Gone Baby, Gone (completed)

By pisscess

1.5M 69.9K 1.7K

21+ Kimberly Isabel bertemu kembali dengan cinta pertamanya setelah terpisah 13 tahun lamanya. Ternyata, 13 t... More

Prolog
Kimberly Isabel
Aldwin Javier
Kim - Totally Crazy!
Kim - First Trial
Ald - New Thing
Ald - Failure
Kim - Plan for You
Kim - Another Him
Ald - Seorang Kim
Ald - Terjadilah, Terjadilah
Kim - Feel My Love
Kim - Jealousy?
Ald - Don't Be a Fool
Ald - Love You Too
Kim - The Proposal
Kim - A Gift
Ald - Broken Vow
Ald - Still the One
Kim - HOME
EPILOG

Kim - Fight Him Back

47.5K 2.8K 89
By pisscess




Same lips red, same eyes blue. Same white shirt, couple more tattoos.

But it's not you and it's not me

Tastes so sweet, looks so real. Sounds like something that I used to feel

But I can't touch what I see

We're not who we used to be, we're just two ghosts standing in the place of you and me

Trying to remember how it feels to have a heartbeat

- Two Ghosts by Harry Styles

Kim mematahkan hatinya sendiri saat memutuskan harus pergi dari rumah itu. Jangan salahkan Kim karena memilih demikian. Ibu mana yang tega membuang janinnya sendiri? Kim tidak menyalahkan Aldwin sepenuhnya juga. Ia tau, segalanya terlalu cepat untuk Aldwin. Aldwin baru saja mengakui cintanya, dan tiba-tiba mereka sudah akan menikah, lalu tiba-tiba saja janin hadir di antara mereka.

Dia menyayangkan Aldwin terpaku pada trauma masa lalunya. Pada Kinasih. Padahal, Kim percaya betul perkataan Roy bahwa anak yang dikandung Kinasih bukanlah anak Aldwin.

Maka, dengan terpaksa, untuk kebaikan mereka bertiga, Kim meninggalkan Aldwin sementara. Sementara, tidak lama. Hanya sampai Kim memiliki cukup keberanian untuk memperjuangkan janinnya di hadapan Aldwin, dan Aldwin memiliki cukup pengertian bahwa janin ini adalah bagian dari cinta mereka.

Kim masuk ke kamar dan menemukan Aldwin sudah tertidur. Kim teringat bahwa tangan Aldwin terluka. Astaga, Kim sangat khawatir saat Aldwin melayangkan tinjunya dan menghancurkan meja makannya. Namun Aldwin tidak membiarkannya mendekat. Kim menoleh, memeriksa tangan Aldwin dan membersihkan darah kering di sekitar tangannya. Kim pun mengambil kotak P3K dan mulai mengobati tangan Aldwin.

Setelah selesai mengobati tangannya, dengan perlahan Kim memasukkan beberapa bajunya dan peralatan pentingnya ke dalam tas. Tadinya, Kim ingin segera pergi tanpa melihat wajah Aldwin. Kim takut, saat melihat Aldwin, dia akan kehilangan keberaniannya untuk pergi dan memilih tinggal.  Namun sesuatu menahan Kim. Kim ingin mematri wajah Aldwin sebanyak mungkin dalam benaknya, sebagai cadangan jika nanti ia merindukan prianya, meskipun Kim tau itu tidak akan cukup.

Kim tidak bisa menahan isakannya saat mengamati wajah Aldwin. Dia begitu mencintai pria ini. Sangat sangat cinta. Kim kemudian mencium Aldwin pelan, menaruh surat yang sudah disediakannya di nakas tempat tidur, kemudian keluar dari kamar menuju taksi yang sudah menunggunya di depan.

"Malam, Bu," sapa pengemudi taksi. Kim berusaha tersenyum dan membalas sapaannya.

"Tujuannya kemana Bu?"

