Unlimited | BTS KookV [COMPLE...

By Yozora_MK

1.1M 100K 56.4K

Akhir-akhir ini, perang dingin--yang tak pernah jelas darimana asal-usulnya, dan bagaimana kejadiannya--antar... More

#1. Way to Hate
#2. Now On
#3. Hell Boy
#4. Boyfriend
#5. Sweet Things
#6. Wishy-Washy
#7. Allures
#9. Mannered
#10. Villain & Alliance
#11. Sweet-haired Little Guy
#12. Being Sensitive
#13. Salty Jeon
#14. Sunny Day in Sunday
#15. If You Know
#16. Heartless
#17. Written by You 🔞
#18. Black Stallion
#19. Gravity
#20. Gossip
#21. Warmth on Cold
#22. Paper Hearts
#23. Lies
#24. Chit Chat
#25. Nine To Ten
#26. Wonder
#27. Bad Person
#28. A Confession
#29. First Love
#30.a. Fragments (pt.1)
#30.b. Fragments (pt.2)
#31. Insecure
#32. Winter Child
#33. Intoxicating
#34. A Poison Called Hate
#35. Loveless
#36. A Cure Called Love
#37. Zero Inch 🔞
#38. Slice of Happiness
#39. Our Tale
#40. Always Fine
#41. Stay
#42. To Be With You
#43. Sweet Dreams
#44. You Know Nothing
#45. Hope & Fear
#46. You're The Reason
#47. Do You Hear Me?
#48. Goodbye & Good Things
#49. Across The Limits
#50. Back To You 🔞
#51. Love Heals All Wounds
#52. The Begining (LAST)

#8. That Jerk

19.8K 1.9K 719
By Yozora_MK

🌸 KookV 🌸

.

.

.

A/N :
Cerita ini hanyalah fiktif & merupakan hasil dari imajinasi fangirl dg bumbu unsur dramatis di sana sini.

. . .

CAUTION :
Terlalu menghayati cerita fiksi dapat menurunkan tingkat konsentrasi dan menimbulkan efek2 baper(?). Gejala seperti naiknya tekanan darah, euforia, cengengesan, mual2 dan hasrat ingin gampar seseorang bukan merupakan tanggung jawab author.

.

.

.

Happy Reading~ ^^

.

.

.

.

.

Eomma, aku sudah melakukan kesalahan, ya?

Tidak. Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa, Sayang.

Tapi ... gara-gara aku ...

“Dengarkan Eomma. Seseorang seperti itu akan selalu ada, dan semakin sering kau temui kelak. Jika tidak disingkirkan akan terus mengganggu. Ingat baik-baik, kalau kau sendiri yang harus mempertahankan apa yang menjadi milikmu.”

. . .

Pagi hari di musim gugur—musim yang tak begitu disukai oleh sebagian remaja SMA karena semester dua telah dimulai—tampak seorang siswi berdiri dengan gelisah di depan lobi gedung akselerasi. Kedua manik gadis itu tidak bisa tenang sejak beberapa menit belakangan dan, sejujurnya, kedua kakinya pun ingin bergerak-gerak risau juga. Sudah cukup lama dia bersabar.

Tak berapa lama seorang murid lelaki keluar dari gedung akselerasi dan menghampirinya. “Kau yang katanya ada perlu denganku?” Jungkook berdiri sambil memperhatikan wajah si gadis dari samping.

Gadis itu menoleh. “Hai, Jungkook,” sapanya. “Aku Kang Seulgi, teman sekelas Taehyung—yang waktu itu—kau ingat, kan?”

Dia siswi yang terlibat cekcok kecil dengan Taehyung kemarin. Jungkook ingat sekalipun sekarang tak menunjukkan respons sama sekali. Dia pun yakin gadis tersebut tahu sendiri jawabannya. Ditambah lagi, karena dirinya yang dipanggil, maka dia juga yakin gadis tersebut memang memiliki sesuatu untuk disampaikan. Karenanya dia diam saja menunggu.

“Itu ... aku ingin minta tolong,” Seulgi berkata, sebelum kemudian dengan agak ragu menyodorkan beberapa lembar kertas berisi soal-soal kepada Jungkook.

Jungkook tidak langsung meraihnya. Dipandanginya terlebih dulu kertas itu beberapa saat, keningnya berkerut, lalu dia menatap Seulgi meminta penjelasan. “Apa ini?”

“Ini soal-soal kimia yang waktu itu dibuang Taehyung. Aku meminta salinannya lagi pada Jung Suyeon Seonsaeng-nim,” kata Seulgi. “Bisa kau berikan pada Taehyung?”

Jungkook masih tak mengulurkan lengan dan malah melipatnya di dada, lalu mengernyit sanksi. “Kenapa aku?”

“Karena kau pacarnya.”

Mimik wajah Jungkook tak berubah setitik pun selagi menatap lekat-lekat siswi di hadapannya tersebut. Dia menginginkan sebuah penjelasan, dan pernyataan yang diberikan Seulgi barusan jelas tak menjawab pertanyaannya. Dia meminta jawaban lain.

Seulgi menarik tangannya kembali dengan kikuk karena Jungkook tak kunjung menyambut kertas-kertas yang dia ulurkan. Air mukanya seolah menyiratkan ada yang hendak dia sampaikan kepada Jungkook, tapi entah mengapa dia tak mengatakan apa-apa.

“Kalian sekelas, bukan?” desak Jungkook.

Anak perempuan itu akhirnya berkata, “Sebenarnya, aku tidak berani memberikannya sendiri.” Kepalanya sedikit tertunduk dan dia menggigit bibirnya.

“Kau bilang tidak takut dengannya?” Jungkook berkata, menjadikan kata-kata Seulgi yang beberapa hari lalu dia dengar sebagai bahan acuan.

Seulgi menjawab seketika, “Itu memang benar. Hanya saja—bukan itu ...” Kemudian, seberkas raut bimbang terekspos dari ekspresinya. Gelagatnya canggung dan suaranya agak teredam saat lamat-lamat berkata, “Aku merasa bersalah pada Taehyung.”

Jungkook kembali menautkan alisnya dan menatap dengan wajah bertanya.

“Yang waktu itu, sebenarnya salahku juga,” kata Seulgi. “Kurasa aku sedikit berlebihan padanya dan—kata-kataku memang keterlaluan.” Dia menaikkan pandangannya dan, begitu kepala dia angkat, disaksikannya Jungkook tengah menatap—heran? Mungkin bingung? Entahlah. Seulgi tidak yakin raut apa yang ditunjukkan pemuda itu.

Wajah Jungkook seakan menggambarkan ketidakpahaman dan Seulgi sungguh lebih tidak paham lagi tentang sorot mata Jungkook. Ekspresi wajah Jungkook sulit ditebak, sedangkan aura mendominasi yang amat kuat dari pemuda itu membuat Seulgi tak betah berlama-lama ditatap. Maka, buru-buru Seulgi menyodorkan kembali lembar tugas kepada Jungkook, sambil menarik-narik lengan pemuda tersebut. “Hei, ayolah. Bantu aku, ya? Aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi, Jungkook. Hanya kau yang tahu kejadiannya,” rengeknya.

