Happiness [SELESAI] ✔

By AM_Sel

2.3M 264K 44.9K

Lo itu makhluk terindah yang pernah gue temui. Lo makhluk terkuat di hidup gue. Tapi, lo juga makhluk terapuh... More

• 0 •
• 1 •
• 2 •
• 3 •
• 4 •
• 5 •
• 6 •
• 7 •
• 8 •
• 9 •
• 10 •
• 11 •
• 12 •
• 13 •
• 14 •
• 15 •
• 16 •
• 17 •
• 18 •
• 19 •
• 20 •
• 21 •
• 22 •
• 23 •
• 24 •
• 25 •
• 26 •
• 27 •
• 28 •
• 29 •
• 30 •
• 31 •
• 32 •
• 33•
• 34 •
• 35 •
• 36 •
• 37 •
• 38 •
• 39 •
Bonus +
❤ Cuap-Cuap Sellin ❤
Bonus ++
Bonus +++
ff
Bonus ++++
Bonus singkat karena rindu
Special
Special (2)
Bonus +++++
Bonus ++++++
Happy Birthday! and a little spoiler to you guys

Special : Poppy

40K 3.8K 582
By AM_Sel

Aku hanyalah seekor kucing kecil yang tidak berdaya.

Beberapa hari yang lalu, aku dibuang oleh pemilikku. Ia meletakkan tubuh kecilku di dalam kardus dan meletakkan kardus tersebut di depan sebuah bangunan bertingkat tinggi.

Aku terlalu takut untuk keluar dari kardus. Banyak manusia asing yang menyeramkan di luar sana. Mereka berlalu-lalang dengan tubuh yang menjulang tinggi. Membuatku merasa terintimidasi. Begitu pula suara-suara memekakan telinga yang berasal dari benda yang mereka gunakan untuk berpergian. Menyeramkan sekali.

Aku hanya duduk diam di dalam kardus dan sesekali meringkuk menahan lapar.

Aku rasa, aku akan segera mati.

Tidak mungkin ada manusia baik hati yang mau memungut kucing kotor sepertiku. Apalagi aku bukanlah dari ras yang terpandang. Buluku tidak panjang dan cantik. Tidak pula memiliki keunikan tertentu. Aku hanya kucing kampung berwarna hitam yang terkadang dianggap membawa sial oleh sebagian orang.

Menyedihkan sekali ya.

Ah?

'Sniff' 'sniff'

Aku rasa hujan akan segera turun. Tubuhku pun kembali meringkuk untuk menahan hawa dingin yang mulai terasa. Ku harap, kardus ini tidak akan basah terkena air.

Ah, laparnya...

Kenapa dingin selalu bisa memperburuk rasa lapar?

Ku jilat kaki depanku yang kotor, lalu mengusapkannya ke belakang telinga yang terasa sedikit gatal, dan kuulangi beberapa kali.

Perlahan-lahan, warna awan mulai berubah. Yang semula putih, menjadi keabuan dan semakin menggelap.

Tubuhku semakin meringkuk ke pojok kardus. Apalagi saat aku melihat, setetes demi setetes air mulai berjatuhan dari atas sana.

Ah, bagaimana ini?

Aku memutuskan untuk mengeong. Tapi, meonganku terlalu pelan karena kelaparan. Pasti tidak akan ada yang mendengarnya. Kalau begini, siapa yang mau menolongku? Tapi, aku tetap berusaha mengeong. Memanggil siapapun itu yang mau berbaik hati mengambilku. Ah, tidak. Hanya sekadar menepikan kardus ini ke tempat teduh pun sudah lebih dari cukup untukku.

Manusia-manusia di sana, mulai berlarian. Mencari tempat berteduh. Tidak ada satu pun yang mendengar suaraku. Membuatku putus asa.

Aku pasti mati hari ini.

Kedinginan.

Kelaparan.

Basah.

"Hei.."

Aku mendongak. Seorang manusia. Terlihat masih muda. Tapi, dia tidak baik-baik saja. Wajahnya babak belur. Berdarah dan memar disana-sini.

Tangannya yang juga penuh luka terulur, mengambil tubuh kurusku. Jemarinya mengelus rahang bawahku sejenak, lalu tersenyum kecil. Manis sekali.

Petir menyambar. Membuatku kaget dan hampir melompat dari tangannya. Cakarku refleks keluar dan tertancap di seragam sekolahnya.

