Unlimited | BTS KookV [COMPLE...

By Yozora_MK

1.1M 100K 56.4K

Akhir-akhir ini, perang dingin--yang tak pernah jelas darimana asal-usulnya, dan bagaimana kejadiannya--antar... More

#1. Way to Hate
#2. Now On
#3. Hell Boy
#4. Boyfriend
#5. Sweet Things
#6. Wishy-Washy
#7. Allures
#8. That Jerk
#9. Mannered
#11. Sweet-haired Little Guy
#12. Being Sensitive
#13. Salty Jeon
#14. Sunny Day in Sunday
#15. If You Know
#16. Heartless
#17. Written by You 🔞
#18. Black Stallion
#19. Gravity
#20. Gossip
#21. Warmth on Cold
#22. Paper Hearts
#23. Lies
#24. Chit Chat
#25. Nine To Ten
#26. Wonder
#27. Bad Person
#28. A Confession
#29. First Love
#30.a. Fragments (pt.1)
#30.b. Fragments (pt.2)
#31. Insecure
#32. Winter Child
#33. Intoxicating
#34. A Poison Called Hate
#35. Loveless
#36. A Cure Called Love
#37. Zero Inch 🔞
#38. Slice of Happiness
#39. Our Tale
#40. Always Fine
#41. Stay
#42. To Be With You
#43. Sweet Dreams
#44. You Know Nothing
#45. Hope & Fear
#46. You're The Reason
#47. Do You Hear Me?
#48. Goodbye & Good Things
#49. Across The Limits
#50. Back To You 🔞
#51. Love Heals All Wounds
#52. The Begining (LAST)

#10. Villain & Alliance

18K 1.9K 555
By Yozora_MK

🌸 KookV 🌸

.

.

.

A/N :
Cerita ini hanyalah fiktif & merupakan hasil dari imajinasi fangirl dg bumbu unsur dramatis di sana sini.

. . .

CAUTION :
Terlalu menghayati cerita fiksi dapat menurunkan tingkat konsentrasi dan menimbulkan efek2 baper(?). Gejala seperti naiknya tekanan darah, euforia, cengengesan, mual2 dan hasrat ingin gampar seseorang bukan merupakan tanggung jawab author.

.

.

.

Happy Reading~ ^^

.

.

.

.

.

Hari itu pertengahan musim semi, awal semester pertama di kelas sepuluh. Jungkook si murid baru duduk empat mata bersama wali kelasnya untuk sesi konseling pada minggu kedua bulan April. Dia banyak menerima pertanyaan dari gurunya saat di ruang BK waktu itu, salah satu di antaranya,

“Apa kau punya sebuah keinginan—atau cita-cita mungkin—kalau kau tidak menjadi jaksa?”

Pertanyaan itu terlantun dari sang guru setelah Jungkook menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar cita-cita dan rencananya sesudah lulus SMA—padahal Jungkook baru memulai tahun pertamanya sebagai pelajar SMA.

Ketika itu, entah mengapa Jungkook tidak bisa memberikan jawaban. Perlu beberapa saat baginya untuk memikirkan pertanyaan sederhana tersebut. Dia sempat berniat mengungkapkan bahwa dia ingin menjadi atlet bela diri, seorang dokter atau mungkin pilot, tapi tidak jadi karena itu cuma mimpi semasa kecil yang telah dibuangnya itu jauh-jauh. Sudah sedari lama dilupakannya, sejak dia didikte untuk mengikuti jejak sang ayah—yang menurutnya pribadi merupakan tanggung jawab kakaknya, tapi dilempar padanya.

Jungkook tidak benar-benar tahu apa yang sesungguhnya dia inginkan. Selama ini dia terus mendaki dan berusaha mencapai puncak tanpa melihat sekeliling. Apa yang diinginkan ayahnya adalah apa yang harus dia raih dan, selagi tumbuh, dia memahami bahwa menjadi yang terakhir berdiri adalah perkara penting. Tujuan hidupnya semata-mata hanya untuk membuktikan pada ayah dan kakaknya bahwa dirinya mampu bertahan sampai titik terakhir, bahwa dia akan berdiri di akhir untuk melihat mereka yang dia lampaui tumbang di belakangnya.

Namun meskipun begitu, di tengah kehampaan, jauh di dasar hati kecilnya Jungkook membisikkan satu jawaban. Dia ingin berkata, satu-satunya yang dia harapkan—sejujurnya—hanyalah kebahagiaan.

Aku ingin bahagia, itulah yang Jungkook temukan di sudut terbobrok hatinya.

Jungkook ingin mengatakannya, tapi pasti akan muncul pernyataan lain lagi yang ikut serta, semua orang juga ingin bahagia. Lagipula, itu terdengar bodoh di kepalanya.

Jadi Jungkook hanya menjawab, “Membalas jasa ayah dan ibuku.”

Bualan itu penuh dusta. Omong kosong paling menggelikan yang pernah diucapkan anak seusianya. Namun wali kelas Jungkook tersenyum saja menanggapinya—mungkin tersentuh, atau memang sudah mengira bahwa Jungkook akan mengatakan itu.

Konseling berlanjut dan Jungkook ditanyai pertanyaan lain tentang keluarganya, kesehariannya, hobi dan hal-hal lainnya. Tentu semua jawaban yang diberikan tidak sepenuhnya jujur. Jungkook yakin murid yang lain juga melakukan hal yang sama sepertinya. Tidak ada yang akan bodoh mengumbar hal-hal pribadi pada orang yang baru dikenal. Dia sendiri meragukan apa gunanya konseling, kenapa mesti dilakukan?

Bagi Jungkook, apa yang ada di hidupnya adalah miliknya sekalipun hidup yang dijalaninya bukan miliknya.

Jungkook juga tidak mengakui fobia yang dimilikinya saat guru tersebut memeriksa catatan kesehatannya. Dia berpendapat jika itu bukanlah fobia. Katanya, dia hanya tak tahan melihat darah. Jika orang-orang menganggap itu fobia, maka itu artinya satu pintu kelemahannya telah dibuka dari luar. Dia tidak suka orang-orang mengetahui sisi lemahnya.

