My Story Book (One Shoot)

Galing kay naiqueen

902K 37.7K 2.9K

kumpulan one shoot milik naiqueen...disini tempatnya. Higit pa

Terang Bulan
Senin Minggu Ketiga
Chocolate Gelato
Mr. Drama King
Jadi Culik!
Another Ben Laden
Xtra - Rahasia Kecil
UFO
Mualaf
Plumeria
Kejutan
My Vampire
Penggoda
Secret Mission
Ketemu Istri
A tale from the past
Purnama keseratus
Mein Mann
Ombak Banyu
Modus
Love at the first sniff
Rujuk
Posesif
Permintaan

13 Days in Salzburg

142K 2.9K 219
Galing kay naiqueen

Ini remake dari cerita lama yang kubuat dari masa-masa putih abu-abu...kalo tokoh utama nya rada genit harap maklum soalnya aku kan buatnya dari masa-masa pertumbuhan hormonal tingkat tinggi he he...

Aku masuk kedalam sebuah cafe pertama yang kulihat di Getreidegasse dengan penuh kedongkolan. Kalau bukan karena kakak lelakiku yang super menyebalkan aku tentu tak akan ada di Salzburg, menyusuri jalanan Getreidegasse diantara wajah-wajah Eropa yang menatapku dengan asing.

Aku merasa bagai anak hilang disini.

Aku memilih duduk dideretan kursi yang menempel dikaca etalase kafe memandang keluar jendela dengan muram, menyesali keadaanku yang sengaja dijebak oleh si tolol Ferro Arkan Naghatirta sampai bisa berada di kota yang hanya akan dipilih oleh manula sebagai tempat berlibur. Bisa-bisanya dia mengatakan padaku kalau dia sedang ada dikota ini untuk melakukan penelitian pembangkit listrik tenaga Hydro yang terkait dengan tesis nya.

Harusnya aku ada di Ibiza sekarang, bermain di pantai berpasir putih dengan laut emerald green yang cantik dibawah cahaya matahari keemasan dengan bikini Bombshell super seksi full payet berwarna shocking pink...menarik semua perhatian cowok-cowok spanyol yang super seksi...berharap Cristiano Ronaldo ada ditempat yang sama...dan menemukan aku.

Uhhhh...kalo bete aku memang suka ngawur.

Seorang pelayan datang menyapa aku dalam bahasa Inggris.

Mungkin karena melihat tampang anak hilangku yang menyedihkan ini dia sadar kalau aku wanita muda nan cantik yang tersesat dari negeri antah barantah, jadi gunakan bahasa internasional paling umum pada si ‘anak hilang’.

“Mocca Latte” aku menyebutkan pesananku “With Strawberry Chocolate Gateau”.

Dan dia langsung pergi begitu aku selesai menyebutkan pesananku.

Meninggalkan aku yang kembali mengasihani diriku sendiri untuk banyak hal sekaligus.

Pertama, karena aku ada si Salzburg bukannya Ibiza.

Kedua, kenapa aku terlahir setelah mama melahirkan monster super jahil bernama Ferro Arkan Naghatirta...kenapa aku nggak jadi anak tunggal aja...kenapa aku nggak jadi adiknya Shia LeBouf aja.

Candiza Arkina LeBouf kan keren...

Atau Candiza Choi...adiknya Choi Siwon

Atau apalah...pokoknya selain Adiknya Ferro Arkan Naghatirta yang nyebelin...ngeselin...ngebetein itu.

Terkutuklah kakakku satu itu, semoga dia panuan sekarang.

Biar nggak bisa sok ganteng lagi..biar gak ada cewek Spanyol yang mau sama dia..bahkan cewek paling jelek sekalipun.

Pesananku datang, aku mengucapkan terima kasih pada sipelayan kafe sambil tersenyum kecut dan mulai menikmati Gateau yang ternyata rasanya enak sekali.

Pada suapan ketiga aku menikmati gateau ku sambil tersenyum dan berhenti mengasihani diriku sendiri.

Mulai memperhatikan situasi disekitarku dengan seksama dan baru menyadari kalau Salzburg kayaknya nggak jelek-jelek amat...kotanya bersih...tertata apik...penuh bunga..banyak butik elit...dan makanannya juga enak.

Aku menghembusakan nafas perlahan-lahan sambil mengerutkan dahi dan bibirku ketika akhirnya keputusan untuk menghibur diri selama di Salzburg telah kuambil. Aku nggak tau caranya bagaimana yang jelas aku harus bersenang-senang...mungkin jalan-jalan disekitar Salzach River cukup menyenangkan juga, pikirku sambil menghirup Moccha Latte-ku, pandanganku berpaling dari situasi diluar cafe kesituasi didalam cafe memperhatikan dengan seksama semua yang ada disekitarku.

