Race Of The Heart [COMP.]

By heliostellar

82.8K 10.7K 3.2K

Entah takdir apa yang digariskan langit untuk Mark, tidak mungkin takdir yang lurus-lurus saja. Karena terlib... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Epilog 1 : Aftermath
The Cousins

Chapter 2

4.2K 564 94
By heliostellar

"Kau tidak menjawab teleponku," ucap sebuah suara di suatu kafe bernuansa coklat.

Bangunan bermassa dominasi balok itu cukup lenggang di jam yang lumayan sibuk dimana orang biasanya mampir untuk membeli satu cup kopi sebelum memulai kesibukan di kantor atau universitas. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk santai di kursi bundar tinggi atau sofa hitam yang berada di sudut-sudut kafe.

"Hmm, aku meninggalkan ponselku di studio," pemuda bersurai coklat pirang itu menjawab sambil mengetuk-ketukan sepatu botnya di lantai kayu.

Pemuda berambut hitam yang duduk menghadapnya memandang skeptis. Manusia di depannya ini terkenal sangat hati-hati dan teliti, meninggalkan ponselnya di studio hampir sama dengan meninggalkan nyawanya di rumah. Ia menepis keingintahuannya dengan meneguk secangkir espresso. Rasa pahit yang menjalar di lidahnya membuatnya meringis.

"Sudah tahu minuman itu pahit kenapa masih selalu memesannya?" tanya laki-laki yang berperawakan lebih kecil dengan geli.

"Tidak selalu, kok."

"Keras kepala seperti biasa, Lee Jeno," dia menyahut datar.

"Datar seperti biasanya, Huang," balasnya enteng.

Renjun mendengus. Walaupun ia tidak tersinggung sama sekali, sudah kebiasaan. Ia menggerakan jari-jarinya mengitari bibir mug putih berisi kopi yang asapnya mengepul. Tidak ada gunanya menanggapi Jeno, pria itu tidak mau kalah.

"Jadi, ada apa kau memintaku kemari?" Renjuj membuka topik sesungguhnya setelah membiarkan keheningan nyaman mampir beberapa menit.

"Well, aku memang sering memintamu datang ke tempat ini kan," Jeno tersenyum jahil.

"Lee."

"Astaga iya, iya. Dasar kau ini, santai sedikit tidak akan membunuhmu," Jeno terkekeh sambil memutar bola matanya, terhibur. Tangannya lalu mengaduk-aduk tas hitam kulit yang menemaninya untuk mengambil sebuah benda persegi berwarna hitam yang tampak elegan.

"Aku ingin memberikan ini," Jeno berujar dengan senyum tipis di wajahnya.

Renjun meneliti benda yang disodorkan padanya dari sebrang meja. Matanya menyusuri permukaan kertas hitam yang dibubuhi ornamen floral yang mirip seperti sepuhan emas. Sangat indah. Renjun harus mengakui hal tersebut walaupun jantungnya berdenyut janggal melihat dua ukiran spesifik yang tertera di halaman depan. Walaupun begitu ia tidak dapat menahan senyum yang terkembang di wajahnya.

Jeno terdiam menelaah raut Renjun, keningnya mengernyit menatap kasa putih di sudut pelipisnya.

"Ada apa dengan pelipismu?"

Renjun hanya mengulas senyum dan mengedikkan bahu.

π

"Siapa yang melakukan ini padamu?"

Renjun menghela nafas entah untuk keberapa kalinya sejak sepuluh menit yang lalu. Ia mendongak menatap laki-laki bersurai coklat madu yang kini menatapnya tajam sambil menyilangkan tangan di depan dada, mengabaikan sejenak layar komputer yang memanggil-manggil perhatiannya pada jendela Adobe Illustrator yang masih terbuka.

"Harus kubilang berapa kali? Aku--"

"--terantuk lemari penyimpanan cat, ya, ya, terserah. Kau pikir aku bodoh ya?"

"Well, kadang-kadang iya," gumam Renjun asal.