"Ah, harus pulang," gumam manusia ini. Ia memelukku, dan berlari. Tangannya sebisa mungkin menghalang air hujan yang akan mengenai tubuhku. Dia bahkan tidak peduli jika dirinya sendiri basah.

Tak lama kemudian, kami sampai di sebuah bangunan yang besar sekali. Tapi, tampak tak terawat. Apa ini rumahnya? Dia orang kaya?

Begitu kami masuk, bisa kulihat, banyak pintu yang berjejer di dalam sana. Banyak sekali kamarnya!

Ia menaiki tangga. Aku tidak tau kami naik ke lantai berapa, yang jelas langkahnya berhenti di depan salah satu pintu, dan membuka pintu tersebut.

Hujan benar-benar turun dengan deras sekali di luar sana.

Manusia ini mengambil sebuah handuk kecil dan mengeringkan tubuhku dengan lembut. Seharusnya, dia mengeringkan tubuhnya dulu. Dia jauh lebih basah daripada aku.

Lalu, handuk itu ia lilit ke tubuhku dan beranjak pergi. Mengambil sebuah mangkuk dan membuat entah apa di sana.

"Gue ngga ada makanan kucing, jadi lo minum susu aja dulu ya," ujarnya, dan menyodorkan semangkuk cairan berwarna putih.

Baunya enak.

Aku melepaskan diri dari lilitan handuk itu dengan mudah, lalu mulai menjilat cairan putih yang ternyata lezat itu. Apa namanya tadi? Susu ya? Aku harus mengingat namanya.

Dan aku rasa, manusia ini akan menjadi Tuan ku yang baru.

*****

Aku melanjutkan hidup dengan senang di sini. Tuan baruku adalah manusia yang baik. Dia membelikanku tempat tidur, membelikanku tempat untuk buang air, dan membelikanku tempat makanan khusus.

Ah, dia juga membelikanku kalung yang bisa berbunyi ini. Membuatku senang, dan sering memainkannya. Tuanku tidak pernah marah jika aku ribut. Dia akan membiarkanku bermain sendiri dan hanya duduk diam di sofa.

Namun, yang membuatku sedih adalah, kami jarang menghabiskan waktu bersama. Dia akan pergi sekolah pagi sekali dan baru pulang sore hari. Saat pulang, dia hanya mengganti baju dan memberiku makan, lalu pergi lagi hingga tengah malam. Setelah itu, dia akan tidur hingga esok pagi. Begitu hingga seterusnya.

Jika aku lapar saat tengah malam dan membangunkannya, dia tidak pernah mengeluh atau marah. Tuanku benar-benar mengurusku dengan sabar.

Kamarnya juga tidak pernah ditutup, jadi aku bisa tidur di sampingnya kapanpun aku mau.

Semuanya tampak baik-baik saja, hingga suatu malam, sesuatu terjadi.

Malam itu, Tuanku baru saja pulang. Aku kira dia sudah tertidur seperti biasanya, namun tiba-tiba aku mendengar sebuah rintihan.

Telingaku langsung menegak. Aku beranjak dari tempat tidurku dan segera melangkahkan keempat kakiku. Berjalan masuk ke dalam kamarnya.

Di sana, Tuanku tengah meringkuk. Ia mencengkram dadanya kuat dan merintih sakit. Dia menangis. Sedih sekali.

Aku mengeong. Khawatir padanya. Tapi, dia tidak memedulikanku.

Lalu, tiba-tiba saja, Tuanku mulai mencakar dirinya sendiri. Aku tidak mengerti. Aku tidak bisa melakukan apapun. Apa dia kesakitan?

Tangisannya tak berhenti. Malah terdengar semakin pilu. Seolah tak puas dengan mencakar, ia beranjak. Mencari sesuatu di laci nakas dengan kalap. Lalu, ia mengeluarkan benda tajam itu. Aku tidak tau apa namanya. Dan dengan tangan bergetar, ia mengarahkan ujung benda tajam tersebut ke lehernya. Seolah ingin menusuk dirinya sendiri.

Aku sontak berlari menghampirinya. Mengeong keras, dan menggigit bagian bawah celananya, lalu menarik celana itu. Dia tidak boleh melakukan hal itu. Dia akan mati! Jika dia mati, aku bagaimana?

Setetes air, jatuh ke atas kepalaku. Aku mendongak. Tuanku tengah menunduk menatapku. Terlihat putus asa.

Kumohon, jangan lakukan itu.

