Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.4M 268K 45.1K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 7 •

45.6K 6K 440
By AM_Sel

"Dokter, saya mau mati."

Dokter muda di hadapannya menghela napas. Kedua tangannya yang jauh lebih besar dari si kecil itu, merengkuhnya dengan lembut.

"Saya tau, kamu sudah mengalami hal yang buruk sekali. Tapi, saya mohon. Jangan menyerah semudah itu. Kamu pasti bakalan nemuin kebahagiaan suatu saat nanti."

Kepala yang bermahkotakan helaian rambut cokelat sepunggung itu menggeleng,"bahagia ngga bakal mau ketemu saya. Dia ngga kenal saya. Jadi, dari saya lahir, dia ngga pernah datang."

"Dia akan datang. Kamu tunggu aja."

•••••

El berakhir di atas motor Alvano yang masih memakai seragam pramuka. Sepuluh hari sudah terlewat semenjak pembullyan itu. Artinya, jahitan di tangan El sudah bisa dilepas sekarang. Yah, biarpun sebenarnya baru sembilan hari karena tangan El sempat dijahit ulang beberapa waktu lalu.

Si besar itu langsung menjemputnya setelah pulang sekolah. Lucu sekali melihatnya memakai baju pramuka. Sekolah Vano memang mewajibkan siswa/siswinya untuk mengenakan seragam pramuka tiap hari jum'at. Biasanya kan sekolah lain(termasuk sekolah El) mewajibkan siswa/siswinya menggunakan batik di hari jum'at.

Selama sepuluh hari kemarin juga, Vano selalu menyempatkan diri untuk berkunjung(merusuh menurut El)ke apartemen El. Ia selalu datang dengan sesuatu di tangan, entah itu jus, makanan, buah, apapun dan tentunya yang sehat-sehat. Ia juga pernah membawakan vitamin, tapi hanya disimpan oleh El, di samping obat pereda nyeri yang tak pernah ia sentuh sama sekali di dalam lemari atas.

Alvano memarkirkan motornya di parkiran khusus motor. El segera turun dari kendaraan tersebut, dan membenarkan sweater abu-abu yang ia gunakan.

"Kuy," telapak tangan Alvano yang lebar, menyentuh punggung kecilnya.

Bau obat-obatan yang El benci langsung menyeruak saat mereka masuk. Membuat kedua ujung bibirnya sedikit menekuk ke bawah.

Alvano segera membawa pemuda cokelat ini ke ruangan Ayahnya. Sebelum pergi ke sekolah tadi pagi, dia sudah menelfon pria paruh baya itu, bahwa dia akan membawa El ke rumah sakit saat pulang sekolah, untuk membuka jahitan tangannya. Jadi, pria itu bisa mengosongkan sejenak jadwalnya untuk El.

"Ayah~"

Pria paruh baya itu mendongak. Lalu, tersenyum tipis dan meletakkan lembaran-lembaran hasil pemeriksaan beberapa pasien yang ia pegang ke atas meja.

"Silakan duduk."

Tanpa disuruh pun sebenarnya Vano sudah akan duduk di sofa yang tersedia.

"Kita langsung saja ya," ujar pria itu.

El mengangguk, dan mengulurkan tangan kirinya saat pria itu duduk di hadapannya, dengan beberapa peralatan yang ia letakkan di atas meja tamu yang menjadi pembatas di antara mereka. Perban yang melilit, dibuka dengan perlahan.

Vano memperhatikan dengan seksama. Ini bukan pertama kalinya sih, dia melihat hal ini, tapi tetap saja sayang untuk dilewatkan baginya.

Sang Dokter memeriksa luka itu sejenak. Melihat apakah masih basah atau tidak. Setelah itu, mengambil antiseptik dan membersihkan luka itu terlebih dahulu. Lalu, mengambil forceps steril untuk mengambil simpul jahitan dan memotongnya dengan gunting bedah.

Sesekali, kedua mata Alvano menatap wajah El yang tak mengekspresikan apapun. Datar. Hanya alisnya yang terkadang sedikit berkerut saat merasakan sakit atau ngilu begitu benang ditarik.

Gerakan tangan Dokter itu terhenti, "mau saya bius lagi?" tanyanya.

El menggeleng. Terlambat. Dia sudah merasakan sakitnya, jadi dilanjutkan saja hingga akhir.

Sang Dokter menarik benang tersebut secara perlahan.

Alvano yang semula bersandar dengan nyaman, kini memajukan tubuhnya untuk melihat lebih dekat.

El meliriknya malas, dibalas dengan kedua alis Vano yang dinaik-naikkan, membuat pemuda cokelat itu memutar kedua bola matanya.

Pria di depan mereka hanya tersenyum kecil melihatnya. Saat benang sudah terangkat semua, luka kembali dibersihkan. Lalu, diberi plester untuk melindungi luka selama daya tahan kulit berangsur pulih.

"Lukanya masih belum boleh kena air ya. Jadi, hati-hati. Tunggu sampai hari keempat belas ke atas baru boleh," ujar Dokter tersebut.

