Unlimited | BTS KookV [COMPLE...

By Yozora_MK

1.1M 100K 56.4K

Akhir-akhir ini, perang dingin--yang tak pernah jelas darimana asal-usulnya, dan bagaimana kejadiannya--antar... More

#1. Way to Hate
#2. Now On
#3. Hell Boy
#4. Boyfriend
#5. Sweet Things
#6. Wishy-Washy
#7. Allures
#8. That Jerk
#9. Mannered
#10. Villain & Alliance
#11. Sweet-haired Little Guy
#12. Being Sensitive
#13. Salty Jeon
#14. Sunny Day in Sunday
#16. Heartless
#17. Written by You 🔞
#18. Black Stallion
#19. Gravity
#20. Gossip
#21. Warmth on Cold
#22. Paper Hearts
#23. Lies
#24. Chit Chat
#25. Nine To Ten
#26. Wonder
#27. Bad Person
#28. A Confession
#29. First Love
#30.a. Fragments (pt.1)
#30.b. Fragments (pt.2)
#31. Insecure
#32. Winter Child
#33. Intoxicating
#34. A Poison Called Hate
#35. Loveless
#36. A Cure Called Love
#37. Zero Inch 🔞
#38. Slice of Happiness
#39. Our Tale
#40. Always Fine
#41. Stay
#42. To Be With You
#43. Sweet Dreams
#44. You Know Nothing
#45. Hope & Fear
#46. You're The Reason
#47. Do You Hear Me?
#48. Goodbye & Good Things
#49. Across The Limits
#50. Back To You 🔞
#51. Love Heals All Wounds
#52. The Begining (LAST)

#15. If You Know

18.8K 2K 1.3K
By Yozora_MK

🌸 KookV 🌸

.

.

.

A/N :
Cerita ini hanyalah fiktif & merupakan hasil dari imajinasi fangirl dg bumbu unsur dramatis di sana sini.

. . .

CAUTION :
Terlalu menghayati cerita fiksi dapat menurunkan tingkat konsentrasi dan menimbulkan efek2 baper(?). Gejala seperti naiknya tekanan darah, euforia, cengengesan, mual2 dan hasrat ingin gampar seseorang bukan merupakan tanggung jawab author.

.

.

.

Happy Reading~ ^^

.

.

.

.

.

Akhirnya Jungkook mulai memikirkan alasan-alasan mengapa Taehyung repot-repot memberinya arloji pengganti.

Hari ini Senin. Selagi berada dalam mobil menuju ke sekolah, diperhatikannya oleh Jungkook cermat-cermat jam tangan yang masih juga tak dia keluarkan dari kotak itu, lalu dia tak berhenti bertanya-tanya. Kenapa? Padahal, anak itu biasanya memang suka merusak dan menciptakan kerusuhan—dia bisa saja memperlakukan Jungkook sesuka hati, seperti yang dia perbuat sebelum-sebelumnya. Tidak akan ada yang menyalahkan kalaupun dia bersikap masa bodoh. Akan tetapi, Taehyung justru memberikan sebuah jam tangan mahal dengan ukiran tak biasa di dalamnya.

Jungkook bingung terhadap Kim Taehyung. Pemuda itu kadang sukar ditebak. Seolah dipenuhi berbagai macam kejutan.

Tipikal yang unik.

Dalam hal selera misalnya.

Entah apa yang terpikirkan oleh Taehyung saat memilih benda unik itu. Jungkook sendiri bahkan tidak tahu, ukiran pada jam tangan yang diterimanya adalah kelinci atau serigala. Dilihat dari tampilan wajah garangnya, tatapan tajam dan taring, itu terlihat seperti serigala. Akan tetapi, mana ada serigala bertelinga panjang? Itu jelas-jelas kelinci? Atau mungkin serigala bertelinga kelinci? Jungkook tak paham. Penggambaran kelinci dengan taring dan tatapan nyalang nan tajam itu terlampau aneh.

Pada jam istirahat, empat sekawan berandal kelas 2-4 termasuk Taehyung mendatangi meja Jungkook di kantin tanpa diundang—Yuta yang memprakarsai, hingga praktis Taehyung pun ikut duduk di sana. Jungkook berdecap dan memutar mata sewaktu melihat geng anak-anak tersebut. Pikirnya, sejak kapan dirinya masuk ke dalam komplotan ini?

Di waktu yang sama, selagi menyandingkan diri dengan Jungkook, pandangan Taehyung diam-diam tertuju pada lengan pemuda itu. Dia melihat pergelangan di sana kosong. Laki-laki tersebut tidak mengenakan jam tangan pemberiannya dan jujur saja itu agak mengecewakan. Terdapat sekeping rasa ingin tahu yang mendesak Taehyung untuk menanyakan tentang hal tersebut pada Jungkook, tapi entah mengapa tidak pernah dia suarakan. Terlalu banyak alasan yang menyurutkannya.

Tak berapa lama Taehyung justru lebih tertarik untuk menanyakan hal lain.

“Jungkook, aku penasaran.”

Si pemuda Jeon sedikit menoleh mendengar bisikan Taehyung di sebelahnya.

“Jam tanganmu yang hilang, bukan pemberian dari seseorang, kan?” tanya Taehyung.

“Kenapa?” Jungkook balik bertanya.

“Jawab saja. Aku hanya ingin tahu,” kata Taehyung. “Apa itu pemberian seseorang?” Dia menatap Jungkook harap-harap. Semoga pemuda itu mengatakan tidak. Akan tetapi Jungkook menyumpit sosis di nampannya dan dengan santai menjawab, “Bukan siapa-siapa. Itu hadiah ulang tahun dari ibuku.”

Jungkook terus melanjutkan makannya seolah itu bukan hal penting, tanpa tahu diamnya Taehyung di sebelah karena dihinggapi perasaan bersalah. Benar kata Hyungsik, jam itu pemberian seseorang—yang ternyata memang dari orang yang spesial, yaitu ibu Jungkook.

Gawat, pikir Taehyung.

Lain lagi jika dilihat dari sudut pandang Jungkook.

Jam tangan Jungkook memang merupakan kado ulang tahun dari sang ibu pada September tahun lalu, tapi nyonya Jeon adalah ibu yang lain dari orang tua lainnya, yang mana selalu memberikan jam tangan sebagai kado untuk dua putranya di tiap tahun—alasannya, agar mereka selalu menghargai waktu. Arloji itu hilang, tapi Jungkook masih punya belasan arloji pemberian ibunya di rumah dengan harga masing-masing yang tak jauh mencengangkan. Jadi, bagi Jungkook itu memang bukan perkara besar.

