Unboxing of Feeling #ODOCTheW...

Por Aresreva

1K 208 142

Unboxing itu menyangkut ulasan yang dapat membuat kalian tahu mengenai produk tersebut tanpa harus membelinya... Más

PRAKATA
Bab 1 - Meet The past
BAB I - Meet The Past
Bab II - My Ex, My Fifth Datuk Maringgi, and what the novel is it?
Bab III- Who is this person?
Bab IV - Berkelit atau bergelut dengan masa lalu?
Bab V - They were couple
Bab VI - Hold
Bab VII - Anger Around Sin Is Okay
Bab VIII- The first, The Middle, The last, You fight on your feeling.
Bab IX - Ini namanya langkah hidup
Bab X - Let me go
Bab XI - You've never changed, my bastard
Bab XII - Let me sent you in my life
Bab XIII -🚫 Are we in realationship??? 🚫
Bab XIV - Gelutan Kisahmu
XVI- No Response
Bab XVII - I Make You Handle Our Feeling
Bab XVIII - Perkara Setinggi Komitmen
Bab XIX - Hardness Feeling
Bab XX - Jatuh Cinta Itu Khusus
XXI - This not me, you, but ours
XXII - I Let You To Get Your Happiness
Bab XXIII - Women's Spontaneous
XXIV - We are not complicated
XXV - Kilah Cinta
XXVI - I need your sign, My Bastard
Bab XXVII - Saksi Masa Depan
XXVIII - Best Fri (Until) End
XXIX - Catch You, Marry You, I love You
XXX - Pembekalan Pranikah
Epilog

Bab XV- Let me handle your life again

20 3 0
Por Aresreva

Hidup itu simple. Tinggal mengaku. Tapi, sayangnya, mengaku itu lebih sulit ketimbang berbohong.

Kakiku terseok ketika meninggalkan ruangan ini. Kepalaku terasa berat untuk ditegakkan. Kurang dari sepuluh menit dia telah menyelesaikan maksud dari pertemuan kami, dan lebih dari lima belas menit, aku meringkuk di atas kursi, menahan beban yang menguar dengan isakanku.

"Awak tak mau tolerin kau kali ini, Echa." Pria tambun itu bersendekap di dekat meja makan, menatapku lekar-lekat. "Kelen minta sepuluh menit, tapi dikasih jantung kelen minta hati. Hampir 30 menit awak nunggu kau."

Aku mengangguk lemah dengan wajah tertunduk lemas.

"Awak sedang cakap sama kau, Echa. Lihat ke awak bukan ke lantai. Cem mana pulak kau ini. Tak paham-paham." Pria tambun ini terdengar berdecak sebal, "gemas awak sama kau. Kau awak kasih SP, mau?"

Aku menggangguk lagi.

"Echa. Kau kenapa pulak?"

Kali ini aku mendongakkan wajahku ke atas.

"Kau nangis?"

Aku mengangguk lagi.

"Karena?"

Aku menggeleng pelan. Aku benar-benar tidak menginginkan kalimat apapun keluar. Takut. Satu hal yang tengah kurasakan. Jika sekali saja aku mengeluarkan kalimat, walau hanya satu kata, atau mencoba membuka bibirku,  yang terjadi, aku akan meringkuk seperti tadi.

"Duduk." Pak Bos menunjuk kursi kosong di depanku. "Awak emang sengaja untuk nunggu kau."

Manik mataku menatapnya sebentar, kemudian mengikuti perintahnya. Aku menarik kursi agar lebih dekat dengan meja dan bisa membuat tanganku dapat bersandar di atas meja.

"Awak yakin karena Caturangga kau seperti ini. Benar?"

Lagi-lagi aku mengangguk.

Pria tambun ini menghela nafas keras, lalu berkata, "Awak tahu dia dari koran yang dulu pernah awak baca. Awak tahu cuma dia  itu gubernur yang punya Skandal banyak." Pak Bos menatapku lekat-lekat. Gelengan kepala besarnya berkali-kali dia lakukan, kemudian kembali melanjutkan kalimatnya, "awak cuma tanya, hubungan kau dengan dia apa? Awak kenal kau dan keluarga kau sebelum kerja kek ini. Awak tahu, kau tak punya interest sama politikus. Jadi, jawab ke awak yang jujur, dia siapa kau?"

