Unlimited | BTS KookV [COMPLE...

By Yozora_MK

1.1M 100K 56.4K

Akhir-akhir ini, perang dingin--yang tak pernah jelas darimana asal-usulnya, dan bagaimana kejadiannya--antar... More

#1. Way to Hate
#2. Now On
#3. Hell Boy
#4. Boyfriend
#5. Sweet Things
#6. Wishy-Washy
#7. Allures
#8. That Jerk
#9. Mannered
#10. Villain & Alliance
#11. Sweet-haired Little Guy
#12. Being Sensitive
#13. Salty Jeon
#14. Sunny Day in Sunday
#15. If You Know
#16. Heartless
#17. Written by You 🔞
#18. Black Stallion
#19. Gravity
#21. Warmth on Cold
#22. Paper Hearts
#23. Lies
#24. Chit Chat
#25. Nine To Ten
#26. Wonder
#27. Bad Person
#28. A Confession
#29. First Love
#30.a. Fragments (pt.1)
#30.b. Fragments (pt.2)
#31. Insecure
#32. Winter Child
#33. Intoxicating
#34. A Poison Called Hate
#35. Loveless
#36. A Cure Called Love
#37. Zero Inch 🔞
#38. Slice of Happiness
#39. Our Tale
#40. Always Fine
#41. Stay
#42. To Be With You
#43. Sweet Dreams
#44. You Know Nothing
#45. Hope & Fear
#46. You're The Reason
#47. Do You Hear Me?
#48. Goodbye & Good Things
#49. Across The Limits
#50. Back To You 🔞
#51. Love Heals All Wounds
#52. The Begining (LAST)

#20. Gossip

18K 1.8K 1.5K
By Yozora_MK

🌸 KookV 🌸

.

.

.

A/N:
Cerita ini hanyalah fiktif & merupakan hasil dari imajinasi fangirl dg bumbu unsur dramatis di sana sini.

CAUTION:
Terlalu menghayati cerita fiksi dapat menurunkan tingkat konsentrasi dan menimbulkan efek-efek baper (?). Gejala seperti naiknya tekanan darah,euforia, cengengesan, mual-mual dan hasrat ingin gampar seseorang bukan merupakan tanggung jawab author.

.

.

.

Happy Reading~ ^^

.

.

.

.

.

Ruang klub surat kabar tidak sesibuk biasanya. Sore ini terbilang cukup sepi. Terdengar suara Ong Seongwoo si ketua.

“Benar dugaanku, kan? Kim Namjoon sedang mendekati dokter UKS yang baru. Aku yakin soal itu! Coba saja pikirkan ini, dari dulu-dulu mau seberapa parah dia berkelahi, dia tidak pernah satu kali pun pergi ke UKS—tidak peduli meski guru atau kepala sekolah sekalipun yang menyuruhnya—tapi sekarang, tiba-tiba saja dia jadi sering bolak-balik ke UKS. Bahkan yang terakhir, kemarin dia ke UKS hanya karena jarinya tertusuk isi stapler.”

“Ketua, pinjami aku kameramu!” salah satu siswa bernama Kang Daniel menimpali. “Aku akan buktikan kalau mereka berdua memang punya hubungan khusus! Kita bisa jadikan ini headline minggu depan.”

“Tidak, headline minggu ini adalah milikku,” seorang anak laki-laki yang sedari tadi duduk mengotak-atik laptopnya mendadak menyahut sehingga membuat Seongwoo dan Daniel menoleh. Maka, dia pun berdiri. “Sudah kuputuskan, aku akan menulis tentang Kim Taehyung dan Jeon Jungkook. Aku curiga kalau mereka benar-benar sudah putus.”

Kang Daniel menatap remeh sambil melipat tangannya. “Yakin sekali kalau gosip itu memang benar,” cibirnya.

“Ah, iya ... mereka,” kata Seongwoo sambal mengangguk pelan. “Anak-anak kelas dua banyak yang membicarakan ini. Semua pasti ingin tahu yang sebenarnya.”

Siswa itu bernama Lee Doyoung, yang kini membereskan laptopnya dan mengantongi buku catatan kecilnya sambil berkata, “Aku akan mencari informasi tentang mereka berdua sekarang juga. Di kelas musik kemarin Kim Taehyung dan Jeon Jungkook satu kelas, tapi mereka sama sekali tidak saling menyapa. Itu jelas-jelas tanda kalau hubungan mereka sedang buruk.”