Kim terdiam, belum terpikirkan satupun tujuan. Kim tidak mungkin mencari Tante May malam begini. Memikirkan wanita paruh baya itu kecewa melihatnya berbadan dua sebelum menikah membuat Kim sedih. Juga tidak mungkin pergi ke rumahnya, karena Tian dan Karel sedang menggunakan rumahnya seminggu belakangan. Tian dan Karel tidak perlu tau masalah ini. Kim tidak bisa membayangkan apa yang akan mereka lakukan pada Aldwin jika mereka tau. Kim juga tidak mungkin pergi ke butiknya. Anak buahnya tinggal disana, dan Kim tidak ingin spekulasi-spekulasi baru mengenai Kim muncul.

"Muter-muter Jakarta dulu aja, pak," putus Aldwin pada akhirnya. Sang pengemudi menatap Kim bingung dari balik kaca, namun memilih menuruti tanpa banyak bertanya saat Kim kembali menangis.

Entah berapa lama mereka mengitari Jakarta. 1 jam? 2 jam? Tiba-tiba, nama Roy melintas di benak Kim. Kim pun mengambil ponselnya dan menghubungi nomor Roy. Untungnya, Roy mengangkat setelah dering ketiga, padahal ini sudah tengah malam.

"Kim? Ada apa?"

"Om, bisa bertemu?"

"Malam-malam begini?" kata suara di seberangnya kaget.

"Iya, maaf mendadak."

Sepertinya Roy tau Kim sedang menangis, karena akhirnya dia mengiyakan dan meminta Kim datang ke rumahnya daripada mencari tempat yang masih buka pada tengah malam. Roy mengirimkan alamat rumahnya dan Kim segera memberinya pada pengemudi. Jalanan yang sepi membuat mereka sampai lebih cepat dari perkiraan. Setelah sampai dan membayar sesuai Argo, Kim turun dan menghubungi Roy.

"Om, saya udah di depan."

Roy tidak membalas dan segera mematikan panggilannya. Tidak berapa lama, pintu rumahnya terbuka.

"Kamu tidak tau yang namanya bel ya?" gerutu Roy. Sepertinya Roy ingin menggerutu lagi, namun saat menyadari Kim tengah menangis dengan sebuah tas cukup besar di tangannya, Roy segera mempersilakan Kim untuk masuk. Roy menuntunnya pada sebuah ruangan besar tertutup, mungkin ruang tamu.

"Minum, Kim?"

"Air putih saja om," kata Kim di sela isakannya. Roy mengangguk dan memberinya segelas air putih, yang segera tandas oleh Kim. Rasanya tubuhnya memerlukan banyak air setelah menangis selama perjalanan tadi.

Roy menatapnya dengan tatapan menyelidik, sedangkan Kim kehilangan keberaniannya untuk bicara. Kim mulai merutuki keputusannya untuk datang. Bagaimana jika Roy membela Aldwin dan meminta Kim untuk menggugurkan janinnya juga? Bagaimana jika Roy membunuhnya karena dikira mengingkari janjinya pada Aldwin dan meninggalkannya? Sungguh, jika Roy membunuhnya sebelum janin ini hadir, Kim tidak peduli. Sekarang, ada nyawa lain yang harus Kim jaga.

"Jadi, apa yang membawamu kemari?" tanya Roy saat Kim masih saja diam seraya memainkan kuku-kukunya.

"Kim..."

"Saya hamil," kata Kim cepat. Roy terdiam.

"Kenapa bisa?" tanya Roy. Kim menatap Roy dengan tatapan mencela.

"Ya bisa. Kami berhubungan seks," sahut Kim sewot. Sepertinya Roy ingin tertawa, namun tidak tega melihat wajah Kim. Maka Roy berdeham untuk menyembunyikan keinginannya untuk tertawa.

"Saya juga tau yang itu, Kim. Maksud saya, Aldwin pasti cukup pintar untuk memakai pengaman atau memberimu pil pencegah kehamilan."

"Eh, itu. Terkadang kami lupa," kata Kim pelan. Sedikit banyak Kim yakin, janin ini hadir dari malam saat Aldwin mengasarinya. Malam dimana Aldwin mabuk. Karena Aldwin sangat jarang ceroboh, kecuali malam itu.

"Lalu? Apa yang membuatmu sedih?"

"Aldwin tidak mau memiliki anak."

Kali ini, Roy terkejut. Roy terdiam seolah berpikir, kemudian menghela nafasnya pelan.