Ternyata cafe ini sedang sepi...selain aku hanya ada empat orang lainnya yang sedang menikmati minuman mereka didalam kafe. Seseorang pria bertubuh besar layaknya seorang atlet gulat menarik perhatianku karena mengenakan topi bulu-bulu putih bertelinga panjang khas Rusia.

Kereeeeen....dia beli dimana sih yang kayak gitu.

Eh...tapi tunggu dulu, apa yang disembunyikannya dibalik jaket yang dipakainya...benda hitam panjang dengan ujung bulat berlubang...

Ya tuhaaaannnn.....itu pistol.

Secara otomatis mataku mengikuti arah kemana moncong pistol itu tertuju.

Meja bar...tempat dimana seorang pria tengah duduk menikmati beer nya.

Ini bukan perampokan...melainkan upaya pembunuhan. Jantungku seakan-akan berhenti berdetak menyadari hal itu.

Berbeda dengan jantungku, tanganku bergerak cepat membuka resleting hoodie hijau yang kupakai,  meletakkannya begitu saja keatas kursi, membiarkan blouse putih berpotongan dada rendah dari Mango yang rencananya akan kukenakan di Ibiza terekpose begitu saja kemudian berdiri dari tempat dudukku melangkah dengan gaya seseksi mungkin menuju kearah meja bar..tempat dimana pria yang jadi target pembunuhan itu berada.

Aku tak mengerti apa yang akan kulakukan. Yang jelas dibenakku hanya ada satu misi...menyelamatkan si tuan ‘beer’ dari ancaman pembunuhan oleh tuan ‘topi rusia’.

Sorotan mata dingin itu menatap kearahku saat aku memulai kegilaanku untuk menyelamatkannya.

Kurasa semua mata didalam cafe ini melakukan hal yang sama kepadaku...bahkan bisa kulihat bartender cafe mengangkat sudut bibirnya sekilas saat melihat apa yang kulakukan.

Aku duduk dipangkuan si tuan beer dengan kedua lengan melingkar dilehernya.

“Siapa kau?” tanyanya, suaranya terdengar berat ditelingaku “Aku sedang tidak butuh teman tidur sekarang” sambungnya sambil memberikan tatapan terganggunya padaku.

Ahh... sial, dikiranya aku cewek nakal apa!.

“Sekarang kau butuh” kataku sambil memamerkan senyuman paling memikat yang bisa kulakukan untuknya, bisa kulihat bagian diantara kedua alisnya berkerut sekilas saat itulah aku baru menyadari kalau di tuan beer ini tampan sekali.

Kedua matanya yang bersorot dingin itu memiliki warna biru paling indah didunia...birunya safir.

Wajahnya, hidungnya, kulitnya dan bahkan warna rambutnya menjelaskan padaku dari mana dia mendapatkan itu.

Dia jelas-jelas mewarisinya dari salah satu kakek atau neneknya yang berdarah Eropa selatan...menyadari itu hatiku bersorak kegirangan.

Aku mendekatkan bibirku ketelinganya tanpa diminta membisikkannya apa yang tidak diketahuinya “Seseorang diarah jam delapan mengarahkan ujung pistolnya kearahmu”.

Aku bisa merasakan tubuh dan matanya memberikan reaksi yang luar biasa atas kalimatku barusan, sudut matanya mencari keberadaan pria yang kumaksud itu.

“Bagaimana?” tanyaku.

Dia menatapku terpaku selama beberapa saat, kemudian tersenyum sekilas yang seketika melumpuhkan kemampuan otakku untuk mencerna apapun.

“Kau benar” katanya, bisa kurasakan saat itu juga kalau lengan kanannya yang panjang telah melingkar dipinggangku “Aku membutuhkanmu”.

Aku tersenyum penuh kemenangan...bangga karena telah berhasil menyelamatkannya, lenganku tetap menggelayuti lehernya saat dia mengeluarkan dompetnya dan membayar apa yang kami pesan.

“Termasuk punya nona ini” katanya pada si bartender.

Kemudian kami berdiri diiringi tatap mata seluruh pengunjung cafe, seseorang diantaranya bahkan tampak geleng-geleng kepala sambil mengatakan ‘sepagi ini’ dalam bahasa Jerman pada teman yang menemaninya duduk.

