Sawala [1]

By flyingpaperkite

506K 65.8K 7.7K

Mereka hanya sekedar dua murid sekolah biasa. Pelajar yang sedang menempuh nikmatnya masa muda. Kesenangan se... More

Debat
Ribut
Sakit
Plester
Bimbang
Alasan
Hukuman
Iba
Sejalan
Sabar
Perhatian
Rapuh
Degupan
Keluarga
Jaket
Lekat
Jenguk
Malam
Selisih
Fakta
Pria
Keputusan
Pamit
Janji [END]

Penyakit

18.7K 2.5K 870
By flyingpaperkite

Malam semakin larut namun kecanggungan yang dirasakan Reuben tidak mereda. Dia sudah tercebur dalam karena membahas soal kejujuran dan perasaan. Jadi kepalang tanggung, sekalian saja dia ungkapkan.

"Lo bersikap seolah kalo-" Reuben menarik napasnya. "Ini bukan gue kepedean ya, tapi sikap lo seolah suka... suka ke gue." Suaranya mencicit kecil di akhir kalimat.

Ben sendiri masih tidak mengerti kemana arahnya pembahasan ini. Padahal Reuben sudah malu sekali, dia ingin menjedotkan kepala ke meja kerja yang keras itu.

Selama ini perasaan janggal itu sudah muncul sejak sentuhan Ben di pipinya. Lalu berkembang semakin menjadi karena sikap perhatian pria itu yang membuatnya sebal.

Apa Ben tidak memahami perubahan yang terjadi? Dia tidak bisa melihat bagaimana reaksi Reuben saat ini?

"Ya, ya itu mungkin. Bisa jadi sih."

"Hah? Mungkin? Bisa jadi? Maksudnya gimana? Perasaan lo ke gue gimana?!" Reuben sudah menebalkan wajahnya, rasa malu sudah dia buang jauh-jauh.

Kalau bicara dengan Ben memang harus pelan-pelan dan langsung ke intinya. Itu pun jarang dia mengerti apa yang dikatakan, seperti sekarang. Dia planga-plongo saja.

"Kita kan, gak tau ke depannya gimana. Mungkin gue bakal suka, mungkin juga nggak."

"Kok lo santai amat sih? Ini gak wajar loh, kita ini gak seharusnya kaya gini. Gue juga gak seharusnya bisa punya perasaan begini."

"Oh, lo suka sama gue? Menurut gue biasa, semua orang bisa suka sama siapa aja."

Reuben makin terperangah mendengarnya. Apa pandangan Ben tentang hubungan sesama jenis itu berbeda dengan pandangannya? Tapi masa iya orang sepertinya bisa secuek itu.

"Iya sama siapa aja, kalo ke lawan jenis. Kita ini- lo ngerti kan maksud gue?"

"Lo suka gue, kan? Ya lo udah bilang tadi."

"Gue gak bilang! Lo sendiri yang berasumsi kaya gitu! Lagi kita ngebahas soal perasaan lo ke gue, kenapa jadi ngomongin gue suka sama lo apa nggak!"

"Tadi lo bilang 'gak seharusnya punya perasaan begini' ya berarti lo suka ke gue, kan?"

Reuben nyaris berteriak keras. "Ya Tuhan, Ben! Sikap lo, sikap lo itu... seakan suka ke gue." Sambil mengepalkan tangannya.

"Kan, gue udah bilang. Mungkin iya, mungkin nggak. Lagi kalo gue bakal suka sama lo nantinya emang bakal jadi masalah?"

"Ya masalah gila! Masa lo suka ke gue!" Rasanya Reuben mau menggorok lehernya sendiri. "Kalo sekarang gimana?"

"Sekarang? Gue sih ngerasa nyaman ngelakuin itu. Semua yang gue lakuin itu reflek, gak pake dipikir segala."

"Terus perasaan lo?! Gue tanya perasaan lo ke gue?!" Reuben sampai mengulangnya lagi.

"Mulai..."

"Tuh, kan! Mending kita berhenti." Reuben sudah kalang kabut sendiri.

Ben tetap dengan gayanya yang tidak ribet. Karena menurutnya soal perasaan itu tidak bisa dibantah, tidak bisa dihilangkan.

Jadi terima saja, kalau suka ya bilang, kalau tidak ya tunggu saja sampai suka. Karena mereka sudah sedekat ini, manusia manapun kalo sudah akrab dan pegang-pegang pasti tinggal menunggu waktu.

"Lo kenapa kaya kebakaran jenggot gitu sih? Santai aja kali, kalo lo suka ke gue ya gapapa. Selama ini kita banyak ngabisin waktu bareng, jadi gue ngerti kalo lo punya perasaan itu."

"Kok malah jadi kaya gue yang dipaksa jujur ya. Gue kan, pengennya lo yang ngomong."

"Tadi gue mau ngomong malah lo potong."