"Dia perlu waktu, Kim," kata Roy. Kim mengangguk setuju.

"Lalu apa rencanamu? Kamu punya rumah kan?"

Kim mengangguk.

"Tapi lagi ada teman saya disana. Mungkin saya akan bermalam di hotel sampai.."

Omongannya segera dipotong oleh Ray, "Omong kosong. Tinggalah disini. Kamu mengandung cucuku. Saya tidak ingin terjadi hal buruk pada cucuku."

Mungkin pengaruh hormone, atau mungkin karena Kim sedang emosional, Kim merasakan perasaan hangat saat mengetahui ada yang menginginkan kehadiran janin ini selain dirinya.

"Nanti aku akan meminta pekerjaku untuk menyediakan susu hamil beserta vitamin-vitaminnya,"

"Tidak perlu. Kemarin kami sudah ke rumah sakit dan mendapat banyak vitamin. Mungkin susu hamil saja. Maaf merepotkan," kata Kim tidak enak. Roy mengibaskan tangannya.

"Tidak merepotkan sama sekali. Ah, sekarang panggil aku Papa. Tidak usah formal-formal, kamu kan mengandung penerus keluargaku. Tunggu, kalian sudah ke rumah sakit? Bagaimana reaksi Aldwin?"

Ini sisi baru dari Roy yang baru Kim lihat. Cerewet. Roy benar-benar terlihat seperti seorang ayah jika begini. Kim memang tidak tau bagaimana ayah bersikap secara langsung, Kim mengetahui dari buku-buku yang dibaca dan film-film yang ditontonnya.

"Dia bertanya pada dokter kandungannya metode pengguguran yang paling tepat untuk janin berusia 3 minggu," jelas Kim.

"Astaga, dia bodoh," kata Roy.

"Kim, istirahat saja dulu. Tidak baik untuk orang hamil tidur larut" kata Roy lagi. Kim mengangguk dan mengikuti langkah Roy. Roy memberinya kamar yang cukup besar. Kim harus akui, rumah Roy terlalu besar untuk ditinggali sendiri. Roy bahkan menyediakan beberapa kamar, katanya untuk tamu-tamu yang datang, yang Kim curiga bergender perempuan.

"Jangan banyak berpikir. Nanti kita cari bersama solusi masalah ini. Kamu tidak berencana lari selamanya dari Aldwin, bukan?"

Kim menggeleng.

"Good. Tidur lah dulu. Jika ada apa-apa, pencet saja bel di dekat kasur itu. Oke?"

Kim mengangguk lagi. Roy pun memutuskan untuk pergi dan membiarkan Kim beristirahat. Saat Roy hendak menutup pintu, Kim menghentikan Roy.

"Om.."

Roy menatapnya garang, membuat Kim teringat permintaan Roy tadi.

"Pa.." Kim menjadi salah tingkah. Lidahnya tidak pernah menyebut kata papa lagi, dan setelah sekian lama ada seseorang yang bersedia dipanggil papa olehnya. Roy mengangkat alisnya, menunggu Kim melanjutkan ucapannya.

"Terima kasih," kata Kim lagi. Roy hanya tersenyum dan kali ini benar-benar menutup pintunya.

***

1 minggu kemudian...

Kim mendesah saat menemukan berbagai jenis makanan tersaji di meja makan. Penuh, meja makan yang begitu panjang itu nyaris penuh. Roy sedang membaca koran disana, seperti biasa menunggu Kim untuk turun dan sarapan bersama.

"Kenapa makanan sebanyak ini. Kan hanya kita berdua," gerutu Kim.

"Papa tidak tau apa yang sedang kamu inginkan, jadi papa siapkan dari Indonesian food, western, Japanese food, dan Chinese food. Apa masih kurang? Mungkin besok papa tambah lagi."

Kim menarik kursi, duduk, kemudian menggeleng keras.

"Kalau ada yang aku ingin, aku pasti bilang pa. Ini mubazir loh, buang-buang makanan."

"Tenang saja. Pelayan papa kan banyak, biar mereka makan banyak juga sesekali," elak Roy.

