Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.3M 264K 44.9K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 13 •

38.9K 5.7K 733
By AM_Sel

Wajahnya damai.

Duduk diam di atas ranjang dan menatap langit biru dengan sendu. Tidak bergerak sama sekali sejak tiga puluh menit lalu.

Seolah bisu, ia tak bicara. Seolah tuli, ia tak merespon.

Tidak ada yang bisa membuka hatinya. Menyentuh pun tak ada yang sanggup.

Dia terlalu tak terjangkau. Wanita itu mendorongnya ke jurang yang terlalu dalam. Tak terselamatkan.

...Ah, kecuali jika ada orang yang memang nekat untuk ikut terjun menyelamatkannya.

•••••

El mengerjap, lalu segera menghampiri kedua orang itu, dan menarik tubuh Bara sekuat tenaganya agar menjauh dari Alvano.

"Apa-apaan sih, Bara?!" seru El. Ia memosisikan tubuhnya, di antara mereka berdua. Was-was jika 'tubrukan' tadi terjadi lagi.

"Ngapain lo di sini?!"

El kembali mengerjap, lalu menoleh menatap Alvano yang tadi bertanya dengan bingung.

"Seharusnya gue yang nanya! Ngapain lo di sini, brengsek!" seru Bara, "nyokap lo nangis di rumah karena lo ngga pulang! Balik ngga lo?!"

Oke. El sangat tidak mengerti di sini.

"Kalian saling kenal?" tanyanya. Menatap kedua orang itu bergantian.

Bara mendengus, "ya iyalah. Alvano. Sepupu gue yang paling gue sayang," ujarnya sarkastis.

Vano berdecih, sementara El mematung. Apa?

"Sepupu?" tanya El pelan.

Ah, kenapa bumi bisa sesempit ini?

Benar juga. Saat dia masuk rumah sakit karena perbuatan Cakra beberapa waktu lalu, Ayahnya Alvano yang merawatnya. Lagi. Itu pasti bukanlah suatu kebetulan. Pasti karena Bara.

"Bokap gue, adiknya Bokap Vano," ujar Bara.

El tersentak, lalu menatap Vano dengan mata yang melebar. Ia tak membalas. Ada sesuatu yang berdenyut sakit di sudut hatinya.

El menelan ludah pelan, lalu masuk ke dalam apartemennya yang memang pintunya sudah dibuka oleh Alvano tadi, tanpa mengucapkan apapun.

"El!" Vano beranjak ingin menghampiri, tapi ditahan Bara dengan segera.

"Urusan kita belum selesai," ujar Bara.

Vano berdecak.

El sungguh tak menyangka. Satu-satunya hal yang benar-benar ingin ia lakukan, adalah melupakan masa lalunya. Melupakan wanita itu dan segala kebejatannya. Melupakan Bara yang sempat mampir di hidupnya. Melupakan Dokter muda yang merupakan Ayahnya Bara.

El hanya ingin lupa akan semua itu. Semua peristiwa yang ia alami sebelum bertemu dengan Orly.

Tapi, kenapa jadi seperti ini? Kenapa orang-orang dari masa lalunya mulai muncul perlahan-lahan? Apa nanti wanita itu juga akan bangkit dari kuburnya dan menghantuinya seumur hidup? Lalu, orang-orang yang pernah 'memakai'nya.

El langsung terduduk saat ia masuk ke kamar.

Jantungnya mulai berdegup tak normal. Napasnya terengah. Keringat dingin mulai mengalir seiring kepalanya terhantam oleh kilas balik masa lalu. Tubuhnya bergetar pelan. Kedua kakinya ia tarik dan ia peluk.

Apa Dokter itu akan muncul di hadapannya sesegera mungkin? Apa Bara sudah memberitahukan keberadaannya ini pada Dokter itu?

El menggeleng. Tidak boleh. Bara tidak boleh melakukan itu.

Pelukannya pada kedua kaki, semakin mengerat.

El takut sekali.

Takut.

Lalu, ia mencoba berdiri, dan mengambil sweater. Wajah piasnya tak ia pedulikan. El langsung beranjak keluar apartemen sambil memakai sweater tersebut.