Namun tidak bagi Taehyung. Di mata pemuda yang satu ini, hal tersebut amatlah penting, lebih berarti dan lebih dari sekedar masalah sepele.

Ketika Yuta di ujung meja mengoceh tentang kegiatan akhir pekannya yang membosankan—yang sedikit banyak mendapat komentar serta ejekan dari Jimin dan Seungcheol—Taehyung justru mengabaikannya. Anak lelaki itu nyaris tidak berkata-kata sepanjang sepuluh menit keributan tersebut. Dia berniat menanggapinya, benar-benar ingin meledek Yuta dan ikut-ikutan menertawai, tapi dia masih bingung karena Jeon Jungkook dan mendadak saja dia capek meladeni lelucon di sekelilingnya. Ada hal lain yang lebih mengusik.

Yang betul-betul Taehyung ingin lakukan adalah mengusir perasaan bersalahnya, tapi dia tidak tahu caranya meminta maaf. Harga dirinya terlampau tinggi. Rasa bersalah tak cukup mendorongnya untuk mengaku salah secara jujur di hadapan Jungkook—sekalipun untuk persoalan sesederhana—dan dia kesal sendiri karenanya. Dari dulu selalu begitu. Taehyung memang kerap mempersoalkan hal-hal kecil di depan mata.

Mereka yang di sana tidak menyadari raut menyesal samar di wajah Taehyung saat itu. Sudah pasti. Sebab jika begitu yang terjadi, tentu ketika di kelas Taehyung mengumumkan niatnya untuk membolos pada jam pelajaran terakhir, teman-temannya niscaya akan mencegah. Pada hari tersebut Taehyung ingin lari dari dirinya sendiri dan bersembunyi. Dia hendak melampiaskan kegelisahannya dan kembali menjadi si berandal pembuat masalah. Dia menyisihkan nasihat dalam kepalanya—yang mengatakan tidak serta mengingatkan bahwa dia sudah membuat janji kepada ibunya serta diri sendiri-—dan mengabaikannya.

Empat murid laki-laki itu kemudian menyelinap keluar dengan memanjat tembok belakang sekolah pada dua jam pelajaran terakhir. Daftar kegiatannya, pergi ke game center, tempat karaoke, bersantap di kedai makan pinggir jalan dan menghajar anak-anak sekolah lain.

Pada akhirnya, Taehyung mengingkari semua janji yang dibuatnya pada sang ibu. Bagaimanapun dia sedang mencari pelarian, dia ingin memukul seseorang, sedangkan peluang-peluang terhampar di hadapannya. Taehyung tidak peduli. Lagipula, terpenting mereka sungguh bersenang-senang dan banyak tertawa.

Alhasil malam harinya, Taehyung mesti membujuk-bujuk Mark dengan segala macam rayuan dan mengendap-endap ke kamar untuk tidur lebih cepat supaya sang ibu tidak mengetahui kenakalannya hari ini.

Yang tidak diketahui, hari itu Jung Suyeon si guru kimia yang dibenci sebagian besar murid mengadakan kuis dadakan di kelas 2-4. Mereka yang tidak hadir dijadwalkan mengikuti ulangan susulan minggu depan, tapi tentu akan mendapatkan pengurangan nilai.

Namun, bukan itu yang terburuk. Ketidakhadiran Taehyung di kelas kimia sudah menjadi yang kesekian kalinya. Jung Suyeon yang kelewat naik darah lantas merasa tidak diberi pilihan lain selain menjatuhkan sanksi kepada muridnya yang satu itu. Sang guru membatalkan nilainya pada tugas kimia Taehyung yang baru diterimanya dari Kang Seulgi. Angka delapan belum lama ditulis pada daftar nilai Taehyung, tapi Jung Suyeon serta merta mencoretnya dengan tinta merah dan membubuhkan huruf 'F' pada poin kepatuhan siswa tersebut. Beliau memberikan detensi sidang di ruang BK untuk hari berikutnya dengan keterangan pelanggaran : "Terang-terangan mengabaikan tugas dan tidak mengikuti pelajaran sebanyak empat kali berturut-turut".

. . .

Taehyung sejak awal mencoba meyakinkan dirinya bahwa tak apa, yang dilakukannya sudah benar, dia sudah berusaha. Namun, jawaban yang diberikan Jungkook di kantin membuat perasaannya tak kunjung membaik. Usahanya terkesan sia-sia. Jungkook tidak betul-betul menerima pemberiannya dan dia masih belum menemukan arloji itu—dia sudah berusaha, bukan? Bahkan dia sudah mengusahakannya selama seminggu ini, tapi percuma.

Segala yang terjadi di hari itu adalah pemicunya.

Taehyung tidak bisa berhenti memikirkan Jeon Jungkook. Dia tidak bisa menemukan arloji laki-laki itu, yang setelah satu minggu berlalu besar memungkinkannya tak akan bisa ditemukan lagi walau bagaimanapun. Dia tidak bisa memperbaiki nilai-nilainya dan dia tidak bisa mengubah dirinya.

Tidak ada yang bisa diperbuat. Maka Taehyung tidak melakukan apa-apa.

Pada hari-hari lainnya, Jungkook kembali menerima pesan singkat dari Taehyung. Yang berbunyi,

Salinkan catatan matematika bab 2 dan biologi bab 5. Bukuku ada di laci meja.

Jungkook sebetulnya telah menyadari kemunduran Taehyung. Namun baru setelah menerima pesan tersebut, dia akhirnya tidak tinggal diam. Dia mendatangi Taehyung sewaktu anak itu membolos di belakang gudang sekolah bersama rekan-rekan berandalnya dan beberapa anak dari kelas dua belas.

Taehyung baru saja akan menggesek pemantik dan menyalakan sebatang rokok yang dia selipkan di kedua belah bibirnya, saat mendadak seseorang mengulurkan tangan dan tanpa permisi merampas rokok tersebut darinya. Dia mendesah kesal dan menoleh, tapi malah dibuat terperanjat karena Jungkook telah berdiri di depan matanya.

Apa-apaan, Taehyung hendak berkata demikian dan sudah membuka mulut. Akan tetapi Jungkook lebih dulu mengatakannya. “Apa-apaan kau?” nada bicaranya terdengar tegas dan kentara menyiratkan dakwaan.

“Apa yang kau lakukan?” sergah Taehyung seraya berdiri dari duduknya.

Anak-anak yang ada di sana juga sama terkejut dan bingungnya seperti Taehyung. Mereka memandangi pasangan tersebut tanpa berniat melakukan apa-apa untuk menginterupsi.

“Apa kau memang selalu seperti ini?” Jungkook berkata dengan nada sinis dan seketika membuat Taehyung kesal.