Seminggu sudah Kim tinggal bersama Roy, dan Roy selalu memanjakan Kim dengan apapun. Rasanya tiap sekian menit Roy akan bertanya apa yang Kim butuhkan. Roy juga bersemangat ingin menemani Kim checkup, padahal Kim sudah mengatakan belum jadwalnya untuk checkup lagi. Kim ingat sekali, di hari pertama, Roy menyodorkan lebih dari 5 merk susu hamil pada Kim. Roy ingin Kim meminum susu yang cocok. Saat Kim mengatakan jangan terlalu boros, Roy mengelak akan menyumbangkan susu yang lain pada ibu hamil lainnya. Oh, Roy sangat pintar bermain dengan kata-kata.

Kim pun mengambil makanan yang terdekat dari tempatnya duduk. Selain rasa mual yang masih sering melanda, Kim tidak merasakan gejala hamil lainnya seperti ngidam, moodswing, dan lain-lain. Hanya ada hari dimana Kim merindukan Aldwin lebih dari semestinya, membuat Kim menjadi cengeng dan menangis. Setiap kali Roy tau Kim menangis, Roy akan melakukan apapun untuk menghibur Kim.

"Kim.." panggil Roy.

"Hm?"

"Papa pikir kamu perlu teman, Kim. Papa tidak bisa menemani kamu 1 x 24 jam. Apa kamu keberatan kalau papa undang Lawrenzo dan Jay kesini? Informan papa bilang kalian cukup akrab."

Kim menatap Roy tajam.

"Informan? Papa memata-mataiku?"

Roy menggaruk tengkuknya yang Kim yakin tidak gatal.

"Eh, itu untuk keselamatanmu."

"Bilang saja untuk keselamatan Aldwin," gerutu Kim.

"Yah, begitulah. Intinya,mau tidak?"

Kim terdiam. Rasanya dia memang perlu teman berbicara selain Roy. Tapi Kim takut Lawrenzo dan Jay akan membela Aldwin.

"Tidak perlu, pa."

"Terlambat. Papa sudah kirim pesan ke mereka untuk datang nanti"

Kim mendengus dan melanjutkan makannya, sedangkan Roy hanya tertawa melihat reaksi Kim.

"Hari ini papa ada urusan, jadi ga bisa nemenin kamu. Jangan lupa minum vitamin dan susunya ya. Siang nanti makan, papa sudah kasih daftar menunya ke kokinya. Jangan terlalu cape, oke?"

Kim mengangguk bosan.

"Nah, itu mereka kayanya," kata Roy saat mendengar bel rumahnya berbunyi. Kim masih melanjutkan makannya saat Lawrenzo dan Jay sudah berada di ruang yang sama dengannya. Kim menatap mereka datar, sedangkan keduanya menatap Kim meminta penjelasan.

"Nah, sekarang papa harus pergi. Have fun, kalian," Roy segera berlalu tanpa menunggu reaksi ketiganya. Begitu Roy tidak ada, Jay dan Lawrenzo menyilangkan kedua tangannya, berusaha mengintimidasi Kim.

"Jadi, sebenarnya ada apa ini?" tanya Jay.

"Kim, kamu tidak tau perasaan kami saat tiba-tiba dipanggil Pak Roy secara pribadi. Kami pikir kami melakukan kesalahan." Timpal Lawrenzo.

"Dan ternyata Pak Roy mengundang kami ke rumahnya, hal yang tidak pernah dilakukan beliau sebelumnya, hanya untuk menemanimu."

"Ditambah, kamu memanggilnya papa."

Kim berdecak saat merasa dirinya diserang.

"Satu-satu, okay?"

"Kim, kamu membuat kami bingung. Aldwin juga. Dia tidak bisa dihubungi."

Kim meminta mereka berdua duduk.

"Aku hamil."

Keduanya terdiam dan memandang Kim kaget.

"Wow, that's quite a news," kata Jay pada akhirnya.

"Siapa yang kelepasan tidak pakai pengaman?"

"Aldwin."

Keduanya terkesiap.

"Tidak dapat dipercaya."

"Intinya, Aldwin menolak anak ini."

"Dan kamu meninggalkannya," balas Jay. Kim mendesah.

