BUKAN CINTA PANDANGAN PERTAMA

By Arnithia

1.8M 36.8K 3.3K

Menikah? Kontrak? Tapi dapat bayaran saham perusahaan bonafid, posisi Direktur, lalu hanya 2 tahun kok! Tugas... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27

Bab 16

67.6K 1.5K 188
By Arnithia

Fransisca Irzany, yang biasa dipanggil Sisca. Wanita mungil yang tegas. Kesan itu ditangkap Mila saat melakukan wawancara dengan Sisca. Dengan mengenakan gaun muslim panjang dan berjilbab, sosoknya menampilkan kesan teduh. Mila langsung menyukainya.

Kemudian diketahui Mila bahwa Sisca sendiri adalah seorang yatim piatu. Ia menghabiskan 5 tahun pertama hidupnya di sebuah panti asuhan yang terletak di daerah Sukabumi, sebelum pasangan suami istri Irzany mengadopsinya. Sisca merasa sangat beruntung karena walaupun bukan orangtua kandung, tetapi ayah dan ibu angkatnya sangat menyayanginya. Mereka memberikan bekal kehidupan yang sangat bermanfaat baginya : Pendidikan. Menyadari bahwa tidak semua anak, terutama anak yatim piatu dapat memperoleh kesempatan seperti dirinya, Sisca bersungguh-sungguh dalam segala hal yang ia lakukan. Dan memiliki cita-cita bahwa kelak, dapat membantu anak-anak tanpa orangtua seperti dirinya. Hidupnyapun mulai didedikasikan untuk itu. Selepas SMA, ia mengambil jurusan  psikologi di salah satu universitas negeri di Bandung, dengan keyakinan bahwa ilmu yang didapatnya itu akan berguna nantinya.

Ia mulai mengisi waktu luangnya dengan berkunjung menawarkan jasa untuk mengajar anak-anak panti asuhan yang terletak tidak jauh dari tempat kostnya. Ia mengajar Bahasa Inggris, Matematika dan Komputer kepada anak-anak penghuni Panti. Menurutnya Bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional harus dikuasai dijaman globalisasi, Matematika memberikan dasar untuk dapat berpikir secara logis, serta Komputer merupakan cakrawala pengetahuan dunia yang dinamikanya semakin cepat sekarang ini.

Sisca bahagia karena kedua orangtua angkatnya tidak menuntut dirinya untuk bekerja kantoran, namun turut mendukung tujuan hidupnya, mengabdi untuk anak-anak yang terlantar dan haus akan kasih sayang dan perhatian.

"Mba Sisca, kapan mba bisa bergabung?" Tanya Mila.

"Saya bisa gabung kira-kira bulan depan mba Mila. Itupun seandainya mba Mila tidak keberatan" jawabnya.

"Ooh, ngga apa-apa mba Sisca. Kalau memang bisanya bulan depan, akan saya tunggu. Kalau boleh tahu, saat ini kegiatan mba Sisca apa?"

"Saya saat ini sedang membantu disebuah tempat penampungan bagi para wanita yang umumnya hamil diluar nikah dan anak-anak mereka. Nama tempatnya Rumah Anugrah Ibu dan Anak di daerah Pondok Labu, Jakarta Selatan. Disana saya memberikan konseling bagi para ibu dan calon ibu yang umumnya memiliki permasalahan dengan status kehamilannya."

"Apa.. Apakah saya mungkin bisa berkunjung ke tempat itu mba?" Entah mengapa Mila merasa ketertarikan yang muncul dari hatinya. "Saya ingin mengetahui lebih jauh mengenai apa yang saya sedang bangun saat ini"

Pandangan mata Sisca seakan menjadi lebih terang. Ia mempertimbangkan permintaan Mila dalam diamnya. Sejurus kemudian ia berkata "Boleh saja mba Mila. Kalau mba Mila ada waktu, di hari Sabtu minggu ini mba Mila bisa kesana."

Wajah Mila terlihat antusias "Terimakasih mba Sisca."

Kedua wanita itupun berpisah setelah saling memberikan nomor telepon masing-masing.

Seperginya Sisca, Mila berpikir, betapa dia mengucap syukur bahwa walaupun kedua orangtuanya berpulang diusianya yang masih belasan, ia tidak sendirian, karena memiliki eyang yang baik hati dan keluarga besar yang menyayanginya. Mendengar cerita Sisca, hatinya turut merasa trenyuh, masih banyak diluar sana yang membutuhkan uluran tangan.

Project Expanding View ini harus jalan.

"Rizky, saya merekrut Sisca ditim kita.. Ya, ya.. Sama-sama. Sisca akan bergabung bulan depan. Ky, saya mau kamu bicarakan dengan Sisca mengenai pembangunan rumah Yatim. Buat daftar apa saja yang diperlukan untuk sarana disana. Ok. Terimakasih" Klik.

Mila menutup pembicaraan melalui handphone dengan Rizky, kemudian masuk lift menuju lantai satu.