“Apa?”

“Kau,” kata Jungkook dingin, “benar-benar menjijikkan. Apa niatmu hanya sebatas kata-kata saja?” Dia tertawa meremehkan. “Berubah? Jangan melucu,” cercanya saat sekejap Taehyung tak bisa berkata-kata. “Apanya yang berubah? Kau masih jadi sampah.”

Taehyung meradang akibatnya. Perkataan Jungkook membuatnya ingin melayangkan bogem mentah telak ke wajah sialan itu, tapi sialnya, rasa bersalah yang tak kunjung hilang menghalang-halangi. Dia tertahan, terjebak antara rasa sesak dan kebenaran mutlak yang dikandung dari ucapan barusan. Sekalipun dia sama sekali tidak berpikiran untuk menyangkal pernyataan tersebut, hatinya tersayat.

“Apa masalahmu?” Taehyung membanting pemantik ke dada Jungkook, lalu angkat kaki.

Taehyung keburu pergi dan menyudahi perdebatan, bahkan sebelum anak-anak yang lain sempat memiliki niat untuk melerai. Sedikit banyak mereka merasa ikut menjadi penyebab pertengkaran sepasang kekasih itu karena membolos bersama Taehyung.

Sedangkan Taehyung berpikir, persetan dengan Jeon Jungkook. Pemuda itu terus berjalan meninggalkan tempatnya, berniat membolos sendiri di tempat lain, di tempat yang tidak ada Jeon Jungkook.

Namun rupanya laki-laki itu mengejar Taehyung. “Jangan jadi pengecut!” Jungkook mencegat Taehyung dan membentak di hadapannya.

Cukup sarkastis Taehyung membalas, “Ada apa denganmu?”

“Apa ini yang kau sebut memperbaiki diri?” balas Jungkook.

“Kau buta? Tolol?” Taehyung balik mencaci. “Seperti inilah aku seharusnya. Memperbaiki diri itu tindakan konyol!”

“Dasar bodoh! Seharusnya sekarang kau membuktikan kata-katamu!”

“Apa lagi yang harus dibuktikan, brengsek? Aku—”

“Apa kau sudah mencobanya?” Jungkook memotong ucapan Taehyung. “Aku tanya, apa kau sudah berusaha keras?”

“Benar. Aku sudah mencoba—aku berusaha!” suara Taehyung pecah. “Tapi seperti yang pernah kau katakan, tidak ada yang menghargaiku meski aku berusaha. Jadi untuk apa lagi aku mencoba? Persetan!”

“Coba sekali lagi,” kata Jungkook disertai penekanan tanpa sadar. “Teruslah berusaha sampai batasmu!”

“Kau—sialan kau,” Taehyung mengepalkan tangannya kuat-kuat, merasa geram sendiri. Dia akhirnya bertanya sungguh-sungguh,  “Sebenarnya apa maumu? Kau tidak lihat? Tidak ada yang akan menghargai sampah seperti aku!”

“Aku menghargaimu.”

Taehyung sedetik tercekat.

“Bahkan sampah saja bisa didaur ulang,” kata Jungkook melanjutkan.

Taehyung mendesis. Dia tidak tahu harus membalas dengan kata apa lagi. Pikirannya mendadak buyar. Ingin sekali dja menegaskan pada pemuda di depannya itu bahwa inilah dirinya yang sesungguhnya, dia si brengsek sialan pembuat onar dan tiada siapapun di dunia ini yang mampu mengubah fakta tersebut.

Pergi, tinggalkan aku, itulah yang ingin Taehyung katakan. Menghilang dari hadapanku.

Namun, Taehyung gagal total mengontrol ucapannya sendiri, sampai-sampai menyumpah dengan benar saja dia tidak bisa. Pikiran rancu dan rasa kesal malah mengambil alih kendali mulutnya. “Katakan itu pada seseorang yang tidak mau menghargai pemberian orang lain,” dia malah mengatakan ini tiba-tiba.

Lalu, sekejap kemudian Taehyung kaku sendiri.

“Apa katamu?” Jungkook tak lantas paham dan serta merta menautkan kedua alisnya, sementara Taehyung yang membeku berpaling darinya.

“Apa yang—” belum lengkap kalimat Jungkook terucap, tahu-tahu Taehyung sudah memutar badan dan berlari menjauh meninggalkannya.

Mematunglah Jungkook di tempatnya, dengan segudang pertanyaan berkelebat.

“Dasar gila! Dasar gila! Dasar gila!” tak habis-habis Taehyung bergumam merutuki dirinya sendiri sepanjang jalan, sambil terus menepuk-nepuk mulutnya—sebab, bisa-bisanya kelepasan mengucapkan hal yang melenceng jauh dari topik pembicaraan.

Bodoh, cercanya tak berkesudahan.

Seharusnya dia bisa lebih pandai membungkam mulutnya sendiri.

. . .

Hari itu, lewat sehari selepas perdebatan singkat Jungkook dan Taehyung di halaman belakang sekolah. Belum genap setengah jam Jungkook tiba di rumah dan mengunci pintu kamarnya, tapi sekarang dia sudah rapi dengan jeans hitam dan mantel hitam yang panjangnya melebihi kaosnya. Dia berpamitan pada sang ibu—konon, mengerjakan tugas kelompok yang amat mendesak—lalu keluar dari rumah dan terus menuju mobil.

Sebelum mengatakan tujuannya hari ini pada sopir, Jungkook mengeluarkan ponselnya dan melakukan panggilan video kepada seseorang. Beberapa saat menunggu, panggilan tersambung dan muncullah wajah yang menatapnya bingung di layar ponsel. “Jeon Jungkook?” suara Taehyung terdengar keheranan di sepeaker ponsel Jungkook.

“Ada apa ini? Tidak biasa sekali,” kata Taehyung, sesaat merasa curiga dan menatap penuh selidik.

Jungkook mengerutkan kening. Dipandanginya wajah di ponsel tersebut dengan kritis “Sedang apa?” dia bertanya, sementara Taehyung masih menatapnya curiga.

“Apa kau sedang merencanakan sesuatu? Katakan saja terus terang.”

“Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan,” Jungkook memerintah seenaknya.

“Kau tidak lihat?” Taehyung menjauhkan ponsel hingga terlihatlah handuk yang tersampir di lengannya. Tampak pula rambutnya sedikit basah. “Aku baru selesai mandi,” jawabnya.

Jungkook lanjut bertanya, “Kau sibuk?”

Taehyung kembali mendekatkan diri ke kamera dan lagi-lagi menatap curiga. “Kenapa kau ingin tahu?”

