Outcast [COMPLETED]

By itsmeRise

87.7K 8.8K 1.1K

#12 In Vampire [14-06-2018] "Candice. Can dalam Bahasa Inggris artinya Bisa. Dice dalam bahasa Yunani mempuny... More

[Satu] Rasanya asin
[Tiga] Punya Nama
[Empat] Aku hidup, Kamu hidup
[Lima] Can, Please
[Enam] Yang Berharga
[tujuh] Pertemuan Tak Terduga
Introduce
[Delapan] You, Can or Me, Can?
[Sembilan] Debaran Jantung
[Sepuluh] Menjadi Pertanyaan.
[Sebelas] Delete
[Dua Belas] ENDING ~MONICA
Epilog [Bonus Part]

[Dua] Kamu siapa.

7.7K 762 84
By itsmeRise

Pintu kaca yang tadinya tertutup rapat terdorong kebelakang. Terhempas kembali seperti semula begitu langkah kaki sudah masuk kedalam. Mulutnya tidak berhenti bergerak. Mengunyah permen karet yang rasanya sudah menghilang. Dengan gaya berjalan seorang model, kaca mata hitam bertengger di hidung mancungnya. Lelaki itu mengangkat satu tangan ketika melewati counter perawat dengan berakhir semua perawat itu menjerit histeris.

Bibirnya tersenyum miring. Di persimpangan koridor, ia memutar tubuhnya ke kanan ala Michael Jackson dengan kedua tangan terangkat ke atas. Ia kembali berjalan dan menghampiri counter perawatan ICU sembari melepas kacamatanya.

"Pagi, Dokter," Sapa empat orang perawat yang langsung berdiri menyambutnya.

Ia hanya menganggakuk sekali. "Pasien saya?" Tanyanya memasukkan kacamata ke saku bajunya. "Ada perkembangan? Eh, saya visit dulu, deh,"

Lelaki itu melepaskan tasnya dan menggunakan jas kebanggaan miliknya. Empat perawat mengikutinya dari belakang. Memasuki satu per satu ruangan untuk memeriksa keadaan pasien.

"Ini nadinya udah cepet banget,"

"Iya Dok, tensi terakhir udah hampir tiga ratus,"

"Observasi, tolong,"

"Oke dok,"

Berjalan menuju ruangan lainnya. Lelaki itu membuka gorden hingga kamar yang tadinya kurang pencahayaan menjadi lebih terang.

"Udah transfusi yang keberapa?"

"Ketujuh sama yang ini," Perawat itu menjawab. "HB sepuluh, Trombosit normal. Hasil laboratorium udah ada,"

"Hasilnya?" Ia mengambil selembar kertas yang diberikan perawat. Membacanya sekilas lalu mengembalikannya. Lelaki itu mengangguk. Menatap punggung pasien yang membelakanginya. "Mau makan nggak?"

"Nasi kemarin gak dimakan, Dok,"

"Pasang NGT aja kalau gitu,"

Pasien tersebut berbalik cepat. "Tai, lo," Keempat perawat itu tertawa. "Dokternya bisa ganti, gak? Ini adalah alasan kenapa saya gak sembuh-sembuh,"

"Kalau begitu kami permisi dulu,"

"Status pasien tolong bawa ke sini semua. Saya isi di sini saja,"

"Oke, Dok."

Keempat perawat meninggalkan keduanya. Dokter yang bernama Evos langsung menarik satu kursi dan duduk menghadap Brayn yang saat ini menjadi pasiennya.

"Jadi, lo masih gak mau ceritain kronologinya? Ayolah, Bray. Hidup itu harus berbagi, bukan makanan doang yang harus dibagi,"

Brayn mengganjal belakang tubuhnya dengan bantal, posisi menyandar yang nyaman. "Gue udah ceritain semuanya,"

"Cerita lo ngelantur. Lo habis minum oplosan kan?" tuduhnya.

"Tai." Evos tertawa. "Kapan gue pernah ngibulin lo?"

