My Story Book (One Shoot)

By naiqueen

901K 37.7K 2.9K

kumpulan one shoot milik naiqueen...disini tempatnya. More

13 Days in Salzburg
Terang Bulan
Senin Minggu Ketiga
Mr. Drama King
Jadi Culik!
Another Ben Laden
Xtra - Rahasia Kecil
UFO
Mualaf
Plumeria
Kejutan
My Vampire
Penggoda
Secret Mission
Ketemu Istri
A tale from the past
Purnama keseratus
Mein Mann
Ombak Banyu
Modus
Love at the first sniff
Rujuk
Posesif
Permintaan

Chocolate Gelato

39.2K 1.8K 96
By naiqueen

Entah sejak kapan ini terjadi, mungkin sudah lebih lama dari yang kusadari ketika kelebihanku ini muncul untuk yang pertama kalinya sejak aku pernah berada dipintu gerbang kematian yang masih belum membolehkan aku masuk kedalamnya.

Aku tak dapat menatapnya secara langsung tanpa membuatnya merasa terhina.

Bagiku gadis ini terlalu mengerikan sekaligus menjijikkan, membuat aku tak tahan.

“Maaf” kataku sambil melihat arloji dipergelangan lengan kiriku “Aku harus pergi”

“Tapiii..”

“Dan jangan pernah berpikir untuk menemuiku lagi” aku menambahkan sambil menatap lurus kematanya untuk yang terakhir kali “Kau bukan tipeku.”

Lalu akupun berlalu dari hadapannya begitu saja.

Ponselku bergetar heboh ketika aku baru saja keluar dari lobi hotel tempatku bertemu dengan gadis tadi. Aku mengeluh dalam hati, aku tau pasti akan jadi begini, pasti.

Kurogoh ponsel itu dari saku celana jeans-ku.

“RAGA PUTRA HASYIM” suara itu berteriak nyaring “Kenapa kau kabur dari kencan yang kuatur itu HAH!”

“Memangnya aku harus ada disana selamanya?” aku balik bertanya pada saudari perempuanku, Ria. Dia bukan adik perempuan kandungku, tetapi dia tetap saja adik yang kusayangi.

“Apa lagi alasanmu kak?”

“Dia mengerikan.” Aku berbicara sambil melangkah menuruni anak tangga teras hotel menuju tempat dimana mobilku telah diparkir oleh petugas hotel.

“Oh yaaaaa!”

“Kau menyodorkan perempuan yang pernah melakukan aborsi dua kali pada kakakmu yang pada kenyataannya bisa melihat dengan jelas dosa-dosanya itu terus menghantuinya sampai sekarang, kau pikir aku sudi menikah dengannya dan ikut dihantui oleh arwah janin-janin yang dibunuhnya, seumur hidup?”

Ria terdiam diseberang sana “Akan aku selidiki itu nanti.”

“Dan berhentilah menjodoh-jodohkanku, Ria.”

“Mau bagaimana lagi, Ayah sangat mengkhawatirkanmu kak.”

“Aku tau.”

“Kalau begitu cepatlah menikah.”

Aku tertawa pelan mendengar kalimat perintahnya itu, menertawakan hal yang menurutku adalah kekonyolan dia tau dengan pasti kalau satu-satunya gadis yang ingin kunikahi sudah tak mungkin lagi kumiliki.

Aku membuka pintu mobilku dan segera masuk kedalamnya “Aku akan pikirkan itu nanti, sekarang aku mau pergi berburu.”

“Berburu wanita maksudmu?”

“Hssss...Riaaaaa.....itu tidak lucu”

Dia terkekeh “Maaf, aku tau masalah di restoran hotel membuat kakak pusing, kakak masih belum menemukan chef pastry yang sesuai dengan standar resto kita kan?”

Mesin mobil menyala begitu aku memutar kunci kontaknya “Pensiunnya Matheo membuatku pusing.”

“Kak!”

“Ya?”

“Aku dengar ada sebuah bistro kecil yang punya chef pastry luar biasa, dia membuat sendiri resep-resepnya dan aku juga memantau kalau dalam waktu setengah tahun sejak bistro itu berdiri, mereka sudah bisa membuka cabang sampai keluar Jawa dan Bali, dan ini sudah tahun ketiga mereka berdiri...kudengar cabangnya sudah merambah ke Kuala Lumpur dan Singapura.

Aku menyimak semuanya dengan serius sambil mengendarai mobil menjauh dari depan The Paradise Hotel, jaringan hotel milik keluargaku.

“Dimana dia bisa kutemui?”