Ia berniat mencari tempat untuk makan siang. Entah mengapa, rasanya kok hari ini kepingin makan baksooo... Nyammm...

 Ada tukang bakso yang rasanya enak ditempat nongkrong mahasiswa Atmajaya di daerah Semanggi. Ia berniat kesana.

Sekeluarnya Mila dari lift, saat akan menuju pintu lobby, terdengar seseorang memanggilnya. Ia menoleh dan melihat Stephanus sedang berlari kecil kearahnya. "Mil, aduuuhh.. Dipanggil dari tadi kok ngga nengok-nengok."

"Ooow... Sorry. Ada apa Stephen?" ucapnya sambil tersenyum meminta maaf kepada Stephanus.

"Kamu mau makan siang ya?" Tanya Stephanus.

"Ya iyalah.. Secara sudah jam 12 begini." Jawab Mila sambil memutarkan kedua bola matanya seakan berkata pertanyaan itu adalah pertanyaaan yang konyol.

Stephanus tertawa melihat respon Mila yang berlebihan. "Mil, makan bareng yuk" ajaknya.

"Hah? Waduh gimana ya...?" Mila bingung, soalnya dia kan mau makan diemperan, orang seperti Stephanus memangnya mau?

“Kenapa? Kamu ada janji ya?” melihat Mila yang sepertinya enggan mengiyakan ajakannya, membuat Stephanus mengira wanita itu mungkin ada janji dengan orang lain, atau… kencan mungkin?

“Ennggg… Ngga ada janji apa-apa, aku makan sendirian aja kok. Cumaa… “ kalimat itu menggantung sesaat “Aku nih mau makan di warung tenda, di pinggir jalan, diemperan… kamu emangnya mau ikut?”

Stephanus merasa terkejut mendengar jawaban Mila, karena biasanya wanita yang ia kenal, tidak ada yang mau makan ditempat-tempat seperti yang Mila barusan sebut. “Walah, kirain ada apa. Ngga apa Mil, yang penting makanannya enak kan?”

“Wuaaah… enak dong. T.O.P.  B.G.T deh!” ujar Mila bersemangat. Baksooo… here I come.

Menggunakan mobil Stephanus kemudian mereka melaju ke arah Semanggi.

“Gimana Step, enak ngga?” Tanya Mila sambil mengunyah bakso dimulutnya.

“Mantap Mil, ngga disangka, walau level kaki lima enaknya kayak bintang lima! “ Stephanus yang memang senang makan pedas, melahap semangkok bakso yang sudah diberi 1 sendok makan sambel ulek, sambil mendesis kepedasan. Membuat Mila yang melihat jadi bergidik sendiri, membayangkan rasa pedasnya.

“Hmmm.. siapa dulu donk yang ngajak?”  dengan sombong Mila membanggakan dirinya.

“Mil, walaupun aku diajak sama Mpo Nori, tetep aja bakso ini enak.” Balas Stephanus dengan gelak tawa dan disambut cibiran bibir Mila yang tidak terima disamakan dengan Mpo Nori. Huuuh, jauuuhhh deeehhhh…….!

*****

Mila dan Stephanus masih bercakap-cakap diselingi tawa, ketika mereka menunggu lft untuk naik ke lantai sembilan. Kemudian seseorang bergabung dibelakang mereka dan tanpa disadari turut memperhatikan percakapan yang sedang berlangsung.

TING!

Pintu lift terbuka. Begitu Mila bersama Stephanus melangkah masuk kedalam lift, betapa terkejutnya dia melihat Dave berada dalam satu lift, tepat disampingnya.

Membuat posisi Mila berada ditengah-tengah antara Stephanus dan Dave.

“Hai Dave, habis makan siang juga?” sapa Stephanus.

“Iya. Kalian habis makan dimana?” ujar Dave tersenyum namun terlihat dingin, tanpa keramahan dari sorot matanya.

“Wah, tadi si Mila ngajak makan di daerah Semanggi. Makan Bakso. Lagi ngidam kayaknya nih cewek satu.” Stephanus mengerling ke arah Mila yang menanggapi dengan senyum kaku dan pandangan mata terpaku pada pintu lift yang masih menutup. “Walaupun warung pinggir jalan, baksonya mantap Dave” rekomendasi Stephanus.

“Kalau begitu, mungkin lain kali Mila bisa mengajak saya kesana?” Dave menoleh ke arah Mila.

 TING!

Bunyi pintu lift terbuka di lantai sembilan, terdengar bagai dentingan lonceng di telinga Mila.

Tergesa-gesa ia beranjak keluar meninggalkan kedua pria tersebut “Maaf, aku permisi duluan ya" tanpa menjawab pertanyaan Dave.

Ia berjalan pergi diiringi pandangan mata Dave yang menusuk tajam.

*****

Sandra akhir-akhir ini uring-uringan, semenjak Dave memberitahu bahwa dia akan menikah. Ia benci bila yang ia inginkan tidak berhasil didapat. Tapi siapa yang merebutnya? Apa yang tidak ia miliki dari calon istrinya Dave? Seandainya ia tahu siapa wanita itu..

