Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.3M 265K 44.9K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 15 •

39.9K 5.4K 1.2K
By AM_Sel

"Cinta? Kau bermimpi? Sampai kapan pun, tidak akan ada yang mau mencintaimu."

•••••

Jantung El benar-benar berdegup sangat cepat. Keringat dingin mulai mengalir di pelipis dan punggungnya. Padahal, saat itu sedang hujan deras sekali.

Dia takut.

Tubuhnya bergetar pelan.

Kenapa dia harus hidup bersama luka-luka ini? Kenapa dia tidak bisa normal? Kenapa dia begitu menjijikan? Kenapa harus dia yang berlumur dosa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa?

"El.."

Tubuhnya menegang, "jangan lihat!" serunya. Dia malu. Kedua matanya terpejam erat.

Vano turun dari ranjang itu dengan perlahan. Lalu, menyentuh pelan bahu itu, yang sontak langsung ditepis oleh El.

Raut ketakutan dari pemuda cokelat ini, membuat Vano tak sampai hati. Ia beralih menatap tubuh itu. Ada beberapa bekas jahitan di sana. Lalu, bekas luka sayat. Bahkan, ada bekas luka bakar. Sebenarnya, apa yang pernah terjadi pada pemuda ini?

Kedua tangannya terulur, dan memeluk tubuh kecil itu. El memberontak.

"Sshh.. gapapa. Semuanya baik-baik aja, El. Gue ada di sini. Gue ngga akan ninggalin lo," bisik Vano lembut. Ia mengelus pelan belakang kepala El.

Mata El melebar. Ia mendongak dengan perlahan. Mendapati Vano tengah menatapnya dengan tatapan yang tak ia mengerti. Tidak ada sorot jijik di tatapan itu. Tidak ada sorot kasihan. Tapi, sesuatu yang El tidak tau.

"Lo.. ngga akan pergi?" tanya El pelan. Tangan kirinya menyentuh leher Vano, lalu merambat menangkup wajahnya. El menatapnya dengan penuh harap.

Vano menggeleng pelan, dan menggenggam tangan itu. Tangan yang masih bergetar karena 'takut' yang tak ia tau alasannya.

"Gue ngga akan pergi," ujar Vano lagi.

Lalu, cairan bening mengalir begitu saja dari kedua mata El. Membuat hati Vano seolah dicubit keras.

"Tapi, gue menjijikan," El kesakitan. Vano tak mengerti. Pemuda kecil ini seolah menanggung beban yang terlalu besar.

"Gue berlumur dosa," ujar El lagi.

Vano mengusap air mata itu. Dia sungguh tidak mengerti, apa maksud ucapan si kecil ini. Kenapa dia menjijikan? Kenapa dia berlumur dosa? Sebenarnya, apa sih yang pernah dia alami?

"Gapapa, El. Gue ngga akan ninggalin lo. Biarpun lo pendosa. Biarpun kata lo, lo itu menjijikan, gue tetep bakal di sini. Semuanya bakal baik-baik aja, oke?" Tubuh kecil itu kembali ia peluk. Sesekali, isakan terdengar darinya. Vano menepuk-nepuk pelan punggung itu. Menatap nanar, sebuah bekas luka panjang yang terlihat menyakitkan di punggungnya.

Ia melepaskan rengkuhannya. Lalu, berdiri. El segera mencengkram erat bajunya. Seolah tak membiarkan pemuda besar itu untuk pergi. Vano tersenyum menenangkan. Ia mengambil baju yang tadi tidak sempat El ambil, dan berjongkok.

"Pake baju dulu, ya. Ntar lo masuk angin kalo ngga pake baju," ujarnya lembut. Memakaikan El baju tidurnya. Mendapati bekas luka di pergelangan tangannya, serta sebuah luka memanjang sampai ke siku yang segera tersembunyi oleh lengan bajunya yang panjang.

Ah, Vano baru sadar bahwa El selalu memakai baju berlengan panjang.

"Ayo, tidur dulu, ya. Lo pasti capek," ujar Vano. Ia membimbing si kecil itu naik ke ranjangnya. Lalu, berbaring di sana dan membiarkan tubuhnya dipeluk erat.

"Jangan tinggalin gue," bisik El pelan.

"Ngga akan."

Wajahnya, El sembunyikan di perpotongan leher Vano. Mencari kehangatan dari tubuh besar itu.

"El.. mau tau sebuah rahasia?" tanya Vano pelan.

El meliriknya, dan mengangguk.

"Gue jatuh cinta sama lo."

Mata itu kembali melebar. Kaget. Tak menyangka Vano akan mengatakan hal semacam itu, dikeadaan seperti ini.