Di malam hari, ada kalanya Jungkook berpikir untuk menyerah—sebab telah merasa lelah dan jenuh. Ribuan kali dia tergoda untuk lari dan mempertimbangkan akhir untuk dirinya sendiri, tapi ribuan kali pula dia menegakkan kepala kembali. Karena, Jungkook tahu bahwa masih ada pengakuan yang mesti dia kejar dan eksistensi untuk dia buktikan, dan tidak akan ada yang bisa menyurutkannya.

Mungkin, suatu saat akan ada masa dimana Jungkook akhirnya memiliki keberanian untuk membebaskan diri dari rantai ini, berhenti mengejar ambisi, beristirahat dan mulai memandang dunia dari jendela yang berbeda.

Dunia dipenuhi hal-hal indah dan Jungkook terlalu buta untuk melihatnya.

. . .

Di rumah sakit, Taehyung diam seribu bahasa dan hanya tekun memperhatikan saat dokter dengan telatennya mengobati luka di pelipis Jungkook. Di sampingnya berdiri Park Ye-eun, wanita yang menjabat sebagai guru bahasa Inggris sekaligus wali kelas Jungkook.

Tak lama, dokter pun selesai dengan luka di kepala Jungkook. “Baik, sudah selesai.” Pria itu menegakkan tubuhnya dan menumpukan satu lengan di pinggang, lalu menoleh pada Ye-eun. “Lukanya tidak cukup serius, jadi pasti akan segera sembuh dalam waktu dekat, tapi masih harus dipastikan dia tidak melewatkan jadwal check-up minggu depan, hanya untuk jaga-jaga kalau lukanya infeksi,” ucap sang dokter dengan senyum

Segera saja Ye-eun menghela napas lega, “Oh, ya Tuhan. Terima kasih, Dokter.”

Sesaat Ye-eun beralih memandang Taehyung, “Kim Taehyung, apa kau terluka juga?”

“Ah—tidak, Ssaem,” Taehyung menjawab spontan sambil menggeleng. “Aku baik-baik saja.”

Ye-eun mengangguk kecil mendengar jawaban Taehyung, sementara sang dokter cuma tersenyum. “Kalau begitu, saya permisi.” Pria berjas putih tersebut tersenyum lebar dan sedikit membungkuk.

“Iya, silakan.” Ye-eun balas membungkuk secepatnya dan mengiringi langkah dokter dengan ucapan terima kasihnya yang kedua.

Seorang perawat yang sedari tadi mendampingi kemudian menghampiri Ye-eun. “Anda bisa mengurus administrasinya di sebelah sini. Mari,” perempuan tersebut mempersilakan Ye-eun untuk mengikutinya.

Ye-eun mengangguk, namun sebelum itu dia menyempatkan diri untuk melihat ke arah murid-murid didiknya. “Kalian pergi dan tunggulah di lobi. Aku akan mengurus ini secepatnya dan menemui kalian di sana,” kata Ye-eun yang kemudian diangguki oleh Jungkook dan Taehyung segera.

Ye-eun hendak berbalik, tapi dia memandang Jungkook lagi. “Oh, iya,” ujarnya cepat. “Jungkook, bersihkan tanganmu. Darahnya mulai mengering.”

Jungkook tidak langsung paham. Saat gurunya tersebut akhirnya benar-benar pergi, dia baru menengok ke arah tangannya sendiri.

Belum sempat Jungkook melihat tangannya, Taehyung lebih dulu berseru, “Jangan!” Tahu-tahu Taehyung sudah menghalau wajah Jungkook untuk menoleh dengan telapak tangannya, sementara sebelah lagi memegang tangan Jungkook. Dia memaksa Jungkook untuk mengarahkan pandangan ke arah lain.

“Apa-apaan?” protes Jungkook di tengah posisinya yang tidak mengenakkan.

“Pokoknya, jangan lihat!” kata Taehyung semata-mata.

Sesaat berikutnya Taehyung buru-buru menarik Jungkook untuk berdiri dan membawanya berjalan entah kemana.

Di koridor Jungkook hendak menoleh lagi pada Taehyung, tapi anak itu malah menampar pipinya pelan dan berkata, “Jangan lihat kubilang!”

Maka Jungkook memutar matanya kembali. Dia diam menurut secara sukarela, sebab dia malas mendebat anak aneh itu.

Rupa-rupanya Taehyung membawa Jungkook ke toilet. Begitu pintu didorong, Jungkook diseret masuk hingga terus menuju wastafel. Sambil tetap memastikan Jungkook tidak melihat ke arahnya, Taehyung mulai membasuh tangan laki-laki tersebut.

Tentu Taehyung sadar betul apa yang sedang dilakukannya. Sekalipun dia membenci Jungkook, dan apa yang tengah dilakukannya kini serasa bertentangan dengan apa yang ada dalam kepalanya, dia tidak bisa mengabaikan Jungkook begitu saja.

Taehyung mencoba untuk tidak memikirkan Jungkook secara berlebihan sejak kejadian di atap, tapi pemikirannya tetap saja berkelanjutan. Dia berusaha untuk tidak peduli, tapi sulit baginya untuk tak mengacuhkan musuh yang kebetulan adalah penyelamat nyawanya. Bahkan, dia tidak tahu apa alasan Jungkook bertindak demikian. Atau, entah hal apa lagi yang Jungkook pertaruhkan selain keselamatannya waktu itu. Namun, Taehyung tahu pasti Jeon Jungkook fobia darah, sedang dia satu-satunya yang mengetahui itu di sini—dan dia satu yang tidak asing dengan darah di sini.

Setidaknya Taehyung peduli pada hal yang satu itu, terlepas dari siapa sosok yang tengah dia cemaskan kini. Dia semata-mata merasa bersalah kepada Jungkook.

Taehyung juga tahu, Jungkook tidak akan berterima kasih padanya atas perbuatan ini. Jungkook bahkan tidak tahu Taehyung peduli. Taehyung tahu di balik diamnya Jungkook, pemuda itu mungkin mempertanyakan, kenapa?

Walau begitu, Taehyung tetap meyakinkan diri sendiri bahwa siapa pun akan bersikap demikian jika berada di posisinya. Jeon Jungkook juga akan melakukan hal yang sama jika jadi dirinya—meskipun dia tidak sepenuhnya yakin. Lagipula memang dirinyalah yang menjadi penyebab semua ini.

