In Law // DREAME

By bymiu_

330K 3.7K 700

Pernikahan indahku selama 2 tahun akan menjadi sempurna apabila tidak pernah ada Harry. Harry adalah pria pal... More

main cast
1 | I Want You
3 | Unfinished
4 | Mad Love
5 | That Night
6 | Broken Angel
note
yuk mampir
Chapter Pemanis

2 | The Devil Inside Me

24.8K 588 136
By bymiu_

"Ah, kau luar biasa."

Jemariku yang tertanam di rambut bagian belakang Harry mengendur. Dahi kami saling bersentuhan, berbagi keringat sesal. Pujiannya diiringin dengan ia menghentakan pinggulnya ke atas, membuat miliknya yang masih berada di dalamku dipaksa kembali berdenyut. Aku hanya mampu mencekram tattoo bergambar wajah wanita di lengannya, dan membiarkan eranganku lolos untuk kesekian kalinya. Aku tidak percaya atas apa yang baru saja aku perbuat. Bercinta di tangga? Dengan Harry? Aku pasti sudah tidak waras.

Dengan posisiku yang berada di pangkuannya, aku pun berusaha bangkit. Namun iblis dari tubuh Harry masih belum mau beranjak. Ia menyentak pergelangan tanganku, menjadikan bokongku mendarat di miliknya. Kemudian bibirnya bergerak rakus melahapku. Tak ketinggalan payudaraku turut dimainkannya. Oh astaga.

"Di mana Harvey menaruh kondom-kondom sialannya?"

Aku menarik diri dengan susah payah, memandanginya seolah dia pria paling gila di bumi. Tidak, bukan seolah. Dia memang pria tergila. Maksudku, kami telah melakukan suatu hal terlarang, dan kini ia ingin mengulanginya lagi? Melakukan seks lagi?

"Fuck! Aku hanya membawa satu kondom. Aku tidak tahu jika kau senikmat ini. Kau sangat ketat." Serunya, seperti mengerti mengapa aku nampak terheran-heran. Tunggu, jadi dia telah merancanakan ini? Memukul Harvey agar kami bisa bercinta dengan leluasa? Aku tersadar ketika bokongku ditampar keras olehnya. Harry berusaha memasuki lagi, dan gilanya kali ini ia melakukannya tanpa pengaman. "Aku bisa mengeluarkannya di luar. Tenang saja."

Sejurus kemudian aku berhasil berdiri, dan mulai memunguti pakaianku yang tercecer di setiap anak tangga. Mata Harry mengawasiku garang, masih belum terima atas penolakanku. Tidakkah ia paham dengan kalimat yang dilontarkannya? Salah perhitungan, bisa-bisa aku hamil olehnya.

"Itu... umm terlalu beresiko." Tuturku, tak tahan dengan tatapan menyeramkannya. Begitu aku hendak mengenakan bra, ia tiba-tiba menggendongku ke arah dapur. Aku spontan berteriak histeris. Apa ia berniat membunuhku karena aku tidak melayani nafsu binatangnya?

"Kita akan melakukannya di sini."

"Apa kau bodoh, Harry?!" Pekikku diikuti ia menunggingkan tubuhku di pinggiran meja makan. "Tidak! Kau tidak memakai pengam--- ah!"

Miliknya menghujamku dari belakang dalam satu hentakan. Aku menggigit bibirku selagi memejamkan mata rapat-rapat. Memang bercinta tanpa kondom merupakan sensasi yang luar biasa, namun milik Harry sungguhlah berbeda, bahkan Harvey pun tidak terasa seperti ini. Sementara bibirnya berlarian melumat bibir dan telingaku secara bergantian. Kenikmatan yang diberikannya di luar kendaliku.

"Kau suka, baby girl? Bukankah penisku memuaskanmu?" Bisikannya berbarengan dengan dorongan pinggulnya yang semakin keras. Aku lantas mendesah, hebat.

"Ah-ah-ah."

"Moan my name, whore. Aku suka setiap kali bibir kecilmu memanggil namaku. Itu membuat libidoku meningkat."

Ujung mataku bisa ku rasakan basah. Tanpa sadar aku menangis. Perlakuan Harry padaku sungguh aku membencinya. Ia merendahkanku sebagai istri kakaknya sekaligus sebagai wanita. Dan aku menangisi itu. Aku menangis karena aku tak bisa menolak kesenangan sesaat ini.

"Ha... ah! Ah-Harry..."

"Angel, kami pulang!"

Tepat di saat aku akan mencapai pelepasan, suara Harvey muncul secara mengejutkan. Aku tidak tahu ini merupakan keajaiban atau bencana, yang jelas aku masih menegang dengan posisi yang memalukan. Lain halnya dengan Harry, ia sama sekali tak terusik dengan fakta bahwa hidup mati kami berada di ujung tanduk. Aku mencekram ujung meja makan, menahan nafas. Sialan, Harry tidak mau berhenti. Justru jari-jarinya ia taruh di kewanitaanku, memainkannya.