"Kalau emang lo digigit sama kuntilanak, mana buktinya? Leher lo gak ada luka sedikitpun,"

"Jadi maksud lo, darah gue keluar sendiri dari tubuh gue? Gitu? Nais banget lo," Brayn menunjukkan telapak kakinya dihadapan Evos

"Ya buktinya gak ada, Bray." Evos menepis kaki Brayn. "Tubuh lo gak ada luka sama sekali. Darimana hilangnya semua darah dalam tubuh lo? Udah tujuh kantung darah yang masuk, lo sekarat dua hari. Kalau aja Xalio telat bawa lo, mati lo. Sono samperin awewe lo," Keduanya menoleh ke pintu masuk. "Bawa sini," Tumpukan map warna-warni sudah berada di hadapan Evos. "Rencananya emang mau masuk rumah sakit. Mau jadi dokter. Eh, malah jadi pasiennya," Evos tertawa geli. "Makanya jangan durhaka sama orang tua,"

Brayn hanya mendecih pelan.

"Lo gak pernah lihat Xal takut, kan?" Brayn mengangkat satu alisnya. Evos melanjutkan menulisnya dan tetap berbicara. "Dia marahin semua dokter, termasuk gue yang lagi jaga di IGD malam itu,"

"Xal?"

Evos mengangguk. Mengangkat wajahnya menatap Brayn. "Dia ngamuk waktu lihat lo kritis. Sumpah gue ngeri sendiri lihatnya. Adek lo yang kalem, diem, irit ngomong kayak gitu kalau marah serem anjir," Evos bergidik ngeri. "Xalio kalut banget. Waktu gue bilang lo kritis dan butuh darah, Xalio langsung hubungin semua teman-temannya, karna darah dia gak cocok sama lo,"

Brayn mendengarkan.

"Malem itu kita dapat dua kantung darah. Kondisi lo tetap kritis. Entah darimana keajaiban lo masih bisa bertahan, suhu tubuh lo di bawah normal. Malam itu gue udah ngira lo gak bakalan lama,"

"Emang dasarnya lo mau gue mati,"

"Nggak, Bray. Serius, tubuh lo udah biru semua, badan lo dingin kayak mayat."

"Xalio kenapa bisa ada ditempat kejadian?"

Evos mengedikkan bahunya. "Kata Xal, Nyokap lo punya firasat buruk. Dia dipaksa sama Nyokap lo buat lihat keadaan lo. Dan ternyata bener, anaknya lagi menantang maut."

Brayn mengangguk pelan. Ia tidak sempat bertemu Xalio karna Evos bilang adiknya itu sudah kembali ke kota begitu Brayn sudah siuman.

Kejadiannya begitu cepat. Brayn tidak bisa mengingat kejadian detail apa yang ia alami. Yang ia ingat, malam itu dirinya tertidur, kesulitan bernapas, dan ada yang menindih tubuhnya membuatnya tidak bisa bergerak. Semuanya berwarna hitam, sakit yang menjalar di sekitar lehernya.

Brayn menghembuskan napasnya pelan. Evos telah pergi lima belas menit yang lalu. Menatap tetesan darah yang masuk melalui selang infus dan masuk ketubuhnya tinggal sedikit lagi. Begitu ia yakin jika kantung darah sudah hampir habis, Brayn menekan tombol di samping kepalanya, dua orang perawat langsung menghampiri dan menggantinya cairan biasa.

Diraba leher sebelah kanannya. Sesosok tubuh langsing, bibir merah, wajah pucat, rambut panjang dan mata berwarna biru menyala. Perempuan itu yang sudah Membuat Brayn seperti ini.

Brayn menggeleng. Ia mengambil handphone miliknya yang diletakkan dibawah bantal. Menunggu panggilan telponnya diangkat oleh seseorang. Matanya melayang kesudut ruangan, sembari bibirnya bergumam kecil.

"Hallo,"

Senyum Brayn mengembang. Tubuhnya menegap. Namun tidak bertahan lama, Brayn langsung menunjukkan ekspresi sakit yang ia buat sebaik mungkin meski di ujung telpon tidak bisa melihatnya.