Kami melewati si tuan topi Rusia yang tengah menyesap espressonya dengan tampang masam...saat melewatinya aku memberikan kedipan nakalku sambil tersenyum penuh arti, sementara dia tetap terlihat dingin-dingin saja, mungkin kesal karena aku telah berhasil menggagalkan rencananya.

Pintu cafe terbuka dan udara musim semi Salzburg yang masih tetap terasa dingin menyambutku.

Aku menghela nafas dari mulutku karena angin yang menghantam bagian dada dan leherku yang sedikit terbuka.

Lengan pria disebelahku naik dari pinggang kebahuku, seakan-akan dia sedang berusaha menutupi bahuku yang terbuka aku menoleh kearahnya agak sedikit kaget.

Dia balas melakukan hal yang sama sambil menuntunku melewati deretan toko dan kafe di Getreidegasse menuju kejalanan lain yang sedikit lebih luas tempat dimana dia –tampaknya- memarkir mobilnya.

Tak sepatah katapun yang keluar dari mulut kami saat berjalan bersama-sama.

Ckk...sumpah ya! Aku paling bete dengan cowok yang tega mengacuhkan aku...nggak menghargai kecantikan Indonesia pada wajah manisku...mubazir banget.

Aku melepaskan rangkulanku pada lehernya “Sudah...kurasa ini sudah cukup jauh” kataku “Kita pisah sampai disini saja...aku akan pulang kehotelku sendiri”.

“No” katanya santai “Kau ikut denganku” tanpa ekpresi dia bicara padaku.

“Heiiii...aku hanya menolongmu. Duduk dipangkuanmu bukan berarti aku cewek nakal tau...tampangku memang tampang anak hilang disini...tapi bukan berarti aku ini cewek backpacker yang sudi jual diri kalau sudah enggak punya biaya buat melancong kesana kemari...kau tau, aku cukup kaya untuk ukuran penduduk Eropa” hatiku menertawakan kalimat panjang lebar sombong yang baru kuucapkan itu.

Dia menoleh kearahku menatap dengan tatapan dinginnya itu “Dengar nona...”.

“Candiza....Candiza Arkina Naghatirta but just call me Dee..”.

“Oke, Dee...aku beritahukan kalau saat ini lebih aman kau ikut denganku, karena aku yakin begitu tanganku terlepas dari tubuhmu kau akan jadi target pembunuhan selanjutnya”.

Aku terdiam mencoba mencerna kata-katanya “Nggak masuk diakal” bantahku “Untuk apa mereka mengincarku?”.

Kudengar dia menghela nafas panjang tangannya dibahuku mencengkeram erat disana memberikan jejak hangat dibahuku yang kedinginan, bagian lain dari tubuhku yang terbuka kurasa mulai iri dengan bahu kiriku itu

“Kau telah melakukan kesalahan besar dimata mereka”

“Apa?” aku menatapnya bertanya.

“Menyelamatkan aku” jawabnya singkat.

Aku tertawa pelan “Sejak kapan menyelamatkan seseorang jadi masalah...kalau memang seperti itu, aneh sekali negara ini”.

Dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, rupa-rupanya itu kunci pembuka pintu mobil dia menekan tombol merah yang ada disana....terdengar bunyi klakson dari satu mobil yang paling terlihat menggiurkan ditempat itu.

Mataku memelototi sedan Maybach hitam pekat yang terparkir dalam jarak sepuluh meter diseberang tempat kami berdiri.

“Itu mobilmu?” tanyaku kegirangan “Antarkan aku kehotelku ya...aku ingin sekali naik mobil itu” kataku tak tau malu...disebelahku dia hanya diam mematung, membuatku merasa menyesal telah mengatakan hal-hal bodoh yang semakin menjelaskan sifat alamiku yang matre.

Aku memutuskan untuk tetap tidak tau malu dengan berusaha menjejakkan kaki keluar dari pinggiran trotoar ketika tangannya mencegahku melakukan itu...tanpa banyak bicara dan terburu-buru dia menyeretku menjauh dari tempat itu...menghentikan taksi kosong pertama yang lewat didepan kami membuka pintu dan mendorong tubuhku masuk kedalam mobil...

“Apa-apaan sih kau ini” bentakku berang sambil memelototinya dia mengacuhkan aku dan menyebutkan sesuatu yang kemungkinan besar adalah alamat rumahnya pada si pengemudi taksi.

Tepat disaat mobil yang kami tumpangi mulai melaju aku mendengar suara ledakan keras dari arah belakang, refleks aku menoleh kearah jendela kaca belakang taksi yang kami tumpangi.