“Aku tidak yakin tau dimana dia berada, chef Gemma sangat menghargai privasinya dan cenderung tertutup.”

Dahiku berkerut mendengar penjelasan Ria, chef dengan kelakuan aneh dan merasa dirinya bagaikan seorang seniman terkenal! Hmm...kurasa aku harus tau dulu sehebat apa pastry buatannya.

“Dimana letak bistro nya?”

“Yang terdekat dari hotel kita ya di Plaza Semanggi.”

“Namanya?”

“Pink Banana.”

Aku terdiam, karena merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya. Benar-benar terasa familiar ditelingaku.

Seraut wajah tampan milik sahabat karib sepupuku, Wega Pattinusa muncul di benakku.

Oke! Kurasa aku tau harus bicara dengan siapa.

“Aku akan mengurusnya sekarang juga.”

Berbekal izin dari Revaldi Parameswara, teman Wega dan juga owner dari Pink Banana, aku akhirnya bisa masuk kedalam ruang eksperimen milik Chef andalan di bistronya, dan ini sudah minggu kedua aku menemui wanita itu dan dia masih juga tak mempan bujukanku untuk menjadi chef pastry di dapur restoranku.

Dia melihat kehadiranku dimuka pintu alumunium tebal dapurnya.

“Belum jera?” tanyanya yang segera kutsnggapi dengan gelengan pelan.

“Sampai kapanpun tidak akan...kecuali kau mau pindah kerestoranku.”

Dia mengaduk-aduk cairan kental didalam sebuah panci steinless dengan spatula kayu kesayangannya, aku tau itu karena sering memperhatikan kalau dia jarang sekali berpisah dari benda itu selama ada didapur.

“Aroma yang enak” aku menarik nafas sambil memejamkan mata, menikmati keharuman coklat yang menguar dari dalam panci “apa yang sedang kau buat?” tak dapat menahan diri lebih lama lagi aku bertanya.

“Adonan untuk krim chocolate gelato.”

Dahiku berkerut terheran-heran “Kau kan chef pastry, kenapa sekarang malah membuat gelato juga?”

Andisa Gemma Parameswara tersenyum sekilas, meski wajahnya tidak menghadap kearahku aku bisa melihat sedikit dari bagian senyum yang luar biasa langka itu “Aku jadi chef justru karena pada awalnya tertarik dengan seni mengolah es krim.”

“Aku tak tau kalau membuat es krim ada seninya juga” mulutku berkomentar sinis.

Dia menatap dengan tatapan tajam yang seketika membuat aku tersadar kalau  sedang menginjak ranjau karena kata-kata barusan “Jangan berpikiran lain dulu” pintaku “ada alasannya aku bicara seperti itu.”

“Apa?” tanyanya dengan wajah masam “Aku yakin bisa menebaknya, kau hanya memandang profesiku semata demi keberlangsungan bisnis keluargamu bukan” dia tersenyum tipis, senyuman yang membiaskan penghinaan padaku.

Aku tersenyum datar “Kau salah.”

“Ck...benarkah?”

“Sejak kecil aku terbiasa makan apa saja untuk bertahan hidup, tak ada banyak pilihan makanan untuk kunikmati, bila aku punya setangkai es krim maka ada banyak adik-adik kecil yang menginginkannya...aku selalu terbiasa mengatakan kalau aku tak suka coklat, aku tak suka es krim dan makanan manis lainnya supaya saudara-saudaraku dipanti tidak merasa sungkan memakan makanan yang kumiliki,”

“Seni yang kupelajari sejak kecil adalah seni menahan diri untuk semua makanan enak apapun demi orang lain. Jadi bukankah wajar kalau aku buta sama sekali dengan seni makanan?”

Dia terdiam sambil menatap kedalam mataku menyelidik.

“Kau mau membuat lelucon! putra tunggal keluarga Hasyim tinggal dipanti asuhan?”

Aku tersenyum sambil mengangkat bahuku sekilas “Pada kenyataannya memang demikian.”

Dia masih tetap memandangku tidak percaya, dahinya yang separuh tertutupi oleh topi putih khas chef bahkan terlihat jadi berkerut-kerut.

Aku mengacuhkan semuanya dan malah sibuk memandangi tangannya yang berhenti mengaduk-aduk adonan krim chocolate gelato yang sedang dibuatnya, lalu merebut spatula kayu dari tangannya dan mulai mengaduk-aduk cairan didalam panci yang mulai mengental sedikit demi sedikit.

“Apa setelah ini kita harus memasukkannya kemesin pembeku?’ aku bertanya dengan tak yakin pada gadis yang masih terdiam sambil berdiri memandangiku itu.