"Aku sedang tidak bercanda, Renjun."

"Aku serius--hei! Mau apa kau?"

Pergerakan pemuda jangkung yang tiba-tiba mendekat dengan agresif membuat Renjun sedikit waspada dan kelabakan. Ia bergerak panik saat Jaemin menunduk menarik ujung celananya yang longgar sampai sebatas lutut, menampilkan perban putih yang melilit manis kakinya. Disisan perih keluar dari mulutnya saat lukanya terkena kontak dengan tangan Jaemin tidak sengaja.

"Memangnya lemari seperti apa tempat penyimpanan cat itu?" selidik Jaemin sambil menatap lurus-lurus matanya dengan tajam. Ia merasa terintimidasi. Bibir bawahnya ia gigit, kebiasaan lama yang ia lakukan saat sedang berpikir keras.

"Bukan hal serius, aku hanya terjatuh dari sepeda--"

"Renjun..." Jaemin bergumam rendah, dan Renjun tahu ia tidak bisa mengelak.

"--aku memang terjatuh dari sepeda, oke? Saat itu jalanan licin dan aku tidak memperhatikan sekitar saat berbelok di tikungan," cerocos Renjun cepat.

"Kapan?"

"Kemarin lusa?"

"Oke jawab ini. Siapa yang perlu kuhabisi?"

Renjun mengernyit tidak paham akan ucapan Jaemin. "Maksudmu?"

"Kau tidak mungkin jatuh dengan sendirinya. Siapa yang menabrakmu?"

Laki-laki berpostur mungil itu tercenung mendengar penuturan Jaemin. Ini kabar buruk, kalau sudah seperti ini Jaemin benar-benar marah. Dan akhir kemarahan dari seorang Na Jaemin tidak pernah bagus. Terakhir Renjun terluka seseorang hampir sekarat kalau Renjun tidak menahannya.

"Tidak ada. Lagipula ini bukan salahnya," Renjun mendesah pelan.

"Salahnya. Jadi benar memang ada orang yang ikut andil ya," Jaemin tersenyum miring. Renjun mengutuk mulut bodohnya dalam diam.

"It's okay, Jaemin. Dia tidak sengaja, orang itu bahkan mengantarku ke rumah sakit," Renjun berujar lembut sambil menepuk lengan Jaemin untuk meresakan emosi pria jangkung tersebut.

"Tentu saja dia harus mengantarmu! Kalau tidak--"

"Kau akan membunuhnya?"

Sebuah suara rendah yang terdengar datar dan bosan menginterupsi perdebatan kecil mereka. Jaemin dan Renjun menolehkan kepala hampir bersamaan. Hal yang akan terlihat lucu jika mengabaikan ketegangan atmosfer yang tercipta.

"Siapa..."

Penyelundup itu mendengus mendengar Jaemin yang tidak menyelesaikan kalimatnya. Alih-alih ia mengamati dua wajah berbeda yang kini menatapnya. Jaemin terlihat bingung sekaligus terkejut, itu jelas. Dan kalau boleh menambahkan ia tampak sedikit gusar. Sedangkan Renjun, entah apa yang terlintas di benaknya sekarang. Ekspresinya tidak terbaca.

Sadar dari fase kososng yang sempat melandanya, Jaemin memperbaiki postur dan pembawaannya sebelum menyerang.

"Apa orang asing dapat seenaknya masuk ke studio?"

Renjun berjengit mendengar nada dingin di suara Jaemin. Diam-diam ia mengantisipasi respon orang yang masih berdiri di ambang pintu.

"Orang asing? Wow itu menyakiti hatiku," cibirnya tak kalah ketus.

"Kalau tidak berkepentingan lebih baik kau angkat kaki dari tempat ini. Lagipula apa yang Mark Lee lakukan di studio seni?"

Mark mengabaikan sikap tidak bersahabat Jaemin. Buang-buang waktu. Ia harus cepat-cepat menuntaskan urusannya. Berada di tempat ini lama-lama membuatnya muak.