"El! Lo mau ke mana?" Vano yang masih berada di depan apartemen langsung bertanya begitu El keluar dan beranjak pergi.

"Kerja. Tolong kasi Poppy makan," ujar El, dan ia langsung mempercepat langkah kakinya.

"Tapi, lo juga belom makan!"

El harus cepat sampai di tempat kerja. Dia harus meminjam ponsel manajer dan menelpon Orly. Dia butuh orang itu.

Langkahnya semakin mencepat. Begitu sampai di tempat kerja, dia langsung menuju ruang manajer dan meminjam ponselnya seperti yang telah direncanakan. Lalu, menekan nomor-nomor yang sudah ia hafal di luar kepala.

Dan El sungguh baru bisa tenang saat mendengar suara orang itu.

'Halo, Manajer! Ada apa?'

Napasnya yang tadi memburu, mulai teratur. El memejamkan kedua matanya, dan menelan ludah. Mencoba menenangkan detak jantungnya yang tadi menggila.

"Orly.." ujarnya pelan.

Orang yang berada di sambungan itu terdiam sejenak.

'Daniel...'

Lalu, saat menyebut namanya, nada suaranya melembut. Seolah tau, apa alasan El menelponnya.

'Semuanya akan baik-baik saja. Mereka ngga akan ngelukain kamu lagi.'

El mengangguk. Ia mempercayainya. Semuanya pasti akan baik-baik saja.

'Kamu tenang, ya. Ngga akan ada yang terjadi.'

*****

El masuk ke apartemennya dengan lelah.

Alvano tengah tertidur dengan posisi duduk di sofa. El kira, Bara akan menyeret pemuda itu pulang, ternyata dia masih bertahan, huh?

Ia beranjak menuju kamarnya. Membuka sweater dan meletakkannya begitu saja di lantai, lalu membuka lemari dan mengambil baju tidur. Setelah itu, pergi ke kamar mandi.

Baju tidur tadi, ia letakkan di meja kecil yang memang ada di sana. Lalu, ia membuka seragam yang sedari tadi melekat di tubuh berkeringatnya, dan memasukkannya ke dalam keranjang baju kotor.

El menatap tubuhnya yang terpantul dari cermin.

Ini sudah seperti kebiasaan yang selalu ia lakukan sebelum mandi. Menatap tubuh jelek dan menjijikannya. Ah, lihat itu. Banyak sekali bekas luka yang tergurat selamanya di sana. Tak bisa hilang. Lalu, El beranjak. Sedikit membelakangi cermin, untuk melihat bekas luka memanjang dari ujung bahu hingga ke tengah di punggungnya.

El menelan ludah. Merinding. Ia seolah merasakan lagi, dinginnya pisau bedah yang membelah paksa kulit punggungnya itu di saat tubuhnya yang tak bisa bergerak.

Jantungnya kembali berdetak kencang. Ia bergetar. Lalu, perlahan tapi pasti, tangan kirinya merambat naik. Menyentuh lehernya. Mencekiknya. Menghalangi oksigen yang akan masuk lewat sana.

Lebih dari apapun, El membenci dirinya sendiri.

'bruk!'

Seolah tersadar, tangannya menjauh. ia langsung menoleh ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Ringisan pelan terdengar dari luar.

"Akh, leher gue," Vano merintih. Mungkin dia jatuh dari sofa atau apalah.

El mendekat ke cermin. Mengangkat dagunya untuk melihat apakah cekikkannya tadi meninggalkan bekas atau tidak. Dia tidak mungkin membiarkan Vano melihat sesuatu yang 'janggal' pada dirinya.

Kemerahan tampak di sana. El menggerutu. Kulit putihnya yang pucat membuat warna merah itu terlihat jelas sekali. Tapi, mungkin warna merah di lehernya akan memudar setelah ia mandi dan akan menghilang besok pagi.

Lagi pula, rambutnya yang hampir menyentuh bahu itu cukup bisa menyamarkan kemerahan tersebut jika belum hilang besok.