“Ini bukan urusanku,” Jungkook menegaskan, tetapi Seulgi masa bodoh.

“Jangan bicara begitu. Urusan pacarmu urusanmu juga,” ujar Seulgi yang sudah tidak mau lagi memandang manik tajam Jungkook.

Mata Jungkook melebar saat dia dipaksa menerima lembaran soal milik Taehyung. “Jika merasa bersalah harusnya kau minta maaf,” dia berargumen, tapi sepertinya tak begitu diindahkan oleh Seulgi. Selanjutnya, lembar soal malah tahu-tahu sudah berada di tangannya, yang serta merta pula membuatnya mengerang frustrasi setelahnya.

“Aku tahu, aku tahu,” Seulgi menjawab, “tapi kau juga pasti tahu, harga diri Taehyung itu tingginya minta ampun. Meskipun aku minta maaf, mana mau dia mengerjakan soal-soal ini. Yang ada kami hanya akan bertengkar lagi nanti.”

Jungkook menghela napas selagi gadis di depannya menatap dengan wajah memohon serta mengatupkan tangan padanya. Alangkah merepotkan. “Jika kau yang menyuruhnya, dia pasti akan menurut,” kata Seulgi lagi, yang sebetulnya ingin sekali Jungkook sanggah.

Justru sebaliknya, jika Jungkook yang menyuruh, maka niscaya kemungkinan untuk Taehyung mengerjakannya akan semakin kecil. Bisa-bisa Taehyung malah melakukan kebalikan dari kata-kata Jungkook.

Namun Jungkook tahu ujung-ujungnya dia memang tidak punya pilihan lain. “Tapi ...” Sebelum menyanggupi, Jungkook terlebih dahulu bertanya, “Kenapa kau keras kepala seperti ini?”

Apa ini? Seulgi merasa Dejavu mendengar pertanyaan Jungkook. Kalau tidak salah Taehyung juga berkata demikian kepadanya.

“Sudah kubilang, karena aku ketua kelas,” Seulgi menjawab.

“Bukan itu maksudku,” balas Jungkook, yang kemudian membuat Seulgi mengerut bingung. Sekali lagi dia bertanya, “Taehyung itu pembuat masalah, kenapa kau tidak menyerah saja padanya? Dia gagal dalam tugas ini pun tidak akan merugikanmu.”

Seulgi mengerjap-ngerjap. “Kenapa kau berkata seperti itu? Meskipun kami tidak begitu dekat, tapi di kelas kami semua adalah teman, kau tahu,” ujarnya. “Lagipula, jika dia sampai diskors, siapa yang akan mengisi kas kelas kami? Tujuh puluh persen isi kas kami asalnya dari denda pelanggaran anak itu.”

Jungkook memutar mata jengah secara otomatis. Penjelasan dari Seulgi terlalu klise. Padahal, dia tidak bertanya seberapa banyak pelanggaran yang dilakukan Taehyung.

Pada akhirnya Jungkook menghela napas. “Aku hanya perlu memastikan anak itu mengerjakan tugas ini dengan benar, bukan?” dia bertanya sembari mengangkat lembar tugas Taehyung dan menatap Seulgi masam.

Lalu sebuah senyum berseri-seri merekah. Seulgi lantas mengangguk kelewat semangat. “Maaf merepotkan,” dia berkata sembari menepuk-nepuk lengan Jungkook dengan riang. “Sudah dulu, ya!” Sesaat selanjutnya dia berlari menuju gedung kelasnya sembari berseru, “Terima kasih, Jeon Jungkook!”

Sekali lagi Jungkook menghela napas sesudah gadis itu benar-benar tak terlihat dari pandangannya. Ketika memandang lembar-lembar soal kimia milik Taehyung di tangannya, dia kembali dirasuki perasaan kesal. Kepalanya mendadak pening sehingga akhirnya turut merasa kesal bukan hanya pada Taehyung. Dia kesal pada Kang Seulgi, pada guru kimia, pada wali kelas Taehyung dan pada pelajaran kimia sekalian. Sebab, sekarang dia jadi harus menyiasati sendiri cara agar Taehyung mau mengerjakan soal-soal tersebut.

Akan bagaimana? Membuat Taehyung menyentuh lembar tugas saja terdengar mustahil.

Mungkin Jungkook bisa membuat rencana agar Taehyung tidak sengaja mengerjakan dan menjawab semua soal-soal itu—entah jebakan atau semacamnya. Mungkin, dia bisa saja merekayasa kejadian yang terlihat seperti kebetulan, yang membuat Taehyung mau tak mau memutar otaknya untuk soal-soal itu. Atau, mungkin dia bisa juga membujuk Taehyung dengan suatu imbalan.

Tapi kedengarannya bodoh sekali itu.

Jadi Jungkook membatalkan semuanya.

Lagipula, kalaupun Taehyung sudah mengerjakan semuanya, bagaimana membuat jawaban-jawaban itu tepat? Tidak ada jaminan hasil kerja Taehyung akan berbeda dari sebelumnya, yang itu artinya tidak ada jaminan pula untuk garapan Taehyung diterima si guru Kimia.

Kecuali, Jungkook bisa mengerjakan sendiri semua soal-soal itu untuk Taehyung. Menjawab beberapa dengan tepat soal-soal yang mudah, dan menyalahkan beberapa yang sulit agar terlihat seperti Taehyung betul-betul mengerjakannya. Itu terdengar lebih mudah dilakukan.

Akan tetapi, itu juga—sialan, membuat Jungkook jadi budak Taehyung betulan. Jika begitu, namanya Jungkook sukarela melakukan pekerjaan-pekerjaan Taehyung tanpa disuruh.

Sialan sekali Taehyung.

Dan Jungkook sendiri juga sialan. Kenapa dia yang mesti repot-repot memikirkan tugas sekolah Taehyung?

Dalam logika di kepalanya, Jungkook tidak peduli meski Taehyung bakal dihukum gara-gara mengabaikan tugas dari gurunya ataupun diskors karena merusak lembar tugas dengan sengaja. Dia bukan satu dari segelintir orang di sekolah ini yang menganggap penting keberadaan Kim Taehyung, sehingga dia bisa mengabaikannya sewaktu-waktu.

Namun tentu saja, karena tidak cukup peduli terhadap Kim Taehyung, tidak sepantasnya Jungkook lepas emosi terlalu sering karena kelakuan pemuda tersebut.

. . .

Jam pelajaran pertama kelas 2-1 adalah kegiatan belajar mandiri Sosiologi. Jungkook dalam pertengahan berdiskusi dengan kelompoknya, saat tiba-tiba ponsel milik tiga orang anak di kelompoknya bergetar secara bersamaan.