"Kayaknya gue lagi mimpi. Dalam mimpi gue sekarang, gue lagi di rumah sakit. Kayaknya gue emang lagi sakit, deh,"

"Iya, jiwa lo sakit,"

Brayn menggeleng. Tentu saja lawan bicaranya tidak bisa melihat. "Jadi, gue mimpi apa nggak?" tanya Brayn dengan intonasi dimanjakan

"Garing,"

"Lo tahu gak, yang lebih parahnya. Si Xalio, itu, status di kartu keluarga yang berperan sebagai adek gue. Dan dalam mimpi gue, dia nangis, manggil nama gue waktu gue sekarat. Bisa lo bayangin? Xal! Xalio yang gue senggol langsung nyetrum kok listriknya langsung mati." Brayn membuang napasnya. Ia tersenyum. "Sekarang gue sadar, ternyata gue bukan anak tunggal."

"Lo salah sambung?"

Brayn mengerutkan keningnya. Melihat layar ponselnya yang tadinya hitam langsung menyala. Membaca nama yang tertera sebelum menempelkannya kembali di telinga. "Kayaknya nggak, deh,"

"Gue Xalio,"

"Iya gue tahu. Xalio adeknya si Brayn ganteng itu kan?," Brayn mengangguk. "Lo angkat telpon gue di dua detik pertama. Dek!-"

"Gak usah teriak bego,"

Brayn tertawa. "Dan lo gak tutup panggilan gue?! sumpah demi ini Xalio?"

Sambungan terputus.

Brayn kembali menekan tombol panggil. "Xal gue sekarat!" Ujarnya cepat begitu Xalio mengangkat panggilannya.

"Gue tunggu jenazah lo di rumah."

Sambungan terputus.

"Tai. Tai banget. Xalio tai. Tai kucing. Kucing eek tai bau lo Xalio. Ah rese gak ada yang mau di bully," Brayn melempar handphone miliknya. Memungutnya kembali begitu merasakan getaran. Tadinya ia mengira Xalio, ternyata Mamanya Xalio.

"Kabar buruk, Ma," Sambutnya begitu menggeser panggilan telpon. "Seburuk hari-hariku tanpa dikau wahai Syanes,"

"Tandanya kamu udah sehat seratus persen."

Brayn mendengus. "Besuk kek, Bawa satu paket Playstation empat. Anaknya sakit gak ditengokin. Ibu macam apa,"

"Kata adek, kamu udah sehat. Mama langsung kesana kalo tugas Papa kamu udah selesai. Ini Papa juga lagi usaha ambil cuti buat kamu,"

"Gak usahlah, Bryan oke kok. Tenang aja, nafasnya masih gratisan. Mama gak perlu mikir apa-apa, nanti ikutan sakit. Fokus aja udah, Kan calon ibu negara,"

"Negara apa?"

"Negara api menyerang." Syanes menggerutu. "Ceritanya nanti aja ya, Brayn ngantuk. Mau bobok,"

"Ya udah, Sehat ya Kak. I hate you,"

"Me to, Syanes."

Syanes tidak bisa menemuinya sekarang karna masih berada di luar kota untuk menemani suaminya sekaligus menerima beberapa pekerjaan sebagai pembicara di berbagai universitas. Selain menjabat sebagai Dokter spesialis bedah anak, Syanes juga merangkap sebagai dosen terbang di Universitas swasta. Dan asal otak cemerlang Brayn adalah keturunan dari induknya.

Jika sudah seperti ini. Brayn tidak bisa duduk diam. Tubuhnya sudah membaik sejak terkahir kali ia rasakan. Ia melepaskan infus di tangan kirinya dan memakai sandal berjalan keluar ruangan. Mengambil arah yang berlawanan tempat berkumpulnya para perawat. Brayn mengendap.

Mencari kontak Romeo. Brayn langsung menghubungi sahabatnya itu.

"Halo,"

"Rom, gue gak bisa datang ke pernikahan lo,"

"Yee anjing!" Teriak Romeo tidak terima. Sesekali Brayn menoleh untuk memantau situasi.

"Gue gak bisa izin kampret. Ngeselin,"

"Bodo. Pokoknya gue gak mau tahu, lo harus ada di pernikahan gue. Kalau lo beneran absen, gue gak akan datang ke acara pernikahan lo, anak lo, cucu lo, dan yang bersangkutan sama lo gue gak akan hadir."

Brayn hampir saja kehilangan keseimbangan karna tersandung kakinya sendiri.

