Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.3M 265K 44.9K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 17 •

38.7K 5.4K 717
By AM_Sel

Vano terengah. Tangan kanannya menggenggam erat pergelangan tangan kiri El, sementara tangan kirinya berpegangan pada balkon agar tidak ikut jatuh. Ia panik sekali tadi. Vano takut bukan main.

"El, jangan bergerak, oke? Gue betulin posisi gue dulu, habis itu lo gue tarik," ujar Vano mencoba untuk tenang. Hampir setengah dari tubuhnya terperosok ke bawah. Kalau saja tangan kirinya tidak menahan, mungkin dia sudah akan ikut terjun bersama El. Ia segera menjejakkan kakinya ke lantai dengan hati-hati.

"Alvano.."

Vano menoleh. El mendongak menatapnya. Tangan kanan El terulur.

"Tunggu bentar. Lo ten-"

Tapi, tangan itu malah menggenggam tangannya yang menahan tubuh El. Lalu, jemari-jemarinya dipaksa melepaskan.

Wajah Vano langsung pias, "El, jangan lakuin itu," dia menggeleng. Tangan kirinya belum bisa melepas pinggiran balkon. Jika dilepas, mereka akan jatuh.

Sebuah senyum terbit dari paras wajah El. Hal yang dinanti-nanti oleh Vano setelah sekian lama. Namun, bukan senyum itu yang ia inginkan. Bukan senyum menyedihkan seperti itu.

"Makasih," ujar pemuda cokelat tersebut, dan dalam sekali sentak, genggaman tangan Vano terlepas.

"EEEELL!!!"

Vano berusaha menangkapnya kembali, tapi tidak bisa.

Tubuh itu terjun dengan mulus dari lantai tiga, dan mendarat di tanah dengan bunyi yang menyakitkan.

Tuhan, tolong bilang kalau ini hanya mimpi.

Vano langsung lemas seketika. Matanya memanas. Tak percaya sama sekali dengan apa yang baru saja ia lihat. Dengan sekuat tenaga, ia langsung berlari ke bawah dengan mata yang sudah mengeluarkan cairan beningnya.

Dia tak peduli sama sekali, dengan kata orang yang bilang bahwa laki-laki itu tidak boleh menangis. Persetan! Dia manusia. Menangis adalah hal wajar. Apalagi di saat seperti ini.

Vano takut sekali. Lebih lagi saat ia sudah tiba di belakang gedung, dan melihat tubuh El yang tergeletak begitu saja. Tangisannya mengencang. Melihat banyaknya darah yang keluar, semakin membuat Vano merasa takut.

Ia terduduk di samping tubuh itu.

"Jangan mati. Gue mohon, jangan mati," gumamnya putus asa. Ia mengusap pipinya sesekali. Vano harus tenang. Dia harus tenang dan memeriksa keadaan El. Dengan segera, ia memeriksa apakah masih ada hembusan udara yang keluar dari hidung El. Lalu, melihat apakah ada pergerakan di dada atau perutnya.

El harus hidup. El harus hidup. Itu yang ada dipikirannya.

Lalu, dia bisa merasakan hembusan napas pelan. Vano mengusap wajahnya lagi. Menghalau air mata-air mata itu. Bagus. El masih bernapas, walaupun lemah. Jatuh dari lantai tiga, bisa membuat nyawa korbannya melayang jika salah.

Napas Vano memburu. Dia masih terisak. Dengan panik, ia mengambil ponselnya dan segera menelpon sang Ayah. Telpon pertama, ia tidak dijawab. Isakan Vano semakin mengeras. Hidup El bisa tidak tertolong jika terlambat dibawa ke rumah sakit. Ia mencoba untuk menelpon lagi. Lama, namun kali ini diangkat.

'Vano, Ayah lagi-'

"Ayah.. kirimin ambulans cepetan! Ke Apartemen Arkais. Di belakang gedung apartemen!"

'Ada apa? Jangan nangis dulu..'

Tangisan Vano malah makin menjadi, "El.. El loncat dari lantai tiga.. uhh.. ugh.. Vano.. Vano udah coba selamatin, tapi.. tapi.."