“Astaga. Matikan ponsel kalian saat pelajaran!” salah seorang siswi berkomentar.

Sesaat kemudian kejadian tersebut disusul oleh getaran ponsel-ponsel milik murid yang lain. Hingga seisi kelas lambat laun menghentikan kegiatan mereka. Beberapa bertatapan dan mengernyit bingung akan momen yang bertepatan tersebut. Jungkook juga mengernyit, sementara ketua kelas mulai berkoar memperingati, “Jangan ada yang menggunakan ponsel di jam pelajaran!”

Namun siapa yang bisa berkonsentrasi di saat seperti ini, dan seorang anak perempuan—yang kelewat penasaran dan tidak begitu peduli pada pelajaran—diam-diam menggeser lockscreen. “Ada yang mengirim sesuatu di forum siswa!” ujarnya.

Sesudah itu, murid-murid saling mulai melihat satu sama lain dan ikut mengecek ponsel masing-masing. Sang ketua kelas pun berang melihatnya. “Matikan ponsel kalian!” kesal pemuda tersebut.

Sayangnya, semua sudah kepalang penasaran, mereka terang-terangan mengabaikan kata-kata si ketua kelas dan membuka situs web sekolah melalui ponsel pintar mereka. Kemudian satu persatu mereka termangu.

Jungkook juga menatap ponselnya, karena saat itu ponselnya bergetar-getar ribut dengan nomor kontak Taehyung terpampang di layarnya. Bersamaan dengan itu, dia mendengar seseorang berkata, “Ada yang masuk kelas akselerasi dengan jalur khusus? Apa maksudnya ini?”

“Ini berita kapan? Penyuapan untuk masuk kelas akselerasi. Apa ini serius?”

Jungkook menegang di tempatnya mendengar dialog tersebut. Dia terus menatap panggilan dari Taehyung di layar ponselnya dengan wajah pucat sementara bisik-bisik murid di sekelilingnya terdengar seperti hiruk pikuk. Jantungnya berdegup, tangannya nyaris bergetar dan dia lantas berdiri dari duduknya, berjalan keluar seraya menjawab telepon.

“Pagi, Jungkook,” suara riang Taehyung menyapa telinga Jungkook begitu nutup pintu kelas.

Mungkinkah...?

“Kau suka hadiah dariku?” Taehyung berkata lagi, yang langsung membuat darah Jungkook naik ke ubun-ubun. Karena , rupanya memang benar, Taehyung dalang di balik semua ini.

“Kau—bajingan,” Jungkook mengumpat tertahan. Dia berdiri di depan kaca jendela koridor dan memukulkan kepalanya pada kusen jendela, pandangannya menatap nyalang keluar—kurus ke arah gedung kelas reguler di seberang.

“Aku hanya membantumu mengingat-ingat,” kata Taehyung. “Karena sepertinya kau terlalu lengah sampai lupa. Aku sudah bilang, bukan? Kalau aku bisa menghancurkanmu kapan saja.”

Tatapan Jungkook menajam saat dilihatnya di gedung seberang Taehyung tengah berdiri di depan jendela seperti dirinya, menatap lurus ke arahnya dengan seringai. “Keparat,” Jungkook mendesis. Wajah pemuda tersebut merah padam menahan amarah, sedang Taehyung hanya mengangkat dagu penuh kemenangan.

“Berhati-hatilah dengan sikapmu,” kata Taehyung kemudian, terdengar angkuh dan diktatoris. “Lain kali, bisa saja namamu yang akan muncul.”

Saat itu pun Jungkook masih tak berkata-kata. Seakan-akan dendamnya kepada Taehyung terlalu besar dan dalam untuk dia luapkan melalui kata-kata atau perilaku. Sebagai penutup, Taehyung lantas mengulas senyum manis yang kentara sekali palsunya, lalu mengatakan, “Makan siang nanti, jangan lupa mengantre paling depan untuk pacarmu ini.”

Kemudian telepon ditutup. Senyum masih bertahan di wajah Taehyung ketika dia menurunkan ponsel dari telinga dan berbalik memasuki kelas, mengabaikan tatapan membunuh Jungkook di gedung lain. Detik-detik berlalu dan Jungkook yang masih bergeming. Genggamannya pada ponsel di tangan mengerat seakan dia memang hendak meremukkan benda tersebut dengan jemarinya. Kim Taehyung betul-betul telah menghancurkan harinya

Sesaat berselang pintu kelas dibuka dan ketua kelas menyembulkan kepala dari celah yang terbuka. “Jeon Jungkook, kalau kau tidak masuk ke kelas akan ku catat namamu!” siswa tersebut berseru.

Jungkook menoleh, tapi telah melihat pintu yang tertutup kembali. Sesudah teguran ketua kelas masuk ke kepalanya dan dicerna, barulah Jungkook memasukkan ponsel ke dalam saku dan membuntuti ketua kelasnya masuk. Dia sempat diam sesaat setelah membuka pintu, berdiri di ambang batas koridor dengan ruang kelas sembari hati-hati menyimak situasi kelas beberapa menit terakhir. Jantungnya berdebar tak tenang dan keresahan terasa kian menyeruak. Dia bersiap untuk situasi terburuk.

Ternyata tidak seperti bayangan Jungkook.

“Kenapa orang ini mengunggah berita lama?”

“Siapa pun yang melakukannya, dia benar-benar ketinggalan jaman dan kurang kerjaan. Gosip tentang Yoon Jiwon itu kan sudah jadi rahasia umum.”

“Sialan, kukira ini sesuatu yang baru.”

Jungkook mengernyit mendengar pembicaraan anak-anak perempuan di bangku belakang. Karena dia tidak melihat berita apa yang Taehyung unggah di forum murid, dia sempat mengira anak itu mengungkap tentang rahasianya—itu juga atas dasar sikap serta perkataan Taehyung beberapa saat lalu yang memancing emosinya.

Rupanya bukan. Bukan nama Jungkook yang menjadi perbincangan.

Terhitung lima kali ketua kelas berseru kepada seisi kelas untuk berhenti bergosip dan melanjutkan kegiatan belajar. Sedang Jungkook akhirnya menghampiri bangkunya dan mengambil duduk.

Momen-momen selanjutnya Jungkook gunakan untuk menenangkan dirinya. Rasa gugup dia sembunyikan rapi-rapi dan udara dia raup perlahan. Lalu setelah emosinya kembali stabil, dia berbisik pada Hong Jisoo, teman sebangkunya, “Berita apa yang barusan di-posting di forum?”

“Oh, itu. Berita tentang Yoon Jiwon,” Jisoo menjawab, “yang katanya orang tuanya menyuap wakil kepala sekolah agar dia masuk kelas akselerasi. Kejadiannya sudah lama sebenarnya, dan dia juga sudah pindah sekolah setahun lalu, tapi sepertinya masih ada saja yang membicarakannya di forum.”