Aku terpaku.

Detik itu juga aku bersyukur karena dia telah memaksa aku naik ketaksi ini bersamanya.

“Siapa kau?” tanyaku tanpa menoleh kearahnya “Kenapa sampai ada yang ingin membunuhmu?” 

“Mereka orang-orang suruhan suami sepupuku” jawabnya datar seakan dia sama sekali tidak sedih melihat Maybach nya meledak diparkiran “Mafia Italia”.

Mafia Italia!.

Mafia Italia katanya!!.

Demi tuhan....memangnya apa yang sudah kulakukan sampai aku harus terlibat dalam upaya pembunuhan yang coba dilakukan oleh mafia Italia terhadap laki-laki tampan berwajah mirip pensiunan pesepakbola Filippo Inzaghi dalam versi yang lebih muda.

Tersesat ditempat yang tidak menggairahkan seperti Salzburg saja rasa-rasanya bagai dibuang kedalam neraka ditambah lagi aku salah karena telah menyelamatkan satu iblis tampan yang dihukum didalamnya...membuat aku mulai cemas karena harus berurusan dengan para penjaga pintu neraka.

Ini semua gara-gara Ferro.

Cuma karena nggak kepingin melihat adik ceweknya yang super cantik ini menggoda iman laki-laki di Ibiza dia malah membuatku terlibat dalam urusan bunuh-bunuhan segala...lihat saja nanti kalau aku bertemu dengannya, dengan senang hati aku akan mencincangnya jadi potongan kecil dan mengumpannya untuk ikan-ikan di laut china selatan.

Taksi itu terus berjalan melewati jalan-jalan kota yang semakin lama terasa semakin lenggang. Tampaknya kami menuju kearah pinggiran kota. Semakin lama semakin sedikit flat atau apartemen yang kulihat berganti dengan rumah-rumah besar berpagar besi yanng lebih mirip dengan properti pribadi milik kalangan keluarga bangsawan atau keluarga kaya di Salzburg.

Aigen Mitte.

Aku mengulang nama itu dalam hati. Saat menemukan papan nama yang menjelaskan tempat keberadaan kami.

Yang kutahu Aigen adalah salah satu distrik di wilayah Salzburg itupun aku tau setelah sempat melihat-lihat online map dari google sejak tersesat ditempat ini.

Mobil berhenti didepan sebuah gerbang tinggi yang dicat keemasan, ada papan nama kayu dengan ukiran kuningan yang kulihat menempel pada salah satu tembok pagar.

Villa Reedl.

Von Coudenhove-Kalergi.

Sumpah! Aku yakin aku pernah mendengar nama itu....tapi dimana ya.

Lagi pula aku nggak pernah kenal satupun keluarga Austria sebelumnya...tapi beneran, aku familiar dengan nama keluarga itu..

Von Coudenhove-Kalergi.

“Rumah keluargaku” katanya sambil membuka jendela taksi dan berusaha memperlihatkan wajahnya pada kamera cctv yang terpasang pada sebuah lubang kecil di bawah papan nama keluarganya, tak lama kemudian pintu gerbang itu terbuka secara otomatis dan taksi kembali berjalan masuk kedalam halaman rumah yang dari jauh terlihat mirip dengan white house di Washington DC.

“Kurasa untuk sementara ini kau lebih aman disini” sambungnya lagi.

“Ya” kataku “Tapi barang-barangku masih di Hotel….”.

“Akan kusuruh orang untuk mengirimnya kesini”.

Aku diam selama beberapa saat, memikirkan segalanya dengan lebih serius…menyadari kalau masa liburan dikota tua ini bahkan sudah berakhir tanpa sempat kumulai….benar-benar menyebalkan.

Ini semua karena Ferro.

Dan cowok disebelahku…

Benar! Dia juga terlibat dalam kesialan nasibku, aku harus minta pertanggung jawabannya.

“Bisa kau beri aku tiket untuk pergi ke Madrid?” tanpa basa-basi aku langsung bertanya.

Dia menatapku dengan alis yang bertaut keheranan.

“Kakak laki-lakiku ada di sana…dia menjebak aku dengan mengatakan sedang liburan kesini hanya karena takut penyakit ‘genitku’ kumat kalau aku ikut liburan di Ibiza”.