Dia bisa dengar, Ayahnya berseru. Meminta untuk segera mengirim ambulans ke alamat yang Vano ucapkan tadi.

'Vano, dengarin Ayah. Kamu tenang dulu. Kami dalam perjalanan. Udah cek pernapasan El?'

Alvano mengangguk, "udah. Dia masih bernapas."

'Cek saluran pernapasannya!'

Vano memutuskan untuk meloudspeaker telpon itu, dan meletakkannya di tanah. Merasa bodoh, karena seharusnya, ia mengecek saluran pernapasannya dulu tadi. Vano segera membuka mulut El dengan dua jari. Melihat apakah ada benda yang berpotensi menyumbat saluran pernapasannya. Namun, tidak ada. Setelah itu, ia memeriksa apakah El mengalami patah tulang leher atau tidak, dan Vano semakin panik.

"Ayah.. uhh.. Ayah.. lehernya.. hiks.. lehernya patah.. ugh.."

Patah pada leher semakin menaikkan resiko kematian.

Vano mengusap air matanya. Tak peduli bahwa tangannya sudah terkena darah El.

'Vano, Vano, tenang.. lancarkan pernapasannya dulu. Lakuin jaw thrust.'

"Tapi, Vano ngga pernah! Nanti salah!"

'Jangan mikir salahnya dulu! Kamu mau selamatin dia atau enggak?! Itu pertolongan pertama, Vano! Kalo dia ngga bisa napas, semuanya selesai!'

Ayahnya menambah tekanan. Tapi, apa yang ia katakan memang benar.

Vano berusaha sekuat mungkin untuk bernapas normal. Dia harus mengingat bagaimana cara melakukan jaw thrust. Posisinya ia ubah, di depan kepala El. Lalu, dengan perlahan, ia mendorong sudut rahang kiri dan kanannya ke arah depan sehingga barisan gigi bawah berada di depan gigi atas.

Tarikan napas terdengar.

Tetesan air mata Vano terjatuh mengenai pipi El.

"Gue mohon, jangan tinggalin gue," bisik Vano pelan.

"Mana ambulansnya?! Kenapa lama?!" seru Vano.

'Bentar lagi kami sampai. Cek kesadarannya.'

"Ngga mungkin sadar!"

'Cek, Alvano!!'

Vano melepas dengan pelan kedua tangannya.

"El? El, lo denger gue?" tanyanya. Ia mengamati tubuh El dengan teliti. Yang mana, malah membuat air matanya menderas saat melihat kaki kiri El yang mengalami fraktur terbuka, dan tangan kanannya yang lebih parah. Vano mengalihkan tatapannya dari tangan kanan itu. Ia rasa, tangan kanan itu jatuh terlebih dahulu tadi. Setelah itu, ia mencubit lengan kiri El. Dilanjut dengan menekan dadanya.

"Ngga ada respon!" serunya.

'Suhu tubuh?'

"Turun!"

'Panggil dia terus. Pancing kesadarannya! Kami bentar lagi sampai di halaman gedung.'

Vano menggenggam tangan kiri yang mendingin itu. Ia mengusap kepalanya pelan.

"El.. lo harus bertahan. Bentar lagi mereka sampai. Lo harus hidup. Lo ngga boleh ninggalin gue."

Bajunya mulai memerah karena darah El. Wajah pemuda berambut cokelat itu semakin memucat.

Vano memejamkam kedua matanya erat. Dahinya ia tempelkan di dahi El.

"Kenapa lo lakuin ini? Gue bakalan tetep mencintai lo, apapun yang terjadi. Lo ngga boleh ninggalin gue gitu aja."

Vano mengusap air matanya. Lalu, dari kejauhan, suara ambulans terdengar. Ia mendongak. Benar-benar tak sabar. Tak lama kemudian, Orang-orang dari rumah sakit itu datang, dan menghampirinya.

Sang Ayah yang ternyata ikut, sontak menarik Alvano menjauh. Memberi ruang agar orang-orangnya bisa melakukan pertolongan pada tubuh kurus mengenaskan itu.

