Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.3M 265K 44.9K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Special : Poppy
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

• 5 •

53K 6.3K 726
By AM_Sel

"Apa saya boleh bekerja di sini?"

"Hm?" Lelaki berumur dua puluhan akhir itu menatapnya. Lalu, tersenyum tertarik.

"Memangnya, anak kecil sepertimu bisa apa?" tanyanya.

"Saya bisa memasak dan bersih-bersih."

"Ah.." ia mendesah pelan, dan mengangguk. Lalu, menyentuh punggung si kecil itu dengan telapak tangannya yang lebar, "saya mau coba masakan kamu. Kalo enak, kamu baru boleh kerja."

"Hoi, lo bercanda? Anak kecil itu!" Pemuda lain yang tadi berada di sisinya berujar protes. Tampak tak percaya.

Sementara, yang diprotesi, hanya tersenyum tipis dan menuntun si kecil itu masuk ke dalam bangunan bernama 'Luscious', yang akan segera ia buka begitu mendapat cukup karyawan.

•••••

"Lo ngerokok?"

El menatapnya dingin, lalu menaikkan sebelah alisnya, "terus?" tanyanya ketus. Bau rokok masih melekat di baju dan mulutnya. Makanya, Alvano sadar bahwa dia merokok.

Vano mengerjap, seolah sadar akan sesuatu. Lalu, kembali mengusap tengkuknya dengan canggung.

"Boleh gue masuk?" tanya Vano pelan. Mencoba untuk mengalihkan diri dari topik yang ia buat tadi. Rokok.

El berdecak dalam hati. Malas berurusan dengan pemuda besar ini sebenarnya. Tapi, jika dia mengusirnya sekarang, maka itu tidak sopan sekali. Jadi, dengan enggan, El melangkah mundur dua kali dan melebarkan pintu.

Alvano tersenyum, lalu masuk ke dalam.

Pintu itu pun El tutup lagi.

"Nih, buat lo," ujar Vano sembari menyerahkan kantong putih yang sedari tadi ia pegang.

El menatap kantong itu dalam diam. Isinya adalah berbagai macam bahan makanan. Yang terlihat sangat sehat pastinya. Ia mendengus pelan, dan mengambil kantong tersebut dengan malas.

"Makasih," ujarnya tidak ikhlas.

Vano hanya tersenyum maklum. Lalu, membuka sepatunya. Tanpa disuruh oleh El, ia sudah berjalan masuk dan meletakkan tasnya di samping sofa, lalu menghempaskan dirinya di sofa terdekat.

El menggerutu melihatnya. Vano bertingkah seolah ia sudah sering sekali main ke sini, padahal baru sekali, dan itu pun hanya karena untuk memberi makan Poppy. Si kecil itu berjalan menuju kulkas dan memasukkan bahan-bahan makanan itu kedalamnya.

Saat melihat kucing hitam yang pernah ia beri makan keluar dari sebuah ruangan, Vano sumringah. Menjulurkan sebelah tangannya dan memanggil kucing itu.

"Puss.. puss.."

Poppy segera melangkahkan keempat kakinya menuju pemuda besar itu. Tubuhnya lantas langsung digendong dan diletakkan di atas pangkuan. Setelah itu, ia dimanja dengan elusan-elusan atau garukan pelan yang enak sekali.

"Btw, kucing lo namanya siapa?" tanya Vano.

El hanya meliriknya dan terus menata bahan-bahan makanan itu ke dalam kulkas, "Poppy."

Sebelah alis Vano terangkat, "Poppy? Bukannya dia kucing jantan?" refleks, tangannya menyibak ekor Poppy yang menghalang tatapannya akan kejelasan jenis kelamin kucing itu. Lalu, menemukan sesuatu yang menggantung di sana, "tuh, kan, jantan."

"Terus? Memangnya kucing jantan ngga boleh dikasi nama 'Poppy'?" ujar El ketus. Kenapa orang ini cerewet sekali?!

"Ya enggak... bukan itu maksud gue," kedua matanya melirik ke sana kemari dengan canggung, "yah, cuma rada aneh aja gitu, Poppy kan identik sama cewek."

Gerakan tangan El terhenti, "bukannya aktor yang jenggotnya dikepang itu namanya Poppy?" tanya El pelan. Tampak ragu juga dengan pertanyaannya.

Vano mengulum senyum mendengar itu, "itu Peppy."

"Oh," El menyaut singkat.

"Jadi, nama Poppy ini berpedoman dari Peppy?" tanya Vano lagi.