"Sumpah lo sok rajin, sok sibuk, sok paling banyak kerjaan padahal kerjaan lo bolos terus," Sembur Romeo. "Kerjaan lo di rumah sakit paling tidur doang,"

"Ejek gue terus. Asal lo bahagia, gue menderita."

Sebenarnya Brayn hanya membuat alasan. Ia tidak ingin Romeo dan Migel tahu kondisi dirinya sekarang. Perjalanan kembali ke kota membutuhkan waktu seharian, dan Brayn tidak ingin mengambil resiko di perjalanan, kondisinya bisa drop dan kemungkinan jadwal magang akan tertunda kembali.

Brayn bukan orang yang suka berbagi masalah atau suka menceritakan masalah pribadi dengan orang lain. Meski orang itu adalah Mamanya sendiri. Brayn selalu menyelesaikan masalahnya sendiri, karna yang menyebabkan masalah adalah dirinya bukan orang lain. Cukup orang tahu sisi Brayn yang selalu bahagia.

"-Kasus yang sama, ini udah yang ke sembilan belas. Dari semua penyelidikan dan otopsi yang dilakukan, semuanya sama persis. Tubuh mereka membiru, kaku dan ada gigitan di leher. Darah mereka habis. Seakan dihisap,"

"Lokasinya?"

"Ditempat yang sama,"

Brayn menajamkan pendengarannya. Langkah kakinya melambat. Brayn mengerutkan keningnya memasuki sebuah ruangan. Sontak tiga orang lelaki yang berada di dalam sana menatapnya.

"Oh? Dokter Brayn? Kok bisa di sini?" Brayn tidak menjawab. Ia langsung menghampiri tempat tidur dimana seorang lelaki tergeletak dengan leher berlumuran darah.

"Kasus apa?" Tanya Brayn tanpa menatap lawan bicaranya. Mengambil handscoon di atas lemari dinding lalu memakainya.

"Oh. Ini Dok, Tiga bulan terakhir, desa kita mengalami kejadian aneh. Setiap seminggu sekali selalu terjadi kejadian seperti ini. Orang yang meninggal, kayaknya di gigit karna darah dalam tubuhnya seperti di hisap," Lelaki itu menujuk leher lelaki yang sudah meninggal. "Ini, gigitannya masih membekas."

Brayn mengambil tissue basah, mengelap darah yang sudah mengering dibagian leher.

"Kejadiannya bisa seminggu sekali sampai seminggu tiga kali, Dok."

"Dan lokasinya dijalan menuju rumah Dokter," Brayn mengerutkan keningnya. "Kata orang-orang-"

"Bray?" Orang yang berada di ruangan menoleh. "Lo ngapain disini? Status lo masih pasien,"

Brayn melepas handscoon dan membuangnya ke tong sampah. Menghampiri Evos. "Gue udah ok. Vos, gue bisa rawat jalan?"

"Lo habis transfusi, Bray. Gue gak mau ambil resiko." Evos berbalik, Brayn mengejar teman satu angkatannya yang sudah mendapatkan gelar specialis penyakit dalam. Jika tidak ada kasus yang menimpanya, mungkin Brayn sudah bekerja di rumah sakit seperti Evos.

"Ada yang mendesak,"

"Mendesak apanya. Kondisi lo yang lagi mendesak. Satu jam yang lalu darah udah masuk ke tubuh lo-" Evos memutar tubuhnya menatap Brayn. "Tujuh kantung, Bray. Tujuh. Lo tahu separah apa kondisi lo? Gue tahu lo seorang dokter. Asal lo tahu, seorang dokter selalu mengabaikan kesehatannya sendiri. Disini lo pasien dan gue dokternya."

"Kalau gitu, gue izin pulang sebentar. Ada yang mau gue ambil di rumah,"

"Apa? Sini gue yang ambil,"

"Di lemari,"

"Mana kuncinya,"

"Nih," Brayn menunjukkan jempolnya. "Kuncinya sidik jari gue, kalau gitu lo potong aja,"

Evos menghembuskan napasnya dengan satu hentakan kasar. "Bisa banget lo," Brayn tersenyum kemenangan. "Satu jam. Lo harus balik lagi, resiko demam sama shock harus gue waspadai."