"He--hentikan..."

Rambutku dikumpulkan di satu sisi, lalu ia menyentaknya. "Aku tidak peduli. Biarkan suami tercintamu melihat betapa hebatnya aku menyetubuhimu."

"Hentikan, atau a--aku bersumpah akan membencimu."

Ancamanku ternyata berfungsi. Dalam sekejap Harry menghentikan aktifitasnya. Ia menarik diri sebelum menatapku datar. Ada sorot yang tidak bisa ku gambarkan dari mata itu. Marah? Kesal? Sedih? Mengapa di sepasang hijaunya begitu banyak berbagai macam perasaan? Kemudian ia mengambil pakaiannya, dan membanting pintu kamar mandi keras-keras. Akibatnya selama sepersekian detik aku hanya diam membeku.

"Angel? Harry? Kalian di mana?"

Aku berlari ke lantai atas dengan perasaan bergemuruh. Segera menyalakan shower, aku berniat membersihkan diri secepat kilat, tapi nyatanya justru aku termenung. Kakiku bergetar, begitupun dengan kedua tangan ini. Entah udara di sekitarku hilang kemana hingga aku teramat sesak. Dan perlahan aku pun membiarkan tangisanku menyatu dengan pancuran air.

Demi Tuhan, apa yang barusan kami lakukan?

-----

Satu bulan berlalu cepat. Aku kembali ke rutinitas sehari-hariku. Tak ada Harry, yang ada hanya laptop dan secangkir teh hangat di atas meja pantry. Sejak peristiwa di mana kami nyaris ketahuan bercinta, Harry seperti hilang di telan bumi. Biasanya setiap satu minggu sekali ia datang kemari. Entah sekedar berbincang dengan Harvey, ataupun mengajak kakaknya tersebut bermain golf bersama. Di setiap minggunya dalam jangka waktu dua tahun tersebut, Harry selalu menganggapku tidak ada. Ia terus mengabaikan obrolan singkatku, membuatku lama-kelamaan berhenti mengajaknya berbicara. Dan tiba-tiba di malam itu kami bercinta begitu hebat, seperti saling melepaskan kerinduan satu sama lain.

Tunggu, saling merindukan? Aku tertawa miris. Harry jelas sebatas memanfaatkan situasi untuk menggauliku. Ia hanya melepaskan hasrat seksualnya, dan kebetulan aku berada di sisinya. Kebetulannya lagi aku dengan murahannya menerima perlakuannya secara terbuka.

"Ah! Ada apa denganku?!" Teriakku frustasi.

"Sayang, kau tak apa?" Harvey? Sejak kapan ia di sini mengamatiku? Seingatku ia tengah sibuk di ruang kerjanya. Bukan hal yang aneh bila ia sering membawa berkas kantornya ke rumah. Ia kerap mengatakan bahwa menemaniku di rumah jauh lebih baik, ketimbang mengerjakan di ruang kantornya yang besar seorang diri. Dari belakang Harvey pun menjatuhkan dagunya di pundakku, sembari ia menelusuri isi microsoft word-ku yang masih kosong. "Apa kau belum menemukan ide baru?"

Aku tersenyum kikuk, mengangguk. Kau benar. Aku belum menemukan ide agar Harry bisa enyah dari otakku. Batinku berbisik seperti itu, tetapi yang keluar dari mulutku yaitu; "Kau benar. Zayn memberikan batas deadline hingga minggu ini. Dan sampai sekarang, aku belum menemukan hal yang menarik."

Faktanya demikian. Tenggat waktu penyerahan bab awal untuk novel terbaruku sudah di depan mata, namun aku belum mengetik satu baris pun. Ini rasanya tidak selancar novel pertamaku di tahun lalu. Sekarang ide-ideku tersita oleh seorang Harry Styles. Kemana sebenarnya dirinya pergi?

"Kau ingin tim penerbit baru? Aku bisa mencarikannya untukmu."

Pupil mataku melebar, tak percaya betapa entengnya ia mengatakan hal tersebut. Ku akui Harvey memang memiliki banyak koneksi. Selain karena memimpin perusahaan real estate mengharuskannya bersikap ramah, ia juga pada dasarnya menyukai berbicara. Intinya pribadi Harvey-Harry bagaikan langit dan bumi, berbeda jauh.

"Tidak perlu. Aku senang bekerjasama dengan Zayn."

Harvey tertawa manis, kemudian mencium pipiku. "Kalau begitu kau perlu merefresh pikiranmu. Kau mau jalan-jalan kemana?"

Aku mengetuk jariku ke meja. Tawarannya boleh juga. Ada banyak tempat yang berseliwer ingin ku datangi, termasuk taman hiburan yang baru resmi di buka di kawasan Manchester. Lagipula aku harus menyingkirkan Harry dari sistem otakku. Sehingga dengan itu aku bisa menghasilkan tulisan baru.

"Taman hiburan? Kau tidak keberatan?"

Harvey menggeleng. "Tentu tidak. Mengapa kau bertanya seperti itu, sayang?"