"Tapi, udah sejak lama. Bahkan, sebelum lo tau eksistensi gue," ujarnya lagi, "jadi, gue harap, lo juga mau berbagi rahasia lo, oke?"

El tak menjawab. Ia kembali menyembunyikan wajahnya. Vano mengelus belakang kepala itu.

Ini kelainan. Vano pernah mendengarnya. Sebuah penyakit di dalam dunia psikologi, dimana seorang individu menyakiti dirinya sendiri, bahkan bisa mencapai tahap bunuh diri. Dan dia rasa, El mengidapnya.

Tapi, Vano sadar. Luka-luka di tubuh El, tidak semuanya disebabkan oleh dirinya sendiri. Ada beberapa luka, yang sepertinya ia dapat dari peristiwa yang lain. Contohnya, luka di punggung, dan luka memanjang di lengannya. Dilihat dari bekasnya, luka itu ditangani dengan baik, jahitannya rapi. Kemungkinan Dokter yang merawatnya. Dan kelihatannya, itu sudah lumayan lama. Bertahun-tahun.

Lalu, juga, luka di hatinya. Sejak pertama kali melihat El, berbulan-bulan yang lalu, Vano tau, pemuda cokelat ini memiliki luka hati yang hebat. Manik birunya yang sendu seolah mendukung spekulasinya. Sekarang, jelas sudah. El memang terluka, di luar maupun di dalam.

Ini sudah menjadi suatu alasan kuat bagi Vano, untuk tidak meninggalkan El.

Tidak akan.

****

El mengerang pelan. Mengubah posisinya menjadi telentang, lalu membuka kedua matanya perlahan. Ia mengerjap. Ah, sepertinya sudah lama sekali dia tidak tidur senyenyak itu.

Ia menggaruk lehernya pelan, dan duduk. Pintu kamarnya terbuka lebar. Bukan hal yang aneh, mengingat dirinya memang selalu membuka pintu kamar itu. Yang terlihat aneh adalah, pemandangan Alvano yang sedang asik bermain dengan Poppy menggunakan mainan khusus kucing itu.

Gorden yang menutupi pintu balkon sudah dibuka. Membuat cahaya terang dari matahari, menyinari pemuda besar itu.

El menunduk. Menatap kedua tangannya yang berada di atas pahanya.

Alvano sudah melihat semua bekas luka parut yang ada di tubuhnya. Dia tidak tau apa yang dipikirkan oleh pemuda itu. Dan, for God's sake! Apa-apaan sikapnya tadi malam?! Menahan Alvano agar tidak pergi? Tch! Bukankah yang dia inginkan itu, agar Alvano cepat pulang ke rumahnya?!

"Udah bangun?"

El mendongak. Vano berdiri di ambang pintu dengan tangan yang sibuk menggendong Poppy.

"Gue ada beliin nasi uduk, tuh. Tapi, ngga tau sih, lo suka atau enggak," ujarnya.

El hanya mengangguk. Dia bukan tipe pemilih makanan sebenarnya. Apapun boleh. Jadi, dengan malas, ia menggerakkan tubuhnya untuk turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar.

Vano tersenyum tipis. Saat El melewatinya, rambut kecokelatan itu sempat ia usap pelan.

Manik biru El melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Ia mendudukkan dirinya di sofa. Di atas meja yang berada di depannya, sebungkus nasi uduk terletak.

"Kenapa gue ngga dibangunin pagi-pagi? Kan, gue mau sekolah," ujar El.

Vano mengangkat kedua alisnya dan duduk di samping El, "ini hari Sabtu. Emang sekolah lo ngga libur?" tanyanya.

Pemuda cokelat itu mengerjap, "libur."

"Ya udah."

El membuka bungkus nasi uduk tersebut, dan mengambil sendok yang sudah dipersiapkan untuknya. Tapi, kemudian, ia menoleh menatap Vano lagi. Ada yang mengganjal di hatinya.

"Tentang perkataan lo yang bilang, kalo lo cinta sama-"

"Sstt!"

Vano mendekatkan wajahnya, "itu rahasia," bisiknya pelan.

Dahi El mengerut, "hah?"

Kenapa masih rahasia? Kan orang yang 'katanya' Vano cinta itu kan dia. Berarti udah kebongkar dong rahasianya?

"Oke, oke, terserah," balas El, tak mau pusing sendiri.

Ah, dia juga ingat kalo Vano bilang, pemuda besar itu sudah menyukainya sejak lama. Sejak kapan?

"Lo tau gue sejak kapan?" tanya El lagi sambil menyendokkan nasi uduk itu ke mulutnya.

"Sejak lo mungut Poppy."

Si kecil itu kembali menoleh, "sejak gue baru masuk SMA dong?"