“Bukan berarti mereka putus,” ujar Daniel provokatif.

Doyoung mendesis. “Diam kau anak kecil,” sahutnya, lalu berjalan keluar. Di ambang pintu dia lagi-lagi berucap, “Headline, milik Lee Doyoung!”

Sesudah pintu tertutup, Seongwoo menatap Daniel. “Kau juga, katamu kau akan mencari bukti hubungan Kim Namjoon guru UKS? Mumpung anak kelas tiga belum pulang.”

. . .

Di saat yang sama, tampak Jimin tengah berjalan cepat-cepat menyusul Yuta dan Seungcheol di koridor.

“Anak itu keterlaluan,” kata Seungcheol, suaranya menggema memantul di lantai dan dinding-dinding lorong.

Yuta menambahkan, “Aku merasa tidak dianggap teman lagi.”

“Hei, ayolah. Aku sudah datang ke pertandingan kalian, bukan?” Jimin menyahut.

“Justru itu masalahnya,” timpal Yuta segak.

Seungcheol kembali bersuara, “Kau datang, tapi Taehyung tidak datang dan malah berkelahi, sudah begitu tidak mau menceritakan apa yang terjadi. Apa-apaan itu?”

“Memangnya dia kira kita ini siapa?” kesal Yuta. “Kau juga kadang seperti itu, Jimin—seperti orang asing. Kenapa tidak bilang kalau ada yang menantang berkelahi? Biasanya kita selalu pergi bersama, bukan? Teman macam apa itu?”

Jimin menghela napas menatap dua temannya tersebut, yang sedari tadi tiada henti menggerutu dan marah-marah. “Kalian tahu sendiri sifat anak itu. Kalian sedang ada pertandingan penting, mana mungkin dia mau mengganggu kalian,” ujarnya, masih mencoba menengahi.

“Tapi ini kelewatan, Park Jimin.” Seungcheol sedikit menoleh pada Jimin. “Maksudku, aku tidak masalah dia tidak datang ke pertandingan, tapi setidaknya jika ada masalah tidak perlu menyembunyikan dari kita semua.”

“Itu benar,” kata Yuta. “Aku juga masih bisa bertanding setelah menghabisi bajingan-bajingan itu.”

“Kenapa dia pergi melawan mereka sendiri? Kalau sampai babak belur separah itu, berarti dia bukan berkelahi—dia dikeroyok! Apa sih yang ada di kepalanya?” Seungcheol masih terus mengomel soal Taehyung, dan Jimin sepertinya memang tidak bisa melakukan apa-apa untuk meredakan situasi.

Sementara itu, yang menjadi bahan perbincangan tengah berada di kelasnya yang sepi. Taehyung sedang mencoba mengerjakan soal-soal matematika di papan tulis, dengan ditemani oleh Jungkook.

Ralat, Jungkook mengawasi Taehyung. Tadinya Taehyung yang memanggil Jungkook untuk segera datang ke kelasnya begitu bel pulang berbunyi. Anak itu marah-marah karena pagi ini dirinya mengerjakan ulangan matematika—dengan mengandalkan rumus-rumus yang pernah Jungkook ajarkan padanya—dan ternyata hasilnya D-. Taehyung pun menuduh Jungkook salah mengajari rumus. Namun, sesudah pemuda itu datang dan mengajarkan sekali lagi, rupanya letak kesalahan bukan terletak pada rumus, melainkan karena Taehyung sendirilah yang kurang teliti menghitung. Bodohnya.

Taehyung malu bukan main.

Maka, sebagai kompensasi—atau, sebagai hukuman—sore ini Jungkook menyuruh Taehyung mengerjakan beberapa soal di papan tulis sebagai latihan, agar lain waktu anak laki-laki itu tak lagi merecokinya hanya gara-gara satu huruf D merah di sebuah kertas ulangan.

“Salah. Masih salah! Telitilah, Kim Taehyung! Teliti! Jangan menghitung asal-asalan!” Jungkook lagi-lagi berceramah dari bangku terdepan. “Berapa kali kubilang, perhatikan lebih dulu yang ada di dalam tanda kurung dan lihat itu positif atau negatif. Itu pelajaran dasar, bagaimana bisa kau selalu melupakannya?”

Taehyung memang malu, tapi kini dia kesal.

“Aku tidak tahuuuu!” Taehyung berteriak dan melempar kapur di tangannya sembarangan. “Ini rumit, Jungkook. Bagaimana aku bisa mengingat semua itu dalam sekali waktu? Aku bukan Neil Einstein.”