Bahuku merosot ke bawah, lunglai di atas kursi. "Dia ayahnya Agaz."

Pria tambun di depanku membulatkan matanya. "Gila!" Pak Bos menepuk tangannya sekali. Kembali berkata, "Kau beruntung juga buntung sekaligus, Echa."

Aku menatap ke sekeliling restoran yang mulai hanya terlihat segelintir orang.

"Kau tetap nikah sama Agaz?" Pak Bos bertanya, menarikku kembali dari lamunan.

Aku menggeleng.

"Itu tanda di leher apa?" Tangan Pak Bos menunjuk ke leherku. "Nggak mungkin kalau bukan Agaz kau itu yang buat."

Aku menghela nafas.

"Kalau udah dikawinin, awak yakin kau bakal dinikahin sama Agaz."

"Making a love with Agaz itu nggak semudah making a life with him. Beda, Pak Bos. Komitmen selamanya sama cowok, apalagi Agaz, nggak bisa semudah aku dan dia nyalurin hasrat kayak kemaren. Perlu pemikiran masak, bahkan kalau pikiran kita terlalu masak, malah jadi busuk," Aku mendesah lelah dengan wajah kurang minat dengan topik ini.

"Karena kau ragu?"

Aku mengangguk.

"Atau cuma Agaz yang buat kau jadi ragu dengan yang namanya komitmen sama kami?"

"Caturangga nggak bolehin aku deket-deket sama Agaz." timpalku mendesis sebal, menarik pelarian dengan menatap ke arah lain.

"Why did he say like that?"

Aku menegakkan tubuhku, "karena bagi dia, bukan hanya Caturangga sebagai musuh Agaz. Tetapi, aku, sebagai pelaku yang juga membuat dia berada dalam ambang kehancuran."

"Ambang kehancuran, bukan berarti dia telah dekat dengan kehancuran, Echa. Awak yakin, dia belum ke tahap masuk ke dalam pintu itu." kata Pak Bos "For your information, Echa.  Agaz itu pria, memang selalu mengatasnamakan logika, tapi kau tahu kalo Agaz adalah cicit-cicit adam. Punya rasa, punya yang namanya belas kasih." Pak Bos berdecak lidah kepadaku. Dia memgalihkan topik dengan bertanya, "Kau yakin Caturangga saja yang tak setuju?"

Aku menatapnya, bergeming dengan
pemikiranku sendiri. Cukup lama aku memilih membungkam mulutku, dengan segala pemikiran yang telah kususun cukup matang, dan tanpa ada keraguan, aku mengangguk. Hanya Caturangga. Iya. Nggak ada yang lain.

"Jadi kau siap untuk making a life with Agaz?"

Aku menolehkan wajahku ke Pak Bos. "Maksudnya?"

"Boleh awak tanya satu hal ke kau?" Aku mengangguk, mengiyakannya. "Kau sudah meminta maaf sama Agaz?"

Aku mengkerutkan keningku.

Pria tambun itu kemudian melengoskan wajahnya seakan kesal dengan raut yang kutunjukkan kepadanya. Tanpa memedulikanku, dia kembali melanjutkan kalimatnya."Kapan kau mau jujur dengan perasaan kau? Susah kali kau untuk cakap sor ke Agaz? Cem mana Caturangga bisa kalah kalo kau tak mau jujur."

"..."

####

Ucapan Pak Bos menyegel kebungkaman yang sejak tadi kulakukan. Aku menelan bulat-bulat segala keraguan, ketakutan, dan rasa tak percaya diri. Setelah kejadian pria baya itu menemuiku, setelah pertengkaran kami, dan setelah percintaan itu, aku memilih datang ke kantornya.

I have to say thankyou for Linkedln. 

Aku berdiri di tengah lobby setelah memutuskan pulang lima menit lebih awal. Jemariku telah menekan abjad namanya di kontak. Tidak lebih semenit, aku langsung terhubung dengan suaranya.

"Ada apa Echa?" Dia langsung bertanya, tanpa berbasa-basi sekalipun.

"Aku ada di kantormu."

"Ngapain?"

"Aku otw ke ruanganmu. Bye." Aku menutup sambungan telepon kami.