Sandra benar-benar ingin menjerit. Ini tidak adil, tidak adil...! Aku menginginkan Dave! Aku tidak bodoh. Dave sudah membuka celah bagiku semenjak perceraian itu. Tapi mengapa sekarang ia justru bilang akan menikah?!

 Ketukan pintu oleh Brigitta, sekretarisnya, menyentakkan Sandra dari rasa galau yang sedari tadi kembali memonopoli pikirannya.

"Bu Sandra, ini ada undangan untuk ibu" lapor Brigitta.

"Taruh meja saja Ta" perintah Sandra kepada Brigitta.

"Baik bu" Brigitta meletakkan undangan tersebut sambil melirik diam-diam ke Sandra. Sudah beberapa hari ini bosnya itu sensitif dan mudah marah. Sepertinya begitu ia membuka undangan itu, Brigitta harus bersiap-siap untuk menguatkan hati dan telinga.

"Undangan apa itu Ta?" Tanya Sandra yang kembali sibuk dengan dokumen yang belum ia periksa setelah makan siang tadi.

"Undangan pernikahan bu" jawab Brigitta yang langsung segera melangkah keluar ruangan itu.

Kegiatan yang Sandra lakukan langsung terhenti. Perasaannya melaju cepat. Dengan segera ia menyambar amplop putih yang didepannya terukir tulisan timbul M&D : Millana Poetri Oetoro & David Admadja. Jantungnya terasa langsung mencelos, nafasnya terhenti sesaat. Ia terperangah. Mila? Mila..?! Calon istri Dave adalah Mila, asisten ibu Ina?

Hah! Disaat benaknya mengira-ngira bahwa calon istri Dave pastilah seorang wanita yang lebih elok, cantik dan berkelas melebihi dirinya sehingga membuatnya merasa kalah, ternyata dugaannya terlalu tinggi, karena sosok wanita  itu hanyalah Mila!

Bagaimana mungkin? Tidak ada berita secuilpun mengenai hubungan mereka. Kecuali... Ya, kecuali.. Ketika malam acara Gathering. Bodoh! Ia memaki dirinya sendiri. Seharusnya ia lebih peka.. Seharusnya ia menyadari kejanggalan saat itu.

Tapi... Sandra merasa ada yang aneh dengan pernikahan Dave ini. Mengapa.. begitu cepat?

*****

Ia membuka bolak-balik lembaran undangan ditangannya. Tidak disangka. Mila dan Dave. Hhffhh..! Disaat ia merasa tertarik untuk mengenal wanita itu lebih jauh, malah mau menikah... Tidak tanggung-tanggung, dengan sang komisaris pula.

Halaahh... Pantesan muka Dave asem terus kalau aku sedang bersama Mila. Ini menjelaskan juga mengapa saat Mila mulai mabuk kemarin, ia menyerobot begitu saja. Tapi... Kenapa mereka tidak pergi bersama saja saat Gathering kemarin? Malah membawa pasangan sendiri-sendiri. Sedang bertengkar mungkin..? Lalu, mengapa secepat ini pula? Apakah Mila..? Ah! Jangan berpikiran yang bukan-bukan. Mila sepertinya bukan wanita seperti itu.

Stephanus mengedikkan bahunya, tidak mengerti. Yang ia tahu, posisi Mila benar-benar tidak aman setelah undangan ini tersebar. Duda yang baru saja bercerai lalu menikah lagi pasti akan menimbulkan gosip yang tidak sedap.

Dan ia tahu ada satu wanita yang kemungkinan besar akan membuat hari-hari Mila tidak senyaman sebelumnya.

Sandra.

Ia seperti kucing Anggora. Cantik, anggun, terlihat jinak dan manis, namun akan berbalik menyerang dengan cakarnya yang tajam seperti silet bila keinginannya tidak dituruti. Tipe wanita yang kurang diminati secara pribadi olehnya.

*****

"MILAAA!!!" Suara Lidya lantang membahana saat membuka pintu ruangan Mila.

Lho, mana dia? Rasanya tadi ada diruangan... Kok sekarang ngga ada?

Lidya melangkah menghampiri meja Mila. Merasa ada sesuatu yang bergerak samar dibawah, maka ia melongokkan kepalanya ke balik meja Mila.

Hah! "Mila! Ngapain kamu dibawah situ?!" Seru Lidya terkejut.

 "Lid..." Wajah Mila yang mendongak menatap Lidya, merupakan gabungan ekspresi antara memelas, memberengut dan pasrah, dengan posisi berjongkok dikolong mejanya.

Yang niat awalnya mau marah ke Mila karena tega-teganya menyembunyikan hubungan dan rencana pernikahannya dengan Dave, ia urungkan. Demi melihat Mila nampak mengenaskan saat ini.

"Bangun, ayo bangun.." Lidya berputar ke balik meja dan mengulurkan tangannya yang disambut Mila untuk membantunya berdiri. Mila kemudian duduk dikursinya.

"Mila, kenapa kamu?" Tanya Lidia setelah Mila sudah merasa lebih nyaman.