Selagi Taehyung membasuh dengan hati-hati, tanpa dia sadari Jungkook memandang dirinya dari samping.

Seperti dugaan Taehyung, Jungkook memang mempertanyakan tindakan pemuda tersebut. Namun sekedar bertanya-tanya, dari mana Taehyung mengetahui bahwa dirinya tidak tahan darah. Taehyung tidak mungkin melakukan hal aneh—membasuh tangan Jungkook—ini jika bukan tanpa alasan.

Sedang Jungkook—nah, Jungkook sendiri juga yang paling patut dipertanyakan sebenarnya. Jeon Jungkook, yang membenci Taehyung setengah mati dan pernah berkali-kali menyumpahi supaya mati, malah berlari menjadikan dirinya tameng ketika Bae Joohyun mengayunkan kayu ke arah Taehyung. Apa yang dipikirkannya? Apa dia pikir dirinya itu kuat setangguh rompi anti peluru?

Sepanjang kesibukan Taehyung, Jungkook secara defensif berusaha sebaik mungkin untuk tidak melihat ke arah wastafel—yang dia percaya mengalirkan air berwarna merah akibat darah di tangannya—tapi dia masih mencoba mengintip laki-laki itu melalui ekor matanya.

Ekspresi Taehyung lain dari yang Jungkook ingat tentang pemuda itu dalam kepalanya. Ini pertama kalinya Taehyung menunjukkan raut wajah begitu tenang sehingga sukar untuk Jungkook lewatkan. Dia tak kuasa menahan rasa ingin tahu. Ditatapnya Taehyung seperti dia menatap kepompong yang baru ditemukannya pertama kali di pekarangan rumah sewaktu kecil. Betapa asing dan langkanya pemandangan tersebut—dan Jungkook pikir dia mungkin tidak akan melihat Taehyung yang seperti ini lagi besok-besok.

“Sudah.”

Jungkook menoleh sepenuhnya seusai Taehyung berbicara. Laki-laki itu sudah bertransformasi kembali menjadi Taehyung sialan yang biasanya. Taehyung berbalik dan keluar dari toilet tanpa berkata-kata, sementara Jungkook lantas meraih tisu untuk mengeringkan tangannya.

Di luar, Taehyung menunggu Jeon Jungkook tepat di bawah papan tanda toilet pria sambil melipat tangan di dada. Ketika sosok yang ditunggunya akhirnya keluar dan melangkah melewatinya, dia lantas ikut berjalan menyertai di sebelahnya.

Selagi menyusuri lorong steril rumah sakit, kini giliran Taehyung yang melirik Jungkook secara rahasia. Laki-laki yang dipandangnya itu tidak berbeda dari biasa-biasanya, tapi entah mengapa dia tidak bisa memperlakukannya seperti biasanya lagi.

Keduanya berjalan sambil membisu, dan inilah yang dibenci Taehyung.

Taehyung ingin mengatakan sesuatu. Dia tidak tahu apa itu. Apa saja.

Katakan sesuatu!

Taehyung tidak suka keheningan. Dia berharap Jeon Jungkook mendebatnya saja saat ini. Jungkook harusnya marah, menyalahkannya atas semua kekacauan ini dan menuntut pertanggungjawaban. Namun mengingat kepribadian Jungkook yang apatis, Taehyung lambat laun berpendapat jika itu tak akan pernah terjadi. Namun Taehyung masih berharap Jungkook mengatakan sesuatu. Sebab, dia betul-betul tidak tahan dengan kekosongan yang menyusup di antara mereka ini. Sementara dia tak bisa memulai percakapan dan mengawali dialog dengan Jeon Jungkook. Tenggorokannya tercekat di hadapan pemuda tersebut.

Andai yang berjalan bersamanya saat ini Yuta, pasti akan lebih mudah membelah kesunyian—yang selalu terasa seperti ingin mencekiknya diam-diam.

“Kau menangis?”

Taehyung tersentak dari pengembaraan pikirannya saat mendengar suara Jungkook. Dia serta merta menoleh dan sempat linglung sesaat, sebelum kemudian berucap kikuk, “Aku? Tidak.” Dia menatap Jungkook keheranan. Tidak seperti biasanya, yang lebih sering menggugat.

“Lalu kenapa wajahmu begitu?” Jungkook menarik satu sudut bibirnya. Taehyung memang tidak sedang menangis, sama sekali tidak. Jungkook juga tahu. Jungkook hanya mengatakan itu semua untuk meledek Taehyung.

Sedang Taehyung yang melihatnya menekuk muka dongkol. “Aku tidak menangis,” kukuhnya yang berusaha menahan sumpah serapah di ujung lidah.

Jungkook mengerling tak acuh sesudahnya. “Kau terkejut? Apa ini pertama kalinya bagimu?”

Nada suara Jungkook tak terdengar mengejek kali ini, tapi entah mengapa itu justru terdengar lebih mengganggu bagi Taehyung. Dia bahkan tidak bisa bersuara mempertanyakan hal mana yang Jungkook maksud dengan pertama kali?

Ini terasa canggung, dan Taehyung geregetan sendiri karenanya. Taehyung tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Selama ini yang dia siapkan untuk Jungkook hanyalah makian dan ejekan, dan tidak pernah dia bayangkan dirinya akan terlibat dalam percakapan semacam ini dengan Jeon Jungkook. Kenyataannya, bersama dengan pemuda itu dalam satu tempat dan waktu yang sama tak pernah membuatnya tenang.

“Hei, yang diserang itu aku. Harusnya aku yang terkejut,” Jungkook berkata-kata lagi.

Jungkook yang seperti ini jelas terasa asing bagi Taehyung, tetapi dia mesti terbiasa dan beradaptasi.

Alhasil, selang beberapa detik kemudian, rasa kesal tak tertahankan berhasil membuat Taehyung melontarkan kata-kata keluar dari mulutnya. Pertanyaan yang sudah dia tahan-tahan sejak pertama kali Jungkook muncul di atap kelas akselerasi.

“Kenapa kau melakukannya?”

Kenapa kau melindungiku?

“Apanya?”

“Jangan pura-pura. Kau tahu apa yang kubicarakan,” kata Taehyung.

Jungkook berlagak tak paham, “Aku tidak tahu. Katakan dengan lebih jelas.”