Jungkook serasa mencelus mendengar penjelasan Jisoo. Seketika dia merasa lega, tapi di saat yang sama juga merasa kesal sekaligus. Sebab dia tersadar, Taehyung mempermainkannya dan memang sengaja memancing emosinya. Sementara dia tak bisa melakukan apa-apa.

. . .

“Haruskah kau melakukan sampai sejauh ini?” Jimin melemparkan pertanyaan tepat setelah bel istirahat berbunyi.

Taehyung menoleh sekilas seraya berdiri dari duduknya. “Apanya?” dia balik bertanya lalu berjalan menuju pintu.

Jimin ikut berdiri dan menyamai kecepatan Taehyung yang jangkauan kakinya lebih lebar dari miliknya. “Apa kau benar-benar harus mengancam Jungkook dengan cara seperti ini?”

“Aku tidak melakukan apa-apa, Jim,” kata Taehyung berkilah. “Lagipula aku tidak benar-benar membeberkan rahasianya, kan? Aku hanya memberinya peringatan.”

Jimin menyaksikan Taehyung tersenyum remeh dan kini itu mulai terlihat menyebalkan di matanya. Dia tidak tahu apa rahasia Jungkook yang disimpan sahabatnya tersebut, tapi untuk berbagai alasan itu membuatnya ikut resah.

“Kau tidak ada bedanya dengan Jeon Jungkook,” kritikan ini segera dibalas raut memberengut di wajah Taehyung.

“Kau menyamakanku dengannya?” rajuk Taehyung. Langkahnya berhenti di depan kelas dan dia menatap Jimin dengan tatapan sedih yang dibuat-buat.

Ini yang membuat Jimin hanya bisa berdecak dan membuang muka malas. Taehyung bisa saja menjadi lebih menyebalkan dengan bertingkah menggelikan sebentar lagi.

“Jimin, kau itu sahabatku,” kata Taehyung dengan nada sakit hati yang dilebih-lebihkan, sedangkan Jimin masa bodoh dan melanjutkan langkahnya. Alangkah sialnya, Taehyung sama sekali tak memahami kekhawatiran sahabatnya ini.

“Jim, kau di pihak siapa?” desak Taehyung selagi mengikuti langkah Jimin.

“Tidak satu pun,” Jimin menjawab acuh tak acuh.

“Tega sekali,” Taehyung meratap, sembari pula mengatur ekspresi hingga tampak demikian memelas dan memegang dada seolah-olah perkataan Jimin baru saja mematahkan hatinya.

Jimin kesal bukan main, karena Taehyung masih tidak membawa serius pembicaraan tersebut. Dia merasa dirinya tidak dihargai. Sampai kemudian dia kembali menghentikan kaki dan menatap Taehyung berang. ”Mau sampai kapan kau melakukan ini?” katanya. “Berhenti berlagak konyol sebelum kau sendiri terjebak, Kim Taehyung. Ini tidak lucu lagi.”

Terselip kemarahan dari kalimat yang diucapkan Jimin, tapi Taehyung tidak tahu apa penyebabnya.

Dan Jimin memang mengatakannya dengan sungguh-sungguh sehingga Taehyung tidak bisa membalasnya lagi. Taehyung diam, dan Jimin jadi canggung karenanya. Diamnya Taehyung serta raut terkesiap itu menyiksa Jimin meski hanya satu detik yang singkat. Jadi dia memalingkan wajah setelah itu, tidak tahu harus bereaksi seperti apa atau mengatakan apa lagi pada sahabatnya.

Jimin kembali berjalan, namun lima langkah kemudian dia mengayunkan kakinya lebih cepat—sebab tiba-tiba saja Yuta berlari lewat sambil berteriak, “Ayo balapan ke kantin!”

Seungcheol muncul belakangan, lalu ikut menyusul berlari di belakang dua anak tersebut dan menyenggol bahu Taehyung. Jadi Taehyung ikut-ikutan berlari sambil berteriak, “Hei, tunggu aku, bajingan-bajingan!”

. . .

“Aku iri sekali,” Yuta mengeluh sambil bergelayut di punggung Seungcheol.

Seungcheol yang risi menggidikkan bahu dan mendorong-dorong kepala Yuta, tapi tidak banyak membantu karena terbatasnya ruang gerak. Mereka sedang berada di tengah-tengah barisan memanjang para pelajar kelaparan, mengantre demi sepaket menu kombinasi kantin—yang katanya sesuai standar kebutuhan gizi dari pemerintah untuk pelajar SMA, dan untungnya sampai saat ini masih sesuai dengan lidah mereka.

“Kalau kau mau seperti Taehyung, cepat cari pacar,” Seungcheol menimpali. Namun sesaat lagi menambahkan, “Tapi kalau Lee Taeyong, kurasa dia tidak akan mau menggantikanmu mengantre.”

Yuta buru-buru mengangkat tangan dan membekap mulut Seungcheol sesudah kata-kata itu terucap. “Jaga bicaramu. Taeyong bisa saja ada di sekitar sini—memalukan,” bisiknya sambil melirik ke sana kemari dengan waswas.

Saat itu Jimin di belakang Yuta berkomentar, “Percaya padaku, kau tidak akan iri jika tahu bagaimana hubungan mereka yang sebenarnya.”

Sontak Yuta dan Seungcheol menoleh. “Memangnya kenapa?” keduanya bertanya bersamaan.

“Mereka sering bertengkar?” Seungcheol bertanya lagi.

Tidak ada satu pun dari dua pertanyaan tersebut yang mendapat jawaban dari Jimin. Sementara Jimin kembali memandang salah satu meja di sudut kantin yang sedari tadi menjadi topik perbincangan, tempat di mana hanya ada Taehyung dan Jungkook sedang duduk berhadapan.

Sejak beberapa menit—yang lama—sebelumnya, Jungkook memang sudah menunggu Taehyung dengan dua nampan di depannya. Satu miliknya dan satu lagi untuk pacarnya.

Taehyung dan teman satu gengnya beranggapan Jungkook mengantre paling awal sehingga bisa mendapatkan dua nampan sekaligus dalam waktu secepat itu, tapi sebenarnya tidak begitu yang terjadi. Kedua nampan itu Jungkook dapat dari para penggemarnya—sekumpulan anak perempuan yang sejak dulu menggilainya dan selalu tersenyum sambil tersipu-sipu tiap kali berpapasan dengannya—yang selalu memberinya berbagai hadiah tiap kelas berakhir. Meskipun Jungkook sudah mengabaikan mereka, menolak tiap ajakan untuk berkencan, atau bahkan membuang semua hadiah yang mereka berikan dan melayangkan protes, mereka tetap melakukannya.