"Dave Lid, Dave... Si David Admadja ini! Ooohhh… Akan kubunuh dia! Sialan orang ini!” Mila menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“Hei, hei, ada apa sih? Orang mau menikah kok malah bertengkar seperti ini.” Lidya semakin tidak mengerti dengan tingkah Mila. Masih sehatkah sahabatnya ini?

Dengan satu tangan masih menutupi wajah, dan satu tangan yang lain melambaikan  undangan diatas kepala, Mila menjawab “Ini… Ini….. ini penyebabnya!”

“Memangnya kenapa dengan undangan ini? Bagus kok…”

“Aarrrgggghhhhh…!!!” Mila memukul meja dengan kedua tangannya : BRAK! Sontak membuat Lidya terlompat kaget.

 Kemudian Mila bergegas keluar ruangannya meninggalkan Lidya yang melotot sebel karena sempat dibuat jantungan dengan gebrakan meja tersebut.

Namun ketika Mila membuka pintu, ia justru terkejut, karena ternyata ada seseorang yang berdiri dihadapannya. Dengan tatapan setajam pisau belati, wanita itu berkata perlahan “Mila, saya mau bicara dengan kamu” ucapnya dingin .

“Mengenai apa ya bu Sandra? Saya mau keluar ruangan sebentar, ada urusan yang harus saya selesaikan. Kalau ibu tidak keberatan, bisa tunggu dulu didalam. Saya tidak akan lama.” Ucap Mila.

Seperti tidak mendengar ucapan Mila, Sandra melewati Mila masuk ke dalam ruangannya “Aku mau bicara dengan kamu. Sekarang.”Ia melihat kearah Lidya, lalu berkata “ Bisa tinggalkan kami berdua?”

Lidya yang langsung merasakan aura tidak bersahabat juga jelas enggan tinggal lebih lama diruangan Mila “Baik bu”.

“Tidak usah Lid. Aku ngga keberatan kamu tetap disini.” Tiba-tiba Mila mencegah Lidia untuk keluar. “Aku yakin bu Sandra tidak akan lama disini.” Sambil berjalan masuk keruangannya dan kembali duduk dibelakang meja, Mila menatap Sandra. “Ada yang bisa saya bantu bu?”

Jadilah Lidya pasrah terjebak diantara wanita yang kedua-duanya sedang dilanda emosi itu.

Sandra mendengus pelan, lalu berkata “Mengenai ini!” Ia melemparkan undangan pernikahan Mila dan Dave ke meja, tepat di hadapan Mila.

“Ada apa dengan undangan ini? Menurut saya, bukankah undangannya sangat cantik?” dengan wajah dibuat sepolos mungkin dan memasang senyum manis diwajahnya, Mila bertanya kembali.

“Kamu… !! “ Sandra mengetatkan rahangnya dengan geram. ”Hei dengar ya Mila, aku tidak tahu bagaimana kamu bisa mendekati Dave, merayu, ataupun membujuknya untuk bisa menikah denganmu. Tapi camkan ini, perempuan semacam kamu tidak akan bersama dengannya untuk jangka waktu lama. Ia akan mencampakkanmu, lalu membuangmu kembali ke tempatmu yang seharusnya!!”

Mila berdiri dari duduknya dengan sorot mata berubah menjadi lebih gelap. Intonasi suara yang keluar dari mulutnya pun merendah ketika ia berbicara “Well, tepatnya… perempuan macam apa saya ini bu Sandra?”

“Ha!! Kamu adalah perempuan yang mendapatkan Dave dengan cara manipulatif, dan kamu.., kamu tidak memiliki kelas sama sekali Mila, kamu bukanlah level kami. Dave sepatutnya mendapatkan istri yang lebih pantas untuknya. Dan itu jelas bukan kamu!” Sandra melontarkan kebencian yang tidak lagi disembunyikan olehnya. Ia jelas tidak terima bahwa wanita seperti Mila yang akan dinikahi Dave dan meluapkannya.

 Ok, cukup! Sebuah undangan, yang mendadak ada diatas mejanya sepulang ia dari makan siang, dengan menampilkan foto-foto praweddingnya dengan Dave, dan memasukkan adegan mereka berciuman sudah cukup membuat dunianya jungkir balik - ia bahkan belum melakukan perhitungan dengan si pemilih foto! Hal itu rasanya tidak perlu ditambah dengan wanita cantik yang berpikir bisa seenaknya menyemburkan bisa beracun dihadapannya sekarang.

"Bu Sandra, jika hanya itu yang ingin ibu sampaikan, maka wanita tidak berkelas yang ibu maksud ini, sudah cukup mendengarnya. Silahkan ibu keluar dari ruangan saya, sekarang!" Mila benar-benar berusaha menahan amarah yang sudah mendekati ubun-ubun. Ia berjalan kearah pintu dan membuka pintunya sebagai tanda bahwa Sandra tidak diinginkan diruangannya.