Untuk pertama kalinya suara tawa terdengar didalam taksi itu suara tawa berat tertahan namun berirama miliknya itu menurutku memang tawa yang jadi ciri khas kaum bangsawan Eropa…aku menggaruk-garuk pelipisku memikirkan apa aku ini terlalu sok tau tapi saat kembali menatap kewajahnya aku agak sedikit terkejut saat menyadari caranya tertawa terdengar benar-benar membuatnya terlihat sangat tampan dan menggoda.

Ahh…aku benar-benar suka dengan sensualitas cowok-cowok Eropa Selatan, memikirkan itu membuat dahiku berkerut bingung sendiri.

“Kau benar-benar orang Austria?” tanyaku ketika sudah tak dapat mengendalikan rasa ingin tau lebih lama lagi.

“Apa yang membuatmu tidak yakin kalau aku orang Austria?” dia balik bertanya padaku dengan mimik wajah lebih serius.

“Wajahmu tidak seperti wajah laki-laki Austria”.

Dia tersenyum datar “Memangnya kau kenal laki-laki Autria selain aku?”.

Cepat-cepat aku mengangguk.

Dia menatapku penasaran “Siapa?”

“Arnold Schwarzenegger”

Dia tertawa lagi, dagunya sampai terangkat keatas karena melakukan itu…saat selesai menertawakan aku dia menatap aku seakan-akan aku mahluk paling aneh yang pernah ditemuinya dalam hidup.

“Kau lucu miss Dee...”.

“Kau orang kesejuta yang mengatakan itu” balasku tak acuh.

Dia diam saja sambil menatapku dari balik bahunya yang menjulang jauh dari kepalaku...jangkung sekali dia.

Mobil berhenti dimuka tangga pualam dimuka pintu masuk villa reedl milik keluarganya saat itulah aku menyadari kalau aku bahkan tidak tau siapa namanya.

“Oh ya...apakah ini kebiasaanmu?” tanyaku.

Dia menoleh kearahku lagi “Apa?”.

“Mengajak seorang gadis kerumah tanpa mengenalkan siapa dirimu yang sebenarnya?” sindirku ketus.

Dia tersenyum ramah walau aku menemukan sedikit keangkuhan pada senyum yang sama...dia kelihatannya bukan lelaki yang suka menonjolkan diri diantara wanita-wanita...sayang sekali, padahal dia tampan.

“Maaf” katanya, lalu dia mengulurkan tangan kanannya kepadaku “Aku Conrad Maximilian Heinrich Von Coudenhove-Kalergi Remini, Count dari keluarga Coudenhove-Kalergi yang ke 11.

Aku meringis mendengar dia menyebutkan nama serta gelar kebangsawanannya yang super panjang itu. Membayangkan betapa sulitnya jadi pegawai catatan kependudukan dan sipil di Austria yang menangani urusan pembuatan akte putra-putri bangsawan disini...jezz, untung dia nggak lahir di Indonesia, kasihan bangetkan pas lagi menghadapi UAN sekolah...bisa-bisa waktunya habis semua buat ngisi nama doang ha ha..

“Panggil aku Max” katanya menyadari kerutan didahiku yang semakin dalam ketika memikirkan dengan serius dampak nama panjangnya itu.

“Oh...” seruku seakan tersadar itu baru nama yang masuk diakal “oke Max..jadi aku sudah tau namamu juga alamat rumahku..jadi apakah aku bisa pergi kehotelku atau kau malah akan berbaik hati memberiku tiket ke Spanyol sekarang juga?”.

Dia menggamit lenganku tanpa kuminta menarikku masuk kedalam villa mewahnya yang lebih mirip sebuah istana kecil bergaya Greek revival itu.

“Kita akan membicarakan semuanya didalam Dee....kau ikut aku dulu, oke!”.

Kupikir tak ada lagi yang bisa kulakukan selain mengangguk setuju dengannya saat ini.

“Kau tau brengsek...tak perlu ke Ibiza jauh-jauh aku bisa menemukan pria tampan untuk kujadikan korban kegenitanku” teriakku pada wireless phone ditanganku yang kugenggam kuat..diseberang sana aku terhubung dengan kakakku Ferro.

Disebelahku Max menatapku yang lagi marah-marah dengan tampang seriusnya, kedua lengannya terlipat didepan dada...ketampanannya membuat aku merasa terintimidasi di ruang santai villa reedl yang luas dan bernuansa klasik.

“Jemput aku sekarang juga di Salzburg atau aku akan memperkosanya..” sekali lagi aku berteriak pada kakakku “Kau akan terkenal karena punya adik penjahat genit, kakakku sayang” ancamku dengan jahat sebelum mengakhiri pembicaraan internasionalku dengannya.

