, lo udah ada rencana mau ngapain aja di taman kota ini?"

"Udah." Arraf tersenyum karena Riv selalu mengingat kebiasaannya tersebut. Lelaki itu merogoh saku jaket untuk mencari ponsel, lalu membuka galeri dan menunjukkannya kepada Riv, lalu mulai menjelaskan lokasi-lokasi apa yang akan mereka datangi dengan berjalan kaki.

Arraf mulai berjalan bersama Riv menuju pintu masuk taman kota. "Dua minggu benar-benar nggak berkabar, sibuk banget skripsian sampai lupa gebetan lo sendiri?"

"Gue emang kalau lagi fokus ngerjain sesuatu nggak suka diganggu." Riv tertawa. "Nggak apa-apalah, biar cepat kelar. Penelitian gue nggak terlalu lama sih sebenarnya. Yang lama ngejar dosen. Harusnya hari ini gue ke Pak Hugo, tapi Pak Hugo ternyata lagi ada acara keluarga. Ya udah, gue kabarin lo aja kalau gue luang hari ini."

"Untung hari ini gue juga luang."

"Emang biasanya Sabtu lo ngapain?"

"Lari pagi, olahraga sama teman-teman gue, nonton film, nga-date sama cewek, baca buku, bikin planning, beres-beres. Gue mau pindah ke apartemen, sih."

Riv mengangkat alis. "Kenapa? Mau tinggal lepas dari ortu?"

Tertawa, Arraf menjawab, "Kalau lepas dari ortu mah, gue udah biasa dilepas dari dulu. Pas SMP sampai SMA aja gue tinggal di asrama. Kuliah juga gue tinggal di asrama. Aneh banget pas balik tinggal di rumah, apa-apa udah disiapin. Ya enak sih. Tapi, aneh aja karena udah biasa apa-apa sendiri."

"Lo ngapain kuliah tinggal di asrama?" tanya Riv, penasaran. "Kan, jarak dari kampus ke rumah lo nggak jauh-jauh amat."

"Biar mandiri aja, sih. Sama buat bangun link sama orang-orang baru. Tiap ganti jenjang pendidikan, gue ganti asrama. Syukurnya gue dapat banyak teman dari situ."

"Ah, biar gue tebak. Pasti lo selalu jadi ketua ini, ketua itu, pokoknya ketua segalanya ya pas di asrama?"

"Yep. Gue akui, gue emang suka memimpin. I think I can be a good leader — no, I AM a good leader. Gue mau kotor-kotoran dan terjun langsung ke lapangan bersama orang-orang yang mau gue pimpin. Bukan sekadar perintah-perintah bawahan aja. Gue sadar bahwa itulah bedanya bos dengan pemimpin. I wanna be a great leader."

"Why?" tanya Riv. "Kenapa harus jadi pemimpin? Because you think you're good in leading people?"

"Yeah. Selain itu, gue juga yakin gue bisa mendorong mereka buat jadi lebih baik." Arraf tersenyum. Mereka berjalan santai menuju jejeran tempat duduk yang terletak di bawah pohon rindang. "Kayak yang udah gue tulis di surat Beng-Beng lo itu. I wanna make the world a better place. Dan hal itu bisa dimulai dari hal-hal kecil. Gue belum bisa jadi selevel Bill Gates yang mempermudah hidup umat manusia dengan menciptakan Microsoft, jadi ya gue mulai dari hal-hal kecil dulu."

Riv duduk di bangku kayu menghadap tengah taman. Memandangi orang lalu lalang. "Tapi, hal kecil buat lo sebenarnya nggak kecil buat orang lain, sih. Apa lo anggap kemenangan FMIPA itu hal kecil?"

"Enggak." Arraf tertawa, lalu ikut duduk. "Buat gue, itu salah satu hal yang luar biasa yang bisa gue dan anak-anak FMIPA capai. Ini bukan kerja gue aja, Riv. Ini hasil kerja keras semua anak FMIPA yang udah membantu dan mendukung semua pemain, manajer, maupun panitia tiap cabor. Gue berencana, gue berusaha, tapi visi kemenangan itu nggak akan bisa tercapai kalau mereka semua nggak mau kerja sama. Kemenangan FMIPA buat gue kayak bonus plus-plus yang bakal menyempurnakan tujuan gue."

"Bentar," Riv menyela, mengerjap. Menatap Arraf heran. "Kemenangan FMIPA bukan tujuan lo?"