"Dia kekurangan banyak darah! Sediain secepatnya!" seru Alvano.

Ayahnya, menatap anak sulungnya itu iba. Dia sadar, Vano tidak bisa berpikir jernih.

Yah, siapa juga yang bisa berpikir jernih jika berada di posisi Vano? Bayangkan, orang yang kalian cintai, terjun begitu saja dari lantai tiga. Sekarat. Nyaris mati.

Bisa gila dia!

Vano bahkan terhitung luar biasa karena masih bisa melakukan pertolongan pertama pada pemuda cokelat itu.

Tubuh El dibawa masuk ke dalam ambulans. Vano mengambil ponselnya yang masih berada di tanah, dan menyusul ambulans itu bersama Ayahnya dengan mobil.

Jantung Vano masih belum bisa berdetak normal. Keringat terus mengalirinya. Ia menatap kedua tangannya yang berlumur darah El. Membuat napasnya yang tadi mulai menormal, kembali tak teratur. Pikiran buruk semakin menghantui kepalanya.

Ayahnya melirik, dan menyentuh pergelangan tangannya pelan, "Alvano, ambil napas dalam."

Alvano seolah tuli. Ia tak mengacuhkan perkataan Ayahnya. Kepanikannya semakin menjadi. Napasnya memburu.

Dengan khawatir, Ayahnya menepuk pundak Vano.

Pemuda itu menoleh. Menatap Ayahnya dengan nanar.

"Salah Vano, Yah," ujarnya lirih, "kalo aja Vano ngga buka balkonnya. Kalo aja Vano ngga ninggalin dia dan milih untuk pesan antar, semuanya pasti ngga bakalan begini."

Ayahnya menghela napas, "Nak, sejak awal, Ayah tau, keinginan hidup teman kamu itu memang sudah rendah. Ayah rasa, ada sesuatu yang menjadi latar belakang, mengapa dia melakukan hal tadi. Dan kebetulan, posisi kamu itu ada di sana. Itu bukan salah kamu. Kalo kamu ngga ada di sana, dia akan tetap ngelakuin hal itu. Bahkan, mungkin sejak kemarin-kemarin," ujar Ayahnya mencoba untuk memberi pengertian.

Vano tak membalas. Di dalam pikirannya, ia tetap menyalahkan dirinya sendiri.

Salahnya. Salahnya. Semua ini salahnya, dan...

...salah Cakra.

Kedua tangan Vano sontak mengepal. Si berengsek itu...

Dia akan buat perhitungan pada pemuda itu setelah ini. Akan dia remukkan tulang-tulangnya. Dia pukul sepuasnya sampai mati. Vano tidak akan membuat hidupnya tenang setelah ini.

Hingga akhirnya, mobil itu diparkirkan.

Tanpa mengatakan apapun, Alvano langsung keluar dari mobil itu meninggalkan Ayahnya, dan berlari menuju orang-orang yang akan membawa El menuju IGD yang terletak tak jauh dari pintu masuk rumah sakit.

Beberapa alat sudah terpasang di tubuh kecil itu, untuk menahannya agar tetap hidup.

Mereka segera masuk ke dalam IGD tersebut. Ada beberapa orang yang sedang menunggu untuk dirawat di sana.

Beberapa perawat datang dengan terburu-buru menuju mereka. Sigap, melakukan pemeriksaan kepada tubuh itu. Ayahnya yang ternyata mengikuti dari belakang, menarik Vano mundur dan ikut memeriksa secara langsung tubuh tersebut.

Alvano berdebar-debar. Merasa tak sabar, dan ingin Elnya segera diobati. Tapi, dia cukup mengerti bagaimana prosedur di IGD ini.

Ayahnya menghembuskan napas, "hubungi ruangan OK, minta mereka menyiapkan ruang operasi," ujarnya pada salah seorang perawat, dan segera dilaksanakan.

Alvano sontak menatap Ayahnya itu.

"Dokter, bagaimana dengan keluarga korban?"