Dan hari ini, saat disodori nampan makan siang oleh pemujanya, Jungkook tidak menolak seperti biasanya. Pada saat ini hal tersebut merupakan suatu keberuntungan. Jungkook menerimanya dan bahkan berterima kasih pada mereka, yang tentu saja membuat anak-anak perempuan itu kegirangan. Dia acuh tak acuh sekalipun selanjutnya nampan tersebut dia berikan kepada Taehyung. Toh, semua tahu dia kekasih Kim Taehyung. Toh, akhirnya dia benar-benar menerima pemberian penggemarnya.

Dan, toh, Jungkook tidak akan memberitahu tentang hal ini kepada Taehyung.

Ketika Taehyung duduk menghampiri makan siangnya, sebetulnya Jungkook hendak membawa nampannya pindah tempat duduk. Namun, Taehyung mencegahnya dengan mengatakan, “Kau mau anak-anak menggosipkan kita sedang bertengkar? Duduk dan makan denganku di sini. Aku tidak mau dibicarakan karena menjadikanmu budak.”

Jadi Jungkook duduk kembali di tempatnya sambil membalas dengan bisikan tajam sarkastis, “Bukannya itu memang benar?”

“Karena itulah.” Taehyung tersenyum lebar. “Biarkan itu menjadi rahasia kita berdua saja,” ujarnya tak berdosa. Dia lupa bahwa satu orang lagi juga tahu tentang rahasia mereka. Sedangkan Jungkook mana tahu tahu jika Park Jimin juga mengetahuinya. Bagaimanapun, ini memang seharunya menjadi rahasia antara dirinya dan Kim Taehyung saja.

Kadang Jungkook bertanya-tanya, apa yang terjadi selama tujuh belas tahun ini, sampai laki-laki semanis Taehyung bisa tumbuh menjadi berandal sialan yang ugal-ugalan dan tak tahu aturan seperti ini? Memang, dia tidak membantah wajah Taehyung manis bila diperhatikan baik-baik, tapi percuma bila wajah rupawan itu ditutupi oleh kelakuan yang buruk.

Tak lama berselang, Jimin, Yuta dan Seungcheol pun turut mengisi bangku tersebut. Mereka mengusir Jungkook untuk pindah tempat duduk ke sebelah Taehyung, sementara ketiganya lantas mengambil duduk di depan dua pemuda tersebut. Seketika itulah Jungkook kehilangan selera makannya. Dia malas duduk bersanding dengan Kim Taehyung serta dikelilingi orang-orang yang—menurutnya—tidak mencapai standar pergaulannya. Jadi dia berdiri seketika.

Namun lagi-lagi Jungkook dicegah saat hendak beranjak. Kali ini Nakamoto Yuta yang melompat ke arahnya.

“Hei, mau kemana kau?” tanya Yuta sok akrab, sambil merangkul Jungkook dan mendudukkannya kembali. “Santai saja, Man. Kami bukannya mau merebut perhatian Taehyung darimu, jadi tenang saja. Tidak usah cemburu dan merajuk seperti itu,” candanya.

Akan tetapi Jungkook melirik tajam Yuta, lalu mendesis, “Menyingkir dariku.”

Yuta kontan mengangkat kedua tangannya. “Oke, oke. Tidak ada kekerasan,” sepakatnya setelah merasa dibombardir oleh Jungkook.

“Kalian sedang bertengkar?” Seungcheol meneliti raut di wajah Taehyung dan Jungkook satu-satu. Baru tersadar jika Jungkook kelihatannya tengah benar-benar kesal, sementara dua orang tersebut terkesan saling mengabaikan.

Taehyung tanpa menatap lantas menimpali, “Dia memang seperti itu. Abaikan saja.” Dengan santai dia tetap melanjutkan kegiatan makannya.

Maka Jungkook kemudian menoleh kepada Taehyung. “Hei, ini tidak nyaman, kau tahu,” ucapnya geram, yang sama sekali tidak diambil pusing oleh Taehyung.

“Salahmu sendiri. Aku sudah bilang, anak-anak akan membicarakan ini.”

“Apa kau memang selalu memuakkan seperti ini?”

“Hei, Jeon Jungkook!”

Yuta diam-diam beringsut kembali ke seberang meja saat frekuensi suara Taehyung menanjak, mencari perlindungan dengan duduk menyusup di antara Jimin dan Seungcheol. Dia tidak mau ikut panas di sekitar dua sejoli itu.

Di saat yang sama Taehyung mendengus dan meletakkan sumpitnya seraya menatap Jungkook sebal. “Jangan buat aku terus-terusan mengataimu, Brengsek.”

“Apa itu salahku kalau kau memang punya kebiasaan buruk?” Jungkook membalas spontan.

“Sialan kau.”

“Oi! Oi!” perdebatan tersebut ditengahi oleh Seungcheol. Karena suasana jadi rusak gara-gara adu mulut singkat Jungkook dan Taehyung. Bahkan tiga anak di satu sisi tersebut sampai segan rasanya untuk menghabiskan nasi. “Jangan bertengkar di sini, semua jadi melihat ke sini,” Seungcheol mengingatkan dengan setengah berbisik.

Untungnya, di sana ada Yuta yang tak pernah kehabisan ide. “Ya ampun, kalian berdua ini.” Dia cepat-cepat mendekatkan nampan Jungkook dan Taehyung pada pemilik masing-masing, lalu berkata, “Ini. Makan yang banyak, lalu setelah itu berbaikan, oke? Kalian pasti sensitif hanya karena lapar—jadi ayo, cepat makan! Tidak baik sering-sering bertengkar dengan pacar.”

Berkat itu, Taehyung dan Jungkook akhirnya berhenti beradu mulut , meski keduanya masih sama-sama mendengus sebelum mulai mengangkat sumpit masing-masing. Sejenak, situasi kembali kondusif.

Beberapa saat berikutnya, Yuta sudah kembali mencairkan suasana dengan melempar lelucon di meja kantin., berkoar tentang ini itu sambil sesekali mengacungkan sumpitnya. Bahkan juga menyeret obrolan anak-anak di meja sebelah, yang seperti biasa lambat laun menuai tawa para penghuni kantin. Pemuda yang satu itu begitu sukanya menjadi pusat perhatian, dan sepertinya memang tidak tahan dengan suasana yang membosankan.

Pada hari-hari biasanya, Taehyung terkadang melibatkan diri menjadi partner Yuta dalam membuat keributan di kantin. Namun, sekarang dia hanya tertawa-tawa kecil di tempatnya. Sementara tawa membahana di mana-mana, satu orang di sebelah Taehyung masih sama sekali tak menikmati situasi.

Belakangan Taehyung tanpa sengaja menoleh, dan ketika melihat wajah kaku Jungkook tawanya perlahan berubah masam. “Jungkook,” Taehyung berbicara saat tidak ada yang menghiraukan mereka berdua. “Bisakah kau sedikit jaga sikapmu saat berbicara dengan kami?”

“Apa peduliku?” Jungkook membalas tanpa segan-segan.