Jungkook mulai jengkel. “Jawab saja.”

Namun Taehyung berdecak sembari menyipitkan mata. Bukannya menjawab, dia malah berujar, “Kau mencurigakan.”

“Apanya yang mencurigakan?” balas Jungkook sedikit menggerutu. “Aku tanya kau sibuk atau tidak—hanya itu.”

Akhirnya lawan bicara Jungkook pun memutuskan untuk percaya. Sambil mengernyit dan mencebik Taehyung menimbang-nimbang. “Sekarang ini, ya?” Sejenak dia berpikir, lalu berseru, “Iya, ada! Aku sangat sibuk.”

Taehyung mengangguk dan memandang ponsel dengan mata bulat serta ekspresi penuh keyakinan. Sedang Jungkook lantas mengangkat alis, menanyakan, “Apa itu?”

“Makan malam, lalu tidur,” Taehyung menyahut dengan begitu entengnya.

“Kim Taehyung,” Jungkook menggertak dan kontan dibalas dengan galak.

“Apa?”

“Seriuslah,” kata Jungkook.

“Aku serius. Kau menelepon hanya untuk mengajakku ribut atau—aduh!”

Tiba-tiba kamera Taehyung bergoyang-goyang, diikuti bunyi berdebam dan bising. Anak itu menghilang dari layar ponsel Jungkook dan sekejap yang terlihat hanya langit-langit ruangan.

Taehyung jatuh tersandung kakinya sendiri.

“Tidak ada apa-apa, Hyung!” terdengar Taehyung menyahut setelah sayup-sayup seorang laki-laki berseru.

Sedangkan Jungkook secara otomatis mengatai dalam hatinya, dasar ceroboh.

“Sialan,” Sesaat berselang Taehyung bangkit dan kembali muncul di layar. Dia berucap kepada Jungkook, “Aku sibuk, jangan ganggu-ganggu aku!”

“Sibuk? Sibuk apa? Kau ada rencana kencan dengan Park Hyungsik?”

“Oi!” Taehyung berseru dan melotot begitu mendengar nama seseorang yang paling dihormatinya ikut diseret-seret tanpa sopan santun.

“Tidak ada, kan?” tukas Jungkook cepat. “Kalau begitu kau tidak sibuk.”

“Siapa bilang—”

“Ayo pergi ke sungai Han.”

Taehyung dongkol. “Jangan memotong kata-kataku!”

“Cepat bersiap.”

“Hei, hei!”

“Sekarang.”

“Jeon Jungkook!” Taehyung memekik. “Apa-apaan kau? Pergilah kencan sana! Kerjakan tugas sekolahmu sendiri—bermain, atau apa saja!”

“Karena itu aku meneleponmu,” Jungkook menjawab.

“Brengsek—”

“Ayo berkencan.”

Taehyung seketika membisu saat Jungkook menuturkan sebuah ajakan. Sedetik dia memasang tampang bodoh, mengerjap-ngerjap linglung. “Hah?” Sesuatu terasa salah. Taehyung mengerutkan kening, merasa ada yang tak beres dengan pendengarannya atau otak Jungkook. Pikirnya, anak ini tidak waras.

Jungkook memang betul-betul piawai membuat orang lain terkesan bodoh. Sesaat kemudian dia bersuara, “Haruskah aku mengatakan itu?”

Taehyung pun mendidih, sebab Jungkook berhasil membuatnya gila. “Bocah kurang ajar!” umpatnya.

“Cepatlah,” kata Jungkook lagi. “Aku juga punya banyak tugas.”

“Pergi saja sendiri!”

Lalu telepon ditutup secara sepihak oleh Taehyung.

Jungkook memandangi layar ponsel yang hitam dengan tulisan "Call Ended" di tengahnya dan menghela napas. Rupanya berbasa-basi memang bukan gayanya. Dia pun mengirim pesan singkat kepada Taehyung yang menanyakan alamat rumah anak itu dan mengatakan untuk segera bersiap-siap karena dia sudah akan pergi menjemput.

Tidak ada balasan. Jungkook mengira Taehyung begitu tidak inginnya diseret pergi belajar hari ini, sampai tidak memberikan balasan padanya sama sekali meski hanya umpatan atau sumpah serapah. Jungkook tidak tahu bahwa yang sebenarnya terjadi, Taehyung meninggalkan ponselnya dan memang benar-benar tidak tahu ada pesan masuk di ponselnya. Taehyung pergi keluar membeli sesuatu di minimarket sekitar rumahnya.

Jadi Jungkook repot-repot menyempatkan diri mencari tahu alamat rumah Taehyung sendiri dengan kembali ke sekolah-—kebetulan dia tahu dua teman Taehyung anggota klub sepakbola dan pastinya saat ini tengah mengikuti latihan ketat harian bersama anak-anak klub lain yang ikut turnamen. Awalnya Yuta dan Seungcheol mengejek Jungkook habis-habisan saat ditanyai. Mereka mengatakan, “Bodoh sekali kau tidak tahu alamat pacarmu sendiri,” sambil tertawa terbahak-bahak.

Namun meski begitu mereka dengan sukarela memberikan alamat rumah Taehyung, dan bahkan dengan baik hatinya memberikan nomor ponsel mereka, padahal Jungkook tidak meminta. Katanya, jaga-jaga kalau Jungkook salah jalan—dan Jungkook berkeyakinan kalau itu tidak akan terjadi.

Sewaktu menuju gerbang sekolah, Jungkook berpapasan dengan Park Jimin yang entah alasan apa masih tinggal di sekolah. Ketika melihat Jungkook, pemuda itu langsung bertanya, “Kau sudah menemui Taehyung?”

Jungkook hanya memberikan gelengan singkat sebagai jawaban.

”Hei, Jungkook, aku tidak bohong meminta tolong padamu. Dia mungkin anak yang nakal, tapi kau tidak mungkin setega itu kan membiarkan dia—”

“Aku tahu,” Jungkook menyela dengan suara tinggi, setelah itu mempercepat langkahnya mendahului Jimin.

Di belakang Jungkook, Jimin menatap jengkel lalu meneriaki pemuda itu, “Hei! Kau yang membuatnya melakukan hal-hal bodoh, dasar brengsek!”

Sama brengseknya seperti Taehyung, Jimin menambahkan dalam hatinya.

. . .

Taehyung kembali lagi ke rumah setelah mendapatkan apa yang dicari, tapi di depan gerbang dia berhenti. Ibunya ada di sana, baru akan melangkah di halaman dan ikut menghentikan kaki saat melihat dirinya. Wanita itu tidak pernah pulang pada jam-jam seperti ini sebelumnya. Jelas Taehyung tidak menyangka kalau ibunya bakal pulang lebih awal, pada waktu yang benar-benar tepat pula. Sepertinya dejavu.