Setelah itu, ia beranjak menuju shower dan menghidupkannya.

"El? Lo udah pulang?"

Vano bertanya dari luar. El tak menjawab. Ia sibuk menggosok kulit lengketnya yang berkeringat. Lalu, saat suara kenop pintu yang akan dibuka terdengar, El buru-buru menyaut.

"Lo buka itu pintu, gue jorokin lo dari balkon!" serunya, dan mengambil sabun.

Vano sontak menatap jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas lewat dua puluh tiga menit. Apa El selalu pulang jam segini? Ini sih bukan tengah malam lagi! Ini sudah masuk dini hari!

"El, mandinya buruan! Mandi malam itu ngga bagus!" seru Vano khawatir.

Ia beranjak menuju sofa dan duduk sambil bersedekap dada. Rasa kantuknya menghilang entah kemana. Ia khawatir. Sungguh. Pola hidup El sangat tidak teratur. Membikin Vano gemas setengah mati ingin 'membetulkan' pola hidupnya. Makan, jarang. Tidur, kurang. Dia juga pasti sering stress karena kehidupannya. Dan juga, si kecil itu pasti jarang liburan! Kurang piknik! Vano rasa, El butuh hari istirahat. Bisa mati muda dia, kalo begini terus.

Pintu kamar mandi terbuka.

"Lo ngelaundry baju kotor gue?" tanya El begitu ia menutup pintu.

Vano mengangguk. Dia kurang kerjaan di sini. Jadi, dia memutuskan untuk membantu El sedikit-sedikit, seperti melaundry baju kotor, menyikat lantai kamar mandi, mencuci piring, dan membersihkan apartemen. Ah, kecuali kamar. Vano tidak berani mengini-itukan kamar El. Katanya, El butuh privasi. Kamar itu privasi. Jadi, Vano tidak mau mengambil resiko. Palingan, dia cuma membenarkan letak seprainya. Itu saja.

Si kecil itu duduk di sampingnya dan menyandar. Mencoba untuk rileks.

"Hari sabtu sama minggu, jadwal lo apa?"

"Kerja," balas El pelan dengan kedua mata yang menutup.

"Terus, kalo kerja, libur lo kapan?"

"Kalo ada libur nasional, gue libur."

"Minggu?"

"Minggu itu bukan libur nasional, bego," El meliriknya sinis.

"Berarti, kalo ngga ada libur nasional, lo ngga libur-libur dong?"

"Enggaklah, ngapain juga? Mending cari duit," ujar El.

Vano menatapnya tak percaya, "lo mau mati muda?"

"Iya," eh, keceplosan.

Tubuh besar itu langsung ia dorong, "lo tidur di kamar gue sana!"

"Ngga mau! Yang capek di sini, elo, El! Dari pagi sampe dini hari, sekolah terus kerja, lo aja yang tidur di kamar! Lagian yang punya kamar kan, lo!"

"Heh, yang jadi tuan rumah di sini itu siapa? Gue! Jadi, gue yang nentuin!"

"Di kamar lo, ada kasur empuk! Ngapain tidur di sofa?"

"Sofa lebih nyaman dari pada kasur!" seru El.

"Yang nyaman itu bukan berarti bagus buat lo. Kalo ujung-ujungnya sakit, mending ngga usah! Awalnya doang yang nyaman, ujung-ujungnya sakit!"

El mengerjap. Ini mereka lagi ngeributin sofa kan? Kenapa sepertinya, ucapan Vano agak melenceng dari sana ya?

"Pokoknya, gue ngga mau!" seru El keras kepala.

Vano berdecak, "lo nyari yang nyaman, kan? Lo tidur di kasur, terus gue peluk! Pelukan gue nyaman!"

El berjengit, "dih! Ogah! Mending gue meluk diri sendiri!"

Vano tak mengacuhkan perkataan itu. Kedua tangannya ia buka, "sini! Coba dulu!"

"Apaan sih, Vano! Gue ngga mau! Jauh-jauh sana!" El beringsut ke tepi sofa, dan mengibaskan tangannya mengusir.