“Tidakkah kau pernah berpikir? Kau selalu meninggikan dirimu, tapi sopan santunmu benar-benar rendah dan sikapmu seperti tak terdidik.”

“Kau menasihatiku sekarang?” Jungkook menarik senyum miring dan menoleh sinis. “Sopan santun ditunjukkan untuk orang yang dihormati. Apa kalian terlihat seperti orang-orang yang pantas kuhormati?”

Taehyung memejamkan mata sejenak lalu berucap, “Pribadimu buruk sekali. Setidaknya sampah-sampah ini tahu etika menghormati orang yang lebih tua.”

“Seperti Kim Namjoon?” Jungkook menyahut cepat. “Bang Yong-guk? Kang Dongho?”

Nama-nama yang disebutkan Jungkook adalah sebagian kecil anak kelas dua belas yang pernah terlibat perkelahian heboh dengan Taehyung, juga termasuk golongan dari sejuta manusia yang pernah menerima sumpah serapah Kim Taehyun.

Namun, tentu saja, “Itu pengecualian,” Taehyung membalas. “Lau bisa mengataiku apa saja, tapi setidaknya panggil mereka panggilan yang layak. Hyung atau paling tidak sunbae.” Taehyung menunjuk tiga teman di depannya dengan dagu.

Jungkook sesaat memutar badannya menghadap Taehyung. Sambil menumpukan siku ke meja dia berkata, “Beri aku alasan.”

Senyum Jungkook arogan dan nyata-nyata meremehkan. Satu yang tidak pernah Taehyung sukai. Dengan dongkol Taehyung pun memukulkan telapak tangannya ke tepi meja. “Kau lahir setahun lebih lambat, Nak,” tukasnya.

“Kalau begitu kau yang lebih tua harusnya memberikan contoh yang baik, Hyung-nim,” kata Jungkook dengan memberi penekanan di akhir.

Taehyung menghela napas jenuh. Menghadapi Jeon Jungkook serasa mendebat anak kecil, selalu ada saja jawaban dan bagaimana pun selalu terdengar benar. Atau, jangan-jangan dia sedang berdebat dengan wanita?

Seperti Taehyung yang puas hanya dengan membuat emosi Jungkook meledak, Jungkook pun sama senangnya memancing emosi Taehyung. Dia menikmati saat-saat tiap kali Taehyung memicingkan mata dan menatap dengan percikan-percikan kekesalan di sinar karamelnya. Jadi saat Taehyung menyelipkan isyarat mengancam di kata-kata, “Sepertinya aku memang harus banyak-banyak mengajarimu,” —Jungkook justru mengulas senyum.

Tidak. Itu sebuah seringai. “Aku menunggunya—Hyung-nim,” tantang Jungkook.

“Oh, lihat ini,” mendadak suara lain memasuki dialog mereka.

Taehyung dan Jungkook menoleh, lalu langsung saja disambut senyum lebar Yuta. Bukan hanya itu, tapi juga Seungcheol dan Jimin, bahkan seluruh anak-anak di kantin. Mereka semua melihat ke arah Jungkook dan Taehyung, lagi-lagi.

“Kalian sudah berdamai?” goda Yuta.

Taehyung tertawa hambar, sementara Jungkook melengos malas sebab tahu akan direcoki habis-habisan.

“Ya ampun, sulit dipercaya. Kalian benar-benar sedang kasmaran, ya?” kata Seungcheol.

Yuta menyahut lagi. “Sebentar bertengkar, sebentar bermesraan. Aku jadi iri.”

“Kapan kau tidak iri pada orang lain?” Itu bukan pertanyaan skeptis. Jimin bercelatuk dengan pelan namun masih cukup terdengar.

“Kuberi saran, sebaiknya jangan terlalu mengumbar hubungan kalian di tempat ramai,” Seungcheol berkata, yang praktis mendapat tatapan tak terima dari Jungkook dan Taehyung.

Sepasang kekasih itu bukan memprotes larangan Seungcheol. Mereka sedang protes karena merasa dituduh melakukan sesuatu yang tidak mereka perbuat. Seungcheol itu tidak tahu apa-apa, sebab—sungguh, demi Tuhan, mereka tidak bermesraan.

Tentu Seungcheol bukan cenayang yang bisa membaca isi pikiran orang lain. Dia salah kaprah akan tatapan dua pemuda tersebut. “Jangan menatapku seperti itu!” katanya. “Aku hanya mengingatkan, kalian itu sama-sama populer.”

“Dengar itu baik-baik!” Jimin yang sedari tadi menahan diri untuk tidak mengomentari akhirnya ikut membuka suara, meski hanya satu kalimat tersebut.

“Astaga, ini tidak seperti itu,” jelas Taehyung.

“Aku mengerti kalian tidak melakukan kesalahan,” kata Seungcheol, “tapi jangan lupa—Taehyung, musuhmu itu banyak dan—Jungkook, anak perempuan yang tergila-gila padamu itu tak terhitung jumlahnya.”

“Jadi intinya?” Yuta berlagak lugu.

“Ini medan perang,” Jimin menyahut gamblang.

Seungcheol pun menjentikkan jarinya sebagai tanda bahwa dia seratus persen setuju. “Jadi mulai sekarang sembunyikan kemesraan kalian,” dia memberikan saran.

Sejenak Taehyung dan Jungkook saling melirik dengan kening mengernyit. Satu pertanyaan terbesit di benak keduanya, apa benar sepert  itu yang terlihat?

Jungkook dan Taehyung meragukan ucapan Seungcheol. Karena, sekali lagi, mereka tidak bermesraan. Sekedar tidak habis pikir, bagaimana bisa anak-anak memandang mereka sambil memikirkan betapa mesranya hubungan mereka, sedang interaksi keduanya benar-benar jauh dari kata damai dan tidak pernah akur sama sekali?

“Hei, apa biasanya kalian juga seperti ini jika sedang berdua saja?” dihinggapi rasa penasaran, Yuta yang memang selalu ingin tahu mendadak bertanya. Dia menatap dua insan di depannya dengan pandangan yang berbinar.

Taehyung memicingkan mata curiga lalu balik bertanya, “Seperti apa maksudmu?”

“Menjadi romantis begini,” Yuta memainkan alisnya naik turun sembari tersenyum aneh, dan langsung mendapat pukulan dari Jimin dan Seungcheol sekaligus.

Sedangkan Jungkook dan Taehyung menahan hasrat untuk melempar nampan ke kepala Yuta. Romantis?

“Dasar gila,” Seungcheol mencerca, disusul pula oleh Jimin.

“Apa mereka terlihat romantis di matamu?”

“Romantis apanya?” gerutu Taehyung.

“Aku serius,” koar Yuta. “Siapa yang tahu apa saja yang mereka lakukan saat tidak ada siapa-siapa.”

“Oi!” sergah Taehyung jengkel, sedang Seungcheol mengatai Yuta dengan sebutan bocah udik.