Tatapan yang penuh dengan kebencianpun dilayangkan Sandra kepada Mila sebelum ia melangkah dengan angkuh ke arah pintu.

"Whoaaa... Mila... Apa-apan tuh tadi?! Oh My God! Perang nih, perang!" Lidya yang sedari tadi hanya menjadi penonton, serta merta menjadi heboh sepeninggal Sandra.

"Aduh, Liiiiidd... bad day banget sih aku hari iniiii!!" Mila menjerit tertahan.

"Iya Mil, keliatan kok." kata Lidya sambil menaik-turunkan kedua alis matanya, terlihat rasa penasaran pada wajahnya. "Kok kamu ngga cerita ke aku sih Mil?"

"Maaf Lid, ini ngga seperti yang kamu bayangkan kok." Mila hanya bepikir bahwa semakin sedikit orang yang tahu mengenai perjanjian pernikahan yang dibuatnya, maka ia akan semakin aman. Jadi tidak ada maksud untuk menyembunyikan hal yang sebenarnya kepada sahabatnya itu "Aku hanya belum siap mengumumkan hubungan ini. Begini, pokoknya, singkat cerita, Dave yang memutuskan bahwa ia mau menikah denganku, melamar dan…...Tad-daaa….! Voila, here is the invitation."

Lidya kelihatannya kurang percaya dengan penjelasan Mila. "Simple amet Mil. Tapi aku ngga pernah lihat kalian bersama-sama atau tahu kalau kamu kencan dengan dia."

"Yaaa... Itu karena aku ngga mau ada banyak omongan, jadi main belakang deh.” Ujarnya berkilah. “Kan risih Lid, kalo jadi bahan gunjingan orang-orang sekantor. Kamu sendiri yang paling tahu kalau aku ngga suka jadi omongan. Kalau memang sudah pasti, baru aku umumkan. Lagipula, aku masih belum yakin sama Dave awalnya. Dia kan banyak yang ngincar, jadi aku ngga terlalu antusias. Kalau memang dia serius sama aku, ya.., aku minta dilamar. Yang Aku ngga sangka, dia ternyata beneran! “ Penjelasan panjang lebar diberikan Mila kepada Lidya, sambil  ia berharap sahabatnya itu percaya dan tak luput juga meminta maaf dalam hati karena berbohong. Semoga dosanya ini diampuni… Hiks!

“Tapi Lid, aku ngga nyangka Dave memilih foto-foto yang ini untuk jadi background undangan! Aduuhh Lidyaaaaa… Bener-bener deh, rasanya tangan ini gatel kepingin nonjok!” ucap Mila saking gemesnya.

“Tadi ada sansak lewat, ga dipakai. Mubazir kan.” Sahut Lidya sambil cengegesan.

“Hah?!” Mila melotot kearah Lidya. “Menurutmu harusnya kupakai ya? Apa kukejar saja ya Lid?” dengan bergegas ia berdiri.

“Eeehhh.. gila kamu! Aku bercanda taauuuuuuuuu…. Mila Error!” seru Lidya.

*****

Semua yang sedang bersantap malam saat itu, seakan terfokus pada seorang gadis kecil yang berceloteh riang dengan semangatnya dimeja makan.

"... Lalu Pa, nanti Aina mau pakai baju princess ya! Yang warnanya pink lho pa! Sepatunya juga pink, Pa.. Aina mau seperti barbie Cinderella. Cantiiiikkk... banget!"

 "Iya, Araina, nanti kamu bisa pakai baju princess pas acaranya papa dengan tante Mila. Araina akan jadi princess yang paling cantik pokoknya." Ucap Dave kepada Araina yang jelas lebih antusias menghadapi acara pernikahan itu daripada dirinya.

"Lalu besoknya kita ke waterboom ya pa?" Tanya gadis kecil itu penuh harapan.

"Kita lihat ya sayang.. Kalau papa bisa, kita kesana." Jawab Dave.

"Yah papa, Aina kepingin banget kesana Pa.. Ayo donk Pa, kan sudah lama kita ngga kesana... Kesana ya Pa?" Pintanya memohon.

"Gimana kalau sama tante Mila saja, Araina? Nanti tante temenin." Usul Mila, merasa kasihan melihat anak itu memohon-mohon pada Dave yang sepertinya kurang bersemangat menanggapi permohonannya.

Dave menoleh ke arah Mila, menatap datar sesaat, sebelum membuang pandangannya ke makanan yang sedang ia santap…

Mila jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Memangnya kenapa kalau aku yang menemani Araina sih? Toh dia ogah-ogahan begitu. Ngga ada salahnya kan?

"Mila, kapan eyang dan keluargamu datang?" Tanya bu Ina.

 "Sekitar 2 hari lagi bu" jawab Mila.

"Kamu jangan terlalu capek ya. Supaya nanti setelah acara pernikahan, kamu tidak jatuh sakit.”

“Ya bu Ina, terimakasih.” Kepedulian bu Ina benar-benar membuat Mila tersentuh. Atasannya itu walaupun memiliki karakter keras dalam menjalankan kerajaan bisnisnya , namun tetap berusaha menjalin dan menjaga interaksi personal dengan bawahan, sehingga menimbulkan rasa hormat dan loyalitas kepadanya.