"Bukan tujuan utama, sih." Arraf menatapi dedaunan di taman yang bergoyang oleh angin pagi. "Tujuan utama gue itu nyatuin anak-anak FMIPA. Kebanyakan pada individualis soalnya. Ajang kayak Oksigen buat gue bisa jadi wadah buat mempererat kerja sama tiap anak. Harus ada orang yang memotivasi dan menginspirasi mereka buat senantiasa bekerja sama, dan harus ada target yang jelas, yang bisa bikin mereka tetap semangat. Gue nggak memungkiri bahwa ada sebagian anak FMIPA yang juga butuh gengsi, makanya gue komporin gimana nanti kalau udah jadi juara umum Oksigen."

"Efektif?"

"Jelas. Memang di situ inti kerja samanya. Buat gue kalaupun ternyata FMIPA nggak menang juara umum, target gue udah tercapai karena anak-anak FMIPA udah pada kerja sama dengan baik, saling bantu-bantu untuk meraih kemenangan. Tapi, target gue ini bakal jauh lebih sempurna terpenuhi dengan kemenangan juara umum itu. And, we won. That's good."

Riv mengerjap. Masih tak percaya. "Gue dulu pernah lihat lo minta salah satu anak Kimia buat bikin obat pemicu adrenalin. Yang ada di pikiran gue waktu itu, apa yang sebenarnya mau lo capai dari kemenangan FMIPA itu? Ternyata... ini?"

"Emang lo pikir karena apa? Gengsi?" Arraf melirik Riv sambil tertawa. "Emang buat gengsi, Riv. Gue mau kasih pride ke anak-anak FMIPA bahwa mereka bisa. Banyak anak FMIPA rendah diri soalnya. Memang pintar akademik, tapi merasa ya udah jagonya di situ aja. Salah besar. Kita semua bisa kok jadi orang multitalented. Ini cara gue buat meningkatkan kepercayaan diri mereka bahwa mereka bisa. Efektif, karena mereka juga jadi belajar manajemen waktu dan uang gara-gara ikut Oksigen."

"Efektif gimana? Perasaan pasca Oksigen ya udah dunia berputar sama aja."

Arraf mendecak. "Itu karena lo nggak ikut Oksigen secara riil." Dia mendengus. "Pasca Oksigen itu gue dapet banyak respons mereka pada jadi berani ikut lomba ini-itu yang nggak ada hubungannya sama jurusan mereka atau akademik. Ya nggak masalah. Itu namanya cari pengalaman buat dipelajari. Gue mau mereka kompeten dan mampu bersaing untuk berbagai aspek, bukan sekadar pintar akademik aja. Makanya hal apa pun, Riv, apa pun, sekecil apa pun yang bisa gue usahakan buat memperbesar kemungkinan menang, I'll do it. Itu, namanya totalitas. Bukan sekadar ngambis. Ngambis versi gue nggak naif dan nggak bego karena gue selalu berencana buat kemungkinan terburuk juga. Bukan cuma bersiap dapat hasil terbaik."

Mata Riv menyipit. Dia agak ngeri sebenarnya. "Badan atau jiwa lo nggak remuk apa?"

Sontak, Arraf terbahak keras. "Tepar gue, Riv. Tapi ya gue selalu ingat target. It makes me feels alive." Arraf menatap ke depan, menarik napas. "Gue sering nggak tidur berhari-hari semasa Oksigen berlangsung. Gue harus kuliah dan praktikum dari pagi sampai sore, malamnya tanding atau latihan, pulang ke asrama kerjain laprak, repeat. Kuliah gue full dari Senin sampai Sabtu, hari Minggu latihan, kerjain segala macam tugas, dan di waktu luang gue mikirin strategi buat menang, atau kerjain laprak, atau nyicil karya tulis ilmiah yang mau gue kirim buat lomba. Yah, manajemen waktulah. Gue juga nggak mau turun IPK karena ini."

Riv mengangguk. Sekarang dia makin paham kenapa banyak perempuan begitu terpesona kepada Arraf. Bukan cuma tampan dan cerdas, tetapi Arraf juga visioner, betul-betul brilian dalam mengatur strategi efisien. "Dan ini balik lagi ke tujuan lo untuk make the world a better place. You want to lift others. Bukan cuma mau 'meninggikan' posisi lo sendiri aja."

"Nah, itu kalimat yang tepat. I wanna lift others. Gue mau mendorong mereka jadi lebih baik."

"That's good." Riv menggut-manggut. "Tapi asumsi gue, banyak yang diam-diam benci sama lo nggak sih, karena lo dianggap terlalu ngambis?"