"Aku tidak punya pilihan lain. Dia memintaku menggugurkannya."

"Kim, kami tidak bisa menghubungi Aldwin sama sekali. Kami mendatangi rumahnya, dan dia tidak membuka pintunya selama seminggu ini. Ponselnya tidak aktif. Dia menolak semua misi yang dikirimkan untuknya. Intinya, kami benar-benar tidak tau keadaan Aldwin saat ini."

"Selama kami bekerja untuknya, baru kali ini Aldwin seperti ini. Bahkan saat kematian Kinasih pun, Aldwin tidak begini."

"Kalian menyalahkanku?" kata Kim tersinggung. Keduanya salah tingkah. Jay, yang lebih ahli menangani ibu hamil, mengambil alih dan meminta Lawrenzo untuk diam.

"Lalu, rencanamu sekarang apa?"

"Aku masih belum tau."

"Kamu tidak khawatir pada Aldwin?"

"Tentu saja khawatir! Namun aku tau, dia baik-baik saja."

"Dari mana kamu tau?"

"Jay, dia pasti membenciku. Aku mengingkari janji dengan meninggalkannya saat ini. Alih-alih kalian membayangkan Aldwin duduk sendiri dengan alkohol dan bersedih karenaku, aku yakin Aldwin lebih memilih berusaha membenciku. Dia pasti baik-baik saja," jelas Kim.

Jay dan Lawrenzo terdiam menyadari kebenaran kata-kata Kim. Mereka yakin Aldwin akan semakin mengeraskan hatinya. Mereka menyaksikan sendiri betapa berbedanya Aldwin ketika dia bersama Kim.

"Sudah berapa bulan, Kim?" tanya Lawrenzo saat pandangannya tidak sengaja jatuh pada perut Kim yang mulai terlihat membuncit. Kim tersenyum dan mengelus perutnya pelan.

"2 bulan kira-kira."

"Sehat?" tanya Jay.

"Puji Tuhan iya. Cuma kurang sedikit berat aja kata dokter. Itu masalah gampang, nafsu makanku memang meningkat drastis di bulan kedua ini."

"Kim, sebenarnya, aku menyayangkan keputusanmu meninggalkan Aldwin."

Kim menoleh ke arah Lawrenzo sengit. Ah ya, Kim memang tidak mengalami moodswing, namun Kim mudah tersinggung akhir-akhir ini.

"Maksudmu?"

"Maksudku, Aldwin memang menolak janinnya. Namun dia tidak pernah melakukan hal-hal buruk untuk menghilangkan janin itu bukan?"

Kim mengangguk.

"Jika kamu tetap bersamanya, mungkin Aldwin tidak bersikap seperti biasa, namun secara teknis Aldwin tidak melakukan apapun untuk melenyapkan janin itu selain dari perkataannya."

Kim terdiam, berpikir. Selama ini, Aldwin memang bersikeras menggugurkan kandungannya. Aldwin juga mendiamkannya, namun Aldwin tetap memperhatikannya di tengah perang dingin mereka. Tidak pernah sekalipun Aldwin benar-benar memaksanya pergi untuk menggugurkan kandungannya.

Aldwin bisa, jika Aldwin mau. Kim tau itu, Aldwin selalu punya berbagai cara. Aldwin bisa saja membius Kim kemudian membawanya pada dokter yang bersedia menggugurkan janinnya, atau Aldwin bisa saja meracuni makanan dan minuman Kim dengan obat yang dapat membunuh janinnya. Tapi Aldwin tidak pernah melakukan hal itu.

"You get it, Kim? Kamu hanya perlu berusaha lebih keras untuk meyakinkannya. Aku tidak membela Aldwin atas keinginannya menggugurkan janin itu. Kami memang pembunuh, tapi kami tidak membunuh bayi yang bahkan belum bisa melakukan perlawanan apapun. Dan untuk ukuran gadis yang bersikeras bersama dengan Aldwin sedari awal, aku menyayangkan tindakanmu" kata Lawrenzo.

"Seharusnya kamu tidak meninggalkan Aldwin, Kim."

***

1 bulan kemudian..

Kim sedang merajut saat pintu kamarnya diketuk.