Tak ada sahutan. Aku menoleh kearahnya dan masih mendapatinya berdiri dalam posisi yang sama, entah dari mana tiba-tiba saja niat iseng  itu bermula, sambil tersenyum aku memulas wajahnya dengan ujung spatula yang masih berlumur krim cokelat hangat.

“Apa yang kau lakukan” pekiknya kaget sambil menyeka wajahnya dengan celemek putih yang melapisi pakaiannya.

“Menyadarkanmu, oh ya! Apa yang kau pikirkan saat tadi memandangi wajahku?” aku bertanya penasaran.

Dia mengerucutkan bibirnya sambil mengambil alih panci dari hadapanku “Tidak ada?”

“Benarkah?”

“Iyaaaaa..”

“Jadi,” seruku “Apakah kau bersedia pindah kerja kerestoran ku?” aku memberanikan diri untuk kembali menanyakan tujuan awal mencarinya.

“Akan aku pikirkan” katanya datar tanpa menoleh.

Aku menghela nafas panjang dibelakang punggungnya, berpikir, sampai berapa lama aku harus terus membujuknya.

“Wajah uncle aneh deh..” Zinnia, salah satu dari dua keponakan kembarku berkata sambil mengelus-elus pipiku. Aku mencoba untuk menatap kewajahnya, memberikan seutuhnya perhatian yang sedari tadi terpecah entah kemana saja.

“Pada dasarnya uncle kesayanganmu  itu memang tidak setampan daddy-nya kalian ini” satu suara menimpali dari muka pintu teras samping.

Siapa lagi kalau bukan Wega Pattinusa, sepupuku .

Aku tersenyum kecut pada pemandangan halaman rumahnya.

Menyadari reaksi dinginku dengan candaannya dia menatap lebih serius.

“Kau kenapa?” tanyanya penasaran.

Aku menggeleng saja “Urusan pekerjaan” sahutku datar.

“Masalah chef itu masih belum selesai ya?”

Aku menoleh kearahnya, memandangi wajah tampannya yang entah sejak kapan tidak lagi memperlihatkan sisa-sisa kebengalan masa lalunya, membuat hatiku bertanya-tanya sendiri apakah semua playboy akan jadi seperti dia kalau sudah menikah dan punya anak.

Perlahan aku mengangguk “Apa sebegitu sulitnya membujuk bibi Valdi untuk bekerja denganmu? Ahhh....andai saja aku masih lajang, aku akan membantumu dengan merayunya supaya mau bekerja direstoran hotel.”

“Kalau Vanilla mendengar kata-katamu itu, dia pasti akan memutilasi dirimu, kau bukan lagi Wega Pattinusa tapi Wega cincang”

Dia terkekeh geli mendengar kalimat barusan.

Aku tetap memilih untuk berdiam diri disebelahnya sambil memeluk Zinnia yang masih bermanja-manja dipangkuanku.

Pikiran demi pikiran merasuk kedalam otakku  yang terasa penat. Tapi tak ada satupun yang bisa memecahkan kebuntuan akan masalah yang satu ini.

“Kenapa kau tidak ajak dia menikah saja.”

Refleks aku menoleh kearah orang gila disebelahku itu, dia tersenyum lebar bagai merasa telah berhasil memberikan pemecahan masalahku yang pelik.

“Ide macam apa itu, hah?”

“Kau nikahi dia, setelahnya tinggal bujuk dia untuk bekerja atau paling tidak melatih beberapa junior chef resto untuk membuat masakan andalannya, itu cara yang mudah bukan? Lagi pula kudengar orangtuamu mulai mengkhawatirkan status bujanganmu itu.”

“Apa cuma itu saran yang bisa kau berikan untukku?”

“Hhhh....Raga, kau terlalu meremehkan kemampuan naluri licikku ini, coba kau sadari kenyataannya, bagi orang-orang dari keluarga seperti keluarga kita pernikahan politik atau pernikahan bisnis adalah pemecahan terakhir atas kebuntuan masalah yang kita hadapi.”

“Tapi aku tidak mencintainya.”

“Tentu saja tidak, cintamu kan sudah kurebut” dia tersenyum lebar, merasa menang dengan kata-katanya itu “Dan sampai kapanpun tidak akan kukembalikan, jadi carilah cinta lain saja.”

“Pantas saja Vani tak bisa berhenti memanggilmu si brengsek...pada kenyataannya kau memang demikian.”

“Ishhh kau ini...si brengsek itu kuanggap sebagai panggilan sayangnya untukku, lagipula itu bagus karena tidak ada orang yang memakai kata itu selain kami.”