El mengangguk patuh dan menatap telapak tangannya.

"Lo mau langsung balik atau mau mampir dulu? Mau makan? Laper ngga?" tanya Vano.

El menggeleng, "gue mau pulang."

Vano mencebik, "yodah, ayo."

Mereka beranjak berdiri. El membungkukkan badannya sedikit, "terima kasih banyak, Dokter."

"Sama-sama. Lain kali hati-hati ya."

El mengangguk. Ingin segera melangkah keluar, tapi tidak bisa karena Vano diam menghalang jalannya.

"Ayah hari ini ngga pulang lagi?" tanya pemuda tinggi itu.

"Ah, Ayah masih sibuk. Jadi, masih belum tau hari ini bisa pulang atau ngga," ujar pria itu dengan sorot menyesal, "bilangin Ibu kamu, Ayah minta maaf ya?"

Vano berdecak, dan melangkah keluar dengan kesal. Sebal karena Ayahnya tak kunjung pulang. Memang sih, itu semua karena dia harus merawat banyak orang. Tapi, keluarganya sendiri bagaimana?

El tetap diam. Tak berniat untuk ikut campur. Jadi, dia hanya mengekori Vano seperti anak baik. Naik ke atas motornya tanpa protes sama sekali. Tau kalau mood Vano sedang turun karena Ayahnya.

Pemuda besar itu benar-benar langsung mengantarnya pulang. Begitu sampai di depan gedung apartemen tua itu, El turun.

"Makasih," gumam El pelan, "berarti setelah ini, lo ngga perlu ke tempat gue lagi."

Mendengar itu, sontak membuat Vano mengerutkan dahinya, "kenapa?"

Sebelah alis El terangkat, "urusan kita udah selesai," ujarnya sambil menunjukkan telapak tangannya yang terplester.

Alvano terdiam. Ah, benar juga. Selama sepuluh hari ini, dia ke apartemen El kan untuk memastikan luka di telapak tangan itu baik-baik saja, dan agar pemuda kecil itu terus menjaga kesehatannya supaya cepat sembuh. Jadi, karena jahitannya sudah dilepas, mereka selesai? Hubungan mereka hanya sampai di sini?

Benar-benar selesai?

Sungguh?

"Udara makin panas. Lo balik sana," ujar El. Ia berbalik agar segera masuk ke dalam bangunan tua itu, karena cuaca semakin membakar kulitnya.

Alvano tak beranjak. Ia menatap punggung kecil itu dalam diam. Dia... tidak rela jika mereka benar-benar hanya sampai di sini. Bahkan, Vano belum memulai apapun.

El menoleh. Dahinya berkerut saat melihat si besar itu tak bergerak dari posisinya. Tangannya ke atas dan mengibas. Mengusir.

"Pulang sana!" usir El.

Vano mendengus, "gue... gue masih mau main ke tempat lo."

El menghela napas, "gue sibuk. Ngga ada waktu buat main sama lo."

Vano mencebik. Kenapa sih? Apa salahnya mereka berteman dulu? Memangnya El tidak kesepian apa, sendirian terus?

"El..." Vano menatapnya dengan sorot memohon.

El berdecak dan mengacak rambutnya kesal, "terserah lo. Yang jelas, bukan salah gue kalo lo dateng, tapi gue ngga ada. Sana pulang!"

Vano sumringah, "oke! Daah!"

Dan begitu mesin dihidupkan, motor itu langsung melaju pergi.

El melangkah menuju pintu apartemennya sambil menggerutu, "ah, sial. Brengsek."

*****

Helaan napas kembali terdengar darinya. Manik sebiru langit itu menatap gerbang sekolah yang hanya dilewati oleh beberapa orang berseragam sepertinya dengan tatapan datar. Posisi ransel di punggung, ia benarkan. Lalu, melangkah perlahan memasuki tempat bernama 'sekolah', yang sebenarnya tidak pantas disebut 'sekolah'.

Kedua matanya, sesekali melirik ke sekitar. Memantau, apakah gerombolan yang biasa mencegatnya itu akan muncul seperti biasa atau tidak. Namun, tak satu pun dari anggota mereka, menampakan batang hidungnya.

Dengan kepala sedikit menunduk, pemuda kecil itu mempercepat langkahnya menuju kelas. Dan begitu ia masuk, semua orang yang ada di sana, menatapnya.

Hening.

El mencoba mengabaikan situasi itu, dan berjalan menuju mejanya.

Beberapa orang mulai berbisik. Mempertanyakan, kenapa dia kembali setelah menghilang selama seminggu lebih?

"Daniel~ kok lo masih hidup?" salah seorang dari mereka, menatapnya dengan sebal, "gue kira lo mati. Kenapa balik lagi kemari?"

El tak menjawab sama sekali. Ia mendudukkan dirinya, dan melepas ransel yang sedari tadi ia bawa.