"Masuk," kata Kim. Kim tersenyum pada Roy kemudian melanjutkan rajutannya.

"Papa baru tau kamu bisa merajut."

"Aku desainer, pa," Kim mengingatkan. Roy tertawa.

"Itu kaos kaki?"

"Astaga, ini baju pa," dengus Kim. Roy memang terlalu sering bercanda. Jika Kim tidak tau pekerjaan Roy dari awal, Kim tidak akan pernah percaya bahwa Roy bekerja sebagai  pembunuh. Orang masih bisa percaya jika melihat tampang sangar Aldwin, tapi Roy?

"Maaf kemarin papa ga bisa nemenin checkup. Gimana kata dokter?"

Kim tersenyum.

"Baik, semuanya baik. Jari-jari tangannya mulai terbentuk. Telinga juga mulai terlihat. Papa mau liat fotonya?"

"Kamu ada cetak dua ga sesuai permintaan papa?"

Kim mengangguk, kemudian berdiri mencari foto yang diminta Roy. Roy memang sudah mewanti-wanti Kim untuk meminta dokter mencetak foto USG sebanyak 2 lembar. Roy ingin menyimpannya di dompetnya, katanya. Kim terharu saat Roy mengatakan hal itu.

Kim menyerahkan foto itu pada Roy, dan dapat Kim lihat mata Roy berkaca-kaca. Kim memutuskan menunda kegiatan merajutnya.

"Papa ga pernah tau rasanya punya anak kandung," jelas Roy. Kim memang tidak tau mengenai hidup Roy, seperti pernah menikah atau tidak. Jika iya, istrinya sedang dimana. Cerai atau sudah meninggal. Dan masih banyak pertanyaan mengenai hidup Roy. Aldwin tidak pernah membicarakan Roy.

"Papa pernah menikah sekali, Kim. Dan istri papa meninggal untuk melindungi papa saat itu." Mata Roy menerawang, berusaha mengingat masa lalu.

"Dan setelahnya, papa tidak mau menikah lagi. Papa pikir papa cukup hidup sendirian dengan kenangan, tapi ternyata tidak. Dan suatu hari, di sebuah gang kotor yang sempit, sepulangnya papa dari menjalankan misi, papa menemukan Aldwin."

"Kamu mau tau keadaan Aldwin saat itu?"

Kim mengangguk.

"Aldwin meringkuk, nyaris setengah mati. Ditinggal sendirian setelah dikeroyok, tampaknya ketahuan mencopet. Banyak sekali bekas luka di tubuhnya. Bajunya sudah robek-robek. Papa sudah tidak tau dia sekarat karena dikeroyok, atau karena kelaparan, atau karena kedinginan, atau bahkan ketiganya."

Kim mulai membayangkan Aldwin kecil yang meringkuk sendirian, dan merasakan hatinya kembali patah untuk pria itu.

"Tadinya, papa ingin membunuhnya saja, mengakhiri penderitaannya. Hidup itu keras, Kim. Tidak semuanya bisa menikmati yang kita nikmati. Ketika papa sudah siap menembak Aldwin yang memejamkan matanya saat itu, tiba-tiba matanya membuka dan menatap mata papa. Ada sesuatu di mata Aldwin saat itu, sesuatu yang membuat papa mengurungkan niat papa."

Roy tersenyum, dan Kim dapat merasakan kasih sayang Roy untuk Aldwin melalui senyumnya.

"Jadi, papa bawa Aldwin pulang. Papa panggil dokter untuk rawat dia. Dan satu-satunya hal yang papa sesali, adalah menjadikan Aldwin monster seperti papa. Dulu papa begitu muda dan naif, memandang memang ada orang-orang yang berhak untuk mati. Lihat Negara ini, Kim. Korupsi dimana-dimana, kecurangan politik dimana-mana, dan menurut papa orang-orang seperti itu memang pantas mati. Maka, papa membentuk Aldwin sama seperti papa."

"Dan saat papa ingin menariknya dari dunia kotor ini, Aldwin sudah terlanjur masuk terlalu dalam. Papa menyesal untuk itu, Kim."

Kim menggenggam tangan Roy yang mulai keriput.