Kedua alis Jungkook menukik selagi melempar lirikan sengit ke arah Taehyung. “Kau membicarakan Albert Einstein atau Neil Armstrong?”

Taehyung ikut-ikutan mengerutkan kening. Raut kesalnya sempat menghilang barang sejenak. “Kakek-kakek pintar?” dia berkata selagi menoleh pada Jungkook, bersiap kalau-kalau ucapannya salah dan Jungkook mengomelinya lagi.

Benar, Jungkook memang ingin mengomeli Taehyung dengan segala pengetahuannya soal sains dan matematika agar pacarnya itu sedikit lebih pintar. Namun dia hanya mengeraskan rahang dan mengoreksi, “Itu Albert Einstein.”

“Itu dia!” Taehyung menjentikkan jari. Kini wajah kesalnya kembali lagi—seolah-olah tokoh dunia yang baru saja disebutkan oleh Jungkook tersebut turut bertanggung jawab atas penderitaan otaknya saat ini.

Selagi Taehyung mengacak-acak rambutnya dan menggerutu, Jungkook menarik napas dalam-dalam dan memijit keningnya. “Kau harusnya kembali lagi ke bangku SD,” cibirnya.

“Aku tidak tahu, Jungkook—aku tidak tahu!” Taehyung menggelengkan kepalanya pusing, lalu berjalan pada meja di dekat Jungkook untuk mengambil susu pisangnya. Rambutnya tampak berantakan.

“Kau sudah menyerah?” Jungkook mengejek.

Taehyung menggeleng sambil mengangkat telunjuknya. “Belum. Sebentar. Setelah ini,” jawabnya cepat. “Aduh, kepalaku panas sekali,” dia mengeluh, lalu meminum susunya.

Jungkook sekali lagi menghela napas. Dia menyandarkan tubuhnya dan mendongak, sementara tangannya terulur meletakkan buku dan pensil Taehyung ke bangku belakang. “Aku tahu sekarang,” katanya tiba-tiba sambil menerawang langit-langit. “Kepalamu itu pasti terlalu sering terbentur saat berkelahi, itu sebabnya ingatanmu sangat pendek dan otakmu tumpul.”

Taehyung menelan susu di mulutnya dan menatap Jungkook jengkel begitu mendengar kata-kata pemuda tersebut. Ingatan pendek? Otak tumpul? Taehyung terpancing. “Kurang ajar,” dia mendesis. “Awas kau, kalau aku sampai merebut rangkingmu, ku selotip mulutmu itu.”

“Wah, menyeramkan. Aku takut sekali,” balas Jungkook dengan nada datar. Sesaat kemudian dia menambahkan, “Tapi sebelum itu kau harus melewati para penggemarku dulu.”

Taehyung berdecap dan mencebik. “Kau yakin sekali kalau mereka akan melindungimu,” ujarnya meledek.

Jungkook segera menyahut, santai namun penuh kesombongan, “Itu pasti. Mereka memujaku.”

“Oh, ya?” Taehyung membalas. “Apa yang bisa mereka lakukan? Menyekapku di atap?”

Keduanya tertawa hambar, lalu Jungkook menjawab, “Ingatkan aku siapa yang waktu itu tidak berkutik di depan anak-anak perempuan.”

Taehyung lagi-lagi berekspresi mengejek.

Sementara Jungkook masih tak menegakkan tubuhnya untuk mengubah arah pandang. Dia sama sekali tidak tahu Taehyung tengah berjalan ke arahnya sewaktu berkata, “Jadi sekarang kau mau bilang kalau kau akan melawanku dengan para gadis-gadis itu?”

Jungkook terperanjat, saat tahu-tahu wajah Taehyung sudah berada tepat di atas wajahnya.

Sekejap selagi Jungkook tak bisa berkata-kata, Taehyung mengimbuhkan, “Kau mau minta bantuan anak-anak seperti Bae Joohyun? Aduh, manis sekali kelinci kecil ini.” Lalu dia memainkan jemarinya di dagu Jungkook sambil membuat mimik wajah gemas dengan bibir mengerucut.

Jungkook melongo melihatnya. Ketika Taehyung beranjak darinya, barulah dia tersadar dari keterkejutan. Cepat-cepat dia bangkit dan menatap berang, sedang Taehyung sudah berbalik memunggungi sambil meminum susu pisang lagi. “Tunggu dulu!” sergah Jungkook sebelum Taehyung betul-betul berjalan menjauhinya.