“Jeon Jungkook,” kesal Taehyung, nada suaranya mulai menukik.

Sayangnya, Jungkook memang selalu menganggap bentakan Taehyung sebagai embusan angin sepoi. Dia pun tak menyempatkan diri untuk melirik lawan bicaranya tersebut. “Aku sudah menyelamatkanmu dari Bae Joohyun, dan ini caramu berterima kasih?” gugatnya.

Taehyung menelan ludah, terperangkap antara sikapnya sendiri dan kebenaran dalam kata-kata Jungkook. “Karena itulah,” ujarnya kemudian. Dia membasahi bibirnya risau, lalu menatap Jungkook lekat-lekat dan mengulang tuntutannya. “Kenapa kau melakukannya?”

Jungkook menghentikan kaki dan berpikir sejenak, begitu juga Taehyung yang masih setia menunggu dengan sorot intensnya. Sedetik berikutnya Jungkook tersenyum miring. “Hanya—begitu saja,” ucapnya enteng.

Jawaban Jungkook sekonyong-konyong tidak bisa diterima oleh otak dangkal Taehyung. Dia tidak bisa menginterpretasikan kata-kata yang nyaris terdengar seperti sebuah teka-teki untuknya. Lalu karena hanya memunculkan lebih banyak tanda tanya, jadi dia menyimpulkannya sendiri. Sesaat, dia sempat berpikiran jika Jungkook mengambil tindakan itu semata-mata karena dirinya—karena tidak ingin pacar main-main-nya ini terluka?

Taehyung sesaat tersentuh akan pemikiran satu sisinya tersebut. Namun selagi dia meneliti raut di wajah Jungkook, dan menemukan pandangan hati yang beku, sekelumit kecurigaan muncul dalam dirinya.

Tidak ada yang Jungkook anggap penting di dunia ini kecuali kepentingannya sendiri. Jungkook tidak pernah peduli terhadap orang lain—apalagi orang-orang yang dibencinya, sebagai contoh, Kim Taehyung. Jadi Taehyung memutuskan berkata, “Apa kau melakukan ini hanya agar aku luluh? Agar aku membebaskanmu?”

Taehyung merasa konyol dengan pernyataannya sendiri, tapi dia terlanjur tersinggung dan masa bodoh. Sedangkan Jungkook malah tampak ingin meledakkan tawanya. Jungkook pun mengernyit sanksi. “Tidakkah kau merasa berhutang budi?”

“Kau sungguh-sungguh melakukannya demi itu?” Taehyung tak percaya—atau, lebih tepatnya, hati kecilnya tak ingin mempercayai—kalau Jungkook betul-betul sepicik itu.

“Apa kau pikir aku sempat memikirkan hal itu saat melihat Bae Joohyun menggila?” Jungkook membalas.

Jungkook mulai sinting. Entah dia kelepasan bicara atau kelepasan sisi warasnya. Karena sekejap dia langsung sadar bahwa dia agaknya salah berkata-kata.

Untungnya, Taehyung bukan orang yang peka dan cermat—dia praktis tidak mempertanyakan hal itu. Benar juga, Taehyung meluluskan sanggahan Jungkook. Pikirnya, jika waktu itu Jungkook sempat-sempatnya berpikir panjang, maka sudah pasti aksi penyelamatan itu tidak akan pernah terjadi. Namun, kenapa itu masih terasa mengganjal di benaknya?

Ketika Taehyung masih berkutat dengan isi kepalanya, Jungkook telah melangkahkan kaki kembali dan meninggalkannya sendiri. Pemuda itu masuk ke dalam lift dan memencet tombol lantai satu tanpa memikirkan Taehyung masih belum menyusul.

Tak lama, Taehyung di belakang buru-buru berlari. Dia muncul dan menahan pintu lift sesaat sebelum tertutup. Sejenak saja tatapannya mengarah tak biasa kepada Jungkook, dengan tangannya terulur di pintu serta napas yang terkesan gugup dan memburu. Sedangkan Jungkook merasakan kejengkelan yang irasional karena Taehyung menunda-nunda lift untuk segera turun. “Kau mau masuk atau tidak?”

Taehyung masuk kemudian. Dia berdiri dan bersandar ke belakang dengan wajah yang masam serta pandangan tak fokus, sementara Jungkook memasukkan kedua tangan ke saku celana dengan pongah.

Lagi-lagi hening.

“Terima kasih,” kata Taehyung ke udara hampa. “Terima kasih sudah datang ke atap dan berdiri di depanku.”

Tiba-tiba sekali.

Untuk sekejap, Jungkook terpekur dan mengerjap mendengar suara rendah Taehyung—lalu dia tertawa sendiri, karena tidak bisa mengenali siapa laki-laki yang sedang berdiri bersamanya kini.

Taehyung menekan gengsinya serendah-rendahnya hanya untuk menyuguhkan kata-kata tersebut ke hadapan orang yang paling dibencinya ini, dan Jungkook sesungguhnya menyadari hal itu. Jungkook memang tidak pernah satu kali pun menghargai Taehyung, tapi sekarang dia memaklumi Taehyung. Jadi dia biarkan saja pemuda itu menyendiri dengan pemikirannya.

“Aku bilang terima kasih, Jungkook!”

“Aku dengar.”

Keduanya kembali mengabaikan satu sama lain setelah itu. Taehyung pun kembali ditenggelamkan oleh suasana senyap. Hal bagus Jungkook tidak menoleh pada Taehyung saat itu. Sebab, Taehyung tidak tahu apa yang akan laki-laki itu katakan tentangnya jika melihat wajahnya kini. Mungkin mengolok?

Taehyung mengingat orang-orang yang selama ini ada di sisinya tiap dia terlibat perkelahian dan nyaris dihabisi, Yuta dan Seungcheol akan datang dan menggantikannya memukul habis lawannya. Ketika dia bersama Hyungsik, laki-laki itu akan melindunginya dan senantiasa menjaga supaya dia tidak terluka. Bahkan Jimin serta orang-orang yang membesarkannya baru menunjukkan kepedulian sesudah kekacauan usai.

Taehyung tahu orang-orang tersebut mungkin rela berkorban untuknya—itu pun kalau mereka bersedia. Akan tetapi, Taehyung merasa ini sungguh pertama kalinya ada seseorang yang benar-benar melindunginya tanpa alasan, melompat ke hadapannya terang-terangan dan menggantikan dirinya menerima serangan. Sebelum ini memang belum pernah ada yang rela terluka untuknya.