"Aku tahu kau... sibuk."

Laptopku ditutup olehnya, lantas ia menyuruhku bersiap. "Aku akan menunggumu di sini. Harry juga nampaknya sebentar lagi datang."

Harry?

Belum sempat aku bertanya, bel rumah kami terlebih dahulu berbunyi. Di saat Harvey membukakan pintu, secara refleks aku merapihkan rambutku. Lipgloss? Parfum? Gerak tanganku seketika terhenti sebelum terjatuh kesal. Mengapa sikapku ini berlebihan sekali?

Harvey dan Harry melintas melewatiku dengan raut tegang. Mereka berlalu seakan aku tidak terlihat. Pun sebuah koper turut digeret oleh Harry.

Aku berkacak pinggang di depan ruang kerja Harvey, berjalan modar-mandir menunggu pembicaraan mereka selesai. Sesekali aku pun menggigit kuku jariku. Aku tidak mampu menyingkirkan keresahanku. Apa yang telah terjadi? Apa Harry baik-baik saja?

"Angel?" Harvey memanggilku, menjadikanku menghampirinya-menghampiri mereka, Harry tepat berdiri di sampingnya. Seakan malam terlarang tidak pernah terjadi, Harry kembali bersikap dingin. Ia sama sekali enggan melihat ke arahku. Hijaunya yang kemarin dipenuhi berbagai macam perasaan, kini lenyap tak bersisa. "Bisa kita tunda dulu ke taman hiburannya?"

"Ah--ya. Tak apa. Kita bisa pergi lain waktu." Ujarku dibarengi Harvey memelukku.

"Harry memiliki sedikit masalah. Ia---" Bisikan Harvey terpotong. Aku mencium bibirnya sebagai bentuk spontanitas. Ciuman yang penuh hasrat, hingga Harvey terbawa suasana dan membalas ganas. Sejujurnya aku hanya ingin tahu bagaimana reaksi Harry.

Harry memalingkan wajahnya. Walaupun begitu ia sangat tenang, lebih dari perkiraanku. Aku berharap ia menunjukan sebersit kecemburuannya. Semudah itukah aku terlupakan? Apa malam panas itu tidak berarti apapun baginya?

"Ah, Angel."

Desahan Harvey berbanding terbalik dengan sikap Harry. Punggung Harry terlihat naik-turun. Mataku ikut turun ke bagian tangannya yang mengepal. Kepalannya kuat, ia bersiap melepaskan seluruh amarahnya detik ini juga. Aku tersenyum tipis di tengah persatuan bibirku dan Harvey. Pertahanan yang ia bangun tidak sekokoh itu rupanya. Ia cemburu, dan aku menyukainya.

"Harry, kamarmu ada tepat di depan kamar kami. Kau naiklah. Kami memiliki urusan penting yang perlu diselesaikan."

Aku membulatkan mataku mendengar kalimat Harvey. Bukan mengenai 'urusan penting' yang berarti seks, tetapi tentang 'kamarmu.'

"Apa maksudmu?" Tanyaku nyaris tanpa suara.

"Harry akan tinggal di rumah kita untuk sementara waktu. Perlakukanlah dia sebagaimana adikmu. Kau bisa?"

Penjelasan dan permintaan Harvey jelas membuat jantungku berdegup melebihi batas normal. Menetapnya Harry berarti kami bisa bertemu setiap hari, --pagi, siang, malam--, setiap detik. Itu juga berarti kemungkinan ia 'mengganguku' semakin besar, termasuk mengganggu dalam hal mengacau rumah tanggaku.

Harvey merebahkanku di sofa bersamaan dengan ia melucuti celana kami. Dari balik bulu mataku, Harry berbalik menatapku tajam ---menatap bagaimana kakaknya memasukiku. Aku mendesah tertahan sembari balas menatapnya, berharap ia di sini, di atasku dan menggantikan posisi Harvey.

Sialan, mengapa aku jadi begini?!

----

A/n:

Aku deg2an sendiri nulis buku ini...

Ayo, siapa aja yang baca In-Law? Jangan diem2 aja. Diem2 suka entar ga ku lanjut loh hehehu.

Continue Reading

You'll Also Like

301K 26.5K 51
Tidak pandai buat deskripsi. Intinya ini cerita tentang Sunoo yang punya enam abang yang jahil. Tapi care banget, apalagi kalo si adek udah kenapa-ke...
75.2K 8.2K 86
Sang rival yang selama ini ia kejar, untuk ia bawa pulang ke desa, kini benar-benar kembali.. Tapi dengan keadaan yang menyedihkan. Terkena kegagalan...
151K 11.6K 86
AREA DILUAR ASTEROID🔞🔞🔞 Didunia ini semua orang memiliki jalan berbeda-beda tergantung pelakunya, seperti jalan hidup yang di pilih pemuda 23 tahu...
YES, DADDY! By

Fanfiction

304K 1.8K 9
Tentang Ola dan Daddy Leon. Tentang hubungan mereka yang di luar batas wajar