“Singkirkan otak mesummu, Sialan!” kata Taehyung sambil menggerakkan tungkainya menendang kaki Yuta di bawah meja.

Yuta mengelak sambil berkilah, “Aku tidak bicara ke arah sana, kan?”

“Kau percaya mereka bisa lebih mesra dari ini?” kata Jimin.

“Itu benar,” sahut Seungcheol. “Aku bertaruh mereka bahkan belum pernah berciuman.”

”Halo! Yang kalian bicarakan ada di depan sini,” Taehyung berseru sembari menghentakkan kaki dan memukul-mukul meja.

Di lain sisi Jungkook yamg tak tahan akhirnya angkat kaki. “Aku pergi,” putusnya final.

Seperti yang sebelumnya, Yuta buru-buru beranjak mengejar dan membawa Jungkook kembali. “Jangan kemana-mana dulu,” bujuk Yuta setelah Jungkook dia dudukkan lagi di sebelah Taehyung. “Hei, serius, aku benar-benar penasaran—kalian belum berciuman?”

Taehyung dan Jungkook yang diinterogasi memutar mata sebal mendengar pertanyaan dari Yuta.

“Astaga—hei, siapa yang memulai pembicaraan ini?” sebuah protes dilayangkan Taehyung.

Akan tetapi Yuta terlanjur penasaran setengah mati. “Ayolah, satu kali pun? Walau hanya kecupan—tidak pernah?”

“Itu bukan urusanmu,” kali ini Jungkook yang berbicara. Dia melipat tangannya di dada dan menatap Yuta nyalang.

“Dengar sendiri?” timpal Taehyung. “Jangan campuri urusan kami!”

Yuta hendak merengek lagi, tapi Jimin lebih dulu menanggapi, “Taehyung tidak akan mencium Jungkook—dia tidak tahu caranya.”

Ungkapan Jimin membuat tiap pasang mata yang ada di meja tersebut melebar tak percaya, bahkan Jungkook. Lebih-lebih Taehyung, yang terbelalak selebar-lebarnya dengan wajah memerah sembari membentak, “Park Jimin, tutup mulutmu!”

Yuta menatap Taehyung sambil menutupi mulutnya yang menganga. “Brengsek—serius?” tanyanya mencari klarifikasi.

Seungcheol ikut bertanya, “Kau baru pertama kali ini berpacaran?”

Alhasil Taehyung semakin malu dibuatnya. Dia yang dongkol menendang sepatu Jimin diam-diam, “Apa-apaan kau?”

“Apa? Aku benar, kan?” Jimin menjawab tanpa sedikit pun rasa bersalah atau menyesal.

Taehyung mendesis geram, “Memang kenapa kalau aku belum pernah pacaran?”

Dalam hati Jungkook menertawakan kata-kata Taehyung. “Dasar payah,” dia meledek dengan suara pelan, tapi masih dia buat agar ditangkap dengan jelas oleh telinga Taehyung.

Taehyung semakin kesal mendengarnya. “Kau ikut-ikutan juga?” tudingnya, tapi Jungkook hanya mencebik dan mengangkat bahunya.

“Wah, sialan. Kalau begitu Jungkook yang akan mendapatkan ciuman pertamamu,” kata Yuta yang lagi-lagi mendengki.

“Aku tidak berminat mencium seorang amatiran,” Jungkook menjawab segera, lalu buru-buru meringis dan berpaling saat Taehyung menepuk keningnya. Nada bicara Jungkook apatis, tapi Taehyung tersinggung juga karenanya.

“Akui saja, kau payah dalam segala hal,” ujar Jungkook.

“Kau mau kuhajar?” Taehyung mengecam sekalipun tahu bahwa dirinya sudah kalah bertempur.

Yuta justru antusias berkomentar, “Oh, kau ahli soal yang satu itu—iya, hanya itu.”

Taehyung benci diolok-olok. Meskipun teman-temannya sendiri yang melempar ejekan, tapi Jungkook ada di sana. Jungkook juga mengejek tepat di wajahnya, dan itu membuatnya merasa direndahkan. Seakan-akan dia selalu kalah di depan laki-laki itu.

Maka dengan sorot menantang Taehyung lantas membusungkan dadanya. “Mau kutunjukkan siapa yang paling payah?” Nada bicaranya liar dan beringas seperti biasa, dan dia memang tanpa ragu-ragu menggeser tubuhnya mendekati Jungkook.

Namun sesungguhnya, Taehyung tidak sadar apa yang sedang dilakukannya.

“Apa yang kau lakukan?” Jungkook melotot.

“Hei, hei! Kau mau apa? Kim Taehyung!” sergah Seungcheol menyusul.

Taehyung semakin merapat dengan Jungkook. Sementara tiga anak di sisi lain meja mulai panik, Jungkook sedikit-sedikit menarik dirinya mundur dari Taehyung. Seungcheol, Yuta dan Jimin ribut-ribut meneriaki untuk berhenti, tapi Taehyung tidak menghiraukan siapa pun dan malah menyergap. Sasarannya bibir tipis Jungkook.

Sial sekali. Jungkook sempat memalingkan wajah, maka yang terjadi serangan sembrono Taehyung tidak menghasilkan apa-apa kecuali benturan di mulut mereka. Gigi mereka saling bertabrakan dan, mungkin saja, salah satu dari mereka terluka. Tidak ada yang lebih memalukan dari itu.

Jungkook dan Taehyung seketika meringis lalu beringsut, sementara tiga anak di seberang menatap prihatin. Tontonan yang mengecewakan.

“Lebih parah dari dugaanku,” Seungcheol berkomentar setelah menghela napas.

Disusul Yuta yang mengatakan, “Benar-benar payah. Mengecewakan. Bahkan Jungkook sepertinya juga tidak berpengalaman.”

Lalu Jimin, “Sudah kubilang, kan?”

Jungkook menatap tak terima. Dia tidak percaya dirinya ikut-ikutan diremehkan gara-gara kebodohan Taehyung. Sialan. Benar-benar sialan.

Dan Taehyung justru lebih frustrasi lagi.

Sejujurnya, Jungkook bukannya tidak berpengalaman dalam hal berciuman. Dia pernah berciuman. Bahkan ciuman pertamanya saat dirinya duduk di bangku sekolah dasar, dengan seorang anak perempuan yang berada dua tingkat di atasnya. Dia juga pernah berciuman dengan seorang anak laki-laki di tempat lesnya saat masih di tahun pertama SMP.

Jungkook tidak akan menyebutkan semua karena itu memang tidak perlu. Lagipula, itu semua ciuman tanpa perasaan. Akan tetapi bukan berarti dia bisa mencium dan berciuman dengan siapa saja. Menerima ciuman paksa dari Kim Taehyung sama seperti menggenggamkan harga dirinya ke tangan pemuda itu.

Maka dari itu, saat Taehyung menarik seragam Jungkook, meraup bibir tipis itu untuk yang kedua kali tanpa permisi dan menggigitnya, Jungkook berpikir—tidak.