"Enggak."

"Terus dari mana?"

El mendelik kesal. Kenapa pemuda ini kepo sekali sih?!

"Bunga," jawab El ketus, sambil melirik sinis.

Vano hanya meringis canggung saat mendapat balasan seperti itu. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Dia tidak suka jika tidak ada yang berbicara. Kosong sekali rasanya.

"Bunga ya.." lirih Vano pelan. Tidak peduli, jika si pendek itu kesal sekali tiap ia membuka mulutnya, "kalo ngga salah, bunga Poppy itu artinya 'sukses' kan? Royal juga."

Kresek itu El ronyokkan dengan tangan kanan, hingga membentuknya menjadi seperti bola, lalu melempar kresek itu ke tempat sampah yang berada tak jauh darinya, "salah."

"Eh?"

Ia mengambil sebotol air mineral dingin yang masih tersegel, lalu berjalan menuju sofa. Meletakkan air mineral itu di atas meja.

Di situ, Vano baru sadar. Beberapa bekas luka menghiasi punggung tangan El.

Lalu, ia mendudukkan dirinya di samping Vano dengan jarak setengah meter, "Poppy. Kematian. Terlupakan. Gue ngambil nama Poppy karena arti itu. Bukan arti yang lo bilang tadi."

Melihat Tuannya berada di dekatnya, sontak membuat kucing hitam itu berpaling dari Vano dan menggelung nyaman di pangkuan El.

Vano tidak tau mau berkomentar apa tentang itu. Jadi, ia hanya diam. Kedua matanya menelusuri tiap sudut ruangan itu. Lalu, ia beranjak berdiri dan berjalan melihat-lihat apartemen kecil itu. Pintu-pintu lemari atas, ia buka untuk melihat isinya, lalu mendelik sebal saat melihat mie instant tersusun rapi di salah satu ruang di lemari tersebut.

"Lo bisa masak kan?" tanya Vano.

El hanya mengangguk, "untuk sekarang, mungkin bakal repot. Tapi, kalo untuk masak yang mudah-mudah, masih bisa."

Vano tersenyum lega, "jangan kebanyakan makan mie instant ya. Kalo mau ngemil juga, makan buah yang gue bawain aja. Jangan beli-beli makanan yang ngga sehat."

El mendengus. Dia tidak terbiasa diperhatikan seperti itu. Bahkan, dia tidak terbiasa berbicara dengan orang di 'rumah'nya ini! El terbiasa berbicara pada kucing. Omongannya kadang tidak dibalas, atau hanya sekadar meongan saja yang terdengar setelah ia berbicara. Jadi, berbicara pada Vano dengan latar apartemen kecilnya ini, terasa sedikit ganjal bagi El.

Kaki panjang Alvano melangkah mendekat menuju pintu kaca balkon. Sorot matanya berubah tak suka saat melihat sisa-sisa merokok El yang belum dibersihkan di sana.

"El," panggilnya.

Yang dipanggil tak menyaut.

"Merokok ngga sehat."

"Bukannya ini masih jam sekolah?"

Vano menoleh. El menatapnya dalam. Aneh. Vano tidak mengerti tatapan itu.

"Seharusnya lo ngga di sini," ujar El lagi.

"Ah, rapat guru. Jadi, pulang awal," jawab Vano canggung.

"Terus kenapa lo ngga pulang?"

"Eh?"

Tatapan El beralih ke Poppy. Tangannya tak berhenti mengelus bulu hitam itu.

"Mereka nyuruh lo pulang, kenapa lo ngga pulang?"

Vano mengerjap. Mengerti akan perkataan El. Ia diusir. Secara halus, sih. Tapi, tetap saja diusir. El mempertanyakan keberadaannya. Kenapa dia malah di sini? Kenapa dia tidak pulang saja?

"Gue kemari buat minta maaf," gumam si besar itu.

Tatapan El kembali teralih ke arahnya. Tak menyaut apapun. Hanya diam menatapnya.

"Soal, perkataan gue kemarin."

El masih diam. Membuat Vano semakin canggung dibuatnya. Ia melirik ke sekitar. Kemana pun, asal tak bertemu pada manik sebiru langit itu.

"Karena.. gue baru ingat," Vano hanya berani melirik-lirik sebentar. Tampak tak nyaman, "kalo lo pernah bilang... lo.. ngga punya orang tua," sebelah tangannya refleks memegang cuping telinganya sebentar, "dan dengan kurang ajarnya, gue ngatain lo."