Buru-buru Taehyung memalingkan wajah sembari menggenggam erat-erat benda di saku jaketnya, sekaligus berdoa semoga ketajaman penglihatan Kim Yujin tidak akan bertambah dalam kurun waktu beberapa detik ke depan.

“Taehyung,” Yujin memanggil nama sang putra dan memperhatikan lekat-lekat.

Sial.

Wanita itu berjalan mendekati Taehyung dan segera yakin jika dirinya tidak salah lihat saat mengira ada luka memar di pipi anak itu. Wajahnya seketika mengeras melihatnya. “Jelaskan pada Eomma,” tuntut Yujin setelah menyentuh dagu Taehyung untuk menatapnya.

“Ini bukan apa-apa,” Taehyung mengelak, sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan wanita di depannya.

“Apanya yang bukan apa-apa?” kata Yujin dengan nada marah. “Demi Tuhan, Taehyung! Ini luka perkelahian? Kau berkelahi lagi?”

“Itu bukan perkelahian besar.”

“Bukan perkelahian besar—bukan perkelahian besar, kau bilang?” Yujin membentak, berusaha menahan emosi dan ternyata gagal. “Sadarkah kau, Kim Taehyung? Kau melanggar janjimu pada Eomma."

“Aku sudah berusaha, oke? Beri aku waktu.”

“Kalau begitu paling tidak tunjukkan pada Eomma usahamu!”

“Aku tidak bisa berubah hanya dalam waktu semalam,” kata Taehyung masih berkelit sehingga Yujin pun sontak menudingnya.

“Yang Eomma lihat kau tidak benar-benar mau mengubah diri! Kau bahkan tidak mau berusaha!”

“Anda tidak memberiku waktu,” sesaat nada bicara Taehyung ikut menanjak. “Anda juga tidak pernah benar-benar mencoba mengerti posisiku. Anda bahkan tidak memberiku waktu saat membawaku paksa setahun lalu, kan?”

Emosi tertumpah di tiap kata-kata Taehyung, sampai-sampai Yujin mencelus mendengarnya.

“Taehyung, dengar. Eomma—”

Yujin hendak meraih lengan Taehyung, tapi pemuda itu mundur dan menepisnya. Anak itu menarik tangannya terlalu cepat, hingga secara praktis keluarlah benda persegi yang disembunyikannya di dalam saku. Sebungkus rokok yang masih utuh tergeletak di sebelah kaki Taehyung.

Sialan. Taehyung serasa ingin membenturkan kepalanya keras-keras ke tembok.

Yujin sejenak memandang benda tersebut dengan ekspresi tak percaya. Amarah yang tadinya sempat berhasil ditahan seketika merebak dan membuat dadanya sesak. Jadi dia lantas menatap Taehyung. Terlihat putranya itu berdiam tak acuh. “Kim Taehyung,” ucap Yujin tajam dan dingin, “katakan itu bukan milikmu.”

Di balik ketegarannya, Yujin mengharapkan pembelaan dari Taehyung. Dia berharap anak itu menyangkal dan berkelit lagi, memaksanya percaya bahwa itu milik orang lain meskipun cuma kebohongan.

“Kim Taehyung!”

Namun, Taehyung tak coba-coba membela diri.

“Sejak kapan kau merokok?”

Taehyung tahu ada kekecewaan yang ikut tersirat dari kemarahan ibunya. Hanya saja, dia terlalu muak berkata-kata. Mendebat atau diam saja, cuma itu yang bisa dilakukan.

Ketika Taehyung tak juga mengatakan apa-apa, Yujin kembali berkata, “Taehyung, bisa-bisa kau merusak dirimu sendiri jika begini terus.”

Kata-kata tersebut, entah bagaimana terasa nenyayat batin Taehyung.

“Tidak,” Taehyung berkata, datar namun demikian bengis, selaras dengan tatapannya. “Bukan aku yang merusaknya. Kau yang merusak hidupku—kau mengacaukan semuanya.”

Sebuah tamparan diterima Taehyung atas perkataannya.

Dia pantas mendapatkannya. Lagi pula, memang itu yang bisa dia berikan kepada ibunya. Taehyung tidak pernah memberikan apa-apa kecuali kekecewaan, sementara Yujin tidak pernah berhenti mengharapkan.

Pada detik-detik terakhir Yujin menatap sang putra yang sekejap terkejut akan tindakannya. Napasnya memburu akibat emosi yang membuncah dalam waktu singkat dan saat dia melangkah memasuki rumah, air mata meluap hingga tak sanggup dibendungnya.

Sementara Taehyung masih di tempatnya. Dia menginjak rokok di bawah kakinya, lalu memandangi bungkusan penyok itu selama beberapa saat dan tak kunjung beranjak. Dia jenuh. Dia tidak ingin masuk ke dalam rumahnya lagi, selamanya.

Jungkook tiba di depan rumah Taehyung dan tepat waktu untuk menyaksikan drama itu terjadi. Ketika dua orang di depan gerbang saling membentak serta ketika Taehyung bergeming dengan raut kosong sehabis menerima tamparan di wajah, Jungkook terus memperhatikan dan tak sedikit pun berpaling. Dia memandang sosok pemuda itu tanpa melakukan apa-apa.

Tak lama Taehyung menyadari keberadaan mobil sedan hitam tak jauh darinya, yang kaca belakangnya terbuka dan menampakkan Jeon Jungkook dengan raut wajah sulit ditebak. Saat itu Taehyung terlalu penat sehingga tak sempat heran ataupun bertanya-tanya bagaimana Jungkook bisa mengetahui alamat rumahnya. Dia sejenak menarik napas, menelan seluruh emosinya bulat-bulat dan memendamnya di sudut terdalam dirinya, kemudian berjalan mendekati mobil Jungkook.

Taehyung sedikit merunduk untuk berkata pada Jungkook di jendela mobil, “Masuklah dulu. Aku akan bersiap-siap sebentar.” Kali ini dia tidak menolak ataupun memprotes ajakan Jungkook.

Jungkook menebak ini tentu bukan pertengkaran Taehyung yang pertama dengan sang ibu. Menurutnya, mungkin, ini bahkan juga bukan yang terparah. Dia pikir dirinya tidak ingin mengetahui tentang hal itu lebih jauh lagi, jadi dia memutuskan, “Aku akan menunggu di sini.”

Jungkook berusaha sebaik mungkin untuk tidak mencampuri urusan Taehyung atau apapun yang terjadi di dalam hubungan keluarga anak itu.