"Sayangnya aku kemari untuk mengembalikan ponsel Renjun. Kuyakin dia memerlukannya," Mark berkata santai sambil menarik benda metalik dari saku jaketnya.

"Kenapa ponsel Renjun ada padamu?"

"Dia meninggalkannya di mobil saat aku mengantarnya pulang dari rumah sakit," pria itu berkata seperti seseorang yang menghafalkan sebuah teks.

"Rumah sakit.." Jaemin bergumam. Ia lalu mengedarkan pandangannya pada Renjun, lalu Mark, lalu pada luka di kaki Renjun, lalu Mark lagi. Renjun bersumpah ia dapat mendengar roda-roda di otak Jaemin berputar dan menyocokan suatu puzzle.

Rumah sakit-- Renjun terkesiap. Kepalanya tersentak menatap Mark tidak percaya.

"Tentu saja. Ia susah sekali dihubungi karena ponselnya hilang. Ternyata ada di kau ya."

Di luar ekspektasinya Jaemin berkata ringan sambil berjalan kasual hendak mengambil ponsel Renjun yang kini diputar-putar di tangan Mark. Entah kenapa gestur bersahabat itu membuat Renjun curiga, begitu juga senyum menantang yang tersungging di wajah Mark.

"Renjun akan sangat berterima kasih," ujar Jaemin begitu benda persegi tipis itu sudah berada di tangannya.

Yah sepertinya tidak--

BUGH!!!

"Jaemin!?" Renjun memekik tak percaya melihat Mark yang terhuyung ke belakang menabrak kusen.

"Bastard," desis Jaemin. Mark terkekeh ringan sambil menyeka cairan merah yang mengalir dari sudut bibirnya.

π

"Maaf."

"Maaf?"

"Aku minta maaf. Dan juga, tolong maafkan sikap Jaemin di studio tadi," Renjun berkata. Kepalanya sedari tadi menunduk, menatap tangannya yang berpangku di bawah meja.

"You know it's rude when you talk to a person but not look into their eyes," pria bersurai gelap itu berbicara. Nadanya terdengar seperti ia tidak ingin berada di tempat ini.

Renjun mendongak, tidak sebelum ia menghela nafas berat. Sebisa mungkin ia menenangkan syarafnya begitu melihat sorot dingin yang keluar dari netra amber keemasan milik Mark.

"Ma--"

"Tidak perlu. Aku sudah cukup mendengarnya, terima kasih. Lagipula itu bukan perkara yang berarti untukku," potong Mark cepat.

"Tetap saja itu tidak menjustifikasi perbuatan Jaemin barusan," Renjun menimpali pelan namun dengan ketegasan yang cukup membuat Mark terkesan. Boleh juga nyali pria mungil itu.

"Memang."

Jawaban pendek milik Mark meninggalkan kebingungan aneh pada benak Renjun. Sebenarnya apa mau orang ini? Walaupun samar namun kelakuannya kadang berkontradiksi. Rasa was-was kembali menderanya saat pria di hadapannya tidak mengatakan apa-apa lagi.

"Hmm... terima kasih sudah mengembalikan ponselku, omong-omong. Walaupun sebenarnya Hyung bisa menitipkannya di pos penjaga," Renjun berbasa-basi untuk mengatasi keheningan yang mencekiknya. Mark mengedikkan bahu.

"Aku hanya ingin memastikan," ucapnya ambigu. Renjun seratus persen yakin ia tidak benar-benar sedang menanggapi kalimatnya barusan.

"Huh?"

Mark tersenyum tipis yang hilang secepat senyum itu muncul. Renjun agak tercenung mengingat selama pertemuannya dengan Mark--yang hanya dua kali dan singkat--laki-laki yang lebih tua itu hanya menyetel wajah datar tanpa ekspresi.

"Kau pasti sudah menerimanya."