Bisa-bisanya anak itu berekspresi seperti itu tepat di depan mata Jungkook dan pergi begitu saja?

Jungkook tidak bisa membiarkannya begitu saja.

Taehyung tersentak dan tersedak sewaktu Jungkook tanpa aba-aba menarik tangannya. Dirinya yang tak seimbang sedetik limbung, kakinya kehilangan pijakan selagi tubuhnya berbalik akibat tarikan. Hasilnya, begitu dia sepenuhnya menghadap laki-laki itu, lututnya sudah terjatuh di lantai bersamaan dengan suaranya yang pecah.

Jungkook pun turut terkejut sesudahnya. Dia tidak menyangka Taehyung bakal berakhir jatuh bersimpuh di hadapannya seperti itu.

“Aah, sialan,” Taehyung mendesah sebal. Da meringis merasakan lututnya yang ngilu, sedangkan dagu dan kemejanya basah karena susu yang tumpah dari mulutnya.

Tepat detik itu juga, di waktu yang begitu tepat, pintu belakang kelas terbuka. “Hei, Kim ... Tae ... hyung ...” Seungcheol berdiri memegang pintu dengan kata-kata menggantung.

Taehyung dan Jungkook refleks menoleh ke arah pintu. Hening. Lalu sekejap kemudian, mendadak Seungcheol mengucapkan sepatah kata maaf sembari buru-buru menutup pintu lagi.

Seungcheol berjalan menjauh dengan mulut menganga dan raut tak percaya. Sesaat dia linglung. Apa yang barusan dilihatnya? Apa yang terjadi?

“Hei, kenapa kau kembali?” terdengar suara Yuta dari arah depan, yang langsung di susul oleh Jimin di belakang dengan satu pertanyaan pula. “Mana Taehyung?”

Dua siswa tersebut memang ditinggal Seungcheol sejak berbelok ke toilet, dan Seungcheol tahu kalau mereka kini masih berniat menuju kelas. Maka Seungcheol pun membentangkan lengan, menghalangi mereka supaya tidak melanjutkan perjalanan. “Jangan ke kelas!”

“Kau ini kenapa?” Jimin menatap heran saat Seungcheol menyeret dirinya dan Yuta berbalik arah.

“Ada apa di kelas?” Yuta ikut bertanya bingung. “Taehyung tidak ada di sana?”

“Pokoknya jangan ke kelas!” Seungcheol bersikukuh. Dia masih saja terbayang apa yang dilihatnya di kelas beberapa saat lalu.

Sebetulnya, Seungcheol tidak salah lihat, akan tetapi memang salah paham.

Waktu itu Seungcheol hanya menyimpulkan apa yang dilihatnya. Di mana ada Jeon Jungkook yang duduk di kursi dengan Kim Taehyung yang terlihat di kakinya. Bangku-bangku kelas menutupi tubuh Taehyung, tapi rambut merah anak itu amat mencolok di antara lutut Jungkook, apa lagi saat Taehyung menoleh dan Seungcheol melihat dagu serta kerah anak itu basah.

Dengan posisi mereka, kondisi Taehyung, kelas yang sepi, pandangan yang tak sempat meneliti, serta suasana yang begitu mendukung—semua jadi tampak demikian jelas. Pikiran Seungcheol tidak bisa lurus dan otomatis berpikir kotor. Dia salah mengira, salah kaprah, dan akhirnya salah paham.

Sementara yang terjadi di kelas, tepat sesudah Seungcheol menutup pintu, Jungkook dan Taehyung masih mengerjap kaget selama satu dua detik. Keduanya belum mengerti apa yang terjadi, sampai keduanya saling bertatapan.

Baru saat itulah Jungkook tersadar. Terutama begitu melihat Taehyung yang mendongak di bawahnya dengan wajah linglung bingung, sorot mata tak paham, dagu dan leher yang tampak lengket, mulut melongo, serta mata yang berkedip-kedip dengan begitu tak berdosanya—sialan, terlihat menggemaskan. Seperti anak di bawah umur yang tidak sadar kalau dirinya akan dijadikan korban cabul paman-paman mesum.

“Sialan,” Jungkook mengerang sebal dan menutupi wajahnya. Jika begini terus bisa gila dia.

Taehyung kian kebingungan saat Jungkook di depannya kelihatan amat frustrasi. Dia betul-betul tak paham kenapa Seungcheol beberapa saat lalu buru-buru pergi dengan paniknya dan kenapa Jungkook bersikap demikian. Harusnya yang Taehyung yang frustrasi—lututnya masih ngilu, ditambah lagi kini leher serta seragamnya basah nan lengket gara-gara susu. Harusnya dia yang mengumpat.