Benda berbahaya di tangannya, ia jauhkan dari leher. Lalu, jatuh terduduk dan menangis keras. Apakah sakit sekali? Apa yang membuatnya menangis? Bagian mana yang terluka?

Tuan, Tuan, jangan begitu. Jangan menangis.

Aku duduk di depannya, dan menatap Tuanku dengan lekat. Benda tajam tadi, ia lepaskan. Lalu, mengambil tubuhku dan memelukku. Aku mengeong.

Tenanglah, Tuanku. Aku akan selalu bersamamu. Aku akan selalu menantimu pulang di sini. Aku akan menemanimu sampai aku mati.

Setelah itu, ia tertidur di lantai. Aku bergelung di sampingnya. Namun, kedua mataku tak tertutup. Aku takut dia melakukan hal tadi lagi.

Dan keesokan harinya, ia tidak sekolah. Biasanya, jika tidak sekolah, dia akan pergi bekerja. Tapi, hari ini, ia tidak kemana pun.

Dengan wajah mengantuk, dan rambut yang berantakan, Tuanku sedang membuat minuman untuknya.

"Poppy.."

Aku mendongak. Poppy? Dia memanggil siapa?

Ia meninggalkan gelasnya. Lalu, menggendongku.

"Gimana kalo mulai sekarang, lo gue panggil Poppy?"

Aku menatapnya, lalu mengeong mengiyakan. Jika ia menyukai nama itu, maka aku tidak akan keberatan.

Apapun. Untukmu, Tuanku. Aku tak masalah dipanggil apapun. Aku tak masalah mau kau apakan.

Untukmu.

Untuk kebahagiaanmu.

*****

Aku sudah lumayan lama tinggal bersamanya. Sesekali, disela kesibukkannya, Tuanku menemaniku bermain. Terkadang juga, ia pulang dari sekolah dalam keadaan babak belur. Aku tidak tau apa yang terjadi. Apakah sekolah memang seperti itu?

Lalu, suatu ketika, disuatu sore, seorang pemuda masuk ke dalam rumah kami. Aku tidak mengenal pemuda ini. Tuanku selalu sendiri. Dia tidak pernah membawa siapapun pulang ke rumah.

"Ah! Ternyata dia beneran masih melihara lo!" seru pemuda itu dan menggendong tubuhku.

Aku mengeong. Tangannya yang besar, mengelus kepalaku pelan. Lalu, menggaruk rahang bawahku dengan enak.

"Tuan lo bakal pulang bentar lagi. Gue ke sini karena disuruh ngasi lo makan," ujarnya. Ia menurunkan tubuhku, lalu berjalan menuju lemari sambil bergumam pelan.

"...lemari atas, katanya."

Lemari tempat penyimpanan makanku, ia buka. Lalu, mengambil kantong makananku, mengambil mangkuk khususku, dan memberiku makan.

Dia tersenyum kecil. Setelah itu, berjalan mengitari rumah kami. Membuka-buka lemari atas. Melihat isi kulkas. Lalu, berkacak pinggang.

"Satu-satunya makanan yang ada di sini, cuma makanan punya lo. Dia makan itu juga? Ngga mungkin, kan?"

Aku mengeong. Pemuda itu mengacak rambutnya gusar. Aku menatapnya. Kekhawatiran yang terlihat jelas di matanya. Sebenarnya, orang ini siapa?

Dia menungguku hingga aku selesai. Lalu, membasuh tempat makanku itu, barulah pergi dari sini.

Tak lama setelah kepergiannya, Tuanku pulang. Tangan kanannya terperban. Ia terluka. Apa karena 'sekolah' lagi? Kenapa dia harus sekolah jika pada akhirnya sekolah hanya akan melukainya?

Dia hanya pulang sebentar untuk mengambil sweater. Lalu, kembali pergi. Ku rasa, ia akan pergi bekerja. Tapi, beberapa jam kemudian ia kembali. Tidak seperti biasa. Tangan kirinya memegang sebuah kantong plastik berukuran sedang. Sementara tangan kanannya yang diperban, kembali mengeluarkan darah.

Ia menghampiriku. Memelukku. Dan menangis lagi.

"Sampai kapan gue harus nunggu, Tuhan untuk ngambil nyawa gue?"

Aku mengeong. Menatap wajah menangisnya yang begitu menyesakkan. Aku tidak bisa menghapus air mata itu. Kenapa Tuhan begitu tega?