Jungkook tahu, Taehyung tidak memikirkan tindakannya lebih dulu waktu itu. Dia tahu bahwa Taehyung sendiri juga tahu akan hal tersebut, tapi Taehyung tidak peduli—apa pentingnya? Taehyung melakukannya semata-mata karena dirinya adalah 'Kim Taehyung'.

Walau begitu, Jungkook tetap menggaet lengan Taehyung. Tidak mungkin dia membiarkan pemuda tersebut menjadi yang berkuasa. Jadi, dia segera membalas pagutan tanpa pertimbangan lebih. Dia mengukuh Taehyung secepat lidahnya melesak di antara cela bibir si pemuda dan membalikkan keadaan. Sesaat berikutnya sebelah tangan Jungkook ikut terangkat dan menekan tengkuk Taehyung lebih dalam. Dia melumat habis bibir Taehyung, menjilat lidah Taehyung dan merasakan tiap deret gigi Taehyung. Pemuda itu dimangsa tanpa ampun.

Jungkook sendiri sedang tidak peduli, meski yang dia lakukan kini bisa saja membuatnya mendapat detensi karena sudah berbuat mesum di sekolah. Dalam hati dia hanya berharap, semoga tidak ada yang melaporkan perbuatannya ini kepada para guru.

Ketika seluruh penghuni kantin terperangah dan melongo, Taehyung justru dalam pertengahan berperang dan berusaha mati-matian mengimbangi serangan Jungkook. Tidak pernah dia mengira Jungkook akan selihai ini. Dia salah. Ini kesalahan dan ini sungguh-sungguh di luar skenarionya.

Jungkook membuat Taehyung benar-benar kepayahan dan tak berdaya hanya dengan sebuah ciuman panas. Kedua tangan Taehyung yang tadinya penuh percaya diri mencengkeram seragam Jungkook, kini gelagapan mencari pegangan di dada pemuda tersebut dan tahu-tahu sudah membuat seragamnya kusut.

Tidak ada yang mengeluarkan suara di antara murid-murid yang lain, tapi juga tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian. Mereka semua melebarkan mata sampai nyaris tidak berkedip.

Hingga satu suara lirih membuat mereka semakin terperanjat dan menahan napas.

“Aahhh...” Taehyung mendesah di bibir Jungkook, begitu sensual dan menggemaskan.

Ciuman nan panas terhenti seketika. Jungkook menghentikan aksi lumat-melumatnya dan Taehyung berhenti meremas seragam Jungkook. Keduanya berantakan dan terbelalak.

Barusan itu—apa? Gugat Jungkook sesudah suara Taehyung dia putar kembali di kepalanya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia tidak tahu harus bagaimana jika sudah begini.

Sementara itu, wajah Taehyung yang sudah merona semakin bertambah merah lagi. Seluruh penghuni kantin menatap tak percaya ke arah mereka.

Keheningan sejenak sesudah ciuman panas itu berakhir, dipecahkan oleh sumpah serapah Taehyung dan tendangan kerasnya. “Jeon Jungkook bangsat! Keparat!”

Jungkook yang terjengkang panik bukan kepalang. “Hei, hei—tunggu! Itu bukan salahku!” terkapah-kapah dia bangkit berdiri sembari mengambil ancang-ancang mundur.

Sedetik kemudian, Taehyung murka dan sudah berderap mengejar Jungkook yang lari tunggang langgang di lapangan sepakbola. “Kubunuh kau, Jeon Jungkook!” raung Taehyung di kejauhan.

Sementara di kantin, anak-anak masih tampak tak percaya dengan apa barusan mereka saksikan.

“Hei, kau merekamnya?” salah seorang siswa bertanya pada Lisa yang memegangi ponsel di atas meja.

Anak-anak serentak menoleh ke arah Lisa, lalu cepat-cepat mengerumuni siswi tersebut. Bahkan Seungcheol, Yuta dan Jimin pun tak ketinggalan berpindah meja.

“Astaga, aku pasti sudah gila,” Jimin menggumam sendiri.

Seungcheol menamatkan baik-baik dengan kedua mata bulatnya video ciuman Jungkook dan Taehyung di ponsel Lisa, lalu berkata, “Aku tidak percaya ... aku baru saja melihat secara langsung, Kim Taehyung kita ini, anak paling ditakuti di kelas sebelas, sedang ... astaga—bagaimana bisa dia jadi erotis begitu?” Lalu Seungcheol menepuk-nepuk pipinya sendiri. “Aduh, sial. Pikiranku jadi kemana-mana,”—padahal mereka cuma berciuman.

“Ya ampun, Jungkook seksi sekali,” tiba-tiba Lisa menjadi salah satu pengagum Jungkook sejak hari itu.

Di satu sudut, Yuta si biang kegaduhan malah tidak bisa berkata-kata. Otak Yuta yang pada dasarnya mudah sekali terpancing sudah menjalar liar sejak beberapa menit belakangan. Dia tengah berusaha menghilangkan bayangan-bayangan mesum dalam kepalanya karena, sepertinya, malam ini dia bisa saja memimpikan fantasi liar tentang Kim Taehyung—dan sial, itu benar-benar membuatnya merinding.

Mereka anak-anak SMA yang gila. Mereka sekelompok remaja gila-gilaan yang berada di dunia orang-orang gila, sedangkan Jungkook dan Taehyung adalah yang tergila di antara semuanya.

Kejadian di kantin menjadi perbincangan heboh para murid, terutama momen langka ketika di hadapan banyak anak Jungkook berhasil membuat desahan keluar dari mulut Taehyung. Namun, ada yang dengan sungguh-sungguh—dari dasar lubuk hati terdalam—membenci peristiwa tersebut, lebih dari Jeon Jungkook dan Kim Taehyung.

“Ini tidak adil. Kenapa anak nakal seperti dia yang mendapatkan Jeon Jungkook? Dia hanya akan merusak Jungkook.”

.

.

.

_TBC_

Terima kasih banyak buat kalian yg udah mampir & baca book ini sampe sini~ 💜

💃

Continue Reading

You'll Also Like

32.4K 4.3K 22
[minichapter] Kim Namjoon bertemu dengannya di perpustakaan, bersama kerlingan oniks yang menggoda. ▪Namkook ▪Romance|Drama ▪Shounen-ai
3.2K 243 34
memelihara seekor kucing yang bisa berubah menjadi wujud manusia??
103K 12.6K 14
Sejarah yang sengaja dihapus dan kutukan yang tak lekang oleh waktu. Apa jadinya ketika Taehyung tidak sengaja menemukan mummi yang terkutuk? KookV
378K 22.9K 22
🔞 BxB area!! Violance, gore, bdsm. ⚠️ Mpreg. Ukenya bisa hamil. Hanya satu hal yang Kim Taehyung inginkan, hidup bahagia bersama ibu tercinta. Namu...