Saat tatapan menusuk El tak tertuju padanya lagi, barulah Vano bisa bernapas lega.

"Bukan salah lo," gumam El, "emang guenya yang ngga tau diri."

Poppy bergerak. Kedua kaki depannya naik ke bahu El, membuat Tuannya itu refleks memeluk tubuh kecil tersebut.

"Pulang, gih."

Vano sontak menatap El. Kali ini, dia diusir secara langsung. Bukan secara halus lagi.

"Ah.. oke," balas Vano terpaksa. Ia segera mengambil tasnya yang masih berada di sebelah sofa, lalu memakai sepatu sekolahnya.

"Makasih bahan makanannya," ujar El sekali lagi.

Vano menoleh, dan mengangguk. Saat tangannya memeganng kenop pintu, gerakannya terhenti.

"Erm.. hei.." Vano kembali menoleh, "apa gue boleh ke sini lagi?"

Perkataan itu refleks keluar dari mulutnya. Yah, jika dia jadi El, dia pasti tidak akan betah terus berada di apartemen ini seharian full selama sepuluh hari kedepan. Sendirian. Tidak ada teman untuk bicara. Itu buruk sekali.

El mengangguk. Dengan terpaksa tentu saja. Jika nanti Vano ke sini lagi, dia akan mengusirnya dengan cepat. Lihat saja.

"Makasih," melihat senyuman tulus dari pemuda itu, membuat gerakan mengelus El terhenti. Ia terpaku.

Dan pemuda besar itu pun melangkah pergi.

Ah, ini buruk. El sudah melakukan kesalahan yang besar. Seharusnya dia menggeleng tadi. Pemuda besar itu pasti akan sering datang kemari biarpun nanti ia usir, lalu memasuki hidupnya, merecoki tingkahnya, menyusup ke hatinya, lalu... mengetahui rahasianya.

Ah, sial.

*****

Saat jam menunjukkan pukul lima lewat empat puluh tiga sore. El keluar dari apartemennya dan mengunci pintu. Suasana sepi, menghampiri. Beberapa lampu di koridor apartemen itu mati, namun dibiarkan begitu saja karena memang gedung apartemen ini hanya sedikit yang menempati.

Ia melangkah keluar. Hari ini, ia ingin menghabiskan malam di Luscious. Hanya sehari tak berada di sana, sudah cukup membuatnya rindu pada tempat makan itu.

Seperti biasa, ia ke sana dengan berjalan kaki. Biarpun gang-gang kecil yang ia lewati semakin menggelap, tidak membuat El risih atau takut sama sekali. Ia sudah terbiasa. Bahkan, pada tengah malam, gang ini akan semakin gelap.

Pada pukul enam lewat beberapa menit, pemuda kecil itu sampai di tujuannya. Tapi, kali ini, ia masuk lewat pintu depan. Ia datang sebagai seorang pelanggan.

"Eh, elo!" seru Tya. Tapi, kemudian sadar, El masuk lewat mana. Lalu, ia segera menggeret pemuda kecil itu ke salah satu meja kosong dan mendudukkannya.

"Huh! Mama Diran ngomel-ngomel mulu dari tadi gara-gara dengar kabar kalo lo ngga bakal kerja selama sepuluh hari kedepan karena luka," curhat Tya. 'Mama Diran' itu julukan untuk Diran yang selalu merecoki El layaknya ibu ke anak, btw.

"Oh."

"Brengsek," maki Tya pelan.

"Pelayan ngga seharusnya ngatain pelanggan," gumam El.

Tya berdecih, "mau pesan apa?"

"Susu cokelat panas."

Alis Tya berkedut pelan, "dasar bocah! Di rumah kan lo bisa buat sendiri!"

"El!!!!!!"

Diran heboh. Ia menghampiri pemuda kecil itu dan memeriksa sekujur tubuhnya. Di belakang, Edo mengikuti sambil memutar kedua matanya malas.

"Kamu luka? Kamu luka? Mana?"

Dan ekspresinya terlihat lucu saat melihat tangan kiri El yang terperban rapi.

"Kenapa bisa luka?!" tanyanya khawatir, "parah?"

El menggeleng, "cuma dijahit."

"Cuma?!"

"Oi, oi, lo kenapa sih? Namanya juga anak cowok. Sekali dua kali dijahit gapapa kali."

Dan Edo langsung ditatap dengan bringas oleh Diran karena celetukannya itu.

Tya mendengus, dan memutuskan untuk pergi mengambil pesanan El daripada harus terus di situ dan menonton drama keluarga secara live.

"Kok rame? Ada apa nih?"

El menoleh. Seorang pemuda tinggi dengan wajah cantik datang bersama anggota bandnya. Ia menatap El dan tersenyum, "oh, hai!"

"Gaada apa-apa. Biasa, lebaynya si Diran kumat," celetuk Edo lagi.

"Oi!"

Protesan Diran diabaikan.

Aga menatap tangan kirinya. Sebelah alis pemuda itu naik, "tangan lo kenapa?"

Di belakang, salah satu anggota bandnya bergumam, "Aga sok baik," yang sayangnya didengar oleh yang bersangkutan.

Si cantik itu menoleh, "diem lo, babi!" ketusnya, lalu menatap El lagi sambil tersenyum, "semoga cepat sembuh ya,"

Anak-anak band itu pun berlalu dari hadapannya, untuk mempersiapkan pertunjukan mereka malam ini.

Ah, sebenarnya, salah satu alasan El ingin ke sini adalah mereka. Terutama si cantik itu. Aga. Dia ingin mendengar Aga bernyanyi.

"Udah mesan?" tanya Diran.

El mengangguk.

"Ntar pulang sama siapa?" tanyanya lagi.

"Sama Edo," jawab El asal.

"Lha, kok gue-"

Perkataan itu langsung terpotong begitu melihat Diran melotot ke arahnya. Edo menggerutu, dan dengan terpaksa mengiyakan.

Mereka berdua pun pamit untuk kembali bekerja.

El menyandarkan punggungnya. Lalu, melihat ke arah empat orang yang berada di atas panggung itu.

Tempat ini ramai juga karena ada mereka. Akhir-akhir ini semakin ramai, karena Aga. Si cantik itu adalah model. Jadi, yah, kapan lagi kan mendapat hiburan dari seorang model sepertinya?

Band itu sendiri, mulai bekerja di sini sejak El duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Kira-kira sudah tiga tahunan. Masing-masing dari mereka sudah lulus sekolah saat El masuk sekolah menengah atas. Kira-kira sudah enam bulan lebih. Atau tujuh bulan?

"Nih, pesanan lo," Tya meletakkan segelas besar susu cokelat panas di hadapannya, "gue kasi gelas besar, biar lo makin tinggi, atau seenggaknya tambah gemuk dikit. Tulang semua isinya lo mah!"

El tak menjawab. Ia mendekatkan gelas besar itu, lalu menyeruput sedikit minumannya.

Ah, rasa manis yang hangat langsung merasuki mulutnya.

Di atas panggung sana, Aga mulai memegang mic yang tersedia.

Biasanya sih, jika El menonton pertunjukan mereka, Aga selalu membawakan lagu yang entah kenapa, terdengar pas untuknya.

"They say don't let them in.."

Ah?

"Close your eyes and clear your thoughts again.."

Tuh, kan, benar.

"But when I'm all alone, they show up on their own..."

El kembali menyesap susu cokelatnya.

"Cause inner demons fight their battles with fire..
Inner demons don't play by the rules..
They say 'Just push them down, just fight them harder..
Why would you give up on it so soon?'.."

El memejamkan kedua matanya dan merilekskan tubuhnya. Fokus pada suara Aga. Fokus pada nyanyiannya. Dan fokus pada kata-kata yang ada pada lagu tersebut.

Nyanyian Aga selalu bisa membuatnya tenang.

"So angels, angels please just keep on fighting...
Angels don't give up on me today...
'Cause the demons they are there, they just keep biting...
'Cause inner demons just won't go away...
So angels please, hear my prayer...
Life is pain, life's not fair..."

Ya. Benar. Hidup ini menyakitkan. Hidup ini tidak adil.

Tbc.

Continue Reading

You'll Also Like

6.8K 1.1K 7
Ilveara, remaja SMA yang terbiasa menjadi pusat perhatian dan suka membully murid di sekolahnya harus pindah ke sekolah lain akibat perbuatan ayahnya...
2.5M 38.2K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
19.7K 1.1K 6
[Follow Dulu bagi yang berkenan, aku ngarepin vote komennya jugak ehehe..tapi gak maksa kok, yang penting kalean enjoy bacanya] Pagi hari yang cukup...
981K 74.7K 45
[TERBIT] [BAB MASIH LENGKAP] Axel dan Zio. Zio yang menjadi bahan bully oleh semua murid di sekolahnya terutama remaja lelaki bernama Axel. Dan Zio t...