Reuben makin tidak bisa menahan degupan pada jantungnya. "Udah deh gak usah bahas."

Ben ingin terbahak saja melihat Reuben yang menundukan kepala untuk menghindari rasa gelisahnya. Bahkan dia memainkan sepatunya, menggesek-gesek di lantai.

Dia menghampiri, mendekatinya lalu menarik tangan Reuben yang tentu langsung ditepis.

"Wets! Lo- lo mau ngapain?" Reuben sudah menunjukan wajah takut.

"Cuma megang doang, emang gue banyak kumannya apa sampe kaya jijik gitu."

Reuben menggaruk pipinya, dia tidak tau harus bersikap apa disaat seperti ini. Mau lari saja juga tidak mungkin. Bagaimana dia bisa pulang nanti, ini jauh dari rumah, angkutan umum juga tidak ada.

Kembali Ben menyentuhnya, kali ini lengan Reuben ditariknya. Menyuruhnya agar lebih mendekat padanya.

"Gugup ya?" Tanya Ben sembari terkekeh. "Dibawa tenang aja kenapa sih, biasanya lo juga gak begini."

"Ya kita habis bahas hal yang gak seharusnya. Lo kenapa bisa bodo amat, sih?"

"Karena gue gak ambil pusing. Lo suka gue? Oke, bagus malah. Gue juga udah mulai suka sama lo, jadi kita sama-sama suka, sama-sama untung, kan?"

Ben mendesah membuang napasnya, berusaha mengangkat wajah Reuben dengan menyentuh dagunya. Dia tidak mungkin terus-terusan bicara dengan ubun-ubun kepala.

"Nih, yang kaya gini bikin perasaan gue makin gak karuan, ngerti gak? Jantung gue udah kaya mau meledak, bisa gila gue!"

Ben tertawa. "Yaudah terima aja, emang mau diapain lagi? Kita udah saling kasih tau apa yang dirasa, terus masa mau menghindar?"

"Bu- bukan gitu maksud gue. Kita lupain aja, coba buat berhenti sebelum makin jauh."

"Ya gue gak mau, gue udah enak dengan kita yang deket dan akrab begini. Gak mungkin tiba-tiba gue jauhin lo lagi."

"Gak perlu dijauhin, ya coba buat dihilangin."

"Mana bisa, lo suka sama orang, lo sayang sama orang. Gak mungkin bisa ilang gitu aja."

Reuben tidak ingin terbuka mengakui bahwa dirinya tidak ingin Ben pergi dari hidupnya. Dia sudah merasa bahwa dirinya bergantung pada pria ini.

Ben pun tidak ingin begitu saja menghindar dari Reuben. Dia selalu senang berada di dekatnya, walau hari-hari mereka selalu diisi dengan debat berkepanjangan. Namun itu yang selalu dia rindukan.

"Tapi ini gak bener, lo paham gak? Gue gak bisa, Ben, serius."

Tidak mengindahkan ucapan Reuben, jemari Ben yang sedari tadi menjepit dagunya, ditarik begitu saja hingga permukaan bibir mereka saling bertemu satu sama lain.

Singkat, hanya kecupan sesaat lalu terlepas lagi. Reuben tidak bisa menutup mulutnya, sekujur tubuhnya merinding seketika.

Dia mendorongnya bermaksud untuk segera menjauh namun terlambat karena tangan Ben yang bebas melingkar di pinggangnya.

"Udah gak waras lo ya?! Lo sadar ngelakuin apa tadi?!" Reuben memakinya.

"Nyium lo, dan gue liat lo kurang puas."

Reuben langsung menutup mulutnya, menggelengkan kepala kuat-kuat. Ben melepaskan tangan itu, mencoba untuk menciumnya sekali lagi.

"Woah, waah, tunggu! Main nyosor aja lo!"

"Kenapa? Mulut gue bau rokok apa gimana?" Tanyanya dengan kepolosan

"Gak, gak. Cuma lo agresif banget sih."

"Oh, apa kurang lama? Pengen nambah, kan?"

Tidak ada jawaban, Reuben masih berusaha menetralkan napasnya yang memburu. Dadanya juga seperti merasa sesak bagai kurang oksigen.

Ben melepaskan tangan yang melingkari pinggang Reuben, melangkah mundur untuk sedikit menjauh.

"Kalo lo susah buat nerima ya gapapa, itu hak lo. Tapi gue gak bakal nolak perasaan gue, karena emang itu yang gue pengen."

"Lo gak masalah kalo lo udah bener-bener suka ke gue?"

"Gak masalah, bahkan setelah ciuman tadi gue semakin suka sama lo."

Selalu saja Reuben seperti merasa kalah jika mencoba menentang keinginan Ben. Dia memang tidak ingin ini terjadi, tapi tidak mau juga menolaknya.

Dia bagai ada di seutas tali dengan satu sisi yang mengarah pada Ben dan sisi lainnya mengarah pada logika pikirannya.