"Definitely," aku Arraf. "Mereka nggak bisa mencapai standar yang udah gue tetapkan. Alasannya sih karena standar tiap orang beda-beda. Memang benar, tapi jelas itu nggak bisa diaplikasikan buat ajang kayak Oksigen. Kalau mau jadi pemain inti, ya kali standar dari pertandingannya harus menyesuaikan dengan standar masing-masing pemain? Ya nggak bisalah, orang pemainnya banyak. Yang ada pemain yang harus ikut standar dari pertandingan itu. Dan standar dari gue ya standar baku yang bisa melampaui standar dari pemainan, standar dari tuntutan mahasiswa, anak organisasi dan semacamnya. Wajib bisa manajemen waktu, tentuin skala prioritas. Kalau merasa belum terkualifikasi untuk mencapai standar ya usaha. Jangan ngeluh doang. Nggak guna."

Riv terkekeh. "I see. Niat lo baik dan cara lo menurut gue udah efektif padahal. Lo kayaknya sering disalahpahami ya."

"Ya semacam itulah." Arraf menyilangkan tangan, menyandarkan punggungnya pada kepala bangku. "Orang-orang pada bilang kalau niatnya baik tapi caranya salah, ya artinya salah. Itu aneh. Salah dan benar padahal beda-beda di mata tiap orang. Kayak standar buat pemain FMIPA untuk Oksigen tadi, deh. Gue punya standar ini-itu, malah dianggap salah nggak menghargai skill masing-masing orang. Nggak menghargai gimana, sih? Orang jelas-jelas gue mau mereka jadi lebih baik. Bentuk penghargaan gue ya kayak gitu."

"Tapi, itu nggak bisa diterima sebagian orang. Cuma ya karena lo punya otoritas, mereka jadi nggak punya pilihan selain mengikuti lo. Makanya lo sering diomongin di belakang."

"Ya gitulah." Arraf menarik bibirnya ke satu sudut. "Lo sering nemu orang lagi ngomongin gue?"

"Sering. Nama lo sering disebut-sebut bahkan setelah dua tahun lo lulus. Udah kayak nama dewa."

Arraf terbahak. "Kalau ngomongin yang baik-baik okelah. Diomonginnya yang buruk-buruk juga, nggak?"

"Dua-duanya, sih. Tapi so far, lebih banyak omongan baik daripada omongan buruk." Riv menyipitkan mata, menatap ke arah dedaunan yang jatuh dari pohon sambil berpikir kemungkinan lain. "Atau, mungkin banyak juga omongan buruk, cuma yang ngomongin itu adalah orang yang udah kerja bareng lo dalam waktu lama dan tahu busuk-busuk lo gimana. Mungkin, sih."

Arraf tersenyum tipis. "Emang kayak gitu."

Ada hening. Riv mengambil waktu sejenak untuk menarik benang merah dari asumsi-asumsi terdahulunya. "Jadi, apa lo lebih takut sama teman-teman lo sendiri yang bisa nusuk lo dari belakang?"

Tertegun, Arraf berusaha tak melirik wajah Riv yang dia yakini pasti sedang menatapnya penuh rasa ingin tahu. Arraf menelan ludah. "Siapa yang nggak takut? Pengkhianatan selalu menyakitkan."

"Gue sempat menduga-duga, sih," ujar Riv, menopang dagunya dengan siku berada di paha. "Lo tuh kayak Julius Caesar, Raf. Penguasa Romawi, songongnya naudzubillah, tapi emang taktik perangnya yang membawa kejayaan bagi bangsa Romawi itu brilian. Tapi pada akhirnya, Julius Caesar malah dibunuh sama sahabatnya sendiri, yakni Brutus." Bola mata Riv mengarah kepada Arraf lewat sudut mata. "Lo udah ketemu Brutus di hidup lo?"

Senyum tipis perlahan muncul di bibir Arraf. Matanya penuh misteri. "Udah."

Ada hening lagi. Riv mengerjap. "I see." Matanya kembali mengarah ke pepohonan taman di depannya. "Apa ini bikin lo tambah meninggikan tembok pertahanan lo?"

"Iya. Itu self-defense mechanism manual manusia kalau habis dikhianati. Pasang tembok lebih tinggi biar nggak jatuh ke lubang yang sama."

"Terus kenapa lo ngobrolin hal ini ke gue?"

Tersenyum lagi, Arraf pun melirik Riv. "I'm testing you."

"Ngetes apa gue bisa dipercaya atau enggak?"

"Iya." Dengan mata terpejam, Arraf menarik oksigen ke paru-parunya. "Risiko yang perlu gue ambil buat deketin lo sebenarnya tinggi, Riv," ujar Arraf, menatap Riv serius. "Because you are very scary, Trivia. Don't you know that?"

Riv tak gentar membalas tatapan Arraf. "I think you're also scary," balas Riv. "Gue takut kalau lo udah kemakan sama ambisi, ego, atau power yang lo punya. Kayak Julius Caesar."