"Ga ada yang perlu disesali, pa. Every thing happens for a reason. Lagipula, Aldwin mulai meninggalkan pekerjaan kotornya dan mencoba bermain bisnis," kata Kim. Kim kembali teringat pada perkataan Aldwin malam itu. Mengenai usahanya untuk menjadi suami normal nantinya untuk Kim. Astaga, Kim semakin dilanda perasaan bersalah.

"Jika saja bisa, tentu papa akan berusaha jadi ayah yang lebih baik. Papa memikirkan ingin membawa Aldwin ke psikiater untuk menyembuhkan trauma masa kecilnya, namun papa selalu menunda hingga Aldwin sudah terlalu dewasa untuk mau mendengarkan papa."

"Papa sedang memberitahuku bahwa seharusnya aku tidak meninggalkannya, bukan?" selidik Kim. Roy mengedikkan bahunya.

"Papa tidak bilang tindakanmu salah, Kim. Namun papa yakin kalau kamu bertahan lebih lama di sisinya, dia akan luluh. Hanya orang bodoh yang tidak melihat besarnya cinta Aldwin padamu. Dan selama papa bersama Aldwin, baru sekarang papa bisa melihat Aldwin benar-benar menjalani hidup," jelas Roy. Sebenarnya, Kim sudah banyak berpikir dan menemukan memang dirinya yang tiba-tiba menjadi begitu lemah. Kemana Kim yang dulu keras kepala ingin berada di samping Aldwin?

Kim menutup wajahnya karena frustasi.

"Aku melakukan kesalahan besar bukan."

"Tidak ada kesalahan yang tidak bisa diperbaiki, Kim."

"Bagaimana jika dia menolakku?"

"Papa dengar dulu dia menolakmu nyaris setiap hari," Roy mengingatkan. Kim pun sedikit tertawa, mengingat awal-awal Aldwin menolak berdekatan dengannya.

"Kalau dia sudah membenciku?"

"Kamu bisa membuatnya mencintaimu sekali. Bukan tidak mungkin kamu membuatnya mencintaimu lagi."

"Mungkin aku akan menciumnya terus-terusan hingga dia tidak bisa mengatakan penolakan apapun."

Roy mengangguk setuju.

"Mungkin juga kamu harus telanjang di hadapannya. Papa dengar wanita hamil itu sexy," kata Roy iseng. Kim menatap tajam Roy yang dibalas dengan gelak tawa. Kim mendesah dan memeluk Roy.

"Doakan aku ya, pa."

"Hm, papa tidak tau harus berdoa pada siapa. Tapi ya, pasti. Go get him back, girl!"

***

Kim berdeham gugup, merapikan rambut dan bajunya sekali lagi, sebelum mengetuk pintu rumah yang sudah Kim tinggalkan 5 minggu lamanya. Sedih jika berpikir Kim sempat dapat keluar-masuk rumah ini tanpa mengetuk, dan sekarang Kim kembali mundur pada saat Kim harus mengetuk pintu tersebut untuk dapat masuk.

Tidak ada jawaban. Kim mengetuk lagi dengan sabar.

Kim memang sudah mendengar dari Jay dan Lawrenzo, Aldwin tidak pernah keluar dari rumahnya selama 5 minggu. Atau, lebih tepatnya tidak pernah mengijinkan siapapun masuk. Aldwin tampaknya mengganti nomor ponselnya, atau membuang nomor lamanya. Yang pasti, Aldwin tidak bisa dihubungi.

Tadinya Kim tidak ingin menggunakan cara curang. Namun jika Kim mengetuk untuk ketiga kalinya dan masih tidak ada jawaban, terpaksa Kim harus mengeluarkan kunci cadangan yang dibawanya.

Kim memilih tidak bersuara karena takut Aldwin akan kabur jika mendengar suaranya, -meskipun tidak mungkin-. Dan ketika ketukan ketiga tidak membawa Aldwin keluar, Kim pun membuka pintu tersebut dengan kuncinya.