“Tentu saja tidak ada, hanya orang sinting seperti kau yang menyalah artikan kata ‘brengsek’ sebagai panggilan sayang.”

Dia terkekeh lagi mendengar kalimat sinisku.

“Jadi bagaimana?” dia kembali bertanya.

“Apa?”

“Kau mau menikah dengannya tidak?”

“TIDAAAK.” Aku meneriakkan itu tepat didepan telinganya.

Satu bulan berlalu tanpa hasil, aku semakin frustasi dengannya. Sementara tekanan untuk cepat menikah bukannya berhenti malah semakin menjadi.

Aku bahkan terpaksa menerapkan kebijakan tutup mulut dengan Ria dan Ayah agar tidak ditanya-tanyai lagi. Tapi ketika mereka akhirnya menyerah, mama dan Auryn malah mulai ikut-ikutan merengek agar aku cepat menikah.

Meski kesal dengan sikapnya tapi aku malah menjadikan dapur eksperimen Gemma sebagai salah satu tempat pelarian favorit.

Menghabiskan banyak waktu mengerjakan pekerjaanku disana sambil melihatnya membuat aneka resep pastry baru sungguh merupakan kegiatan yang menyenangkan

Meski demikian aku belum pernah menyentuh makanan manis apapun selama ada disana.

“Aku menyerah” katanya begitu melihat aku muncul hari ini didepan pintu dapurnya.

“Menyerah?”

“Aku bersedia bekerja sama denganmu, tapi kau berhentilah datang kesini lagi.” Dia menatapku dingin, dan entah kenapa aku justru tidak merasa senang dengan hal itu.

“Kau keberatan kalau aku datang?”
Dia hanya diam dan kembali menyibukkan diri menguleni adonan pastry melapis-lapis lalu kemudian menggilasnya dengan tangannya kemudian melapis lagi begitu terus berulang kali.

“Jawab aku, Gemma?”
“Aku terganggu.”

“Gampang tinggal kau abaikan saja aku, bereskan”.

Dia kembali berdiam diri, mengacuhkan aku, membuatku merasa salah berada ditempat ini. Tapi, membayangkan kalau aku tak pernah lagi masuk kedalam dapurnya membuatku merasa sedikit sedih.

Aku suka berada didapur gemma, menikmati aroma pastry yang selesai dipanggang, aroma cinnamon roll yang eksotis juga balutan gula bercampur serbuk mint atau aroma adonan krim chocolate gelato yang manis dan ringan. Semuanya terasa menyenangkan saat aku berada didalamnya, bersamanya.

Aku masih terus memandanginya yang tengah mencicipi krim gelatonya dari spatula kayu.

Gayanya yang khas sungguh menggemaskan dimataku.

“Aku tak bisa memahami orang yang betah berlama-lama didekat kue tanpa keinginan sama sekali untuk mencicipinya” dia berbicara datar, kalimat itu jelas ditujukannya kepadaku.

Aku melangkah mendekat kearahnya “Kalau cuma itu masalahnya maka baiklah…aku akan mencicipi makanan buatanmu sekarang juga.”

Dia berbalik kearahku “Baru sekarang mengetakan itu” katanya datar “Aku tau kalau kau terpaksa melakukannya. Sudah, pergilah besok pagi aku akan menemuimu dikantor Valdi untuk membicarakan urusan kita” dia berbalik dan menjatuhkan beberapa tetes krim gelato dari spatula ketelapak tangan kanannya kemudian menjilat krim itu dengan ujung lidahnya yang berwarna merah muda.

Disaat itulah aku menarik lengannya dengan sekuat tenaga. Gerakan itu sampai menjatuhkan spatula kayu ditangannya kelantai, dan entah setan apa yang kemudian membuat aku melakukan hal itu padanya.

Ciuman.

Aku memberikannya ciuman yang bahkan sama sekali tidak pernah kulakukan pada wanita lain sejak ciuman pertamaku diusia dua belas tahun.

Bahkan dengan Vanilla pun aku tidak pernah melakukan hal ini.

Gemma merespon gerakan posesifku didalam mulutnya dengan sikap diam membatu. Mungkin semuanya terlalu cepat terjadi, menyulitkan kerja otaknya untuk memberi respon atas tindakan sembaranganku ini.

Aku memberi jeda sejenak untuk menarik nafas dan memiringkan wajahnya kemudian menyerbu masuk lebih dalam kepusat indra perasanya yang terasa manis.

Rasa krim coklat yang kental kucecap dari ujung lidah wanita ini, rasa itu identik dengan rasa ciuman pertamaku dulu, dan benakku memutar lagi seraut wajah gadis kecil yang menjadikan aku objek cinta pertamanya.