Jika dia memilih untuk melawan logika, tentu perjalanan ke depannya tidak akan mudah. Akan ada berbagai rintangan yang harus dihadapi. Dia tau bahwa itu tidak akan mulus, dia tau bahwa ini akan terasa berat untuk sementara waktu.

Tapi setidaknya dia memiliki Ben bersamanya.

"Kalo gitu cium gue lagi." Ben sumringah dan menyosor dengan cepat. "Tunggu kenapa! Buru-buru banget, gue tarik napas dulu."

Ben memutar matanya, menunggu Reuben yang berusaha untuk tenang. Dia mengelus dadanya sendiri dan mengangguk mantap.

"Oke, cium gue lagi."

Segera lumatan dari bibir Ben dia rasakan. Rasa lembut dan sedikit aroma mint bergumul di lidahnya. Dia bisa merasakan bibir bawahnya dijilat begitu sensual. Sempat tersentak, namun dia memejamkan mata setelahnya, menikmati tiap kecupan itu.

Ben tersenyum dibalik ciuman, merengkuh tubuh Ruben lebih erat ke pelukannya. Membiarkan kehangatan mengaliri tubuh mereka, merelakan apa yang terjadi dengan seharusnya.

Karena ini kemauan mereka, karena ini adalah harapan mereka. Bahwa bersama dan saling terikat menjadi sebuah pondasi dalam hubungan yang akan terjadi ke depannya.

•-•

Mereka bersandar pada dinding kaca dengan malam yang semakin larut, mungkin sudah dibilang pagi.

Hampir pukul empat dan mereka masih tidak beranjak. Reuben membuang pandangannya dari Ben. Setelah ciuman tadi rasa gugupnya malah semakin bertambah.

Ben kembali memantik rokoknya. Lalu menyuruh Reuben untuk melepaskan jaket yang dikenakan, karena terlihat keringat di kening dan lehernya.

"Udah mendingan badan lo?"

Dia mengangguk samar. "Ya, lumayan. Udah gak lemes lagi sih. Malah sekarang susah napas kayanya." Desis Reuben.

Ben terkekeh, mengacak surai legam Reuben yang kali ini tidak dikomentari "Foto yuk." Dia mengeluarkan ponselnya. "Nih, foto kita pake hp gue."

Reuben mengernyit. "Buat apaan?"

"Buat gue cetak terus taro di belakang rumah untuk nakut-nakutin tikus yang mau masuk." Jawabnya asal. "Ya buat gue simpen."

"Sini." Reuben mencibir namun tetap melakukan apa yang diperintahkan.

"Kalo gue jadiin wallpaper gimana?" Cengir Ben meminta persetujuan.

"Gue tampol lo ya, gak usah aneh-aneh."

Reuben akan berusaha untuk lebih terbiasa dengan gaya Ben yang baru diketahuinya ini. Dia jadi senang menggoda agar dirinya tersipu walau selalu saja dibantahkan, meskipun di dalam hatinya dia sudah teriak.

Bukan teriak senang, tapi teriak untuk menghentikan itu. Dirinya jadi seperti perempuan yang sedang dirayu.

Ben senyum-senyum sendiri melihat hasil fotonya. Ini baru sekali mereka foto bersama, bagaimana jika berkali-kali? Mungkin dia bisa sembah sujud ke ponselnya.

"Gue kena pembengkakan otak." Ben menoleh ketika Reuben berbicara. "Lo selalu penasaran sama penyakit gue, kan?"

•-•

Udah seneng liat mereka manis begitu, bahkan sampe cium segala, eh di akhirnya malah dapet berita buruk ya 😂😏

Waktu itu ada yang nebak Reuben kena kanker otak, hebat juga bisa tau. Padahal gue sama sekali gak menyinggung ke arah sana.

Buat kalian yang khawatir ini sad ending, hmm gimana ya. Liat nanti aja deh akhir ceritanya gue gak mau kasih clue biar pada penasaran aja.

Ps: foto itu sebenernya asal nemu aja di pinterest, diliat dari mukanya cocok aja sih menurut gue. Tapi gue gak memvisualkan mereka begitu secara keseluruhan. Kalian bayangin aja sesuai imajinasi kalian dan anggap Ben & Reuben foto begitu.

Continue Reading

You'll Also Like

99.8K 7.9K 12
"kayaknya aku nggak cocok duduk di samping kamu." "Yaudah dipangku aja." •| WARNING |• this is a gay area!, homophobic harap menjauh dan mundur tera...
3.6M 212K 57
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
11.9M 740K 55
Sejak orang tuanya meninggal, Asya hanya tinggal berdua bersama Alga, kakak tirinya. Asya selalu di manja sejak kecil, Asya harus mendapat pelukan se...
448K 41.9K 39
Part tidak lengkap Aku pergi bukan berarti meninggalkan mu. _Galen Athaya Putra_ Start_ 26 desember 2022 END _04 januari 2023