Sang Ayah melirik Alvano, "anak ini sudah tidak memiliki keluarga lagi. Jika pun ada, saya yang tanggung jawab."

Mereka mengerti. Para perawat IGD itu segera melaksanakan prosedur persiapan pasien perioperatif sesuai dengan SPO. Keselamatan nyawa pasien mereka adalah hal yang diutamakan.

"Dokter, kamar operasi sudah siap menerima pasien!"

Ayahnya mengangguk, dan mereka segera mempersiapkan semuanya.

Vano hanya bisa diam. Merasa tidak berguna karena tidak bisa melakukan apapun. Kalau saja dia sudah dewasa. Kalau saja dia sudah menjadi seorang Dokter, dia pasti bisa membantu untuk menyelamatkan nyawa El.

Dan ujung-ujungnya, di sinilah dia berakhir. Di ruang tunggu operasi. Terduduk diam dengan baju dan tangan yang masih berlumur darah El yang mengering. Dia tidak memedulikan tatapan-tatapan orang lain karena penampilannya ini.

Ponselnya bergetar. Vano mengambil benda persegi itu dari sakunya. Bara. Icon telpon berwarna hijau pun ia geser, dan menempelkan layar itu ke telinganya.

'Van..'

Suaranya terdengar menahan emosi. Alvano memejamkan kedua matanya. Tau alasan Bara menelponnya. Pasti karena El. Apa yang terjadi pada pemuda itu kemarin.

"Gue udah tau, Bar," balas Vano.

'El mana? Dia.. ngga ngelakuin hal aneh, kan?'

Vano terdiam. Telat, Bar.

'Van? El kenapa?'

Si pemuda besar itu menelan ludah, "dia loncat dari balkon," jawab Vano dengan suara bergetar.

Bara tak langsung menjawab. Namun, biarpun pelan, Vano bisa mendengar lirihan pemuda itu.

'Lagi?'

Dahinya sontak mengerut. Lagi? Maksudnya?

"Bar-"

'Gue ke sana sekarang. Posisi lo di mana?'

"Rumah sakit. Di ruang tunggu operasi."

Sambungan telpon itu terputus. Vano masih diam. Lagi? Dia tau, Bara pernah bertemu dengan Elnya dulu. Jadi, apa El pernah melompat juga saat ia kecil?

Ujung ponselnya ia sentuhkan ke bibir. Vano semakin ingin tau, seperti apa masa lalu El. Semengerikan itu kah? Apakah pemudanya itu sangat-sangat menderita?

Dia sungguh harus mencari tau.

Secepatnya.

Tbc.

Saya sebenarnya kurang yakin apakah yang dilakuin Alvano ke El itu bener atau enggak. Hanya berpedoman pada Mbah Gugel, jadi saya harap yang baca maklum ya.

Saya asing dengan sesuatu berbau kedokteran, pertolongan pertama, dll, tapi saya nekat untuk tetap ngebuat tulisan semacam ini.

Kalo ada yang ngerti tentang hal-hal di atas itu, silakan tegur saya kalo saya salah.

Terima kasih.

Continue Reading

You'll Also Like

565K 33.9K 55
Cerita kecil, keluarga Choi. Seungcheol + Jeonghan = Jihoonie. Ngga pinter bikin summary, cuman diinget ya. 1. Ceritanya loncat-loncat 2. Most of it...
982K 74.8K 45
[TERBIT] [BAB MASIH LENGKAP] Axel dan Zio. Zio yang menjadi bahan bully oleh semua murid di sekolahnya terutama remaja lelaki bernama Axel. Dan Zio t...
35.1K 2.1K 19
Yulia berharap tidak akan bertemu pria yang sudah menyumbangkan sperma padanya. Pria yang tak bertanggungjawab dengan seenak jidat menghina Yulia seo...
19.7K 1.1K 6
[Follow Dulu bagi yang berkenan, aku ngarepin vote komennya jugak ehehe..tapi gak maksa kok, yang penting kalean enjoy bacanya] Pagi hari yang cukup...