Hening. Kim menutup pintu sebelum masuk lebih dalam. Mati-matian Kim berusaha menahan suaranya saat ia melihat rumah Aldwin seperti kapal pecah. Pecahan kaca meja makan masih disana, tidak dibereskan sedikitpun. Masih persis saat Kim meninggalkan rumah ini. Boks-boks makanan dan bungkusan mie instant berserakan di daerah dapur. Kim bisa merasakan debu berterbangan di seluruh udara dalam rumah.

Kim mengecek kamar Aldwin terlebih dahulu, dan tidak menemukan pria itu disana. Ranjangnya juga terlihat sama seperti terakhir Kim lihat. Bagian Kim, yaitu dikanan kasur, rapi. Namun bagian Aldwin berantakan. Tidak terlalu, mungkin Aldwin jarang menempati kamar ini.

Merasa yakin Aldwin berada di ruang kerjanya, Kim pun segera beranjak disana. Dan benar saja, Aldwin disana dengan segudang kertas-kertas yang Kim tidak mengerti apa isinya. Kim terkejut melihat Aldwin, sama seperti Aldwin terkejut melihat Kim. Namun Aldwin dengan mudah mengatasi rasa terkejutnya, dan segera kembali menyibukkan diri dengan kertas-kertas tanpa bereaksi apapun terhadap Kim.

Sedangkan Kim, Kim masih terpaku menatap Aldwin. Rambut-rambut Aldwin sudah hampir menyentuh leher, tidak teratur. Lingkaran hitam mengerikan melingkari mata elang indah milik Aldwin. Pria itu juga tidak bercukur. Dan meski dalam keadaan seperti itu, Aldwin masih terlihat tampan di mata Kim.

Kim tau permainan apa yang Aldwin mainkan. Pria itu tidak akan berbicara dengannya, padahal Kim memilih pria itu memarahinya, membentaknya, memakinya, kemudian seperti biasa Kim akan menciumnya dan menyelesaikan permasalahan diantara mereka dengan percintaan hebat terlebih dahulu. Namun kali ini, Aldwin hanya akan diam, tidak bereaksi apapun pada Kim. Kim tau, kerjanya akan dua kali lipat. Aldwin membangun benteng yang lebih tinggi daripada dulu.

Dan Kim juga bisa lebih keras kepala dan tidak tahu malu dibandingkan dulu.

Maka, dengan keberanian yang tersisa dan sebelum kepercayaan dirinya hilang, Kim menghampiri Aldwin, membuka tangan pria itu kemudian naik ke pangkuannya, dan melumat bibirnya seolah tidak ada hari esok. Rasa bibir pria itu masih sama, meskipun kali ini bibir tersebut hanya diam tanpa membalas lumatan Kim. Kim tidak peduli. Perjuangannya baru akan dimulai.

Saat Kim merasa membutuhkan pasokan oksigen, Kim melepaskan bibirnya. Aldwin memandangnya, datar, tidak beriak, tidak beremosi.

"Miss me, Aldwin Javier?"

TBC

Hai, senangnya bisa update cepat. Hari ini hari terakhir libur dan besok aku akan masuk semester 5 :( jadi tolong maklum kalau updatenya tersendat. Aku usahakan ga lebih dari 1 minggu untuk update *amin*. Hope you like this part :)

Oh ya, aku udah publish new story yang judulnya Memories. Yuk monggo dibaca, siapa tau kalau banyak readers aku terpacu untuk kelarin Gone Baby, Gone lebih cepat (?) hehe thankyou

Continue Reading

You'll Also Like

49.2K 1.4K 27
⚠️ 18+ Mengandung adegan dewasa dan kata kasar. . . Sejak kecil, Mateo sudah terbiasa dengan hal berbau dewasa. Semua itu disebabkan oleh kelakuan ay...
6.2K 521 20
"Mungkin udah saatnya bagi kita untuk break. Entah itu break sementara atau break selamanya," ujar Putri seraya menatap manik mata cowok dihadapannya...
1.9M 123K 27
Bertemu mantan saja sudah membuatku tak keruan apalagi jika sang mantan justru tinggal di samping rumah dan mendekatiku lagi seperti tidak pernah ada...
313K 11.8K 42
"Dasar wanita kasar, berani-beraninya ia mempermalukanku di depan orang banyak. Lihat saja, kalau kita bertemu lagi, akan ku buat ia menyesal karena...