"Kita impas, kalau begitu," ujar Arraf. "Kita sama-sama menakutkan buat satu sama lain. Bahkan mungkin buat orang selain kita."

"Kalau elo sih, iya. Wajar orang pada takut. Gue?" Riv bertanya heran. "Apa yang menakutkan dari gue? Gue nggak punya kuasa apa-apa buat menghancurkan orang."

"Lo punya, Riv. Lo sangat punya," Arraf bicara, meyakinkan. "Analisis lo itu akurat. Apa nggak ada teman-teman lo yang takut sama betapa akuratnya hasil analisis lo itu?"

Riv terdiam. Mendadak, otaknya memutar memori masa lampau ketika dia masih SMP. "Oke, teman-teman gue pas SMP emang pada takut. Mereka pikir gue bisa baca pikiran, but no, I can't," ujar Riv, berusaha santai. "Tapi, gue berusaha adaptasi. Sejak itu gue jarang lempar hasil analisis gue ke teman-teman gue secara blak-blakan karena gue nggak mau mereka takut. Padahal gue analisis mereka biar gue bisa lebih memahami mereka aja, Raf. Kalau ada analisis gue yang salah, biar mereka klarifikasi untuk perbaikan gue, jadi gue bisa lebih memahami mereka. Biar gue tahu mereka sebaiknya diperlakukan dengan cara kayak gimana yang efektif. Gue berani blak-blakan ke elo karena lo sendiri juga ternyata senang dianalisis, dan gue tahu lo orangnya lebih suka to the point. Dan gue penasaran aja apakah analisis gue benar atau salah."

"You might destroy me."

Riv terdiam. Alisnya bertaut. Suasana yang dia rasakan mendadak tegang. "Buat apa gue menghancurkan lo, Raf?"

"I don't know. Could be anything." Arraf menarik napas. Menatap Riv dengan serius. "Bisa jadi lo beberkan analisis lo itu ke orang lain, dan orang lain bisa aja menggunakannya buat berbalik melawan gue."

Jemari Riv mengetuk-ngetuk di pahanya. Dia mulai paham maksud Arraf. "Sebagai pembelaan, sampai sekarang cuma gue, lo, dan Tuhan yang tahu analisis diri lo sampai kayak gini, Raf."

"Gimana ke depannya?" tanya Arraf, sangsi. Matanya masih serius memandang Riv. "Bisa jadi ada orang yang mau gue jatuh, terus dia tahu kita dekat dan dia mengorek informasi tentang gue dari elo tanpa lo sadari."

Lagi, Riv bergeming. Dia sadar ada nada ganjil dari suara Arraf serta tatapan Arraf yang terlihat waswas. Tenang, dia pun bertanya, "Ada apa, Raf?" Mata Riv meneliti wajah Arraf. "Lo takut kalau lo dikhianati lagi?"

"You see, inilah kenapa gue pikir lo itu menakutkan, Trivia." Arraf tersenyum, tetapi senyumnya tak sampai mata. "Gue nggak pernah setakut ini sama gebetan gue. Lo bisa jadi membeberkan analisis lo ke orang yang mau lihat gue jatuh. Lo tahu cara menghancurkan gue yang paling efektif adalah dengan menjadi orang terdekat gue lalu berkhianat. Sesederhana itu, Riv. Mungkin lo tanpa sadar membeberkannya ke orang lain."

"I see." Riv mengangguk, paham. "Reasonable. Oke deh itu catatan buat gue nggak membeberkan hasil analisis gue tentang lo ke orang lain."

Arraf mendengus terkekeh. Dia beranjak berdiri, lalu mengedik ke suatu jalan. "Mau beli makanan ke sana? Habis bahas yang agak berat kayak tadi, kali aja lo lapar."

Riv tertawa. "Itu tadi bukan hal berat, Raf. Itu kayak obrolan harian gue sama teman dekat gue." Gadis itu turut berdiri. "Tapi, ayo kita cari makan. Kali aja ada yang jual es podeng."

"Sure." Arraf tersenyum. Tak sadar bahwa meski sudah menyiapkan berbagai rencana hari ini, tetap saja akan selalu ada berbagai hal yang mengejutkannya dari sosok Riv.

[ ].

Continue lendo

Você também vai gostar

ALZELVIN De Diazepam

Ficção Adolescente

6.1M 335K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
SAGARALUNA De Syfa Acha

Ficção Adolescente

3.5M 180K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
1.6M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
MUARA KIBLAT De Awaliarrahman

Ficção Adolescente

573K 63.5K 25
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santriwatinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah...