Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.4M 268K 45.1K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 2 •

60.4K 7.6K 955
By AM_Sel

Ia menunduk sambil berpangku tangan. Dokter yang merawatnya sedang pergi untuk mengambil permen yang lupa ia bawa untuk si El kecil. Tubuh kecil itu semakin mengurus sejak kejadian itu menimpanya. El kecil tidak bisa menghilangkan bayangan orang-orang itu dari kepalanya.

Rasanya...

...menyakitkan.

Tangan-tangan besar yang menyentuh tubuhnya dengan kasar. Gigi-gigi mereka yang melukai tubuhnya hingga membekas. Keringat mereka yang jatuh ke tubuhnya. Dan cairan kotor itu.

Menjijikan sekali.

•••••

"Pengecut."

"Akh.." El mencengkram kaki Cakra yang semakin menekan dadanya kuat hingga membuatnya sesak.

Cakra menatap pemuda tinggi yang mengganggu acara 'main'nya dengan datar. Lalu, mengisyaratkan kepada empat anak buahnya untuk segera menyelesaikan si pemuda itu.

"Cakra, tapi dia anak SMA Santun," ujar salah seorang dari mereka.

"Terus? Lagian dia sendirian kan?" gumam Cakra datar. Kedua matanya menatap seragam khas SMA bebuyutannya yang mengintip dari balik jaket hitam yang pemuda itu kenakan.

"Tapi, mereka ngga akan diam kalo salah satu siswa SMAnya kita serang. Bakalan tawuran lagi ntar, dan kita lagi dalam masa percobaan. Kalo ketahuan tawuran, bakalan dikeluarin. Gue -"

"Hoi, itu orang bukan alas untuk lo pijak. Awasin kaki lo!"

Pemuda tak dikenal itu semakin melangkah mendekat sambil membenarkan letak ransel yang ia bawa dengan lengan kanannya.

Cakra berdecih. Menarik kakinya yang berada di dada El dan berjalan mendekati si pemuda itu dengan tangan yang masuk ke dalam saku celananya.

"Gue rasa, ini bukan urusan lo," ujar Cakra geram. Ia menatap pemuda itu dengan lekat, lalu sebelah alisnya terangkat. Cakra tidak pernah melihat pemuda ini. Biarpun ia tidak mengenal anak-anak SMA Santun secara rinci, tapi setidaknya Cakra hafal wajah-wajah yang pernah melawan sekolahnya dalam tawuran. Dan pemuda ini bukan salah satunya.

"Dia urusan gue," ujar pemuda itu dengan mata yang menatap rendah ke arah Cakra. Faktor tinggi badan mereka yang berbeda, termasuk salah satu alasannya.

El mengambil napas cepat. Tangannya menyentuh dadanya yang sakit.

"Oh?" Cakra menganggukkan kepalanya sebagai respon. Ia menoleh ke arah El, dan tanpa diduga, kaki kirinya menendang tubuh kecil itu hingga membuat El tersungkur menabrak tempat sampah yang berada di dekatnya.

Pemuda tinggi tadi langsung menarik kerah Cakra dan menyudutkannya ke dinding, "Brengsek!"

Cakra tersenyum miring. Apalagi saat keempat anak buahnya sudah mengelilingi mereka. Mengurung si tinggi itu agar tidak bisa kabur.

El mendesah pelan dengan lelah, dan mencoba untuk bangkit. Dahinya mengernyit nyeri saat dirasanya perih menjalar di telapak tangan kirinya. Ternyata, pecahan kaca yang terdapat di tempat sampah tadi berhasil melukai telapak tangannya lumayan panjang dan dalam. Membuat darah mulai keluar dari sana, lalu mengalir dan menetes.

El menghela napas.

Senyum Cakra berubah jadi seringaian. Tangannya menyibak jaket hitam yang pemuda tinggi itu gunakan untuk melihat nama yang tercantum di seragam tersebut.

Alvano Pradipta.

Pemuda bernama Alvano itu pun lantas melepas tangannya dari kerah Cakra dan menepis kasar tangan yang menyibak jaketnya itu.

"Kayaknya, gue pernah dengar nama lo dari anak-anak Santun yang jadi lawan gue," ujar Cakra dengan tangan yang bersedekap dada.

"Gue yang suka nyebutin nama dia!"

Mereka sontak menoleh. Beberapa siswa dengan seragam yang sama dengan Alvano muncul.

Cakra berdecih saat melihat siapa yang berseru tadi. Lawan bertarungnya sejak tahun ajaran baru kemarin. Damian.

"Cakra," gumam salah satu anak buahnya memperingatkan.

"Anak baik-baik kek lo ngapain main ke sini, Van?" Damian tersenyum miring saat menatap Alvano.

Alvano tak menjawab. Ia menoleh ke arah El yang sibuk mengusap darah yang mengalir dari lukanya tadi dengan wajah datar. Kedua mata Alvano membola.

Sial, kenapa dia ngga lari aja sih?! Pikirnya kesal. Apalagi saat melihat darah yang semakin banyak itu, membuat Alvano semakin khawatir.

Tanpa ragu, ia menerobos melewati anak buah Cakra dan menghampiri El. Dengan sekali sentak, ia menarik lengan kurus itu hingga membuat si pemilik lengan langsung berdiri.

"Heh, lo!" tunjuk Alvano pada Damian, "cepat beresin orang-orang ini, jangan sampe gue ngeliat mereka lagi, atau lo gue keluarin dari sekolah!" serunya marah, dan menarik El untuk beranjak dari sana dengan langkah yang lebar.

"Eh, sialan!" maki Damian, "padahal cuma ketua OSIS, tapi belagu kek yang punya sekolah!" Lalu, ia berdecih karena tak didengar oleh Alvano.

El menyeimbangkan langkah mereka dengan susah payah karena kakinya tak sepanjang si pemuda tinggi ini. Lengannya terus ditarik hingga mereka menemukan sebuah kursi panjang dan lingkungan yang lumayan sepi. Alvano tidak mau mengambil resiko dikira habis melakukan tindak kriminal tingkat tinggi karena darah yang melumuri tangan si pemuda cokelat itu.

"Bego! Kenapa lo ngga lari tadi?! Kenapa lo ngga ngelawan?!" seru Alvano marah saat mendudukkan El di kursi tersebut. Ia berlutut, dan melepas ranselnya. Lalu, mengambil botol minum yang airnya masih penuh dan menggenggam pergelangan tangan El pelan untuk menyiram luka tersebut.

"Sakitnya ditahan," perintah Vano.

El tak menjawab. Ia hanya menatap paras khawatir yang mulai berkeringat itu.

"Ah, sial. Ini kayaknya harus dijahit," gumam Vano pelan saat luka itu sudah lumayan bersih dari darah yang membandel, "lo harus ikut gue ke rumah sakit!"

Perkataan itu sontak membuat El tersentak kaget, "ngga perlu! Gue ngga papa!" seru El cepat.

"Lo bilang ini 'ngga papa'?! Lo gila?!" seru Vano kesal, "gue ngga mau tau, pokoknya lo harus ikut gue!"

"Tapi, gue harus pulang," balas El pelan.

Alvano terdiam sebentar, lalu mengangguk, "benar! Lo harus kasi tau orang tua lo! Tentang luka ini yang harus dijahit! Tentang penindasan yang tadi juga! Mana ponsel lo? Telfon mereka sekarang, biar kita cepat ke rumah sakit dan lo ngga perlu pulang segala!"

El hanya terdiam sambil menatap Alvano dengan aneh. Pasalnya, mereka ini tidak saling mengenal. Kenapa pemuda tinggi ini mau repot-repot membantu dirinya?

"Cepetan, oi!"

"Gue..." El berujar pelan, "gue ngga punya orang tua."

Alvano terdiam. Ia menatap El dengan tatapan yang sulit untuk diartikan, tapi kemudian, botol minum tadi ia masukkan ke dalam tas dan kembali menarik lengan El, "kita ke rumah sakit sekarang. Lo harus diobati dulu. Motor gue parkirnya ngga jauh dari sini."

"Ngga perlu! Gue bisa obatin sendiri!" seru El lagi. Berusaha untuk menghentikan langkah lebar itu yang menyeret dirinya.

"Dijahit ngga sakit kok! Kalo lo segitu takutnya, ntar gue bilang ke dokter untuk ngebius lo dengan dosis tinggi biar lo ngga ngerasain apapun!" gerutu Vano.

"Eh? Beneran?"

"Ngga lah! Lo mau mati?!" Vano berseru kesal. Lalu, kembali mengumpat saat darah kembali keluar dari luka itu, dan semakin memperlebar langkah kakinya.

"Gue beneran harus pulang! Gue... Gue belum kasi makan kucing gue di rumah!" seru El dengan alasannya.

Vano menoleh kesal. Kucing?! Cuma karena kucing?!

"Gue yang kasi makan! Sekarang gue anter lo ke rumah sakit dulu, baru gue ke rumah lo buat kasi makan kucing lo itu!"