Mungkin benar, tidak ada maksud lain dari tindakan Jungkook—dan apakah terdengar berlebihan jika Taehyung merasa tersentuh? Sepertinya iya—tapi Taehyung hampir-hampir ingin mempercayai bahwa Jungkook tulus melakukannya.

Pintu lift terbuka dan Jungkook segera melangkah keluar, sedang Taehyung baru mengikuti sesaat berselang. Pemuda itu tidak membarengi kaki Jungkook kali ini. Dia sengaja mengekor di belakang, hanya agar dirinya tidak harus melihat wajah pemuda itu saat mulutnya berkata, “Aku akan memperlakukanmu dengan baik mulai sekarang.”

“Bicara apa kau?” tanya Jungkook tak begitu menggubris.

“Maksudku, sebagai balasan, aku tidak akan melakukan hal-hal menyebalkan seperti kemarin-kemarin lagi.”

“Hanya itu?”

“Apa?”

“Menurutmu itu sudah sepadan dengan yang kulakukan?”

Taehyung terdiam, sedang Jungkook terus berbicara, “Kau pasti mengira aku akan berkata, aku sangat senang, kau baik sekali, terima kasih. Iya, kan?”

Jungkook sangat ahli membuat orang lain merasa terintimidasi. Taehyung tahu ini salahnya, tapi kata-kata Jungkook benar-benar tak berperasaan sehingga membuat Taehyung semakin merasa buruk. Rasanya ingin menyumpah. Taehyung yang sebal membalas dengan bersungut-sungut. “Aku tidak pernah minta kau selamatkan. Aku juga tidak mau berhutang budi padamu, kau tahu.”

“Kalau begitu jangan lakukan.”

Sialan. Wajah Taehyung tertekuk berlipat-lipat. Dia tidak tahu kenapa dirinya seperti merasa jadi yang paling jahat di sini? Kenapa mesti dia yang mengalami ini, padahal yang jahat itu Jeon Jungkook?

“Oke. Sebenarnya apa yang kau mau?” tanya Taehyung pada akhirnya. Lalu dia memekik karena Jungkook mendadak menghentikan langkah tepat di depannya. “Sial. Kenapa berhenti tiba-tiba?” protes Taehyung usai menubruk punggung tegap Jungkook.

Jungkook berbalik. “Kau akan mengabulkan permintaanku?” tanyanya menatap Taehyung.

Taehyung sejenak terdiam, lalu dia menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Rasanya aneh Jungkook mengatakan kata-kata seperti itu, dan entah mengapa terdengar lucu di telinganya.

“Iya,” jawab Taehyung gugup. “Asalkan tidak berhubungan dengan rahasia kita.”

Jungkook berdecak dan mengerling malas. Sudah menduga Taehyung akan menyebutkan demikian. “Lupakan saja kejadian ini,” kata Jungkook yang kemudian membuat Taehyung mengerjap-ngerjap bingung. “Bagaimana kalau begini,” Jungkook berkata lagi. “Balas saja dengan sikap baikmu.”

“Hah?” Taehyung masih mengernyit.

Lalu Jungkook mulai menerangkan, “Kau selalu menyeret-nyeretku ke dalam masalahmu, jadi bagaimana kalau kau mulai dengan ini. Perbaiki tingkah lakumu, patuhi tata tertib dan kerjakan tugas-tugasmu.”

“Tu-tunggu dulu—apa?” Suara Taehyung melengking sumbang. “Apa yang barusan kau katakan?”

“Dengar,” kata Jungkook. “Aku muak dengan semua kekacauan yang kau timbulkan.”

“Tapi, ini—”

“Kalau kau ingin membalas hutangmu, lakukan yang kukatakan. Itu mudah.”

Sesudah menandaskan maksudnya Jungkook segera melangkahkan kakinya lagi, dan memang sengaja tidak meninggalkan pilihan lain untuk Taehyung.

Sementara Taehyung terbungkam atas keputusan Jungkook serta suara sepatu yang kian menjauh darinya. “Jeon Jungkook keparat,” umpatnya.

Selepas kejadian di atap menjadi heboh, banyak berita simpang siur di antara para murid. Bahkan para guru juga bertanya-tanya, mengapa seorang siswi teladan seperti Bae Joohyun bisa melakukan tindakan tak masuk akal dan tak bertanggung jawab seperti itu di lingkungan sekolah.

Di ruang BK, Joohyun tak banyak memberikan kesaksian saat ditanya pasal kejadian tersebut. Dia gelisah dan ketakutan, jadi dia lebih banyak menangis dan meminta maaf ketimbang memberikan keterangan. Sedangkan keempat siswi lainnya, semua mengatakan jawaban yang tak jauh berbeda, “Kami tidak tahu, Joohyun hanya menyuruh kami untuk membantunya. Dia bilang cuma mau memberikan Kim Taehyung peringatan. Kami tidak tahu kalau dia sampai berbuat sejauh itu.”

Semua terlihat buram. Entah bagaimana kejadian yang sesungguhnya terjadi dan apa latar belakangnya masih belum mereka ketahui. Sampai akhirnya Jungkook dan Taehyung memberikan kesaksian langsung.

Taehyung menceritakan kejadiannya dan Jungkook memberikan klarifikasi bahwa semua itu murni penyerangan dari Bae Joohyun dengan mereka sebagai korbannya.

Mulanya, Taehyung pikir saat itu Jungkook akan menceritakan alasan-alasan Bae Joohyun melakukan tindakan berlebihan tersebut sejujur-jujurnya. Dia pikir Jungkook akan mengatakan tentang betapa tergila-gilanya gadis itu padanya sampai rela melakukan apa saja untuk mencuri perhatiannya. Namun, rupanya tidak.

Sang guru menyarankan Jungkook untuk menghubungi orang tuanya dan mengatakan kejadian ini, supaya masing-masing wali mereka bisa menyelesaikan masalah ini secara damai. Namun Jungkook tersenyum dan cuma mengatakan, “Ini hanya salah paham, Ssaem. Ini akan segera selesai—dan aku yakin Joohyun Noona juga sudah menyesali perbuatannya.”