Ia menangis hingga tertidur. Aku menjilat pelan pipinya yang basah. Lalu, memutuskan untuk tidak ikut terlelap agar bisa menjaganya.

Keesokan harinya, Tuanku tidak pergi ke sekolah. Ia tidak terburu-buru saat bangun tadi. Hanya berjalan pelan menuju kamar mandi dan mandi. Begitu ia keluar dari sana, aku bisa melihat luka baru di pergelangan tangannya. Memerah dan masih mengeluarkan darah sedikit.

Setelah berpakaian, ia pamit padaku dan berkata akan pergi ke rumah sakit karena jahitan di tangan kanannya terbuka. Dan aku hanya bisa menunggu kepulangannya di rumah, tanpa melakukan apapun.

*****

Pemuda tak kukenal yang kemarin datang ke sini untuk memberiku makan, kembali mampir.

Tuanku tampak tak senang akan kehadirannya. Tapi, menurutku, pemuda ini adalah manusia yang baik. Ia membelikannya bahan-bahan makanan, buah-buahan, sayuran.

Lalu, kenapa Tuanku tidak menyukainya?

Pemuda itu datang mengunjunginya hampir setiap hari. Terkadang, Tuanku akan berpura-pura sedang tidak ada di rumah, membuat pemuda itu harus pulang.

Lalu, beberapa minggu kemudian, saat itu hujan sedang deras sekali. Malam juga mulai larut. Pintu rumah kami diketuk. Tuanku membukanya. Aku sudah mengira, pasti pemuda itu yang datang. Namun, dia tidak terlihat baik. Ia basah dan penuh kesedihan. Lalu, ia memeluk Tuanku. Dan saat itu, Tuanku tidak menolak. Bahkan, balas memeluknya.

Aku tidak terlalu mengerti apa yang mereka bicarakan. Setelah pemuda itu berganti baju, mereka berdua duduk bersampingan di sofa. Berbicara dengan topik yang tak ku mengerti. Dan entah kenapa, pemuda ini malah mulai tinggal bersama kami.

Aku tidak keberatan sama sekali. Tuanku akhirnya memiliki teman berbicara seorang manusia. Tidak hanya denganku yang tidak bisa membalas ucapannya. Pemuda itu juga terus memperlakukan aku dengan baik.

Aku suka melihat mereka saling berinteraksi. Sifat-sifat, serta ekspresi Tuanku yang tak pernah ku lihat, keluar. Biarpun terkadang ia kasar, tapi aku tau dia juga mempedulikan pemuda ini. Membuatkannya sarapan. Memberinya selimut.

Dan entah kenapa, Tuanku mulai suka dipeluk. Dia tidak akan menangis didalam tidurnya jika pemuda itu memeluk. Dia tidak berteriak lagi. Atau melukai tubuhnya sendiri.

Dia mulai... hidup.

Walaupun ia masih tak pernah tersenyum, atau pun tertawa. Tapi, menurutku ini sudah lebih dari cukup. Emosi yang lain mulai berkeluaran.

Hingga suatu hari, Tuanku pulang terlambat.

Pemuda itu begitu khawatir. Ia keluar dari rumah beberapa kali untuk mencarinya, tapi tak kunjung ketemu. Dan saat Tuanku pulang, keadaannya kacau. Bahkan terlihat lebih buruk dari sebelum ia bertemu dengannya.

Ada apa? Apa yang terjadi? Apa sekolah menyakitinya lagi?

Pemuda itu berusaha untuk menenangkannya. Menjaganya dengan baik. Memeluknya. Dan ikut terjaga hingga pagi karena Tuanku tak mau tidur.

Ia juga membantu Tuanku untuk mandi. Dan saat giliran pemuda itu yang membersihkan dirinya, Tuanku hanya terduduk di dekat pintu kaca balkon.

Aku mengitarinya. Sesekali naik ke atas pangkuan, atau memanjat punggungnya. Ayo, bermain. Bermain bisa membuat perasaanmu menjadi lebih baik. Tapi, dia mengabaikanku. Pemuda itu keluar dari kamar mandi. Bertanya ingin makan apa. Lalu, pamit pergi untuk membelikan apa yang Tuanku mau.

Sepeninggalnya, Tuanku beranjak menuju balkon. Hari ini adalah hari yang cerah. Aku mengekorinya dari belakang. Ia mendongak menatap langit yang memiliki warna yang sama dengan matanya. Lalu, ia naik. Aku hanya diam menatapnya yang tampak tenang. Kedua matanya menutup. Tangannya merentang. Seolah sangat menikmati kedamaian yang saat ini tengah ia rasakan. Lalu..