El menggigit bibir bawahnya. Kesal karena pemuda tinggi ini begitu keras kepala. Tubuhnya terus ditarik hingga akhirnya mereka berhenti di depan sebuah alat transportasi roda dua bernama motor.

"Buruan naik! Lo ngga mau kehabisan darah kan?!" seru Vano sambil memakai helmnya.

El ragu, membuat si tinggi itu berdecak tak sabar dan menariknya untuk naik.

"Cepet!"

Tubuh kurus itu pun naik dengan ogah-ogahan. Dan Alvano baru bisa tenang saat mereka sudah berada di dalam ruangan milik Ayahnya yang berprofesi sebagai dokter di rumah sakit milik keluarga mereka.

"Rumah lo di mana?" tanya Alvano. Ia harus menepati perkataannya untuk memberi makan kucing peliharaan si rambut cokelat ini.

El mengambil kunci apartemennya dari saku celana dan menyodorkannya pada Vano, "Apartemen Arkais, lantai tiga, nomor 1202. Makanannya di lemari atas dekat kulkas."

Dahi Vano mengerut. Apartemen Arkais? Dia tidak menyangka masih ada yang mau tinggal di tempat itu. Kunci tadi pun ia ambil.

"Dokter, tolong bius saya dengan dosis tinggi," ujar El pada pria yang tengah memeriksa lukanya tersebut.

Vano sontak menjitak kepalanya kesal, "udah gue bilang ngga boleh!"

El menggerutu dan mendelik sinis, "pergi sana lo. Kucing gue udah kelaperan."

Vano berdecak, "Vano pergi bentar, Yah. Pastiin dia ngga kemana-mana sampe Vano balik lagi ke sini," ujarnya pada sang ayah.

Ayahnya hanya mengangguk dan berpesan untuk hati-hati.

"Beneran harus dijahit?" tanya El.

Dokter itu tersenyum tipis, "iya. Operasi kecil istilahnya. Gulung lengan seragam kamu."

El hanya diam. Tak menggulung seragamnya seperti yang diperintahkan.

"Nak? Kamu beneran takut dijahit?" tanya dokter tersebut.

Kepala bermahkotakan helai rambut cokelat itu menunduk. Ia menggeleng. Dokter itu pun memutuskan untuk menggulun lengan panjang seragam itu sendiri, namun baru menyentuh kancing seragam itu, tangan El sudah menghentikannya.

Tidak boleh.

Lengan seragamnya tidak boleh digulung.

Dokter itu diam sejenak. Sadar akan sesuatu yang ditutupi oleh si pemuda cokelat ini.

"Nak," panggilnya pelan, "kamu harus ngegulung seragam kamu ini sekarang, sebelum anak saya dateng dan maksa kamu untuk ngelakuin itu."

Sepasang mata biru itu sontak menatapnya.

"Jangan khawatir. Semua data atau rahasia tentang pasien, akan aman dengan dokternya. Saya, ngga akan bocorin rahasia kamu."

El mengambil napas berat. Tangan kanannya yang semula menahan tangan si dokter tadi, kini jatuh ke sisi tubuhnya. Ia menoleh ke arah lain. Merasa malu.

"Tolong, jangan bilang siapa-siapa," gumam El pelan.

"Saya janji."

Kancing itu dibuka. Lalu, dengan perlahan dokter tadi menyingkap lengan seragamnya, dan terdiam. Sebenarnya, dia sudah bisa menebak apa yang disembunyikan oleh lelaki muda ini. Tapi, dia tidak menyangka akan sebanyak ini. Bekas luka yang tertoreh di lengannya.

Sementara El hanya memejamkan kedua matanya. Ia merasa sangat malu. Merasa tidak pantas. Karena bekas-bekas luka itu. Karena tubuh jeleknya. El benci.

Sangat benci.

Tbc.

Continue Reading

You'll Also Like

213K 23.8K 20
"Di sini kost khusus putra, kan? Kok lu ..." Wirga natap Nanjan dari ujung rambut sampai ke paha. Sampai ke paha aja karna abis itu Wirga buang muka...
9.8K 1.2K 7
Rachel yang mendambakan kisah cinta romantis ala Disney Princess malah dapet pacar anak geng motor spek jamet kayak Adrian. Crackpair: Christian Yu...
1.3M 82.9K 24
Song An-Hee adalah siswa SMA tahun ke-tiga di Seoul, Korea. Dia hanya seorang remaja biasa yang menghabiskan waktunya dengan kegiatan sehari-hari ya...
5.7K 338 13
Judul Asli. : 和冷漠老公互換後的豪門生活 Pengarang : Zhao Sijue