Sebetulnya seseorang yang disampingnya ini juga sih, tapi bagi Mila, pria itu pengecualian. Ia belum menemukan sisi positif yang bisa menimbulkan rasa hormat, lebih sering timbul justru rasa jengkel…

“Oh ya Mil, undangannya bagus, sangat romantis. Siapa yang memilih designnya?” bu Ina bertanya dengan senyum dikulum.

Wajah Mila perlahan tapi pasti perlahan dirayapi rona merah. Namun belum sempat ia menjawab pertanyaan bu Ina, sebuah suara mendahuluinya.

 “Itu Mila yang pilih Mih” Dave yang menjawab.

“Enak aja! Kamu tuh yang pi-” Aih! Tersadar respon spontannya terdengar lancang, membuat Mila langsung menunduk meminta maaf kepada bu Ina “Maaf bu Ina, bukan saya yang memilih, tapi Dave.”

“Hmm… tidak masalah Mila, itu bukan hal yang harus diributkan.” Senyum geli ibu Ina seakan mencairkan kekakuan diantara mereka yang duduk diruang makan itu. Tapi membuat Mila semakin tertunduk malu sambil mengutuk Dave dalam hati karena sudah mempermalukan dirinya.

“Tante Mila, malam ini nginap ya disini?" Tanya Araina seusai mereka makan malam, ketika mereka berjalan bersama ditepi kolam renang rumah keluarga Admadja.

 Hah?! "Oohh.. Ngga Araina, tante nanti pulang. Kasihan mbo Asih sendirian di apartemen tante" jawab Milla.

 "Mbo Asih itu siapa tante?" Gadis itu bertanya kembali.

"Mbo Asih itu orang yang sangat dekat dengan tante. Dia yang mengasuh tante dari kecil." Ya, Mila memang sangat sayang kepada mbo Asih bagaikan ibunya sendiri.

"Papa mamanya tante memang kemana?" Satu lagi pertanyaan diajukan Araina ke Mila.

"Hmm... Papa mamanya tante sudah... meninggal, waktu tante SMP. Sudah lamaaa... sekali." Jawab Mila dengan senyum kecil.

 "Aahh...," Araina mengangguk-anggukkan kepalanya. "Meninggal itu apa ya tante?"

"Uhmm... Meninggal itu… berarti pergi jauuuhhh... sekali. Sudah tidak bisa bertemu lagi.” Hmmm… agak sulit juga ya memberitahu arti suatu kata kepada anak kecil…

“Ahh, kasihan ya tante Mila. Mamanya Aina juga pergi jauuuhhh… sekali lho. Ke Perancis. Tapi mama janji nanti datang lagi, jadi masih bisa ketemu…” tatapan matanya seperti sedang melamun, memandangi riak air kolam renang.”Kalau tante Mila, ngga bisa ketemu lagi ya…?”

Mila tersenyum mendengar simpati samar dari gadis kecil disampingnya itu.

“Iya, tapi ngga apa-apa kok. Tante Mila punya Mbo Asih yang mau nemenin tante… lalu tante juga masih punya eyang yang sayang sekali sama tante, dan… ada Araina juga! Kita kan nanti tinggal sama-sama, jadi tante ngga kesepian lagi deh…” ucap Mila dengan lembut kepada Araina.

“Ya, yaa…! Betul juga tante. Oh, ya… Papa kan bisa nemenin tante juga, jadi tante nanti ditemenin papa, Aina, sama… mbo….mbo….” Araina berusaha mengingat nama yang tadi Mila sebutkan.

“Mbo Asih” sambung Mila.

“Ya! Mbo Asih!” lalu gadis kecil itu tertawa gembira.

“Arainaaaa….., Arainaa…..” terdengar suara ibu Ina memanggil-manggl nama cucunya itu.

“Iya eyang… Aina di kolam, sama tante Mila.” jawab Araina kearah panggilan itu.

Kemudian terlihat bu Ina berjalan ke tempat Araina dan Mila sedang duduk berdua.

“Araina, ayo bobo sayang… sudah jam 9 malam lho. Besok mau sekolah kan?” kata bu Ina.

Araina memonyongkan mulutnya, lalu menjawab “Sebentar lagi ya eyang, Aina masih mau ngobrol nih sama tante Mila.” dengan gaya sok dewasa yang membuat Mila tiba-tiba merasa gemas, dan menawan tawa.

“Araina…” Suara bu Ina mulai bernada perlahan dan dalam “ Belva Admadja… ayo bobo sekarang.”

“Ck, ih eyang ini.., selalu deh. Aina sedang asyik-asyik, malah diganggu sama eyang” gerutu Araina, sambil beranjak dari duduknya. “Yah, tante Mila, sudah dulu ya. Aina mau bobo nih.

"Oke deh Araina, sampai ketemu lagi ya. Have a nice dream little princess" kata Mila sambil memberikan ciuman jauh. Mmuaah...