Bunyi hentakan heelsku terdengar beriringan dengan kakiku melangkah untuk menuju ke pintu lift. Aku berjalan terburu-buru untuk dapat mengejar pintu lift yang telah terbuka, dan sebentar lagi kembali tertutup. Saat kakiku telah berada di ujung pintu lift, namaku terdengar mengudara.

"Echa."

Aku membalikkan tubuhku. "Iya? Kita kenal?" tanyaku menunjuk diriku.

"No. No. Saya nggak kenal kamu." Pria dengan dasi garis biru putih dengan kemeja sama yang dipakai Agaz, tergelak dengan tangan terkibas-kibas di udara.

"Yaaa..." Aku membalikkan badan, mengeluh karena pintu lift telah tertutup rapat.

"Mau ketemu siapa?" Pria asing ini bertanya.

"Ada apa? Kenapa memanggil saya?" Aku balik bertanya, tidak mengindahkan pertanyaannya.

"Kartu pengenal kamu jatuh." Pria itu mengulurkan benda kotak beralas plastik mika.

Aku refleks meraba bagian tubuh depan. Hanya tersisa gantungan kain di leherku tanpa pengait. Aku bersyukur dalam hati.

"Thanks."

Pria asing ini tersenyum.

"Gue mau ketemu seseorang." Aku menjawab pertanyaannya tadi yang belum kujawab. "Pertanyaan loe tadi, gue jawab."

Pria itu tersenyum, kemudian melihatku dengan ameh, "Bukan karyawan sini, ya?"

Aku mengangguk.

"Gimana, ya? Coba tanya bagian resepsionisnya deh." Dia menujuk ke belakang.

"Kenapa? Memang harus ijin dulu?"

Pria itu mengangguk, "Yang pakai lift ini harus punya kartu. Kayak gini." Dia menunjukannya kepadaku. "kamu bisa minta ke resepsionis."

Aku mengangguk. "Agak ribet ya perusahaan ini."

Pria asing itu tergelak."Namanya juga perusahaan skala internasional."

Aku mengamgguk-anggukan kepalaku. Kami terdiam sebentar. Lalu pria ini memutuskan untuk kembali ke dalam. Aku memilih kembali ke sana, ke tempat resepsionis yang hanya nampak satu orang pria tengah duduk dengan memasang headset di telinganya.

Saat aku datang, dia langsung beranjak dari kursi, mengulum senyum kepadaku.

"May i help you, Miss?"

Aku mengangguk. "Saya mau ketemu Bapak Agaza Putra. Bisa?"

"Sudah janji?"

Aku mengerutkan keningku. Tangan sebelahku terlipat di atas meja resepsionisnya, lalu menggeleng."Saya mendadak sih ke sini."

"Saya coba hubungkan ke Bapak Agaz terlebih dulu, ya, Miss?"

Aku kembali mengangguk.

"Baik pak. Baik. Saya akan lakukan. Baik. Selamat siang, Pak Agaza." Pria itu kemudian menekan tombol itu, lalu beralih kembali menatapku.

"Miss Echa, silakan untuk lewat pintu di depan. Ruangan Pak Agaza ada di lantai 15."

"Lewat sana?" tanyaku, menunjuk sisi pintu di samping kiriku.

Pria itu mengangguk. Aku mengangguk-anggukan kepalaku. Kemudian melangkah menjauhi meja resepsionis, berlawanan dengan lift yang tadi sempat kulewati.

Kakiku berhenti tepat di depan pintu kaca yang hanya memperlihatkan beberapa anak tangga.

Beneran nih? Nggak lagi bercanda kan nih kantor.

Mataku menatap ke kanan dan ke kiri, mencari-cari lift atau apapun yang bisa kugunakan. Berbagai kemungkinan selalu ada di pikiranku. Mungkin maksudnya bukan di arah sini. Mungkin di belakang tangga. Atau mungkin dia sedang ngelawak.

Tapi, nihil.

Aku memutar kembali langkahku ke meja resepsionis.

"Maaf sebelumnya ya, Mas," Aku mencondongkan sedikit tubuhku ke depan."Kantor ini nggak ada lift, atau eskalator ya yang khusus buat saya?"

Pria itu tersenyum lagi. "Ada Miss."