Sayangnya, Vano juga bisa keras kepala. Ia mendekat. Lalu, tangan El ia tarik dan tubuh kecil itu ia peluk.

Mata El melebar. Ia memberontak.

"Jangan! Jangan! Saya tidak mau!"

Telinga Vano menegak. Dia bisa merasakan tubuh dipelukannya ini bergetar pelan. Lalu, tersirat rasa takut di ucapannya tadi. Apalagi, kata 'saya' pada kalimat itu, terdengar aneh di telinga Vano. Pelukannya tidak ia lepas, malah ia eratkan. Belakang kepala El, ia elus dengan lembut.

"Pelukan gue nyaman, kan?"

Tubuh itu menegang. Rontaannya terhenti. Seakan sadar akan sesuatu.

"Kalo lo meluk diri sendiri, ngga akan senyaman ini," gumam Vano lembut, dan menyamankan posisi El di pelukannya.

Punggung kecil itu ia tepuk-tepuk pelan. Seperti sedang menenangkan anak kecil yang habis menangis kencang. Vano tau, ada sesuatu yang El sembunyikan. El sempat menangis kemarin di tidurnya. Dia kesakitan. Dia ketakutan. Vano tau, itu bukan mimpi buruk biasa. Dan reaksi El tadi, cukup menjadi bukti bahwa memang ada sesuatu.

Hidungnya ia benamkan di rambut cokelat itu. Wangi melon dari sampo anak kecil yang ada di kamar mandi.

Telapak tangan El yang mendingin, menyentuh kulit lehernya. Masih ada sedikit getaran di sana.

"Bicara," ujar El pelan.

Tangan Vano yang tadi berada di punggung kecil itu, beranjak menyentuh tangan El yang ada di lehernya. Lalu, menggenggamnya lembut.

"Bicara apa?" tanya Vano.

Kepala itu menggeleng pelan, "bicara," ujarnya lagi.

"Gue ngga suka, kalo lo ngga makan. Mulai sekarang, lo harus sarapan sama gue. Pulang sekolah, gue mau lo makan dulu sama gue, baru lo pergi kerja. Kalo perlu, lo bawa bekal. Gue beliin lo banyak susu cokelat nanti, biar badan lo lebih berisi. Ngga cuma tulang. Nanti, jam kerja lo pendekin dikit. Lo kan masih pelajar. Ngga usah kerja sampai tengah malem-"

Vano terus bicara seperti yang El mau. Bajunya dicengkram oleh sebelah tangan El yang tidak ia genggam.

"Ini lo.." bisik si kecil itu pelan.

Vano melirik, "ya. Ini gue."

Sekarang, si kecil itu balas memeluknya, "ini lo.. bukan mereka..."

Dahi Vano mengerut samar, "ya. Bukan mereka."

Tubuh El mulai merileks. Ucapan panjang lebar Vano tadi, seolah untuk membuktikan, yang ada di depannya ini Alvano. Bukan orang lain dari ingatan kelamnya.

Kedua mata El menutup. Lagi pula, tidak ada satupun dari mereka yang memiliki pelukan sehangat ini.

Tbc.

Continue Reading

You'll Also Like

564K 33.9K 55
Cerita kecil, keluarga Choi. Seungcheol + Jeonghan = Jihoonie. Ngga pinter bikin summary, cuman diinget ya. 1. Ceritanya loncat-loncat 2. Most of it...
1.1M 100K 51
Ini sepenggal kisah tentang Owen dan Raksa yang dulunya adalah musuh lalu sekarang malah menjadi? _____________________________ HOMO♨️ LOKAL♨️ NON-BA...
615K 52K 23
Sequel : SINFUL Roda kehidupan semua makhluk hidup terus berputar, tidak terkecuali Gilbert dan An-Hee. Meski roda kehidupan berputar, dosa mereka ti...
954K 79.5K 43
Yesa yang memiliki kesabaran setipis tisu dan rega yang senang memancing amarah, 2 orang yang memiliki kepribadian yang saling bertentangan disatukan...