Hingga belakangan Taehyung menurunkan pandangannya dan, baru tersadarlah dia, wajahnya sedari tadi menghadap tepat ke selangkangan Jungkook.

Ya Tuhan, Taehyung refleks mengucap dalam hatinya dan spontan menarik mundur dirinya. Apa-apaan, pikirnya. Mendadak saja dia merasa malu. “Keparat!” satu umpatan meluncur dari mulutnya, tak ingat bahwa dirinya baru saja menyebut Tuhan dalam hatinya. Pada detik berikutnya pun, otaknya sudah kembali meloloskan puluhan sumpah serapah beserta umpatan yang lain lagi.

Begitu juga Jungkook.

Kenapa pula Taehyung mesti terjatuh di tempat yang tidak tepat serta posisi yang demikian tidak tepat? Di waktu yang begitu tak tepat pula?

. . .

“Apa?!” Jimin dan Yuta bangkit berdiri seketika setelah mendengar cerita Seungcheol. Mata keduanya melotot, syok sekaligus tak percaya, sedang Seungcheol hanya menepuk dahi dan menggeram. “Tidak bisa. Mereka harus dipisahkan,” tandas Jimin mutlak.

Yuta mengikuti Jimin dan turut bersuara, “Benar. Bagaimana jika ada yang melihat? Mereka tidak seharusnya melakukan itu di kelas—paling tidak mereka harusnya pergi ke toilet.”

“Hei, hei! Kalian mau ke mana?” Seungcheol bersiaga saat Jimin dan Yuta sudah terlihat akan meninggalkan kantin.

Dua pemuda itu menjawab bersamaan, “Menemui Kim Taehyung dan Jeon Jungkook.”

“Kalian sudah gila?” sergah Seungcheol. “Jangan lakukan itu!

“Kenapa?” Yuta memprotes tidak santai.

“Mau apa kalian mengganggu orang pacaran? Bisa dihajar mereka berdua kalian,” ujar Seungcheol berdiri menghalangi.

Namun dua anak laki-laki itu tetap menerobos.

“Aku yang akan menghajar Jeon Jungkook kalau sampai dia melakukan sesuatu yang tidak senonoh kepada Taehyung kita,” kata Jimin.

“Taehyung kesayangan kita,” Yuta mengoreksi Jimin. “Minggir Choi Seungcheol!” titahnya mendorong kepala Seungcheol supaya menjauh.

“Ayolah, kalian ini. Jangan sinting!” Seungcheol membalas, seraya menarik lengan dua temannya.

“Tidak bisa begini!” balas Jimin, lalu disambung oleh Yuta, “Dua bocah itu yang tidak waras.”

Seungcheol berusaha keras menahan Jimin dan Yuta sambil mengerem menggunakan kaki. Namun karena dia sedang tarik menarik dengan dua anak, ujung-ujungnya malah dirinya yang terseret. “Kalian tidak tahu malu, ya?” Akhirnya Seungcheol berpindah menahan dua temannya dari arah depan. “Nanti saja kalau mau memarahi mereka!”

“Sudah terlambat kalau menunggu nanti,” Yuta menyahut sambil bergelut dengan tangan Seungcheol. “Mereka keburu sampai ke permainan inti.”

Jimin juga menimpali, “Aku tidak bisa menunggu! Aku harus menyelamatkan anak itu!”

“Aduh, kalian ini—ya ampun.” Seungcheol kesulitan menahan-nahan dua temannya, tapi masih tetap berusaha. “Biarkan saja! Mereka bukan anak kecil! Aduh—demi Tuhan! Bahkan langit dan dewa-dewi di nirwana pun tahu, mereka itu sudah tujuh belas tahun! Sialan kalian ini.”

“Tidak bisa, tidak bisa—pokoknya tidak bisa!” Yuta meraung. “Justru karena dia masih tujuh belas tahun!”

“Kau juga tujuh belas tahun, Idiot!”

Yuta masih saja membalas, “Taehyung itu paling polos di antara kita, jangan sampai Jeon Jungkook merebut keperawanannya! Itu tidak boleh! Langit tidak akan mengampuniku kalau aku membiarkannya terjerumus!”

“Apa sih yang kau bicarakan?” keluh Seungcheol makin frustrasi. Ingin menangis saja rasanya.