"EL!! JANGAN GILA, EL!!"

Aku terlonjak saat tiba-tiba pemuda itu berlari menuju Tuanku. Tuanku hanya diam. Kedua matanya membuka. Dan ia melangkah ke depan.

Jatuh.

Pemuda itu melompat naik ke atas balkon juga. Tangan kanannya terulur dengan tangan kiri yang menahan tubuhnya.

Tuanku itu kenapa? Jika dia ingin pergi ke luar, seharusnya dia ke luar lewat pintu biasa. Bukan melompat dari sini.

"El, jangan bergerak, oke? Gue betulin posisi gue dulu, habis itu lo gue tarik."

"Alvano.."

Telingaku menegak. Begitu pula dengan tubuhku. Ini suaranya.

"El, jangan lakuin itu," suara pemuda ini terdengar bergetar karena takut. Ia menggelengkan kepalanya.

"...makasih."

"EEEELL!!"

Lalu, aku mendengar suara sesuatu yang jatuh ke tanah. Pemuda itu turun dari balkon dan terduduk lemas di sampingku. Tubuhnya bergetar. Wajahnya memucat. Tunggu, bukankah tadi dia menahan Tuanku? Lalu, Tuanku mana?

Setelah itu, pemuda ini berlari ke luar. Air mata mengalir di pipinya. Ada apa? Kenapa? Aku melangkah ingin mengikutinya, namun aku kembali berbalik melihat pembatas balkon. Ah, aku tidak boleh pergi dari sini. Aku sudah berjanji akan selalu menunggu Tuanku untuk pulang. Jika dia kembali dan aku tidak ada di sini, dia pasti akan khawatir. Jadi, aku memutuskan untuk duduk tegak di ambang pintu balkon. Ekorku, ku gerakkan ke sana-kemari. Menunggu kepulangan Tuanku dengan sabar, seperti biasa.

Tapi, dia tak pernah pulang lagi.

Pemuda itu membawaku ke sebuah rumah. Ku kira di sana, ada Tuanku. Tapi, tidak ada. Dia tidak pernah muncul lagi. Selama apapun aku menunggu kepulangannya di depan pintu. Dia tidak datang. Ini berbeda dari biasanya. Dia ke mana? Apakah aku dibuang? Ah, tidak, tidak, Tuanku tidak akan melakukan itu. Ini semua pasti karena dia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Sangat sibuk. Maka dari itu, dia tidak bisa pulang dan menitipkanku pada pemuda ini.

Dia pasti akan datang. Dia pasti akan kembali.

Lalu, setelah sekian lama, yang menurutku amat sangat lama, akhirnya dia sungguh kembali. Saat aku pulang dari rumah sebelah, habis bermain dengan Burhan--kucing betina milik manusia sebelah yang mata birunya meningatkanku pada Tuanku--aku disambut olehnya yang sedang duduk disebuah kursi yang aneh karena ada roda besarnya. Seulas senyum manis diarahkan padaku.

"Poppy," suara yang membuatku rindu. Aku menaiki pangkuannya. Menggesekkan kepalaku pada bajunya, yang mana membuatnya tertawa kecil dan memanjaku dengan tangan kiri. Di situ, aku baru sadar.

Kenapa tangannya hanya satu?

"Lo rindu gue?"

Ya. Amat sangat rindu.

"Maafin gue karena pergi begitu lama."

Tidak apa-apa. Asalkan kau kembali. Asalkan kita akan bersama lagi, menunggumu selama apapun aku sanggup.

Aku menyadari, Tuanku lebih sering tersenyum sekarang. Dia bahkan kadang tertawa. Dia juga berperilaku manis. Sangat berbeda dengan dirinya yang dulu. Apalagi saat berdekatan dengan pemuda itu.

Ah, begitu rupanya.

Aku mengerti.

Keadaanku dan keadaan Tuanku saat kami pertama kali bertemu tidaklah berbeda jauh. Kami sama-sama dibuang. Sendirian. Tidak memiliki 'tempat untuk kembali'. Aku sekarat karena ketidakpedulian para manusia itu. Beruntungnya aku, bertemu dengannya saat itu. Ia 'menyembuhkan'ku. Memberikanku kebahagiaan. Tapi, aku tak cukup kuat untuk menolongnya juga. Dia yang juga 'sekarat' karena dunia terus menyiksanya dengan kejam. Tuanku yang malang. Yang juga sedang menunggu seseorang untuk 'memungut'nya. Aku hanya mampu menemaninya disaat ku rasa ia sudah terlalu putus asa. Aku tak bisa melakukan apapun lagi.