Waktu itu Taehyung terkejut dengan perkataan Jungkook. Sementara gurunya mengatakan beberapa nasehat dan menyarankan mereka untuk beristirahat dulu di UKS sambil menunggu bel pulang, dia sibuk meneliti senyum di wajah Jungkook yang menurutnya menyimpan sesuatu. Sebab, tidak mungkin Jungkook membiarkan kejadian ini berlalu begitu saja. Jeon Jungkook bukan orang seperti itu.

Taehyung ingin tahu apa yang ada di dalam kepala Jeon Jungkook saat itu.

Berdasarkan atas keterangan Jungkook yang merupakan korban luka, akhirnya dewan guru memutuskan untuk memberikan kelima siswi tersebut skors selama satu minggu sampai mereka benar-benar memutuskan detensi yang sesungguhnya.

Hingga jam sekolah berakhir, Taehyung masih saja kepikiran akan raut wajah Jungkook yang dilihatnya di ruang BP. Mustahil Jungkook tiba-tiba menjadi pemaaf dan berbesar hati melupakan kejadian tersebut. Dia tahu laki-laki itu tak kenal ampun dan lebih pendendam dari dirinya.

Namun, saat malam hari Taehyung memasuki rumahnya yang kosong seperti biasa, semua pemikiran itu akhirnya menguap begitu saja, tergantikan dengan suasana sunyi yang menunggunya di rumah.

Sewaktu membuka pintu dan mendengar gema di ruang tamu, sempat Taehyung menyesali keputusannya tidak menginap di apartemen Jimin hari ini. Dia mengutuk rumahnya sendiri dan menyalahkan insiden hari ini yang membuatnya mengambil pemikiran untuk langsung pulang begitu bel berbunyi.

“Harusnya tadi aku ke tempat Jimin,” gerutu Taehyung sembari melepas sepatunya di depan pintu.

Selagi melewati ruang tengah, Taehyung lantas menganggap pemikirannya itu tak berarti. Rumah ini akan tetap sepi sampai kapan pun, bukan hanya hari ini, sedangkan seberapa sering pun dia pergi pada akhirnya dia akan pulang ke tempat ini.

Maka Taehyung pun berjanji pada dirinya sendiri, saat wanita bernama Kim Yujin itu mewariskan seluruh harta benda ini padanya, dia betul-betul akan menjual rumahnya ini di pelelangan.

Taehyung membanting pintu kamarnya dan bersiap-siap mandi. Ketika dia membuka lemari pakaian, pandangannya segera tertuju pada sebuah jaket yang dengan asingnya tergantung di antara hoodie dan sweaternya. Dia mengernyit dan meraih jaket berwarna hitam-putih-biru tersebut.

Itu jaket klub milik Jungkook. Ternyata para pelayan sudah mencucinya dan mungkin meletakkannya di lemari bersama pakaian-pakaian Taehyung karena mengira itu milik tuan mereka ini.

Baru sebentar memegangnya, tiba-tiba saja Taehyung mencium sesuatu. Wangi parfum Jungkook masih ada di jaket tersebut. Aromanya seperti wangi mint yang bercampur dengan lemon—atau mungkin apel? Wangi febreze dan detergent rupanya tidak mampu sepenuhnya menghilangkan wangi maskulin Jungkook yang kini menguasai penciumannya.

Perlahan Taehyung larut. Wangi itu mengingatkannya pada aroma segar pepohonan pinus yang biasanya ada di daerah pegunungan—dan juga, wangi yang diciumnya ketika mereka berciuman.

Bayangan perbuatan mesum mereka di kantin tempo hari seketika merasuki pikiran Taehyung. Bukan hanya sekedar potongan-potongan kejadiannya. Bahkan bagaimana rasanya benar-benar masih jelas terasa olehnya. Bagaimana sentuhan bibir Jungkook saat melumat bibirnya, sensasi lidah Jungkook yang menyapu dan memporak-porandakan seisi mulutnya, napas Jungkook yang menerpa wajahnya, genggaman tangan Jungkook dan tiap skinship mereka.

Semuanya masih terasa hingga detik ini. Masih diingat jelas oleh tiap inci tubuh Taehyung.

Seakan dia masih bisa merasakan kehadiran Jungkook.

“Sial,” Taehyung melotot dan menjauhkan tangannya yang tengah memegangi jaket Jungkook, sebab benda tersebut meracuni otaknya serta tak ayal membuat seluruh tubuhnya meremang aneh. Dia serasa dikhianati oleh dirinya sendiri.

“Apa ini benar-benar sudah dicuci? Kenapa bau anak itu masih saja bisa kucium?” Taehyung mengomel sendiri sembari melemparkan jaket Jungkook kembali ke dalam lemari. Lalu dia mengumpat lagi dan meraih handuknya.

. . .

Inilah yang sebenarnya direncanakan Jeon Jungkook.

Jungkook tahu kedua orang tuanya memiliki koneksi di berbagai tempat, dan dia tahu salah satu teman dekat ibunya adalah orang penting yang bekerja dengan jabatan tinggi di kantor dinas pendidikan, bukan satu dua orang malah. Orang-orang itu tahu reputasi ayah Jungkook sebagai jaksa terkemuka dan juga ibu Jungkook yang merupakan pemilik saham terbesar di beberapa pusat perbelanjaan besar.

Jungkook bukannya mengadu pada orang-orang itu. Akan tetapi dia dengan licik menyuruh salah satu suruhannya untuk menghubungi mereka atas nama orang tuanya. Mungkin ini penyalahgunaan nama, tapi memang itulah yang dia pelajari kedua orang tuanya padanya.

Tidak perlu Jungkook mengikutsertakan orang tuanya dalam hal ini sebab dia bisa sendiri menanganinya. Mereka bahkan tidak harus tahu—dan kalaupun mereka sampai tahu, maka ibunya sendiri yang akan memberitahu seisi instansi. Jungkook yakin tidak akan ada yang ingin melihat, bagaimana ibunya itu mengobrak-abrik kehidupan seseorang semudah menghambur-hamburkan uang.

Selanjutnya Jungkook hanya perlu menyebutkan nama-nama yang perlu diketahui orang-orangnya. Pertama-tama, orang suruhannya akan mencari tahu latar belakang Bae Joohyun beserta keempat temannya, lalu dengan mengumpulkan segala kecacatan kecil murid-murid tersebut mereka akan menumpuk dan menjadikannya bom.