“Minggir atau kuhajar kau, Choi Seungcheol!”

Mendengar ancaman Jimin Seungcheol malah memblokir di tengah jalan dengan menumpukan kaki dan tangan ke tembok. “Hajar saja, asal kalian tidak mempermalukanku seperti ini,” tandasnya dengan tatapan mantap.

Maka Jimin dan Yuta segera mengeroyok Seungcheol, mengacak-acak wajah anak itu dan menjambak rambutnya, mendorong-dorong agar segera menyingkir dari jalan mereka. Situasi lebih dari kacau.

Keributan di depan kantin tersebut sedikit meramaikan suasana sore yang memang tadinya kelewat sunyi. Namun tak lama kemudian lewat seorang anak laki-laki, yang segera saja menginterupsi kerusuhan tersebut dan membuat suasana kembali agak tenang. “Kalian sedang apa?” Lee Doyoung berjalan dari ujung koridor dan menghampiri tiga anak-anak gila itu.

Tiga pemuda yang sekejap menghentikan perkelahian menoleh ke arah Doyoung. Penampilan ketiganya begitu berantakan.

“Kalian teman Kim Taehyung, benar, kan? Aku Lee Doyoung dari klub paparazi,” kata Doyoung riang.

Jimin, Yuta dan Seungcheol memandangi Doyoung dari atas ke bawah. “Sepertinya aku pernah melihatmu,” Yuta berkomentar, dan segera disambut Seungcheol yang menoyor kepalanya.

“Bodoh,” maki Seungcheol. “Dia satu sekolah denganmu—satu angkatan dengan kita.”

“Kau ada perlu apa?” tanya Jimin.

“Oh, bukan apa-apa. Aku hanya butuh menanyakan beberapa hal kepada kalian—tentang Kim Taehyung—boleh, kan?” ujar Doyoung sembari mengeluarkan buku catatan kecil dari kantongnya, bersiap-siap mencatat segala informasi yang bakal didengarnya.

Akan tetapi, karena datang di saat yang tidak pas, maka Doyoung tidak mendapatkan informasi penting apa-apa kecuali yang dikatakan Jimin, yaitu, “Mereka berdua belum putus, tapi aku berharap Taehyung segera memutuskan anak itu.”

Lalu, tiap kali Doyoung hendak bertanya lebih jauh lagi, tiga anak laki-laki itu malah berdebat di depannya. Seperti saat diberikan pertanyaan apakah Taehyung dan Jungkook bertengkar akhir-akhir ini—ketiganya malah meributkan kalau mereka tidak tahu apa-apa karena Taehyung tidak pernah bercerita sedikit pun soal kisah cinta kepada mereka padahal mereka teman terdekatnya.

Doyoung lantas menyimpulkan bahwa tiga siswa tersebut sepertinya memang tidak berniat memberinya informasi. Lihat saja, mereka lebih mementingkan keributan tak jelas mereka ketimbang menyimak pertanyaan.

Jadi pada akhirnya Doyoung meninggalkan tiga siswa berisik tersebut, melenggang menuju kelas Taehyung sambil bermonolog, “Kau boleh mengabaikan pesanku dan memblokir nomor Seongwoo, Kim Taehyung—tapi aku akan menerormu sampai aku mendapatkan beritaku.”

Si bibit jurnalis berniat menanyai langsung narasumbernya.

Di lain tempat, keributan yang terjadi malah lebih parah lagi. Kejadiannya berlangsung di kelas 2-4.

“Dasar bodoh! Ini gara-gara kau, Bangsat! Kenapa kau menarikku tiba-tiba seperti itu?”

“Kau sendiri yang memancingku—aduh! Hei, hentikan ini! Dasar gila!” Jungkook mundur-mundur menghindari Taehyung yang terus memukulinya menggunakan buku tulis yang digulung.

“Bedebah kau! Keparat!” hardik Taehyung sambil terus mengayunkan tangannya.

“Sialan, Kim Taehyung! Kau tidak waras, ya? Hei, memangnya siapa yang mencari gara-gara duluan?”

“Kau, brengsek!” Taehyung membalas kontan seraya menggeplak kepala Jungkook.

Alhasil Jungkook memekik, “Fuck!” Dia kesulitan menghindar gara-gara bangku di sekitarnya berjajar mengganggu. Sedangkan Taehyung memanfaatkan itu untuk terus melancarkan serangan.