Araina memandang Mila, ia tersenyum lalu berkata "Terimakasih tante Mila" kemudian dengan sebuah gerakan cepat, ia memberikan ciuman di pipi Mila.

"Bye, see you" ucap Araina sambil melambaikan tangan dan berjalan masuk ke dalam rumah.

Mila yang sempat tertegun karena tidak menyangka akan diberikan ciuman ringan dipipinya, memberikan lambaian tangan dan senyuman manisnya untuk Araina.

Tinggallah Mila sendirian di tepi kolam renang. Ia menatap langit, bintang-bintang dan bulan purnama dengan cantiknya sedang bersinar. Cahayanya yang lembut membuat kolam renang dihadapannya seakan dipenuhi aura mistis dengan riak air berayun santai.

Suasananya benar-benar terasa syahdu bagi Mila… dengan tatapan menerawang ia memandang permukaan kolam. Melamun… melamunkan pernikahan yang akan dilaluinya tidak lama lagi. Hanya menunggu hitungan hari yang jumlahnya kurang dari jumlah jari ditangannya.

Kenapa  justru sekarang ia merasa seperti menyesal telah mengambil keputusan itu? Apakah keputusan itu salah? Apakah ia telah mempertaruhkan hal yang seharusnya ia jaga? Seperti rasa cinta..? Aduuhhh… rasanya ingin melarikan diri saja…

 Mungkin ini sindrom pranikah ya? Atau sindrom pranikah kontrak…? Hehehe… Aduh, Mila, Mila…. capek deeehhh….

“Hei, melamun saja” sapa Dave yang tiba-tiba muncul dan duduk di sebelahnya.

Mila hanya melirik Dave dengan pandangan mata cuek lalu kembali memperhatikan kolam renang. Mengacuhkannya.

Keheningan tercipta dari kebisuan mereka berdua. Davepun sepertinya enggan mengganggu Mila.

Setelah entah berapa lama waktu berjalan, Mila yang akhirnya lebih dahulu berbicara. “Pacarmu melabrak aku…” ia berkata dengan perlahan.

Sepasang alis Dave menyatu karena heran. “Pa-car..?”  ulangnya.

“Iya, pacarmu” ia menoleh dengan sedikit mencibir, melihat Dave yang terlihat bingung. “Sandraaa… “ ucapnya dengan nada suara meninggi. “Hal-looo… memangnya ada lagi ya?? Ck, ck, ck..saking banyaknya sampai ngga ingat ya?”

Dave memperhatikan Mila dengan menahan senyumnya. “Ah! Ooo… Sandra… memangnya dia bilang apa?”

“Ngga banyak... Iintinya, dia seperti ngga terima kamu menikah denganku. Yaaahh... Aku tuh bukan levelmu, bukan kelasmu dan bla, bla, bla..." Jawab Mila sambil  memutarkan kedua bola matanya. "Konyol" ucapnya.

"Lalu, kamu bilang apa ke dia?" Tanya Dave.

"Aku bilang apa? Ngga perlulah aku banyak bicara dengan dia. Ku usir saja dia keluar dari ruanganku!" Jawab Mila dengan dongkol.

Haaahh...?! Galak juga dia yaa... Batin Dave geli.

"Lalu…, ngomong-ngomong aku juga jengkel sama kamu!" Kata Mila menatap Dave dengan galak. "Aku belum bikin perhitungan ke kamu tahu!".

"Lho-lho-lhooo... Apa salahku?" Tanya Dave terkejut dan kembali merasa bingung.

 "Kamu-pilih-foto-adegan-ciuman-di-undangan-pernikahan-kita! Gila kamu yaaaaa...!" Jawab Mila. "Aku belum balas kamu karena sudah bikin aku malu dikantor!" Sambung Mila dengan kesal.

 "Rasakan ini!" Tiba-tiba Mila mencubit Dave dipinggangnya, tidak tanggung-tanggung, cubitan itu dipelintirnya.

 “A-a-adduuhhh…!!! Sakit Mil!” kontan Dave mengaduh dan langsung berdiri, sambil mengusap-usap pinggang tempat Mila mendaratkan cubitan mautnya.

 “Biar kapok kamu! Itu ngga sebanding dengan perbuatanmu, tau!” Mila menepuk-nepuk kedua telapak tangan seakan-akan ia telah berhasil menuntaskan dendamnya.

Dave terperangah melihat tingkah Mila. Ia tidak menyangka akan dihadiahi cubitan!

Walau sebenarnya ia tahu bahwa Mila pasti marah besar karena pilihan fotonya. Maka dari itu, ia menghindari Mila semingguan ini. Sampai maminya meminta mereka berkumpul untuk acara makan malam, barulah ia bertemu kembali dengan Mila.

Sungguh, ia tidak ada rencana memilih foto adegan saat ia hampir terbawa hasrat untuk menginginkan lebih dari sekadar ciuman. Tapi ia tidak bisa menahan diri. Foto itu terlihat pas untuk membuat orang yang melihatnya berpikir bahwa pernikahan mereka karena cinta...? Well, dia tidak butuh itu, tapi ia merasa bahwa hal itu baik untuk Mila...