Pada akhirnya Taehyung sendirian masuk kembali ke dalam rumahnya.

Sedang Jungkook tetap berada di belakang garis yang dibuatnya.  Dia mencoba mengerti.

Barangkali Taehyung memang gemar menentang. Anak bahkan itu mendebat orang lain lebih sering dari yang Jungkook kira. Sebelum keluar pun, Taehyung berdebat dengan Mark yang terus-menerus bersikeras ingin mengantarnya walau bagaimanapun dengan alasan tugas dari Presdir. Sedangkan Taehyung sedang tidak ingin dirongrongi oleh siapa-siapa. Dia semata-mata mengumpat dan menyuruh Mark untuk tutup mulut, lalu membanting pintu dan meninggalkan rumah—tanpa tahu, tak lama setelah dia pergi, Mark mengeluarkan mobil dan diam-diam membuntuti dari kejauhan.

Jungkook ingin berpura-pura tidak tahu, tapi semua perselisihan itu kelewat jelas terjadi di depan matanya. Beberapa saat sesudah terdengar suara keras pintu tertutup, dia melihat Taehyung muncul dan masuk ke mobilnya dengan wajah luar biasa sebal bersungut-sungut. Pemuda itu hampir-hampir terlihat bisa menggilas siapa saja yang menyentuhnya, jadi Jungkook memilih diam menyimak umpatan-umpatan digumamkan di jok sebelah.

Ujung-ujungnya, Jungkook ikut juga ambil bagian dalam perdebatan dengan Taehyung di hari tersebut—lagi-lagi. Sebab, sebelum sampai di sungai Han, Taehyung yang masih diliputi perasaan buruk tiba-tiba menodong Jungkook. “Belikan aku tteokbokki!” pintanya kala itu dengan nada garang.

Jungkook menolak permintaan tersebut. Pikirnya, jangan tteokbokki lagi. Dia memiliki pengalaman tidak menyenangkan dengan tteokbokki dan Kim Taehyung.

Sudah pasti Taehyung terus ribut. Anak itu menendangi kaki Jungkook dan memaki-maki seperti singa kelaparan. “Sialan! Aku lapar, Jeon Jungkook. Belikan aku tteokbokki! Tteok-bok-ki! Apa masih kurang jelas? Kau berani menentang perintahku sekarang?”

Jungkook mengerang dongkol. “Beli yang lain, jangan tteokbokki! Membuatku kesal saja.”

“Aku tidak mau!” Taehyung kukuh. “Aku mau tteokbokki!”

“Kalau begitu cari sendiri.”

“Kau mau mati?”

“Kau yang akan mati jika terlalu banyak makan tteokbokki,” balas Jungkook, lalu mendesis. ”Lagipula apa enaknya itu? Rasanya cuma pedas.”

“Kau tidak peka, mana tahu soal rasa.”

“Jika ada yang tidak peka di antara kita, itu adalah kau. Sudah jelas!”

“Dasar iblis! Bajingan, kau!”

“Kau juga iblis, Bajingan. Kau tidak tahu betapa inginnya aku membunuhmu sejak dulu.”

“Kau yang kubunuh jika aku tidak mendapatkan tteokbokki hari ini—belikan aku tteokbokki, Jeon Jungkook!”

“Berhenti menyebut-nyebut tteokbokki!” Jungkook berteriak tak tahan. Mendengar nama tteokbokki saja sudah membuatnya kesal.

Pada akhirnya perdebatan tak bermakna mereka berbuntut pada layanan drive-thru di sebuah restoran cepat saji dan, supaya tidak memperpanjang adu mulut, Jungkook membiarkan Taehyung sendiri yang memilih pesanan.

Hari ini Taehyung tak banyak mengeluh seperti biasanya. Satu sisi Jungkook paham-paham saja, pemuda itu mungkin sudah terlalu banyak menguras emosinya hari ini. Jujur, dengan begini Jungkook merasa sedikit terbantu. Akan tetapi, di sisi lain dia juga tahu, pikiran Taehyung sedang tidak sepenuhnya tinggal di raganya saat ini. Maka bisa jadi sebagian materi yang dia sampaikan hari ini tidak betul-betul masuk ke kepala anak itu.

Kegiatan belajar mereka berlangsung cukup damai, hingga akhirnya selesai lebih cepat dari yang diperkirakan. Matahari bahkan belum sepenuhnya tenggelam saat itu. Tempura udang dan cola di samping Taehyung juga masih tinggal sepertiga

Masalahnya, Taehyung masih belum mau pulang ke rumahnya. Jungkook bisa menebak melalui gelagat yang terlihat, bahwasanya Taehyung tengah mencari-cari alasan agar tidak segera pulang. Ketika anak lelaki itu benar-benar serius berpikir dan menggerakkan matanya tak tenang, Jungkook justru sedang memikirkan pertengkaran pemuda tersebut dengan sang ibu. Itu membuatnya tak tahan untuk tidak mengomentari.

“Kim Taehyung,” kata Jungkook akhirnya, penuh kehati-hatian. “Yang tadi, di depan rumahmu ...”

Taehyung sesaat terkesiap. “Kau melihatnya?” dia bertanya.

Jungkook berdehem. “Aku tahu kau marah ... tapi bagaimanapun, kau seharusnya tidak mengatakan itu kepada ibumu,” ujarnya.

Taehyung tidak percaya mendengarnya. Sejujurnya dia juga cukup tertegun, tidak menyangka akan menerima kata-kata semacam itu dari seorang Jeon Jungkook, anak laki-laki yang selalu menghina dirinya dan memandang rendah orang lain. Namun meski demikian Taehyung menjawabnya, “Dia bukan ibuku.”

Jungkook ingin bicara lagi, tapi dia melihat pemuda di hadapannya itu memalingkan wajah sembari menambahkan, “Dia hanya ibu angkatku. Aku yatim piatu dan dia mengadopsiku dari panti asuhan.”

Taehyung mengucapkan kalimatnya dengan kepura-puraan, seolah itu bukan hal besar. Jungkook jelas berbohong jika mengaku tidak terkejut saat kata-kata tersebut keluar dari mulut Taehyung. Dia bertanya-tanya apa yang telah dilakukannya sehingga layak mendapatkan ini, musuhnya secara terang-terangan dan tanpa ragu membuka rahasia kepadanya. Sampai-sampai dia tidak memiliki apa-apa lagi untuk disampaikan. Dia sadar jika dirinya sendiri yang berada dalam situasi dan posisi Taehyung saat ini, tentu dia juga tak ingin direcoki oleh siapapun.