"Oke, Dok. Tambah ganteng deh," Brayn mencolek telinga Evos. "Pinjem kunci mobil,"

Ada yang mengganjal begitu Brayn melihat dan mendengar cerita yang menceritakan kejadian aneh. Bisa Brayn simpulkan itu seperti kejadian yang pernah ia alami kurang lebih satu bulan yang lalu. Ketika ia sedang mengurus berkas dan bolak-balik kota dan daerah.

Waktu itu Brayn menghampiri sosok perempuan yang ia pikir mengalami sebuah kecelakaan karna bajunya berlumuran darah. Namun yang terjadi, perempuan itu menggigit lehernya. Brayn masih mengingat kejadian itu.

Ia meraba lehernya. Tidak ada bekas gigitan disana. Namun darahnya dihisap habis. Bryan membasahi bibirnya, mengendarai mobil dengan satu tangan. Dari cerita semua orang, kejadian itu selalu terjadi di sekitar jalan rumahnya. Entah kenapa Brayn berfikir jika rumahnya yang sekarang sudah ada yang orang yang menempati.

Wajahnya masih pucat. Namun sudah membaik dari beberapa hari kemarin yang seperti mayat hidup. Brayn menutup pintu mobilnya. Menaiki tiga anak tangga depan rumahnya. Memutar kunci dua kali sebelum mendorongnya kebelakang dan mutupnya dari dalam.

Brayn menelan salivahnya. Sunyi. Bukan kesunyian seperti di dalam kelas dengan dosen killer yang menerangkan di depan. Lebih seperti ada yang mengancam jangan bersuara. Brayn menggerakkan bola matanya. Meneliti setiap sudut rumahnya dengan terus berjalan dengan lambat. Kepalanya berputar dengan bibir yang sedikit terbuka.

"Siapa?" Brayn bersuara. "Saya tahu kamu tinggal di sini. Saya tidak pernah mengganggu. Tolong pergi dari rumah saya,"

Jantungnya berdetak kaget dan terus berpacu tidak karuan begitu bayangan secepat kilat melintas di sebelahnya, menutup semua gorden di rumah itu. Semua cela yang membuat penerangan rumah tertutup cahaya. Brayn memejamkan kedua matanya, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.

"Siapapun kamu. Ini rumah saya, tolong jangan ganggu karna saya tidak pernah mengusik anda,"

Brayn membuka matanya. Gelap. Hanya pantulan cahaya minim dari cela gorden. Tidak ada orang.

"Saya tidak kenal kamu. Dan juga saya tidak ingin berbagi rumah. Kamar sih boleh- intinya kamu siapa?"

Brayn mengedarkan pandangannya. Masih tidak ada yang bersuara.

"Saya gak gigit kok, jangan takut. Kan kamu yang gigit, kenapa kamu yang takut,"

"Yaelah mulut gue receh gak tahu kondisi," gumamnya pelan memukul kecil bibirnya.

"Seriusan, eh. Gelepan gini ngapain. Nyesel gak liat muka saya yang ganteng,"

Brayn mendesah pelan. Menarik kursi untuk duduk sebentar karna merasa sudah mulai lelah. Sebelum ia berhasil duduk, Brayn menangkap sebuah bayangan di balik lemari. Tubuhnya kembali berdiri dengan bergetar. Seseorang yang mengawasinya dari tadi. Brayn menelan salivahnya. Ia menatap lama, menyakinkan bahwa yang ia lihat tidak salah.

"Saya lihat kamu. Kemarilah,"

Sosok itu perlahan muncul. Brayn berdiri sembari menunggu. Dengan pencahayaan yang sangat minim. Langkah kaki berjalan mendekatinya tanpa menggunakan sandal. Mengenakan sebuah gaun yang panjangnya di bawah lutut. Rambutnya panjang berwarna kuning dengan mata biru menyala.

Brayn mundur dengan sendirinya. Mata yang Brayn ingat sampai sekarang. Sebuah mata yang membuatnya hampir kehilangan nyawa. Sekarang perempuan itu membuat kejadian itu terulang kembali. Punggung Brayn terhempas kedinding tanpa bisa dihindari. Begitu keras bahkan ia merasa tulangnya remuk seketika.