Seketika aku tersentak kaget dan melepaskan ciumanku dari bibirnya.

Ketika mata kami bertemu pandang aku menghembuskan nafas panjang penuh dengan rasa ketidak percayaan.

“Disa” panggilku perlahan.

Dia tersenyum sekilas “Akhirnya kau mengingat aku juga.” Bisiknya pelan dengan mata mulai memerah menahan air mata “Setelah sekian lama.”

Aku mengulurkan telapak tanganku kewajahnya merabanya dengan perlahan “Benar ini kau?”

Dia mengangguk.

Aku tertawa shock dengan mata berkaca-kaca karena menahan rasa rindu tak terkira yang menyeruak dengan hebatnya dari dalam hatiku.

Aku menempelkan dahiku kedahinya, kedua tanganku tetap berada diwajahnya meraba dengan lembut kulit wajahnya yang halus.

“Sejak kapan kau menyadari ini?” aku berbisik untuk menanyakannya.

“Sejak kau menceritakan alasan kau tak suka makanan manis tempo hari”

“Dan kau tak menanyakannya kepadaku, apa aku orang yang sama dengan yang pernah kau cium dulu.”

Aku mendengar suara tawanya yang menyenangkan “Aku sudah merasa mengenalmu sejak pertama kali melihat kau muncul dipintu dapurku, hanya saja Raga yang kuingat adalah seorang anak panti asuhan bukan pewaris jaringan grup hotel bintang empat seperti kau sekarang.”

Aku balas tersenyum mendengar pengakuannya itu “Ceritanya terlalu panjang untuk diceritakan sekarang.”

“Benarkah?”

Aku mengangguk perlahan sambil menarik wajahku dari wajahnya, tersenyum saat melihat wajahnya yang bersemu kemerahan saat memandangi aku “Kau butuh banyak untuk mendengarkan seluruh ceritaku selama enam belas tahun ini.”

Dia mengangguk setuju “Aku akan jadi pendengar yang baik.”

“Untuk itu,” kataku “pertama-tama kau harus menikah denganku.”

Tak ada ekspresi lain yang kutemukan diwajahnya selain keterkejutan yang teramat besar untuk disangkalnya. Dia menggerutu tak percaya saat aku mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celanaku.

Cincin tunangan yang kupersiapkan untuk melamarnya secara formalitas akibat termakan omongan Wega tentang opsi terakhir untuk membawanya masuk kedalam jaringan bisnis hotel malah berakhir dengan cerita lain yang lebih serius dan nyata untuk disepelekan.

Mungkin kelihatannya ini seperti pernikahan untuk bisnis atau apa, terserah orang lain mau memandangnya, tapi aku tak ingin lagi melepaskan wanita yang kucinta untuk kedua kalinya.

“Raga, tidakkah ini terlalu cepat?” tanyanya ragu.

Aku menggeleng dengan penuh keyakinan “Aku bahkan telah menunggumu selama enam belas tahun lamanya.”

Dia tersenyum dan aku meraih tangan kirinya untuk menyelipkan cincin pilihanku kejemari manisnya yang panjang dan harum oleh aroma coklat, saat benda itu sudah ada disana aku tersenyum puas dan lega.

“Sekarang kau milikku Andisa Gemma Parameswara.”

“Kau juga milikku” balasnya sambil memeluk pinggangku erat.

Aku membalas dengan mendekap erat bahunya.

Tak ada hal lain yang kurasakan sekarang selain kebahagiaan, setelah menemukan dirinya, gadis cinta pertamaku.

THE END


kalo ada yang bertanya ini one shoot sequelnya vanilla love maka jawabnya emang iya he he...

setelah mangkirsekian lama akhirnya aku upload juga after storynya ttg Raga.

selama dinikmati all readers.

Continue Reading

You'll Also Like

4K 795 18
Kiano tak tahu harus berbuat apa lagi saat kekasihnya tiba-tiba tanpa alasan yang jelas memutus pernikahan secara sepihak, padahal pernikahan mereka...
19.2K 1K 37
Because Of You After Revision adalah Project FFTK Kedua yang kemungkinan banyak yang suka hingga meminta di publikasi kembali. Karakternya lebih di I...
352K 22.2K 35
Kehidupannya yang awalnya tenang berubah, semua berubah sejak kedatangannya "Dia Papa mu, Ken!" Bugh! Bugh! Bugh! "KENNIRO!!"
1.6M 122K 57
Ini tentang Jevano William. anak dari seorang wanita karier cantik bernama Tiffany William yang bekerja sebagai sekretaris pribadi Jeffrey Alexander...