Vano hanya mengangguk sambil memainkan ekor Poppy.

Wah, lama juga, ya. Karena sekarang, pendidikannya sendiri sudah memasuki penghujung semester dua.

El memicingkan matanya ke arah pemuda besar itu, "stalker?"

"Ckck," Vano menggeleng tak setuju, "secret admirer."

"Geli gue dengernya," gerutu El.

Si besar itu hanya tertawa.

Lagi. Vano tak menanyakan apapun padanya. Dia bersikap biasa, seolah tidak ada sesuatu yang terjadi kemarin. Seolah dia tidak melihat apa-apa.

El menghembuskan napas pelan. Ya. Lebih baik seperti ini. Vano tidak perlu tau apapun. El sedang menuju tahap menjadi normal. Dia sudah bisa masuk ke dalam rumah sakit, biarpun dia masih membencinya. Dia sudah bisa berinteraksi dengan Dokter secara normal. Dia tidak histeris saat disuntik atau pun diinfus. Tidak memberontak pula saat dijahit kemarin. Perkembangannya sudah bagus. Orly pasti akan bangga padanya.

El hanya perlu lebih berhati-hati, agar tidak melakukan sesuatu yang bisa memicu 'ketakutan-ketakutan'nya kembali.

Semuanya baik. Hanya tinggal pikirannya saja yang belum normal.

Tinggal sedikit lagi.

Rambutnya diusap. El mendelik ke arah Vano si pelaku pengusapan rambut.

"Bisa ngga sih, lo ngga sentuh-sentuh gue?" tanya El datar, "gue ngga suka disentuh-sentuh."

Kedua alis Vano naik, "berarti lo suka dipeluk-peluk? Lo kan ngga pernah protes, tiap gue peluk."

El mendengus pelan, "jangan peluk."

Poppy turun dari pangkuan Vano. Si besar itu semakin mendekat ke arah El. Lalu, menarik lembut kepala bermahkotakan helaian rambut cokelat itu, untuk menyandar ke dadanya.

Dan yang membuat Vano tersenyum lebar adalah, kedua tangan El yang langsung melingkari tubuh besarnya.

Vano tertawa pelan, "bukan gue loh, yang meluk duluan."

"Shut up."

Punggung El ditepuk-tepuknya pelan, lalu balas melingkari tubuh kecil itu.

Ah, El sangat suka kehangatan ini. Begitu nyaman. Rasanya seperti...

...pulang.

****

Hari senin tiba. Vano menyempatkan diri untuk memeluk pemuda cokelat itu sejenak sebelum ia pergi sekolah.

El menyukai pelukannya. Vano sadar sekali akan hal itu. Jadi, dia akan memberikan pelukan itu sesering mungkin. Membikin pemuda itu nyaman dengan kehadirannya.

El segera pergi ke sekolah. Ia melamun. Merasa tak percaya. Entah kenapa, dia seperti bisa melihat kebahagiaan di depannya. Sesuatu yang dia sendiri tidak percaya akan datang padanya. Tapi, Vano datang. Vano membawanya.

"Ugh, gue gila," gumam pemuda kecil itu pelan, dan memukul kepalanya pelan.

Ia membenarkan letak ranselnya dan mempercepat langkah agar bisa segera sampai di sekolah.

Begitu dia sampai, dia bisa melihat beberapa anak buah Cakra, masih berada di lapangan. Mereka menatapnya. El mengabaikan. Selama ada Bara, orang-orang itu tidak akan mendekatinya.

Ia segera melangkah menuju kelas. Lalu, El terpaku.

Tidak ada Bara.

Yang ada, hanyalah Cakra. Menyadari kehadirannya, pemuda berandal itu melambai.

"Daniel! Gue kangen!"

Dan seringaian itu, seolah memberitahu, akan ada sesuatu yang buruk menimpanya.

Sangat buruk.

Tbc.

Continue Reading

You'll Also Like

2M 9.5K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
211K 8.1K 19
JUDUL AWAL: MY POSSESSIVE HUSBAND *** Arka itu orangnya keras kepala, pemaksa, cemburuan dan possessive parah. Aurel sampai geleng geleng kepala dan...
542 521 13
Disebuah desa, lebih tepatnya desa Sariwangi. Hiduplah seorang gadis cantik bernama Bianca Madeline. Bianca hidup bersama sang Nenek yang sudah renta...
54.6K 5.7K 12
[REMAKE PUTIH ABU-ABU] "Mumpung kita masih SMA!" ⚠️ WARNING ⚠️ Fiksi. Fik.si 1. Cerita rekaan. 2. Khayalan; tidak berdasarkan kenyataan. BXB. H...