Dan, lihatlah sekarang. Dia menemukannya. Dia sudah bertemu dengan orang itu. Orang yang mampu memberikannya kebahagiaan. Orang yang bisa menjaganya dengan baik. Merawatnya dengan sepenuh hati. Membuatku iri karena tidak bisa melakukan itu.

"..ahh.. Vano.."

"..haah.. El, tahan sedikit lagi."

Aku menatap mereka dalam diam. Tuanku menoleh dengan mata berkaca-kaca. Tubuh kecilnya dikungkung oleh tubuh berkeringat orang itu. Kami hanya saling tatap. Bahkan, ketika kedua mata biru yang cantik itu mengeluarkan airnya. Aku tau, air mata ini tidak sama seperti dulu. Bukan air mata karena perasaan putus asa yang menyakitkan.

Ia terisak. Tangan kirinya menutup sebagian wajah.

"El.. El, kenapa? Sakit?"

Tangannya dijauhkan dari wajah. Sekarang, dia putus asa karena terlalu mencintai orang itu.

"Vano.. gue cinta.."

Rambut kecokelatannya yang basah akan keringat, di sisir ke belakang. Lalu, orang itu mencium Tuanku yang masih mengeluarkan air matanya.

"Ya, El," ia mendesah pelan di telinga Tuanku, "Gue juga.. sangat.. sangat mencintai lo.."

"Vano.. Vano.. ahh.."

Seperti aku yang menyerahkan kesetiaan dan hidupku untuknya, dia juga melakukan itu untuk orang tersebut.

Tuanku yang baik hati, aku akan terus mendoakan kebahagiaanmu. Dan seperti yang sudah pernah ku katakan, aku akan terus menemanimu. Sampai aku mati suatu saat nanti.

Suhu ruangan yang semakin meningkat. Suara derit ranjang dan desah napas mereka yang mengudara. Aku beranjak dari tempatku semula. Menaiki ranjang itu. Orang yang mengurung Tuanku dengan tubuhnya itu, melirikku waspada. Namun, ia tak sempat menghindar saat cakarku menggores lengan kirinya hingga berdarah.

"Aw!" Gerakannya berhenti. Ia meringis sambil memegang lengannya.

"Poppy!"

Aku kembali beranjak dan segera melangkah keluar dari kamar mereka. Bantal yang Tuanku lempar karena kesal, tidak berhasil mengenai diriku.

Ngomong-ngomong, itu balasan karena Tuanku yang ku sayang itu selalu mengganggu 'waktu'ku bersama Burhan.

Tetaplah berbahagia. Walaupun yang berdiri tegap di sampingmu itu bukan aku, ku harap ia bisa terus memperlakukanmu dengan baik seperti yang aku inginkan.

End.

Btw, karena seseorang dari kalian menanyakan apakah saya ada niat untuk ngebuat QnA untuk para tokoh dicerita ini, saya jadi punya niat wkwkwk..

Silakan kirim pertanyaan-pertanyaan kalian melalui kolom komentar

DI SINI

Terserah kalian mau nanya siapa. Nanya El boleh, Vano boleh, Poppy boleh, Burhan boleh, Orly boleh, Zin boleh, saya juga boleh-uhuk!

Saya tunggu hingga tanggal 10 November ya!

Continue Reading

You'll Also Like

69.9K 7.8K 18
Naruto itu nakal, saking nakalnya dia hilir mudik masuk pos polisi. Ngidam... Gak buat lapak baru malas, lanjut disini aja..
446K 26.9K 34
no descripsion! silahkan membaca.. {CERITA INI TELAH DI REUPLOAD. JIKA MASIH ADA KESALAHAN, SILAHKAN HUB AUTHORNYA} TERIMA KASIH.
1.5K 220 17
Felix, seorang omega yang membenci alpha. Karena masa lalunya yang kurang baik terhadap alpha. Felix tidak suka hidup dalam bayang-bayang Alpha, hing...
162K 22.3K 39
Warning 18+ content! Karena ulah Patih Gandatala yang melakukan pemberontakan, kerajaan Kertalodra dalam prahara. Lalu bagaimana nasib panglima besar...