Aku menghela nafas lega.

"Tapi khusus karyawan, Miss."

What?!!

"Jadi mau nggak mau, Miss harus menaiki anak tangga."

Aku meneguk ludahku keluh. Tanganku menopang dagu di atas mejanya."Saya pakai heels loh, Mas. Lantainya ada 15 lagi. "

Pria itu kembali tersenyum. "Jika Miss keberatan, ya terserah Miss. Saya hanya mengikuti perintah atasan saya."

"Masnya ngerjain saya? Atau atasan mas yang ngerjain saya?" Aku mulai kehilangan kendali.

Beberapa orang karyawan yang lalu lalang melihatku. Tanpa memedulikan hal itu, aku mengambil ponselku, mencari nama Agaz. Semenit lebih, empat panggilan, tidak dia jawab.

Aku memggerutu kesal. Seharusnya aku memilih berbalik, keluar dari kantor ini. Namun, aku harus mengatakan semua hal itu ke Agaz, meluruskan hal yang membengkokkan asumsi kami berdua.

Kakiku langsung terhentak di lantai dengan keras. Membuka pintu dan lamgsung melepas heelsku.

Setengah jam, aku sampai dengan keadan semrawut. Nafasku terengah-engah. Keringatku sudah merembes membasahi pakaian atasku.

Aku menatap pintu yang bertulisan "Staff Only". Aku kembali menggunakan heels-ku. Tanganku mendorongnya, kemudian ruangan yamg dingin dan sejuk  menerpa wajahku.

Oh my god, this is where heaven exist.

Aku menutup mataku, kemudian bersandar di dinding, menikmati hembusan AC pada tubuhku dan wajahku.

"Bidadari muncul dari tangga darurat."

"Sweet dessert banget ini mah habis istirahat."

"Gila... Nyasar nih cewek."

"Widih, montok mah ini."

"Godain, bolehkan."

"Buat Gua dong. Loe kan sudah beristri."

Bodoh amat dengan suara nggak jelas di sekelilingku. Aku menarik kerah bajuku, membiarkan hembusan angin masuk ke dalam kemeja, megeringkan seluruh tubuh bagian dalamku yang basah.

"ECHHHA???!"

Aku membuka mataku, menatap Agaz telah berdiri tepat di depanku. Matanya menatap nyalang kearahku.

"Oh Hai..." sapaku dengan memamerkan kedua sudut bibirku membentuk senyuman.

Pria itu tidak menjawab. Dia tetap berdiri bergeming dengan mata tajamnya. Matanya beralih ke bawah. Sesaat kemudian pria itu sedang bergerak tergesa-gesa di depanku. Aku bisa melihat Agaz mengambil salah satu jaket yang tersampir di kursi karyawan lain, kemudian berlari kearahku.

"What the hell are you wearing, Echa?!" Dia berseru tegas dengan sigap menyampirkan jaket tadi ke tubuhku.

Tanpa sadar, tubuhku telah dia geret menjauh, masuk ke dalam ruangan dominan coklat cream seperti warna dinding apartemennya. Dia langsung mendudukkanku di atas sofa, dan ikut duduk di sampingku. Pria ini seakan kalut dengan emosi.

"Loe kenapa, sih?" tanyaku melihat jaket yang masih tersampir di bahuku.

Pria itu setengah membungkuk, menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya.  Agaz menelengkan wajahnya dengan raut yang terlihat tengah terbakar emosi. "Kenapa? Gue kenapa? Loe nggak tahu apa yang bikin pria di sana ketawa ngakak kayak tadi?!"

"Apa sih? Kalau mgomong yang jelas. Jangan malah balik tanya." Aku mulai ikut tersulut emosi.

"Echa, Echa. Kapan sih loe bisa ngerti?! Atau loe pura-pura bego?!!"
Agaz berdiri di atas sofa.

"Jangan kayak anak kecil, Agaz. Loe udah umur berapa sih, make sindir menyindir segala. Nggak sekalian loe taruh itu sindiran ke medsos elo?"

Pria di depanku itu menatapku semakin berang. "Ini yang buat gue harus punya pemikiran jauh lebih lama buat mau nikah sama loe."