“Brengsek..” Aku memaki marah sambil menaruh kembali telepon rumah keatas meja konsol diruang yang sama, lebih brengseknya aku sama sekali tidak menemukan benda murahan yang bisa kutendang disekitar sini..semuanya benda seni antik dan berkelas cerminan kekayaan yang diwarisi oleh keluarga Coudenhove-kalergi dari nenek moyangnya sejak berabad-abad yang lalu.

Ini hari keempat aku berada di Villa Reedl. Aku sudah cukup akrab dengan Max, sibangsawan keren.

Cukup akrab sampai-sampai aku tau sejarah asal mula keluarganya.

Dia berdarah Flemish dari kakek buyutnya yang masih keturunan bangsawan Perancis....mewarisi darah Yunani dari nenek buyutnya yang juga bangsawan di pulau Kreta...lalu dari neneknya yang lain dia mendapat darah Jepangnya...dan dari ibunya mendapat warisan wajah ala Inzaghi dan nama Remini, dan nama terakhirnya itu yang jadi kesalahannya.

“Lelaki keluarga kami sering jatuh cinta pada wanita asing..” katanya “Jadi ketika ayah menikahi ibuku itu tidak mengherankan...terlalu standar malah, hanya saja jadi agak sedikit luar biasa saat keluarga besar kami tau kalau ibuku anak mafia paling terkenal di Roma”.

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku persis seperti Nathan, burung kakak tua kesayangan papa....jujur sejarah keluarganya sama sekali tidak menarik....peduli amat kalau dia bangsawan...cewek jaman sekarang sih hanya peduli dengan ketajiran dan kegantengan seorang cowok, just it, sejarah keluarganya hanya berguna kalau aku mau menikah dengannya, sekedar untuk memastikan kalau salah satu kakeknya bukan keturunan Vlad sang pangeran vampir.

Aku masih termangu-mangu sambil menatap cemberut pada seluruh lukisan angkuh  Count dan Countess Coudenhove-Kalergi dari masa yang lampau. Amarahku sudah nyaris sampai diubun-ubun rasanya....aku tak kunjung dijemput oleh kakakku yang brengsek itu...terjebak dikota cantik tapi suram bersama bangsawan mafia Eropa paling tampan dan sialnya....kami tidak melakukan apa-apa....hhhhhhh.......

Romansa manis seperti itu kayaknya tidak berlaku pada kisah hidupku ini...membosankan.

Aku sudah hampir menangis sendiri saat sesuatu yang hangat menyentuh bahuku, aku menoleh dan menemukan wajahnya tengah menatapku sambil tersenyum, dahinya berkerut-kerut tapi malah membuat tampangnya jadi elegan, benar-benar bangsawan sejati mahluk satu ini...

Oke! Aku bukan kaum puritan atau anti monarki, tidak masalah bagiku kalau dia bangsawan...hanya saja aku benci sikap sopannya...aku butuh sesuatu yang eh...sedikit liar, harusnya dia punya itu...diakan berdarah selatan yang terkenal dengan cowok-cowok berkepribadian hangat dan perayu...Ahhhhh....keluarkan sisi Cassanova mu Max. Aku menjerit dalam hati dengan frustasi, satu-satunya pembenaran atas sakit jiwaku ini adalah karena kurasa aku kurang hiburan saja kok.

“Dimana?” tanyanya padaku.

“Eh! Apa?”.

“Dimana kau akan memperkosaku?”.

HUUUUUUAAAAAPAAAAA.......

Kedua pipiku pastilah telah memerah, ya! Aku yakin itu...aku bisa merasakan suhu di wajahku naik dengan drastis pada bagian itu.

Eh! Memangnya tadi saat mengomeli Ferro aku pakai bahasa apa? Rasa-rasanya bahasa ibu kandungku deh.

“Kau bisa bahasa Indonesia?” tanyaku hati-hati.

Bibirnya menyunggingkan senyum gelinya, perlahan dia mengangguk.

MATI AKU.....MATI AKU...MATIIIIIIII......

“Hee...kok bisa?” hanya itu kalimat tolol yang mampu kutanyakan padanya.

“Tentu saja” sahutnya santai “Aku bekerja di Indonesia selama lima tahun terakhir ini”

Sial...kok aku enggak pernah ketemu dengannya.

Dia kemudian menyebutkan nama sebuah Bank Eropa berjaringan Internasional tempat yang sama dimana papaku menjadi salah satu stake holdernya.

“Dan teman baikku sewaktu kuliah di London juga orang Indonesia..”.