Pada keesokan paginya, kepala sekolah akan mendapat telepon dari dinas pendidikan yang berisikan keluhan-keluhan tentang kinerjanya yang membiarkan remaja lepas kendali dan melakukan tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Mereka melebih-lebihkan kenyataan dengan mengatakan bahwa Bae Joohyun dan kawan-kawannya bukan hanya mengancam nyawa seseorang, tapi juga membuat kegiatan belajar siswa lain terganggu, mencoreng nama sekolah, serta membuat kecemerlangan murid-murid tersebut jadi terkesan sia-sia.

Dengan bumbu-bumbu desakan dan ancaman di sana-sini, pihak dinas pendidikan menuntut langsung kepala sekolah agar menindak tegas kelima siswi pelaku pemukulan tersebut.

Maka dengan itu semua, turunlah sang kepala sekolah menangani kasus tersebut. Bae Joohyun dan keempat temannya dikeluarkan sekolah hari itu juga.

Sesederhana itulah manipulasi Jungkook.

Pagi itu seusai meninggalkan meja makan, Jungkook menyempatkan diri menelepon salah seorang suruhannya di halaman sambil menunggu sopir mengeluarkan mobil dari garasi. “Kau sudah menyelesaikannya?”

“Iya, Tuan muda,” terdengar suara pria menjawab di seberang. “Mereka bilang surat pengeluarannya sedang dalam proses.”

“Pastikan mereka melakukannya sebelum hukuman Bae Joohyun berakhir. Aku tidak mau melihat satu pun wajah mereka muncul di sekolah,” Jungkook berujar datar. Nada acuh itu pun juga menyiratkan hati yang dingin, kekejaman, serta kesediaan untuk menghancurkan siapa saja di hadapannya.

“Kami akan pastikan semua itu, Tuan muda.”

“Lalu bagaimana dengan orang-orang dulu kuminta singkirkan? Sudah seminggu lebih, harusnya kalian sudah selesai mengurus mereka.”

“Iya, Tuan muda. Kami sudah memeriksa rekaman CCTV milik motel dan bar di lokasi, dan menyelidiki kejadiannya sesuai perintah Anda. Jumlah orang yang terlibat malam itu ada tujuh belas orang dan mereka semua adalah murid dari SMA Seungri. Kami juga sudah mencari tahu latar belakang mereka satu persatu. Hanya saja ...”

Suara itu mendadak terdengar ragu seiring dengan kata yang menggantung di ujung kalimat.

“Kenapa?” Jungkook bertanya tak sabar.

“Mereka semua sekarang sudah tidak bersekolah di sana lagi.”

Jungkook menyipitkan mata dan menautkan alis begitu tahu jawaban yang terdengar sepenuhnya melenceng dari yang dia perkirakan. “Apa maksudnya itu?”

“Para murid yang terlibat kejadian malam itu bahkan tidak berada di Seoul lagi sekarang, Tuan.”

“Bagaimana bisa?” Jungkook bertanya.

“Sejauh yang kami ketahui, Tuan, seseorang mengancam para orang tua agar anak-anak itu dipindahkan ke sekolah di luar Seoul.” kata si pria. “Setelah kejadian perkelahian malam itu, mereka diserang oleh sekelompok orang—identitasnya masih sulit diketahui. Mereka mendapat luka berat dan sampai dirawat di rumah sakit. Beberapa hari kemudian, mereka tiba-tiba pindah sekolah tanpa alasan jelas—bahkan polisi pun seperti menolak untuk menangani kasus ini.”

“Kau sudah menanyai pihak bajingan-bajingan itu?” Jungkook menyela secepatnya.

“Kami mencoba menghubungi setiap wali dan orang tua mereka, tapi hanya beberapa yang mau memberikan keterangan,” jawab pria di telepon. “Dan seperti yang saya katakan, mereka mengaku mendapat ancaman.”

Jungkook diam sejenak memikirkan ucapan orang suruhannya. Mendadak dia disergap kegelisahan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Momen berikutnya dia kembali bertanya, “Mereka tidak mengatakan siapa yang mengancam mereka?”

“Mereka menolak untuk mengatakannya, Tuan muda.”

Itu jawaban terakhir dari si pembicara sebelum akhirnya Jungkook memutuskan untuk mengakhiri percakapan. Telepon dia tutup karena memang tidak membantunya menemukan jawaban lagi.

Tadinya, atau seminggu sebelumnya, Jungkook merencanakan penyingkiran terhadap berandal-berandal yang pernah terlibat perkelahian dengan dirinya dan Taehyung. Karena mengurus satu berandal seperti Taehyung saja sudah membuatnya pusing tujuh keliling, dia tidak berminat kalau harus ikut-ikutan terlibat masalah dengan musuh-musuh Taehyung. Jadi dia berniat menyingkirkan terlebih dahulu musuh-musuh Taehyung, sebelum betul-betul menjatuhkan anak itu.

Meskipun pepatah mengatakan "musuh dari musuhmu adalah teman", tidak demikian bagi Jungkook. Sama halnya seperti dia mengeksekusi Bae Joohyun dan teman gengnya. Mengingat bagaimana status dirinya dan Taehyung, menurutnya kecil kemungkinan dirinya akan bisa bekerja sama dengan salah satu dari musuh Taehyung.

Atau malah, bukan kemungkinannya yang kecil, melainkan Jungkook yang tidak mau mencari. Mereka telah berani-berani mencari masalah dengan Jungkook, maka dengan Jungkook pula mereka akan menemui akibatnya. Lagipula, dia telah berambisi untuk menjatuhkan Taehyung dengan tangannya sendiri.

Akan tetapi, kenapa begini? Jungkook memikirkan tentang ucapan-ucapan orang suruhannya di telepon dan mempertanyakan, siapa? Siapa yang melakukan penyerangan itu? Siapa yang mendahuluinya mengusir mereka?

Ini tidak hanya sama liciknya dari yang Jungkook lakukan, tapi juga lebih keji dan tak pandang bulu. Melakukan penyerangan, lalu mengancam dan memaksa mereka untuk menghilang dari kota ini. Semua langkah jauh itu bahkan tidak mungkin berani Jungkook lakukan, itu melampaui kemampuan Jungkook.