Brayn merintih dengan kedua mata terpejam. Merasakan hembusan nafas dilehernya. Brayn terdiam dengan nafas tersengal. Ia membuka mata dengan jantung yang bergemuruh cepat.

"No, Please," Ucap Brayn menelan salivahnya. "Please,"

Permintaan Brayn sama sekali tidak didengarkan. Merasakan sesuatu yang menancap dilehernya. Brayn memejamkan kedua matanya menahan sakit. Namun, tidak seperti kejadian terakhir. Brayn membuka matanya, nafasnya masih naik turun dengan cepat. Perempuan yang memeluknya sudah menghilang. Menyisahkan darah yang mengalir dilehernya dan membasahi kemeja miliknya.

Brayn menarik kursi dan berjalan dengan tertatih. Ia memejamkan kedua matanya karna merasa dunia sedang berputar. Penglihatannya merabun. Semuanya sirna dalam sekejap. Sebuah sentuhan dilehernya membuat Brayn membuka matanya perlahan. Berhadapan langsung dengan sosok perempuan pucat yang berdiri menggunakan lutut menghadapnya.

Tangan kiri perempuan itu menyentuh leher Brayn. Menyambungkan semua syaraf dan aliran darah yang telah robek. Brayn terdiam lama. Terhipnotis dengan sosok cantik dengan mata biru yang menatapnya teduh.

Perlahan. Rasa nyeri itu menghilang, menyadarkan Brayn jika perempuan itu sedang mengobatinya. Brayn meraih tangan yang menyentuh lehernya, menjauhkan dari jangkawan tubuhnya dengan gerakan pelan. Keduanya menatap satu sama lain dengan tangan Bryan yang menggenggam tangan mulus itu. Meneliti wajah pucat dengan darah di sudut bibirnya.

Datangnya kegelapan dengan angin kencang dan burung yang saling berteriak. Telinga Brayn seakan tuli. Gonggongan Zoey yang terbawa angin sampai dedaunan menganyun di udara. Semuanya seakan menyaksikan pertemuan keduanya. Disaksikan oleh alam semesta yang punya maksud tertentu. Entah sebuah keadilan atau kehancuran untuk salah satunya.

Siapa yang mengatur. Tentu bukan keduanya. Alam, langit dan kegelapan. Korban lebih tepatnya. Lantas apa yang akan terjadi selanjutnya. Keduanya dipertemukan. Nasib memberi jalan. Takdir yang menentukan.

"Kamu siapa?"

Sebuah pertanyaan yang mendatangkan petir. Menumbangkan pohon besar di jalan dan hujan deras yang melanda. Tidak sedetikpun Brayn melepaskan pandangannya. Perempuan itu menatap jendela, gorden melayang dikarenakan jendela yang terbuka dengan sendirinya. Brayn sama sekali tidak terusik. Ia terus mencari bola mata cantik untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.

Perempuan itu kembali menatap Brayn. Kepalanya menggeleng pelan. Brayn menunggu. Tidak lama kemudian, bibir itu bergerak dan berkata sangat pelan.

"Outcast."

TBC

Voment kuy. Jangan lupa.

Gimana? Udah ada gambaran dari ceritanya?

Kalo ada typo kasih tau ya.

Continue Reading

You'll Also Like

ALGRAFI By Liana

Teen Fiction

33.1M 2.6M 71
[SEGERA DI FILMKAN] Berawal dari keinginan bocah laki-laki berusia 7 tahun bernama Algrafi Zayyan Danadyaksa yang merasa harus melindungi sahabat kec...
13.9K 1.2K 11
Mansion vampire penuh darah manusia. kelalaian manusia yang datang ke mansion itu akan tiada tanpa kata kata yang keluar dalam mulutnya. sang vampire...
4.4K 442 9
Tak sengaja melanggar pantangan di tempat terlarang Tegal Salahan, Mbak Padmi yang tengah hamil tua mengalami teror berkepanjangan. Teror yang tidak...
171K 8.9K 12
(M/n) komori adalah kakak dari yui komori. Saat yui di kirim kerumah sakamaki bersaudara untuk di jadikan pengantin wanita. (M/n) di suruh ayahnya un...