“Oh ya?” aku menyeru tanpa semangat.

“Ferro Arkan Naghatirta”

Aku mendongakkan kepalaku untuk menatap langsung kematanya, mulutku membuka selebar-lebarnya.

Pantas saja namanya familiar ditelingaku...Ferro berulang kali telah menyebutkan nama yang sama padaku dulu.

Dia tersenyum lebar..dengan cara yang terlihat, ehm...licik.

“Aku sudah sering melihat fotomu...dan mungkin aku jatuh cinta sejak pertama kali melihatnya, Ferro tau dan dia tidak keberatan ketika aku mengatur semua ini agar kau bisa berlibur bersamaku disini”.

Mulutku terbuka makin lebar.

Untung ini Eropa....pesawat enggak bisa sembarangan terbang disini, kurasa aturan yang sama berlaku untuk lalat.

Max masih mengoceh soal rencana jeniusnya..tentang temannya yang berpura-pura jadi mafia Itali padahal dari tampangnya saja sudah kelihatan sekali kalau dia Orang Eropa timur...mobil yang diledakkan atau tepatnya pura-pura diledakkan bla..bla..bla....

Yang jelas membuat mulutku melongo tambah lebar dan lebaaaar...dan lebaaaaaaarrrrr....

“Jadi!” katanya setelah sekian lama bercerita padaku “Bagaimana dengan pengakuanku ini? Apa aku bisa mendapat pertimbanganmu untuk dijadikan kekasih?”.

Astaga...dia benar-benar keturunan Don mafioso...bagaimana bisa pernyataan cintanya lebih menyerupai ancaman. Ditelingaku itu lebih menyerupai kalimat ‘kau ingin hidup atau mati...’.

Dan aku tentu saja pilih nyawaku.

Kehidupanku.

Lagi pula Max ini punya nilai jual tinggi, aku yakin pamorku pasti langsung melejit kalau sampai teman-temanku tau aku pacaran dengan bule ganteng, kaya, keturunan bangsawan dan mafia yang jenius, sedikit licik dan...mmmm....rrrrgggg....hot.

Aku tersenyum padanya, senyum tak percaya dan gembira.

“Jangan khawatir” jawabku sambil meraih lengannya dengan sikap manja dan mesra “setidaknya masih ada sembilan hari lagi bagiku untuk mengenalmu ... kita manfaatkan itu baik-baik Max”.

Dia tersenyum menyeringai penuh arti, tangannya yang lain membelai punggung tanganku yang ada dilengannya  “Oke” katanya “Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang?”.

Pertanyaannya itu membuat pikiranku melayang lagi kepada bikini shocking pink yang masih terlipat rapi didalam travel bag ku.

“Dimana aku bisa berenang disini? Aku mau berenang?”.

“Oh! Keluargaku punya rumah pedesaan di Hallstatt...lokasinya dekat dengan danau Hallstatter, ada kolam air panas di rumah itu, jelas itu tidak akan sama dengan pantai di Ibiza yang hangat dan ramai...di Hallstatt suasananya agak sedikit privat”.

Ow...suasana privat...berdua dengan mahkluk tampan ini!!.

“Oke tak jadi masalah kurasa...tapi tunggu sebentar” aku melepaskan pegangan tanganku dari lengannya, berbalik lagi menuju kemeja dimana tadi aku meletakkan wireless phone...menekan tombol redialnya dan sembari menunggu suara seseorang disana menyambutku...aku melangkah mendekati Max, mengulurkan tanganku dan dia menyambutnya dengan hangat lalu memeluk erat pinggangku dengan mesra sekali.

Suara kakakku menyapa diseberang sana.

“Hai kak” sapaku dengan suara gembira yang tak mampu kututupi.

“Apalagi?” bentaknya kesal “Mau merengek lagi?”.

Aku tertawa “Tidak...aku justru ingin berterima kasih padamu”.

Hening sesaat.

“Untuk?” tanyanya.

“Rencana indahmu yang melibatkan sahabatmu Max”.

Dia ber-oh sebentar “Kau sudah tau?”.

“Yup”.

“Jadi?”

“Aku suka”.

“Baguslah dia lelaki yang baik ...kau jangan macam-macam dengannya ya”.

“Oh! Jangan macam-macam..” ulangku dengan nada bingung dibuat-buat...”Maksudmu jangan genit-genit, begitu?”.

“Whatever”.

“Aduuuhhh...sayang sekali! Kami baru mau merencanakan berlibur kesalah satu rumah danaunya...kau tau! Aku akan memakai bikini shocking pink ku nanti selama ada disana...ups...aku jadi agak tidak sabar”.