Kalau itu orang lain, hal yang lumrah bila mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan Mark. Tapi sejatinya Renjun adalah orang yang dapat membaca orang lain. Ia dengan mudah dapat menemukan kata-kata tersirat dari rangkaian kalimat yang keluar dari mulut orang lain. Siapapun. Tidak terkecuali Mark. Namun kelebihan yang satu itu lumayan menyiksanya. Jadi hampir setiap waktu ia akan mengabaikannya.

"Ya."

Atau tidak.

π

Renjun duduk termangu di beranda belakang rumah. Entah apa yang menuntunya langsung duduk di kursi kayu yang menghadap ke taman belakang alih-alih masuk lewat pintu depan. Kalau berbicara jujur, pertemuannya dengan Mark (sekaligus hujaman pertanyaan bertubi dari Jaemin) cukup menguras energi mentalnya. Ia butuh pemulihan. Salah satunya dengan memandang jejeran lili putih yang ditanamnya dengan Bibi Qian.

Ada berbagai alasan kenapa Renjun gemar menyibukkan dirinya. Atau setidaknya ia punya sesuatu untuk dikerjakan agar pikirannya sibuk. Terlalu sibuk sehingga pada penghujung hari ia terlalu lelah untuk menghiraukan bisikan-bisikan yang lama menghuni sudut hati dan pikirannya yang lama ia kunci. Menyisakan ruang gelap yang dingin berdebu dan siap menghantuinya kapan saja saat ia lengah.

Seperti saat ini.

Mau tidak mau pikiran yang lama ia pendam muncul juga dan membuat hatinya serasa kosong. Bukan pikiran itu yang menyakitinya tapi kehampaan yang ditinggalkan membuat dadanya sesak.

Renjun terlarut dalam pikirannya dan tanpa sadar merogoh benda hitam yang didapat tempo hari dari ranselnya. Ia sudah membacanya berulang kali bahkan menghafal diluar kepala apa bunyinya.

Greetings

We gladly invite you to our beautiful event:

The Engangement of

Jeno Lee
&
Haechan Lee

Date: November 1st
Venue: The Lee's Mansion

DC: Masquerade

RSVP: xxxx

Your attendance means a lot for us and for the lovely couple.

π

A/N: here's chap 2 for u~~
Gimana, gimana? Ini emang masih awal jadi konfliknya belum kelihatan. Semoga sejauh ini kalian suka ya ^^ ditunggu kritik dan sarannya~~ se you next chap! 🙆🙆

P.S: yang nunggu Clairvoyance sabar yua
P.S: itu undangannya apa bgt deh... -,-

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 45.3K 52
Being a single dad is difficult. Being a Formula 1 driver is also tricky. Charles Leclerc is living both situations and it's hard, especially since h...
134K 3.6K 74
Stray Kids is on tour! Ella wins a prize at the concert that ends up turning her entire life upside down. She uncovers the dark secrets to K-Pop and...
962K 36.5K 87
๐—Ÿ๐—ผ๐˜ƒ๐—ถ๐—ป๐—ด ๐—ต๐—ฒ๐—ฟ ๐˜„๐—ฎ๐˜€ ๐—น๐—ถ๐—ธ๐—ฒ ๐—ฝ๐—น๐—ฎ๐˜†๐—ถ๐—ป๐—ด ๐˜„๐—ถ๐˜๐—ต ๐—ณ๐—ถ๐—ฟ๐—ฒ, ๐—น๐˜‚๐—ฐ๐—ธ๐—ถ๐—น๐˜† ๐—ณ๐—ผ๐—ฟ ๐—ต๐—ฒ๐—ฟ, ๐—”๐—ป๐˜๐—ฎ๐—ฟ๐—ฒ๐˜€ ๐—น๐—ผ๐˜ƒ๐—ฒ ๐—ฝ๐—น๐—ฎ๐˜†๐—ถ๐—ป๐—ด ๐˜„๐—ถ๐˜๐—ต ๏ฟฝ...
657K 40.1K 104
Kira Kokoa was a completely normal girl... At least that's what she wants you to believe. A brilliant mind-reader that's been masquerading as quirkle...