"Naahhh... Kalau begitu kita impas sekarang?" Tanya Dave.

"Enak saja! Belum. Aku masih belum balas kamu mengenai ciuman itu" jawab Mila dengan jengkel.

"Ah! Silahkan balas menciumku kalau begitu. Aku bersedia menerima ciumanmu sebagai permintaan maafku" kata Dave dengan senyum seksi, dan pandangan yang seakan mengirim listrik bertegangan tinggi ke Mila.

 "Hah! PD banget kamu! Enak dikamu rugi di aku donk! Nanti aku pikirkan cara apa untuk membayar perbuatanmu itu. Sabar ya... David Admadja." Mila menyunggingkan senyum yang tidak kalah menggoda kepada Dave. Ia tidak akan kalah pada pesona pria ini - semoga.

Mereka berpandang-pandangan. Bagai saling menilai dalam hati, kekuatan lawan masing-masing.

Akhirnya Dave terkekeh. Ia berkata "Sudahlah, ayo, aku antar kamu pulang. Sudah malam... Kamu harus istirahat."

Sorot mata Mila melembut, ia mengangguk. Kemudian iapun berpamitan kepada bu Ina.

"Ya, hati-hati dijalan ya Mila... Terimakasih sudah menemani kami makan malam" kata bu Ina.

"Sama-sama bu Ina, saya juga berterimakasih sudah diundang. Selamat beristirahat. Saya permisi..." Ujar Mila dengan sopan.

Dave yang berdiri disamping Mila berkata kepada maminya "Aku anterin Mila dulu mih". Lalu ia merangkul pinggang Mila dan mereka berjalan kearah mobil Dave.

Ibu Ina tertegun melihat perbuatan Dave.

Apakah anaknya...... Ah... Mungkin, mungkin saja.... Lalu ia tersenyum sebelum berbalik masuk ke dalam rumah.

*****

"Tumben" kata Dave saat mereka sudah didalam mobil.

 "Tumben apa?" Tanya Mila.

"Kamu ngga ngomel-ngomel saat aku rangkul tadi" jawab Dave.

"Latihan.." Ucap Mila.

"Latihan apa?" Malah Dave yang bingung.

 "Lho, kita kan sudah mau menikah. Kalau kamu rangkul, lalu aku ngomel-ngomel, ngga lucu kan nanti diperhatikan orang." Mila menerangkan dengan senyum kecil.

 “Ooohh, begitu...” Dave manggut-manggut.”Jadi kalau dirangkul ngga apa-apa…?”

 “Iya, kan sudah dibilang tadi, masa harus diulang lagi sih?”

 “Kalau… seandainya lebih dari itu…?” Dave melirik Mila.

 “Aku hajar kamu!!!” ucap Mila mengepalkan tinju kanannya sambil menatap tajam ke mata Dave.

“Huahahahaaa………!!!”  Dave tertawa terbahak-bahak “Galak beneeerrr calon istriku ini yaaa…!” ledek Dave.  

“Cereweettt….!” Balas Mila dengan bibir manyun.

Dave kembali mencuri pandang  ke Mila, dengan mata berbinar, dan seulas senyum yang memiliki arti tersendiri.

Sayang, Mila tidak melihatnya…

 Well… mungkin pernikahan kontrak ini tidaklah seburuk yang aku khawatirkan semula… bahkan justru terlihat…. Menarik. I don’t know, for somehow, I just can’t wait for it…. Ucap Dave dalam hati.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hai, kepada semua yang sudah mampir di cerita BCPP - Bukan Cinta Pandangan Pertama -, Saya ucapkan terimakasih atas kesediaannya melongok ke lapak ini, memberikan comments dan saran, ataupun hanya membaca. Bab ini adalah setengah (perkiraan) dari total cerita BCPP. Berhubung saya tidak pernah membuat cerita apapun seumur hidup saya kecuali tugas sekolah dulu, itu pun sudah puluhan tahun lalu (umur saya ga setua perkiraan kalian lho) dan ini adalah karya saya yang pertama, sehingga kadang heran juga kok bisa menulis sepanjang ini ya? Maka dari itu saya mohon bila kalian sudi mampir menorehkan huruf dan merangkai kalimat pada bab 16 ini, tolong berikanlah minimal 1 kritik (tolong jangan tulisan next... atau lanjut, atau kurang banyak ya....) Terimakasih sekali lagi.

-Thia-

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 41.1K 62
Menikahi duda beranak satu? Hal itu sungguh tak pernah terlintas di benak Shayra, tapi itu yang menjadi takdirnya. Dia tak bisa menolak saat takdir...
751K 34.6K 64
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
951K 43.3K 49
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
4.4M 46K 52
Yang orang tau Kiara Falisha adalah gadis lugu, imut, lucu, menggemaskan juga lemot. Tapi di depan seorang Faidhan Doni Advik tidak seperti itu. Pun...