Max tertawa geli melihat aku dengan sengaja mempermainkan kakakku sendiri.

“Jangan main-main Dee..” suara ferro mulai terdengar panik diseberang sana.

“Harusnya kau pikirkan resiko itu sebelum menjebakku disini bersamanya..” kataku sambil melirik kearah Max yang masih setia menungguku berbicara dengan kakakku.

“Oke aku salah” Ferro mulai berteriak frustasi “Tapi kurasa Max juga enggak akan macam-macam denganmu bukan”.

“Eh! Siapa bilang...dia lelaki dewasa loh...sama kayak kamu...dan usahanya untuk mendapat perhatianku layak untuk dapat hadiah...kau dengar ini ya..” aku mengangkat telepon itu kedekat wajah Max..”Sayang! kau mau punya anak berapa?” tanyaku semanja mungkin.

Max tersenyum lebar “Kurasa tiga cukup, sayang”.

Aku kembali menarik telepon itu dari hadapan wajahnya “Kau dengar itu, kakakku yang tolol...dia mau tiga, jadi apa salahnya kalau aku memulai dengan yang pertama dulu..”

“Dee aku akan membunuhmu kalau kau macam-macam...”.

“Oh....enggak takut tuh..”.

“Aku akan kesana...sekarang juga”

“Hanya kalau kau bisa menemukan aku berlibur kemana..ha ha...” kemudian aku mengakhiri pembicaraan itu begitu saja.

“Nah” kataku pada pacar baruku “Aku telah membuka kedok asliku didepanmu...jelas-jelas aku bukan tipe cinderella” tambahku lagi.

“Aku tidak heran” sahutnya sambil membimbing langkahku menuju kelantai atas, mungkin bermaksud mengajakku mempersiapkan keperluan berlibur kami “Aku tau sejak dulu kebiasaan kakak beradik Naghatirta...aku sering mendengar kau ribut-ribut ditelepon dengan Ferro dan jujur aku berpikir kalau kau cewek yang asyik”.

“Katakan lagi hal yang sama setelah kau bertahan hidup denganku sembilan hari kedepan”.

“Oke” sahutnya dengan penuh percaya diri “Kujamin itu tak akan berubah”.

Aku hanya diam saja dan tersenyum sambil memandang wajah tampannya yang benar menyenangkan untuk dipandangi berlama-lama.....rasa-rasanya agak sulit dipercaya dia menyukaiku.

“Jadi apa disana kita akan memulai membuat anak pertama?” godanya dengan gaya yang casual...tapi sukses memerahkan wajahku lagi.

“Max...tadi itu aku hanya menggoda Ferro”.

“Begitukah..”.

Aku mengangguk “Aku hanya akan melakukan ‘itu’ setelah melewati karpet merah dengan bunga-bunga bertaburan dan lonceng gereja berdentang, oke”.

“Oke” sahutnya singkat sambil tertawa pelan “Kujamin itu tak akan lama lagi...untuk sementara aku akan cukup puas memandangi bikinimu saja”.

Aku mencubiti pinggangnya dengan gemas “Kau bawel sekali rupanya...kemana sikap dingin mu yang dulu itu hah!”.

Dia menatapku dengan wajah tanpa dosa “Itukan hanya sandiwara, Liebe?’.

Aku berdecak perlahan “Sandiwara yang bagus” sambungku menyetujui.

Tangannya yang semula berada dipinggangku terangkat untuk mengacak-acak rambutku.

Aku tersenyum lebar, Baru sekarang saja rasanya aku tidak menyesali bisa tersesat di Salzburg.

THE END

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

1.9M 87.1K 46
Di satukan oleh keponakan crush Kisah seorang gadis sederhana, yang telah lama menyukai salah satu cowo seangkatannya waktu sekolah dulu, hingga samp...
634K 7.9K 8
[Short Story - Romance] Follow dulu, baru dibaca. Tahukah Kamu Hidup Itu Seperti Apa? Kadang Terasa Menyenangkan Kadang Terasa Rumit Sedih, Bahagia...
2.5K 172 14
Tenang, pendiam, dapat diandalkan, dengan ekspresi datarnya yang sulit ditebak. Dialah Ranetha Claire. Gadis sederhana yang jauh dari kata bersinar i...
872K 30.8K 7
Colorful Of Love Enjoy The Series! Colorful of love adalah seri bertema romantis dengan kisah percintaan empat tokoh gadis yang memiliki kisah berbed...