Aku ikut beranjak dari sofa, menatap lantang matanya. "Apa?!" Ada kegetiran yang melanda di tubuhku. "Jangan ngomong yang gak ada sangkutpaitnya! Gue cuma tanya, loe kenapa? Apa masalahnya loe kasih ini jaket." Aku melepaskan jaket yang menggantung di kedua bahuku. "Dan apa maksud loe bikin gue harus naik 15 lantai. Hah?!!! Loe yang gila, perilaku nggak ada bedanya kayak dulu!"

Agaz menghela nafas keras. Tubuhnya yang tegang berangsur memudar. Dia kembali tenang. "Baju loe nerawang. Mereka ngelihat itu semua." jawabnya.

"Gue pake dalaman. Iam wearing tanktop, to make you sure." Aku menjawabnya kalem, menangkap manik matanya.

Pria itu masih berdiri setengah tenaga di depanku, "Perlu gue kasih jawaban kenapa gue nyuruh loe naik tangga?"

Aku menatapnya bingung. Kemudian mengangguk.

"Karena gue cemburu lihat loe sama karyawan gue."

Aku tersenyum. Tanganku merengkuh wajahnya, menariknya mendekati wajahku. Aku menempelkan keningku ke keningnya, menatap manik mata hitam pekatnya. Tersenyum dengan jemari yang menilik segala lekuk wajahnya. Dia tersenyum.

Semenit kami dalam keadaan seperti ini, menunggu waktu yang mulai memelan seketika, kemudian berhenti, membiarkanku dengannya menikmati sentuhan hangat yang menyalur dari kening kami. Menjelajahi lekuk wajahnya, merabanya dalam ingatanku.

Sampai akhirnya, tanganku terlepas setelah mendengar getaran di ponselku.

"Sorry..." kataku melepas keningku dari keningnya.

Dia hanya tersenyum.

Aku memgambil ponselku. Pesan itu muncul begitu tanganku menggesernya.

Echa, sorry, we have to make you visit our clien in Japan for four days, please. I know this is so unexpectedly news for you, but, we dont have choice. You will go to Japan with Reza. Tomorrow. Bye.

Aku menjatuhkan tangan dii sisi kiriku dengan lemas dalam keadaan tanganki masih memggemggam ponsel. Mataku mencari lagi manik mata itu, mencari pendaratan sempurna untuk kekalutanku sendiri. Dengan cepat, aku meraup lagi wajahnya, menariknya bukan lagi menempel ke keningku, tetapi ke salah satu indra pengecap yang selalu menjadi andalan pemuas keinginan hasrat. Mencari kepuasan dalam satu kecapan manis, dan satu tuntutan, keinhinam untuk dipuaskan.

Agaz yang mulai melepaskan pangutan kami, matanya menatapku dengan raut bingung. "Kenapa?"

"I have to go Japan for four days." Aku lunglai dalam dekapannya.

"Cuma empat hari, kan?"

Aku memgangguk dalam pelukannya.

"Sama siapa? Kantor, kan?"

"Iya sama kantor." Aku melepaskan diri dari pelukannya. "Sama Reza."

Tanpa aba-aba, pria itu kembali kepada puncak emosi yang sama seperti tadi.

####

Panjang. I know. I'm sorry, ya, gays. Seharusnya nggak sampai sepanjang ini, tapi, karena ada part yg pendek amet sebelumnya.

Maaf, tulisannya acak-kadut.
One day one chapter seems like hell, but i love it. I never counted days by days, but now, i will count days by days. And realized these days makes me have full daily imagination. 😍😘

This event makes me like, i work for imagination, life for imagination, and have purpose to know what my imagination did.

Seguir leyendo

También te gustarán

26.8K 732 33
Violet is a sweat, small girl. Small not by her age but by heart and height. Lazy, very very lazy, and yet with the potential to mess things up. Now...
10.6M 200K 83
Ever since playgroup Olivia and Daniel have been inseparable. Best friends since..well forever. However after a drunken night things change between...
613K 21.5K 51
For both the families, It was just a business deal. A partnership, that would ensure their 'Billionaire' titles. And to top it all off, they even agr...
12K 2.5K 15
Setelah menyimpan sakit hati yang begitu lama, Aradhea Puspitha harus dipertemukan kembali dengan Ethan Arkachandra Wisnu Patria yang kini menjelma m...