Sebenarnya, siapa yang dilawannya kini? Atau, sebelum itu—dalang tersembunyi itu, kawan atau lawan?

Tidak mungkin itu Kim Taehyung, kan? Taehyung tidak pernah melakukan hal-hal semacam ini, dan sepertinya memang tidak akan berencana melakukannya sampai kapan pun. Anak dengan gengsi tinggi itu mana mau melakukan hal-hal licik dan kotor begini.

Mobil sedan telah berhenti di depan gerbang dan Jungkook baru akan membuka pintu mobil saat Wonwoo keluar dari rumah sambil menenteng tas sekolah. Sedetik Jungkook memandangi sang kakak dengan berbagai pemikiran berkelebat dalam benaknya. Dia sempat berpikir, selain para gerombolan berandal waktu itu, yang ada di tempat kejadian hanya dirinya, Kim Taehyung dan Wonwoo.

Jadi Jungkook pikir—mungkinkah?

“Hei,” Jungkook bersuara memanggil kakaknya.

Ketika Wonwoo menoleh dan melihat, Jungkook masih memandangi dengan tatapannya yang penuh rahasia. Lalu setelah penuh pertimbangan, sebuah pertanyaan Jungkook tuturkan, “Kau yang melakukannya?”

Sinar mata Jungkook menyiratkan kecurigaan, sementara nada bicaranya teramat hati-hati. Katakan saja dia menuduh kakaknya, tapi—hanya saja—siapa lagi?

Di sisi Wonwoo, pemuda yang satu itu hanya menatap tanpa berekspresi. “Apanya?” dia bertanya. Terkesan acuh tak acuh. Namun sorot di matanya, jelas sekali menunjukkan jika dia benar-benar tak tahu menahu akan pertanyaan Jungkook.

Jadi akhirnya Jungkook juga kehilangan rasa ingin tahunya. “Tidak. Lupakan saja,” ucapnya sembari menarik pintu mobil.

“Jungkook.”

Gerakan Jungkook terhenti saat namanya disebut oleh Wonwoo. Sebelum melangkah memasuki mobil dia menyempatkan diri untuk menengok pada saudara sedarahnya tersebut. Tatapannya pongah, menunggu sang kakak berkata-kata.

“Jangan buat masalah,” kata Wonwoo sambil sesaat memperhatikan luka di pelipis Jungkook yang tertutup kain kasa dan plaster. “Kau bisa membohongi Appa dan Eomma, tapi aku tahu luka itu bukan karena kecelakaan.”

Jungkook memalingkan wajah mendengar kata-kata Wonwoo, lalu sejenak mendengus sinis. Saat menatap laki-laki itu lagi, dia serta merta membalas,  “Tidak perlu khawatir. Mari urus urusan masing-masing dan jangan saling mencampuri satu sama lain.”

Wonwoo menyaksikan Jungkook tersenyum ke arahnya, dan dia terus memperhatikan sampai pemuda itu menduduki jok penumpang dan menghilang bersama laju kendaraan. Dia masih di tempatnya, menamatkan potret senyum Jungkook dalam bayang-bayang pandangannya—senyum adik laki-lakinya yang tak lagi semanis dulu.

Senyum Jungkook kini bagaikan pisau tajam yang menyayat.

. . .

Jimin berlari dengan tergesa-gesa melewati gerbang setelah saat dilihatnya Cho Kyuhyun, guru fisika yang terkenal killer, dalam perjalanan mencegat anak-anak yang terlambat datang. Hari ini Jimin sedikit sial, terlambat bangun dan ketinggalan bus, yang alhasil dia pontang-panting dikejar adrenalin begitu sadar gerbang akan ditutup sebentar lagi.

Untungnya, keberuntungan masih mau berpihak. Kaki-kaki kecil Jimin mampu melesat di halaman beberapa momen sebelum pria berkacamata itu melewati lapangan. Jimin menghela napas lega dan mengatur napasnya sambil terus berjalan menuju gedung kelas. Di sekelilingnya juga ada beberapa siswa lain yang senasib dengannya—lolos dari si guru killer. Namun, ada satu siswa yang menarik perhatiannya.

Di antara murid-murid yang berjalan, ada seorang siswa yang berjalan sambil menunduk beberapa langkah di depan Jimin, siswa yang tengah membenamkan wajah di balik syal dengan rambut berwarna purple-soft yang tak pernah Jimin lihat sebelumnya.

Sesaat Jimin memicingkan mata memandang pemuda tersebut dari belakang, meneliti dari ujung rambutnya yang mencolok itu sampai ujung sepatu Converse-nya, memperhatikan postur tubuh yang sepertinya tak asing.

Sosok itu begitu familier.

Lalu tiba-tiba Jimin mendesis, “Dasar bocah tengil,” —apa-apaan sih dia?

Sebab Jimin memang mengenal siswa aneh itu. Anak laki-laki yang memang tiada duanya, yakni Kim Taehyung.

Seperti biasa, sosok Taehyung selalu sulit untuk dilewatkan.

.

.

.

_TBC_

Makasih banyak buat kalian udah mampir & baca book ini sampe sejauh ini. Lophyu lophyu buat kalian 💜

💃💃💃

Continue Reading

You'll Also Like

82.7K 12.6K 57
ᴊᴜᴅᴜʟ : ᴊᴇᴏɴ ᴇᴍᴘɪʀᴇ ᴀᴜᴛʜᴏʀ : @ᴅɪᴀᴢᴏᴋᴛᴀғɪǫɪ ɢᴇɴʀᴇ' : ʙʟ | ʀᴇʙɪʀᴛʜ | ᴋɪɴɢᴅᴏᴍ ʀᴇǫᴜᴇsᴛ: @skomalasari508 ᴅᴇsᴄʀɪᴘᴛɪᴏɴ_ [~» Jeon JungKook atau di kenal...
803K 31.7K 16
Mafia. ABO⚠️⚠️⚠️🔞🔞 INI KOOKV, JANGAN NYASAR!
185K 18K 32
[started: 180416 - 180517] [COMPLETED ✅] Enjoy ❤ [ Highest Rank ] #120 in SEVENTEEN #81 in MEANIECOUPLE #51 in WONGYU #1 in MINWON