Rasakan, batin Taehyung keji. “Kau harus diberi pelajaran, dasar kurang ajar! Mati kau!” cerca Taehyung tiada henti.

Jungkook muak dijadikan korban, jadi dia mencari celah. Di tengah-tengah saat pukulan masih diterimanya, dengan sigap dia meraih kedua lengan Taehyung seraya berseru, “Oi, Kim Taehyung!”

Taehyung sekejap terperanjat. Dia mencoba melawan, tapi sia-sia. Jungkook mengunci lengannya, sementara sebelah Tangannya masih cedera di pergelangan. Oleh sebab itu dia kembali mencerca, “Berani-beraninya kau! Lepaskan aku!”

Akan tetapi Jungkook menatap sengit, dan membalas tajam-tajam, “Tidak akan pernah.”

“Lepaskan aku, Jeon Jungkook!” bentak Taehyung yang tak sedikit pun gentar oleh sorot mata mengintimidasi Jungkook. Namun karena Jungkook juga tak kenal rasa takut sama seperti dirinya, maka dia terus menyumpah, “Dasar kau bajingan keparat! Jeon Jungkook sialan! Aku benar-benar akan menghabisimu, kau—”

Sumpah serapah Taehyung terhenti tepat saat Jungkook lancang menyambar bibirnya dengan satu kecupan.

Setelah itu Jungkook diam menunggu reaksi di depannya untuk sedetik, memperhatikan Taehyung yang terbungkam sesudah dia kecup. Mungkin idenya yang barusan terlintas secara dadakan tersebut sungguh berhasil.

Taehyung sekejap linglung dan terbelalak, merengut dengan mata mengerjap. Sedang di kepalanya hanya terbesit, apa-apaan?

Begitu tersadar, Taehyung segera mendesis geram dan membuka mulut dengan umpatan-umpatan lainnya. “Sialan—”

Namun tersendat lagi, sebab Jungkook membombardir untuk kedua kalinya.

“Ah!” Taehyung melongo dan semakin terperangah tak percaya atas tindakan Jungkook. Dia baru saja dicium lagi.

Taehyung pun kembali mengerjap-ngerjap. Kepalanya kosong melompong akibat keterkejutan.

Dan Jungkook tersipu menyaksikan itu. Betapa lucunya ekspresi Taehyung. Benar-benar menggemaskan, amat imut, manis dan terlihat seperti anak kecil nan lugu. Sial, hati Jungkook melemah. Dia mulai serakah sampai-sampai tidak tahan untuk tidak melakukan serangan kembali.

Maka lantas dikecupnya saja bibir itu sekali lagi.

Kali ini ada rasa manis yang terasa di bibirnya. Jungkook tak segera menyudahi kecupannya. Dia tergoda untuk memperdalam ciuman, lalu tanpa sadar tangannya sudah berpindah memegangi leher serta rahang pemuda itu. Menggigit dan melumat bibir Taehyung, menyesap lidah hangat anak itu dan mengabsen deret gigi dengan lidahnya, itulah yang dilakukannya sambil terus beringsut mengimpitkan tubuh di depannya ke bangku.

Pada waktu itu Taehyung tak kuasa melawan. Otaknya terasa berhenti bekerja. Batinnya berteriak memberontak, tapi tubuhnya lemas. Dadanya bergemuruh, napasnya tertahan, dan bahkan mungkin dia sudah jatuh di lantai jika tidak ada meja yang menopangnya di belakang.

Semua logika buyar seketika.

Di dalam benak Taehyung, terucap umpatan-umpatan, sialan, brengsek, keparat, bajingan. Namun laki-laki itu terlanjur mengambil alih situasi dan memang mengendalikan penuh tubuhnya. Kim Taehyung takluk dalam permainan Jungkook serta cara dia diperlakukan, dan dia tak punya apa-apa untuk melawan—sebab alam bawah sadarnya juga merasa terbuai akan hal tersebut.

Bahkan bernapas pun Taehyung kesulitan.

Sepertinya rokok benar-benar tidak baik untuk kapasitas paru-parunya.

Sementara itu Jungkook masih tak bosan-bosan mengecap rasa manis di seluruh penjuru mulut basah Taehyung. Sial lagi, kelihatannya dia kecanduan. Dia tidak bisa berhenti.

Di malam hari saat Taehyung dipanggil oleh tiga orang temannya, dia tidak menghiraukan dan terus melangkahkan kaki jenjangnya secepat mungkin melewati gerbang, sambil menyeret tas punggungnya yang dia tenteng asal.