“Hei, Jungkook,” kata Taehyung tiba-tiba, kemudian berdiri dari duduknya. “Apa menurutmu jam tanganmu masih ada di sekitar sini?”

Taehyung berjalan berkeliling sebelum sempat Jungkook memberikan tanggapan. Sesaat berselang Jungkook ikut berdiri, memerhatikan Taehyung yang berjalan di tepi sungai. “Jangan-jangan, jam tanganmu ada di dasar sungai—hei, memurutmu apa masih bisa ketemu jika kita cari di sekitar sini? Apa aku harus menyelam untuk menemukannya?” canda Taehyung sambil terus melangkahkan kakinya dan mengedarkan pandangan.

“Tapi—” Jungkook hendak memanggil pemuda itu, tapi suaranya semakin lirih seiring dengan keluarnya kata-kata yang ingin dia sampaikan, “—itu ... sudah ketemu.”

Pernyataan itu pun memudar selagi diucapkan dan akhirnya benar-benar tidak terdengar ke telinga Taehyung. Jungkook hanya diam, dibiarkannya Taehyung berkeliaran di sekitar sana seperti tengah memburu harta karun. Mungkin dengan begitu menit-menit bisa sedikit terulur. Pikir Jungkook, biar saja seperti ini dulu.

“Hei, Jeon Jungkook!”

Jungkook menoleh saat mendengar teriakkan Taehyung. Si pemuda di pinggir sungai berseru, “Apa kau tahu kalau kau itu seperti malaikat kematian? Apalagi hari ini.”

“Apanya?”

“Serius, Jungkook. Jika kau membawa tongkat sabit, itu akan benar-benar cocok denganmu. Penampilanmu saat ini juga sudah sesuai, serba hitam,” ujar Taehyung, lalu tertawa sendiri meski tak ada yang lucu dari perkataannya.

“Apa-apaan?” Jungkook mendesis dan melihat dirinya sendiri. Memang benar pakaiannya serba hitam hari ini, tapi tidak semuanya. Sungguh, kaos polosnya jelas-jelas berwarna putih. “Kalau aku grim reaper, lalu kau apa? Lucifer?” dia membalas sesaat kemudian.

Taehyung menyahut asal-asalan, “Aku penduduk langit.”

Sebetulnya Taehyung mengatakan itu dengan mengingat-ingat kakeknya yang dia temui tiap di acara keluarga, yang selalu mengatakan nasihat-nasihat bijak tentang kedamaian dari dewa di langit. Filosofi itu malah semakin nyeleneh karena Jungkook menyelewengkannya menjadi gurauan yang lain lagi.

“Aphrodite maksudmu?”

Taehyung memang tidak memiliki pengetahuan banyak tentang mitologi dewa-dewi Yunani, tapi dia tahu, Aphrodite itu bukan nama dewa. Aphrodite adalah nama dewi, seorang dewi—dewi kecantikan jika dia tahu. “Kau menghinaku, ya?” dia pun mencerca.

“Apa salahku?” Jungkook mengangkat bahu dan menatap sok polos. Sedetik kembali menambahkan dengan cibiran, “Aku menyamakanmu dengan Aphrodite, dan kau bilang aku menghinamu?”

Taehyung menumpukan dua tangannya di pinggang, lalu serta merta berkata, “Kau beruntung aku sedang tidak berminat membunuh seseorang saat ini. Jika tidak, sudah kutikam dan kutenggelamkan kau hidup-hidup.”

“Kau pikir aku peduli?” Jungkook acuh tak acuh menyahut.

Saking sebalnya, Taehyung menghentakkan kaki dan membalikkan badan memunggungi Jungkook. Cerobohnya, dia menginjak bebatuan di tepi sungai sehingga membuat pijakannya goyah. Tubuhnya terhuyung dan limbung, tetapi dia sempat menjerit, ”Jeon Jung—” sebelum kemudian jatuh.

Jungkook menoleh. Dilihatnya Taehyung tercebur dan menghilang dalam buih-buih air bergolak. “Apalagi sekarang?” keluhnya.

Pemuda itu lari ke tepi sungai. “Kim Taehyung!” teriaknya sembari menunduk ke atas air.

Jungkook menunggu Taehyung menyembul ke permukaan, tapi anak itu tak kunjung muncul. “Hei, jangan bercanda, Berengsek!” dia berteriak dan, sesaat kemudian, dia mulai panik.

Fuck,” kata Jungkook berkomat-kamit, lalu buru-buru mencopot mantel serta alas kakinya dan melompat ke dalam air.

Beberapa puluh meter dari sana, Mark keluar dari mobil dan berderap seusai melihat Taehyung yang jatuh ke dalam sungai.

Taehyung tidak pernah takut akan hantu dan kisah-kisah seram yang didengarnya sebelum tidur sewaktu kecil. Dia tidak takut terhadap kegelapan di balik lemari pakaiannya atau monster yang katanya akan keluar dari kolong di bawah tempat tidurnya yang gelap. Kegelapan bukan musuhnya. Akan tetapi, sewaktu mencoba membuka mata dan mendapati hanya gelap sejauh mata memandang, perasaan takut muncul mengungkung Taehyung. Jadi dia memilih untuk menutup mata dan memejamkannya erat-erat, sekalipun tahu itu percuma.

Rasanya seperti disergap oleh sesuatu tak kasat mata, yang mengunci seluruh tubuhnya, membungkam mulut dan mencekiknya hingga Taehyung tak mampu bernapas.

TidakLepaskan aku.

Taehyung pernah merasakan sesak ini.

Tolong.

Ketakutan ini bagaikan palung tak berdasar, yang terus menyeret Taehyung semakin dalam dan jauh. Dia pernah merasakan ketakutan ini. Namun Taehyung tidak bisa terbiasa, tidak akan pernah. Rasanya sakit, dingin, jauh dari dunia dan sendirian. Rasa takut menelan Taehyung seperti ini adalah pertama kalinya. Dia ingin menggapai permukaan, tapi tubuhnya tak mau bergerak. Seluruh tenaganya lenyap sehingga dia hanya bisa berharap seseorang menariknya keluar—siapa saja.

Air sungai menghapuskan tangisan dan kemudian matanya enggan terbuka lagi.

Momen berikutnya cahaya bertalu-talu di balik kelopak dan saat Taehyung membuka mata, seketika rasa sesak menekan-nekan dari dasar rongga dadanya. Dia terbatuk-batuk memuntahkan air keluar dari paru-paru. Kepalanya pening dan berputar-putar. Seseorang mengusap kedua pipinya, di sana ada Mark yang sesaat menjauh darinya sambil menarik napas lega dan mengatakan, “Oh, astaga. Syukurlah.”