Mejanya tampak semakin berseni. Ada beberapa tulisan baru di sana, seperti 'semoga lo beneran mati' atau 'tunggu gue, gue bakal ngehabisin lo, begitu lo dateng' serta gambar-gambar tak senonoh lainnya.

Tunggu.

Apa?

El mengerutkan dahinya, saat melihat kalimat panjang yang tak biasa itu. Ujung jemarinya menyentuh permukaan kasar tulisan tadi, yang sepertinya dibuat dengan begitu emosi.

'Tunggu gue, gue bakalan ngehabisin lo, begitu lo dateng'.

Lalu, ia terkesiap.

Oh, shit.

"Hai, Daniel."

'Brak!'

Tubuh kecil itu terlempar ke dinding di belakangnya. El terbatuk. Merasakan ngilu di punggungnya.

Cakra berjongkok, menatapnya dengan tajam. Lalu, rambut cokelat milik si kecil itu ditarik.

"Akh!"

"Wah, gue baru tau kalo lo ada kenal anak SMA Santun, El. Kenapa dulu lo ngga bilang?" tanya Cakra, "temennya si brengsek itu lagi."

El lebih dari tau, bahwa Cakra dendam padanya karena peristiwa yang kemarin itu. Dan saat itu juga, El baru sadar. Tangan kiri Cakra digips. Entah patah atau retak, dia tidak tau. Yang jelas, itu pasti karena perkelahiannya dengan teman Alvano yang kemarin.

Tarikan di rambutnya menguat. El merintih.

"Maksud lo apa natapin gue kek gitu, hah?! Lo kira ini semua karena siapa?! Karena lo!!" seru Cakra marah. Kepala El ia dorong ke dinding dengan lumayan keras. Menimbulkan suara tubrukan yang terdengar menyakitkan.

Pengelihatan El mengabur. Kepalanya berputar. Pusing. Sakit. Lalu, ia melihat. Ada merah. Darah. Menetes ke tangan kanannya yang mengadah. Suara-suara di sekitarnya memudar. Hening. Lalu, telinganya berdenging.

Setelah itu, kerah baju bagian belakangnya ditarik tiba-tiba. El tersedak. Lalu, mencengkram kerahnya. Berusaha untuk melepaskan kancing yang ada di sana agar ia tidak tercekik.

Tubuhnya diseret.

Tidak ada yang berani menghentikan Cakra. Mereka semua tau betapa murkanya si berandal itu. Lagipula, mereka juga tidak suka pada El. Jadi, mereka tidak akan peduli pada apa yang akan Cakra lakukan pada si kecil itu.

El sendiri juga tau. Dia tidak akan lepas dengan mudah dari sosok Cakra saat ini.

Tidak ada yang peduli padanya. Biarpun ia terlihat menyedihkan karena diseret sepanjang koridor, namun mereka hanya melihat. Tidak ada niatan untuk peduli.

Cakra membawanya ke dalam suatu ruangan. Kerah bajunya baru dilepaskan saat tubuhnya sudah berada di tengah ruangan tersebut.

El menyentuh kepalanya yang masih sakit dan berdenyut. Seragam putih yang baru ia beli(karena yang dulu rusak, disobek Cakra dengan cutter)mulai kotor. Entah karena menjadi pel dadakan di koridor tadi, ataupun karena si merah yang masih mengalir.

Sekilas, punggung besar yang dibaluti baju pramuka, mendera ingatannya.

Ah, disaat sedang terluka begini, kenapa dia malah mengingat pemuda besar yang merepotkan itu?

"Vano.."

Dan kenapa pula ia malah berbisik memanggil namanya? Pemuda itu tidak akan datang kemari. Tidak akan.

"Nah, El, mari kita lanjutkan 'main' kita yang sempat diganggu beberapa waktu lalu."

Pengelihatannya kembali mengabur. Sosok Cakra tampak tak jelas. Dia juga kembali tidak bisa mendengar apa yang pemuda itu bicarakan. Tapi, saat rasa panas mendera pipi kanannya dan diikuti rasa ngilu, El sadar.

Sudah dimulai. Kehidupan normalnya. Tanpa Alvano. Tanpa bawelannya. Hanya kekerasan yang ada.

Tbc.

Continue Reading

You'll Also Like

641K 2.7K 12
Hts dengan om-om? bukan hanya sekedar chatan pada malam hari, namun mereka sampai tinggal bersama tanpa ada hubungan yang jelas. 🔛🔝 my storys by m...
1.3M 108K 51
Ini sepenggal kisah tentang Owen dan Raksa yang dulunya adalah musuh lalu sekarang malah menjadi? _____________________________ HOMO♨️ LOKAL♨️ NON-BA...
4K 185 36
Setelah terbangun dari koma Farsan tidak mengingat apa-apa. Ingatannya seperti kertas putih tanpa goresan tinta. Hanya ada seorang pria yang dengan s...
1.1M 117K 45
[DAH TAMAT] Warn: -COWOK SAMA COWOK -Dewasa 🔞 -Banyak kata kasar -Ada adegan dewasa Walaupun ini cerita tentang kit...