Taehyung menghampiri mobil jemputannya, membuka pintu dan melemparkan tasnya, lalu masuk dengan raut luar biasa dongkol. Wajahnya yang merah padam tampak memberengut sehingga membuat Mark di kursi kemudi menautkan alis. “Apa sesuatu terjadi?” Mark bertanya.

Namun Taehyung hanya melirik sekilas, dan semata-mata menyahut, “Jangan tanya-tanya!”

Lalu, Taehyung merebahkan tubuhnya ke samping dan membenamkan wajahnya ke tas. Kejadian dikelas terngiang-ngiang di benaknya. Alangkah memalukannya ini. Jeon Jungkook seenaknya merebut ciuman darinya, dan dia dibuat tidak berdaya karenanya—lagi. Sialan. Itu artinya ini sudah yang kedua kali. Memalukan. Benar-benar memalukan sampai tak bisa diungkapkan lagi.

Rasanya ingin mengubur diri hidup-hidup saja saking malunya.

Ingin rasanya Taehyung menghajar Jungkook sampai babak belur.

Tak lama berselang, Jungkook juga keluar dari gerbang sekolah dan langsung masuk ke dalam mobil.

Sang sopir keheranan karena melihat tuannya menyumbat hidung dengan tisu yang digulung kecil. Tampak sedikit bercak merah di pangkal gulungan tersebut. “Tuan muda, Anda baik-baik saja?” pria itu pun bertanya, dan Jungkook hanya mengangguk sambil menengadahkan kepalanya. “Jangan katakan ini pada orang rumah. Aku baik-baik saja,” kata si pemuda.

Mobil melaju, tapi Jungkook masih berpikir—tangan Taehyung tampak lentik, tapi bagaimana kepalannya bisa mematahkan hidung orang dalam sekali tonjok?

Sialan.

Tidak—bukan Kim Taehyung yang sialan. Itu Jungkook tujukan untuk diri sendiri, yang kelebihan hormon, tidak bisa menahan nafsu, dan kelepasan hanya karena sedetik tampang imut. Benar-benar sialan.

Namun Kim Taehyung juga sialan. Kenapa seorang berandal sialan seperti dirinya harus terlahir dengan wajah semanis itu? Sungguh tidak adil.

. . .

Pada esok harinya di ruang klub, Doyoung menyapa Seongwoo di depan kelas dengan wajah lesu.

Ketika Seongwoo bertanya, Doyoung mengatakan dengan nada tanpa semangat, “Artikelku melayang. Jeon Jungkook dan Kim Taehyung baik-baik saja-mereka tidak putus dan sama sekali tidak sedang bertengkar. Itu hanya gosip.”

“Kau benar-benar mewawancarai salah satu dari mereka?” Seongwoo bertanya dengan raut tak percaya.

Doyoung menoleh dengan pelan. “Tidak,” jawabnya lemas. “Aku datang ke kelas Taehyung—mereka berdua ada di sana, tapi mereka ... sedang saling melumat ... jadi—aku pergi.”

Pemuda itu menatap kosong, seakan kehilangan jiwa dan pikirannya. Sedangkan Seongwoo tidak tahu harus menanggapi dengan apa pengalaman unik anggotanya yang satu itu.

Hari itu secara ajaib flu Jungkook tiba-tiba saja sembuh. Sedangkan Taehyung terbangun di pagi hari dengan pertanyaan, kenapa tenggorokannya serak dan hidungnya terasa tersumbat?

.

.

.

_TBC_

💗💗💗💗💗

Continue Reading

You'll Also Like

265K 25.3K 29
ㅡ ❝ kalo gak mau kena detensi makanya jangan bandel jadi murid ❞ menurut Taehyung, Jeon Jungkook merupakan manusia yang paling nyebelin di muka bumi...
158K 15.7K 23
Kisah cinta seorang prajurit hwarang dengan calon raja Silla. • hwarang!au • boyslove • KookV ✨Inspired by drama titled Hwarang: The Poet of Warrior...
182K 18.7K 26
Remake (True Alpha) karyaku sebelumnya 📍 -kookv -bxb -BDSM -M-preg -ABO -Rate-M 🔞 - 01 #kooktae 25 Oktober 📌 - 01 #kookv 25 Oktober 📌 - 01 #fik...
17.7K 2.3K 27
Kimura Tae, wakashu berparas elok seindah bunga namun sedingin salju diduga menyimpan jutaan informasi yang dapat dijadikan kelemahan maupun senjata...