Taehyung melihat lagi, di sisinya yang lain tampak punggung Jeon Jungkook naik turun dengan suara napas tersengal-sengal. Air membasahi seluruh tubuh pemuda itu dan membuat kaosnya setengah transparan. Taehyung pun menyimpulkan Jeon Jungkook-lah yang tadi berenang ke dalam sungai menyelamatkan dirinya. Sekali lagi, dia berhutang nyawa kepada anak lelaki itu. Padahal dia tidak mau berhutang.

“Kenapa kau suka sekali diselamatkan olehku?” Jungkook menoleh pada Taehyung. “Ini ketiga kalinya, asal kau tahu,” imbuhnya dengan napas terengah.

“Dua,” Taehyung membalas lirih, tapi sebenarnya dia tidak benar-benar mampu memfokuskan pikiran pada ucapan Jungkook.

Mark melihat ke arah Jungkook. Dia tidak tahu apa yang dua pemuda itu perbincangkan dan memang tak berniat bertanya karena masih begitu cemas.

Tak ada satu pun dari dua laki-laki di sana yang menyadari bahwa Taehyung kacau. Jiwanya masih tenggelam.

“Yang ketiga di lapangan voli,” Jungkook berusaha menimpali sembari mengatur napasnya.

Taehyung sebetulnya tak sanggup berkata-kata. Dia masih kesulitan bernapas dan, sungguh, ketakutan masih meleburnya. Dia ingin dipeluk supaya tidak hancur berkeping-keping. Namun, mendengar suara Jungkook membuatnya tertawa. “Sudah kubilang,” dia tertawa sekaligus menangis. Napasnya tersengal dan suaranya terdengar tak berdaya, bahkan saat dia melanjutkan, “Bola voli tidak bisa membunuh orang.”

Setelah itu Taehyung pingsan. Dia tak kuasa mempertahankan kesadarannya.

Alhasil Mark panik bukan kepalang. “Taehyung! Kim Taehyung!” pria itu memanggil sambil menepuk-nepuk pipi Taehyung.

Jungkook menoleh cepat dan mau tak mau turut dihampiri rasa khawatir. Nama Taehyung sudah berada di ujung lidah, sedang kekalutan membuatnya terasa berat diucapkan.

Damn,” Mark mengumpat. Baru tangannya mengangkat bahu Taehyung, dengan rencana membawa pemuda tersebut ke mobilnya, Jungkook sudah lebih dulu bergerak menyambut.

Pemuda itu mengangkat tubuh Taehyung dan sigap berdiri, seraya berucap, “Rumah sakit. Cepat!”

Maka Mark segera berlari menuju mobilnya dengan Jeon Jungkook di belakangnya.

. . .

Yujin sedang menerima telepon dari kliennya saat Taehyung dipasangi masker oksigen karena kepayahan bernapas. Telepon rumah berdering beberapa kali dan Yujin sama sekali tidak mendengarnya. Salah seorang pelayan mengangkatnya. Tak lama kemudian sampailah kabar Kim Taehyung pada wanita itu.

Sekitar pukul delapan malam barulah Yujin sampai di rumah sakit. Langkahnya tergesa-gesa sewaktu berjalan memasuki lobi dan, sekalipun matanya berkaca-kaca, dia berusaha tenang di depan meja resepsionis.

“Permisi,” kata Yujin.

Seorang perawat mendongak.

“Putraku beberapa saat lalu dibawa ke sini, namanya Kim Taehyung.”

Sang perawat tersenyum. ”Ah, Anda ibunya? Iya, pasien Kim Taehyung baru saja dipindahkan dari ruang IGD. Sekarang putra Anda ada di ruang perawatan lantai dua nomor 322.”

Yujin khawatir setengah mati sejak mendengar kata-kata pelayannya bahwa Taehyung tenggelam dan dilarikan ke rumah sakit. Sayangnya, di depan ruang rawat yang disebutkan si perawat, dia ragu-ragu untuk mengambil langkah lebih. Mendadak saja dia menyesali pertengkaran mereka sore ini. Jadi Wanita itu hanya di luar bersama Mark, mendengarkan rincian kejadiannya.

“Aku benar-benar minta maaf,” Mark membungkukkan badan di akhir penjelasannya, sedangkan Yujin lantas menepuk pundaknya.

“Tak apa,” kata Yujin. “Ini bukan salahmu. Ini kecelakaan.”

Lalu, Yujin mendekati pintu ruang rawat Taehyung dan melihat ke dalam melalui kaca yang tak cukup lebar di sana. Tanpa bermaksud membuka pintu, dipandanginya saja siluet Kim Taehyung. Putranya itu sudah duduk di atas bangsal dengan balutan baju rumah sakit, serta ditemani seorang anak laki-laki di sebelahnya.

Yujin mengingat nama Jeon Jungkook saat melihat anak lelaki itu. Siswa yang dulu sempat terlibat perkelahian dengan Taehyung dan membuat dirinya serta satu wali murid lain dipanggil ke sekolah. Akan tetapi pemuda itu kini tampak berbeda, bahkan dibandingkan dengan teman-teman Taehyung lain yang sempat Yujin ketahui selama ini.

Cukup lama Yujin terus memperhatikan. Dua pemuda itu sepertinya berbicara tentang banyak hal, sedangkan Yujin tidak tahu apa saja yang ada dalam dunia mereka. Dia juga melihat Taehyung dibuat tertawa oleh anak laki-laki bernama Jeon Jungkook itu.

Yujin pun berharap semoga anak laki-laki itu tidak pergi-pergi.

.

.

.

_TBC_

Banyak2 makasih buat semua reader ...juga, terima kasih khusus buat para voters & komentator~ 💞💕

Big love saya buat kalian semua!
💖💖💖💖💖

💃💃💃
💟💟💟💟💟

Continue Reading

You'll Also Like

3.2K 243 34
memelihara seekor kucing yang bisa berubah menjadi wujud manusia??
182K 18.7K 26
Remake (True Alpha) karyaku sebelumnya 📍 -kookv -bxb -BDSM -M-preg -ABO -Rate-M 🔞 - 01 #kooktae 25 Oktober 📌 - 01 #kookv 25 Oktober 📌 - 01 #fik...
379K 22.9K 22
🔞 BxB area!! Violance, gore, bdsm. ⚠️ Mpreg. Ukenya bisa hamil. Hanya satu hal yang Kim Taehyung inginkan, hidup bahagia bersama ibu tercinta. Namu...
508K 31.6K 18
(Completed) Taehyung begitu sial saat ia mendapatkan beasiswa di sekolah ternama, padahal nilai ulangannya yang selalu mendapat nilai buruk. Kesialan...